Unintended Pregnancy dan Masa Depan Anak

Kondisi kehamilan serta masa anak-anak merupakan masa-masa kritis dalam tahap perkembangan individu. Sayangnya, tak jarang kita temui perlakuan tidak pantas yang sejatinya berdampak sangat besar terhadap perkembangan seorang individu. Dorongan untuk melakukan perbuatan tertentu biasanya diawali dengan adanya rasa, niat ataupun perencanaan. Dalam kaitannya dengan kondisi kehamilan dan perkembangan anak, bisa kita lihat bahwasanya niatan atau rencana kehamilan itu memegang peranan penting yang menentukan perlakuan yang akan diberikan pada sang anak nantinya, hal ini berdampak pada kondisi anak tersebut dimasa yang akan datang.

Adanya penganiayaan terhadap seorang anak tidak lepas dari apakah kehamilan yang dijalani telah direncanakan dengan matang atau tidak. Kehamilan yang tidak diinginkan memicu reaksi ketidaksiapan bagi orang tua khususnya calon ibu, baik secara fisik ataupun psikis. Ketidaksiapan inilah yang mendasari adanya perilaku-perilaku yang keras terhadap anak serta kecenderungan untuk mengabaikan anak. Dampak penganiayaan terhadap anak sangat berpengaruh terhadap kondisi psikologis anak, menurunkan interaksi sosial, mengalami keterlambatan sosial, dan kurangnya empati (Lakhdira, et al., 2019) anak cenderung memiliki gangguan kepribadian, gangguan kecemasan, disorder, memiliki kepercayaan diri serta tingkat kepuasan hidup yang rendah (Lakhdira, et al., 2019).

Kehamilan pada remaja atau pada usia muda sering digolongkan sebagai bentuk kehamilan yang tidak diinginkan (unintended pregnancy). Kehamilan tidak diinginkan sendiri terbagi atas dua hal yakni, kehamilan yang terjadi terlalu cepat atau terlalu lama dari perencanaan dan kehamilan bagi keluarga yang sama sekali tidak merencanakan untuk memiliki anak (Guterman, 2015), dalam banyak studi kehamilan ini didefinisikam meliputi kelahiran tidak diinginkan atau tidak sesuai dengan waktu perencanaan, pemaksaan aborsi, serta keguguran (Sigh, et al., 2010). Kehamilan tidak diinginkan membawa konsekuensi serius bagi perempuan dan keluarganya, berkaitan dengan kondisi kesehatan, sosial dan ekonomi (Sigh, et al., 2010). Dalam banyak kasus, kehamilan tak diinginkan berakhir dengan aborsi, namun tak jarang para calon ibu melakukan penolakan terhadap aborsi, padahal hal ini justru dapat menimbulkan efek negatif terhadap mental dan kondisi sosioekonomi seseorang, karena anak-anak yang lahir dari ibu yang menginginkan aborsi mayoritas berada dibawah garis kemiskinan dan berkecenderungan memiliki anak dengan tingkat perkembangan di bawah normal atau rata-rata (Foster, et al., 2019). Kasus-kasus kehamilan tak diinginkan pada remaja biasanya berkaitan dengan kehamilan diluar nikah, yang menimbulkan konsekuensi berupa paksaan untuk keluar dari sekolah, mendapat penolakan dari pihak keluarga atau komunitas tertentu, bahkan dalam masyarakat yang masih sangat konsevatif, perempuan dipaksa untuk menikah ataupun mendapat penganiayaan secara fisik (Sigh, et al., 2010). Berdasarkan catatan UNICEF, 1 dari 9 anak perempuan di Indonesia menikah sebelum berusia 18 tahun, dan 0,5% anak perempuan menikah sebelum berusia 15 tahun. Kesimpulan tersebut berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) 2017 yang mencatat bahwa 14,18% perempuan yang telah menikah di Indonesia berusia di bawah 16 tahun, dengan persentase tertinggi di Provinsi Kalimantan Selatan.

Faktor yang menyebabkan kehamilan tak diinginkan antara lain  stigma terhadap kehamilan, budaya, tuntutan persaingan waktu perempuan (bekerja atau sekolah), upaya penyempurnaan ukuran keluarga, ketidaksepakatan antara pasangan mengenai bentuk dan ukuran keluarga, kurangnya dukungan dari salah satu pihak pasangan, kurangnya akses terhadap jasa perencanaan keluarga, masalah kontrasepsi, khususnya berbicara mengenai metode yang akan ditempuh dan ketersediaan, hingga banyak yang menghindari kontrasepsi karena stigma memberikan efek samping tertentu, rendahnya pemahaman mengenai resiko-resiko kehamilan, serta munculnya keadaan-keadaan yang tak diharapkan seperti sakit, kehilangan pekerjaan dan perceraian (Sigh, et al., 2010), rendahnya tingkat edukasi, hidup di keluarga atau lingkungan keluarga yang tidak harmonis dan dilampiaskan pada konsumsi alkohol, obat-obatan terlarang serta melakukan aktifitas seksual pertama lebih muda sehingga menimbulkan aktivitas seksual lebih sering (Panova, et al., 2016). Perilaku orang tua secara signifikan menciptakan situasi tertentu yang mempengaruhi proses kehamilan hingga kelahiran anak. (Guterman, 2015). Perilaku tersebut menurun dari perilaku ibu sebelumnya,  yang akan menghasilkan pola perilaku yang lebih beresiko (Panova, et al., 2016). Dalam menghadapi kehamilan tak diinginkan, seseorang sudah seharusnya mendapat konseling dan dukungan, dukungan medis dan managemen pembedahan untuk aborsi sebagai pilihan alternatif (Burton, 2018) Dukungan dan keseriusan pasangan berpengaruh pada keinginan untuk memiliki anak, keterlibatan saorang ayah dapat mengurangi resiko adanya kekerasan pada masa kehamilan, hal ini dikarenakan laki-laki dianggap berperan lebih dalam perlindungan dan kontrol terhadap keluarga (Guterman, 2015).

Penganiayaan anak (maltreatment children) merupakan sebuah bentuk perlakuan yang kekerasan serta wujud pengabaian atau penelantaran dari orang tua ataupun pengasuh anak seperti orang tua tiri, pengasuh dan wali anak yang berupa kekerasan seksual, fisik dan mental ( mengancam, merendahkan, mempermalukan, dan menertawakan), serta pengabaian secara fisik yakni dengan tidak terpenuhinya kebutuhan pokok anak seperti makanan, tempat tinggal, pakaian, perlindungan, pelayanan kesehatan, kesempatan terhadap akses pendidikan, dan pengawasan dan pengabaian secara mental yakni dengan tidak mendapatkan dukungan, perhatian, dan rasa sayang. (H.C.G., et al., 2017). Jumlah pelanggaran hak asasi terhadap anak-anak di Indonesia di 33 provinsi dan 202 kabupaten/kota selama lima tahun terakhir berjumlah 21.689.987 kasus. Komnas Anak mencatat pada 2015 terdapat 2.898 kasus kekerasan terhadap anak dengan 59,30% kasus berupa kejahatan seksual. “Survei Kekerasan terhadap Anak Indonesia 2013” dari Kementerian Sosial memperlihatkan prevalensi kekerasan terhadap anak mencapai 17,98 persen (2.603.770 anak).

Dilihat dari pola kecenderunganya, seorang ibu cenderung menunjukkan kekerasan secara mental dan melakukan pengabaian atau penelantaran, sedangkan seorang ayah cenderung melakukan kekerasan secara fisik (Guterman, 2015). Menurut data Komnas Anak, anak-anak Indonesia cenderung mengalami kekerasan emosional dibandingkan fisik, sebanyak 86,65 persen anak laki-laki dan 96,22 persen anak perempuan menyatakan pernah mengalaminya. Beberapa faktor yang mempengaruhi pengaiayaan terhadap anak adalah rendahnya pendapatan (kemiskinan), fungsi serta kualitas orang tua (Font & Berger, 2015), tidak konsistennya dalam disiplin, tinggal dengan orang tua tiri atau wali, ibu muda, kelangkaan makanan, konflik keluarga, pengetahuan yang rendah mengenai kehamilan, hubungan dengan orang tua (Lakhdira, et al., 2019) serta ketidakmampuan seseorang dalam menjalani peran sesuai dengan realita yang seharusnya ia jalankan (Guterman, 2015). Seseorang yang menjadi korban dari penganiayaan anak memiliki kecenderungan untuk berlaku serupa dan beresiko lebih tinggi mengalami kehamilan diusia muda serta melakukan kekerasan terhadap pasangan dan anak, hal ini berkaitan dengan proses transisi menjadi orang tua dan pengetahuan yang sangat terbatas tentang bagaimana mengurus anak (Murphy, et al., 2017), ibu usia muda cenderung memiliki keterbatasan dalam teknik, skill, pengalaman, serta pengetahuan untuk  merawat dan membesarkan anak mereka (Lakhdira, et al., 2019).


Referensi

Badan Pusat Statistik, 2012. Angka Kelahiran Pada Perempuan Umur 15-19 Tahun, s.l.: Badan Pusat Statistik.

Badan Pusat Statistik, 2012. Angka Kelahiran Pada Perempuan Umur 15-19 Tahun Menurut Provinsi, s.l.: Badan Pusat Statistik.

Bruce J. Hillman, M., 2018. Gender Bias. Adona Lane, Wake Forest: Elseiver Inc. on behalf of American College Radiology.

Burton, R., 2018. Criminalised Abortion in UK : UK Medical Students should be Taught How to Manage Unwanted Pregnancy. Liverpool: BMJ.

Chrisine L. Hancock, Deborah R. Carter, 2016. Building Environments that Encourage Positive Behavior : the Preschool Behavior Support Self-Assesment. JSTOR & National Assosiation for the Education at Young Childern (NAEYC), pp. 66-73.

Font, S. A. & Berger, L. M., 2015. Child Maltreatment and Childern’s Developmental Trajectories in Early to Middle Childhood. Child Development, 86(2), pp. 536-556.

Foster, D. G. et al., 2019. Effects of Carrying an Unwanted Pregnancy to Term on Women’s Existing Childern. The Journal of Pediatrics, Volume 205, pp. 183-189.

Friederike Mengel, Jan Sauermann, Ulf Zolitz, 2017. Gender Bias in Teaching Evaluations. Oxford Journals, pp. 1-50.

Gerintya, S., 2017. tirto.id. [Online]
Available at: https://tirto.id/737-persen-anak-indonesia-mengalami-kekerasan-di-rumahnya-sendiri-cAnG
[Diakses 5 April 2019].

Gerintya, S., 2017. tirto.id. [Online]
Available at: https://tirto.id/737-persen-anak-indonesia-mengalami-kekerasan-di-rumahnya-sendiri-cAnG
[Diakses 5 April 2019].

Giovanni Abramo, Ciriaco Andrea D’Angelo, Francesso Rosati, 2016. Gender Bias in Academic Recruitment. Springer, pp. 119-141.

Guterman, K., 2015. Unintended Pregnancy as a Predictor of Child Maltreatment. Child Abuse & Neglect, Volume 48, pp. 160-169.

H.C.G., L. et al., 2017. Parent-Child Agreement on Parent-to-Child Maltreatment. Springer, Volume 32, pp. 207-217.

Handayani, M. S., 2016. tirto.id. [Online]
Available at: https://tirto.id/ragam-kekerasan-anak-8Ms
[Diakses 5 April 2019].

Jessica Sullivan, Corinne Moss-Racusin, Michael Lopez, Katherine Williams, 2018. Backlash Against Gender Stereotype-Violating Preschol Children. PLOS ONE, pp. 1-24.

Karson T.F. Kung, Gu Li, Jean Golding, Melissa Hines, 2018. Preschool Gender-Type Play Behavior at Age 3.5 Years Predicts Psycal Aggression at Age 13 Years. Springer : Arch Sex Behav, pp. 905-914.

Kathy Cabe Trundle, Mandy Mc.Cormick Smith, 2017. A Hearts-on, Hands-on, Minds-on Model for Preschool Science Learning. JSTOR & National Assosiation for the Education of Young Children (NAEYC), pp. 80-86.

Khalika, N. N., 2018. tirto.id. [Online]
Available at: https://tirto.id/bapak-ibu-kandung-di-ranking-teratas-pelaku-kekerasan-pada-anak-cYdp
[Diakses 5 April 2019].

Kirnandita, P., 2017. tirto.id. [Online]
Available at: https://tirto.id/bersenang-senang-berdua-tapi-kb-dianggap-urusan-perempuan-cwMV
[Diakses 5 April 2019].

Kirnandita, P., 2018. tirto.id. [Online]
Available at: https://tirto.id/mengorek-yang-terjadi-di-pernikahan-bawah-umur-zaman-now-cFV9
[Diakses 5 April 2019].

Kristin Shutts, Ben Kenward, Helena Falk, Anna Iveran, Christine Fawcett, 2017. Early Preschool Environments and Gender : Effects of Gender Pendagogy in Sweeden. Elseiver : Journal of Experimental Child Psichology, pp. 1-17.

Lakhdira, M. P. A. et al., 2019. Intergenerational transmission of child maltreatment: Predictors of child emotional maltreatment among 11 to 17 years old children residing in communities of Karachi, Pakistan. Child Abuse & Neglect, Volume 91, pp. 109-115.

Murphy, S., Elklit, A. & Shevlin, M., 2017. Child Maltreatment Typologies and Intimate Partner Violence : Findings from a Danish National Study of Young Adult. Journal of Interpersonal Violence, pp. 1-16.

Panova, O. V., Kulikov, A. M., Berchtold, A. & Suris, J. C., 2016. Factors Associated with Unwanted Pregnancy Among Adolescents in Russia. Pediatric and Adolescent Gynecology, Volume 29, pp. 501-505.

Primastika, W., 2018. tirto.id. [Online]
Available at: https://tirto.id/krisis-agraria-di-indonesia-picu-perkawinan-anak-c5ay
[Diakses 5 April 2019].

Sigh, S., Sedgh, G. & Hussain, R., 2010. Unintended Pregnancy : Worldwide Levels, Trends, and Outcomes. Studies in Family Planning, 41(4), pp. 241-250.

Zhongwei Liang, Chunliang Zhang, Sikun You, Hongguang Deng, 2011. Teaching Examples and Pedagogy Methods of Mechanical Drafting Based on Behaviorism Teaching Theory. Springer-Verlag Berlin Heidelberg, pp. 144-148.


Artikel ini ditulis oleh Putri Berliyanti, mahasiswi Departemen SosioloGi, Universitas Gadjah Mada, saat mengikuti Program Magang di Pusat Studi Sosial Asia Tenggara.

Photo by Leo Rivas on Unsplash

 

 

Mitigasi Perubahan Iklim di ASEAN: Dapatkah Solusi Ditemukan dalam Game Theory Model?

Sementara istilah ‘perubahan iklim’ dan ‘pemanasan global’ sekarang sering terdengar di sejumlah konteks, apakah itu di lingkungan profesional, ruang kelas, atau di umpan berita Facebook Anda, kadang-kadang sulit untuk memahami mengapa gagasan tersebut sangat memprihatinkan – oportunis mungkin hanya melihat perubahan ini sebagai alasan untuk memamerkan kaos favorit mereka selama beberapa hari lagi dalam setahun. Namun, konsekuensi dari perubahan iklim jauh melampaui jaket yang mengumpulkan lebih banyak debu di lemari pakaian Anda. Perubahan iklim yang disebabkan oleh pemanasan planet diantisipasi untuk memicu tantangan dalam kondisi sosial, ekonomi, dan politik di seluruh dunia, terutama di kawasan ASEAN. Mengingat hal ini, seperti yang disarankan oleh model teori permainan sederhana, kolaborasi mitra di ASEAN, meskipun tidak selalu dianggap sebagai jalur termudah dan paling menguntungkan dalam jangka pendek, pada akhirnya akan menjadi pendekatan yang paling memuaskan, dan akan memainkan peran penting. dalam memanfaatkan stabilitas dan kemakmuran regional di masa depan.

 

Ilmu Pengetahuan Alam di balik Pemanasan Global

Perubahan iklim mengacu pada perubahan pola iklim global atau regional, yang dipicu oleh planet yang memanas, yang dapat dikaitkan dengan peningkatan level karbon dioksida atmosfer. Seperti yang dijelaskan oleh Al Gore dalam bukunya, An Inconvenient Sequel: Truth to the Power, matahari memancarkan energi dalam bentuk cahaya, yang diserap bumi, mau tidak mau menghangatkannya. Sebagian energi panas ini diubah menjadi radiasi infra merah yang dipantulkan kembali ke angkasa. Selama bertahun-tahun, proses ini telah dikendalikan oleh lapisan alami gas rumah kaca, yang memerangkap sebagian panas di dalam atmosfer, untuk menjaga bumi pada suhu ideal untuk mendukung kehidupan. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, ketebalan lapisan gas rumah kaca yang dulu alami ini telah meningkat, terperangkap dalam panas, dan dengan demikian menghangatkan planet ini. Transformasi ini terutama disebabkan oleh pembakaran bahan bakar fosil, yang menyediakan sebagian besar energi untuk transportasi, penggunaan listrik, dan berbagai kegiatan industri.

 

Perubahan Iklim dan ASEAN

Sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa penduduk ASEAN akan sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim karena sejumlah alasan. Pertama, dari perspektif geografis, sebagian besar populasi di wilayah ini berada di wilayah pesisir. Misalnya, di Indonesia, 75 kota besar, dan 80 persen industri kabupaten, terletak di daerah pesisir. Naiknya permukaan laut, selain potensi banjir yang meningkat, hanyalah beberapa dari kerusakan yang diakibatkan oleh iklim yang diperkirakan akan berdampak pada daerah-daerah ini. Banjir, angin topan, topan, dan bencana terkait cuaca ekstrem lainnya, juga cenderung merusak wilayah ini dengan kecepatan yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Namun, dampak perubahan iklim tidak hanya terbatas pada wilayah pesisir di ASEAN. Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) telah mengakui sejumlah risiko yang diciptakan oleh pemanasan global, beberapa di antaranya akan menantang ketahanan pangan di kawasan tersebut. Penelitian menunjukkan bahwa planet yang lebih hangat kemungkinan akan menyebabkan penurunan hasil panen, karena peningkatan pemupukan CO2, di samping variabilitas curah hujan yang lebih tinggi, yang mengarah pada banjir dan kekeringan. Sebagai contoh, sebuah penelitian pada tahun 2005 yang diterbitkan dalam Jurnal Nutrisi Klinis Asia Pasifik, menyarankan bahwa kenaikan suhu 2 derajat yang disebabkan oleh pemanasan global dapat menurunkan hasil padi saat ini di wilayah tersebut sebesar 17 persen. Kehancuran seperti itu kemungkinan akan berdampak pada hubungan internasional di kawasan ini, melalui katalis migrasi, dan menciptakan masalah yang berkaitan dengan ketahanan pangan. Ini sangat jelas terlihat di Asia Tenggara, di mana tingkat kemiskinan yang tinggi membuat adaptasi dan respons menjadi lebih sulit.

Sementara dampak pasti dari perubahan iklim tidak diketahui, sekarang ada sedikit keraguan bahwa akan ada perubahan, dan bahwa sifat tak terduga dari perubahan ini, adalah pusat kerugiannya. Pertanyaannya kemudian beralih ke apa yang bisa dilakukan untuk mengatasi perubahan iklim.

Teori permainan terkenal, ‘Dilema Tahanan’, telah dikatakan merangkum dikotomi dalam strategi mitigasi perubahan iklim – konflik independen, tetapi kebutuhan keseluruhan, untuk kolaborasi. Dalam dunia yang semakin kapitalis, di mana banyak penekanan ditempatkan pada pertumbuhan ekonomi, ada insentif dan tekanan besar bagi negara-negara untuk meningkatkan pertumbuhan dalam jangka pendek. Sementara pertumbuhan ekonomi sering dipandang menguntungkan karena suatu alasan – hal itu dapat membantu mengangkat orang keluar dari kemiskinan, dan meningkatkan standar hidup, pertumbuhan yang tidak terkendali dan tidak diatur biasanya ditambah dengan tingkat pengusiran CO2 yang lebih tinggi, di samping peningkatan polusi, keduanya merugikan lingkungan, dan pada akhirnya, menyebabkan pemanasan planet ini.

Dalam jangka pendek, negara-negara yang membelot yang gagal mengurangi emisi secara signifikan, mungkin dalam upaya mencapai tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi, kemungkinan akan menerima keunggulan kompetitif atas negara-negara yang tertahan dalam model pertumbuhan mereka. Namun, jika semua negara memutuskan untuk membelot dan melakukan kegiatan ekonomi yang tidak diatur (yang terkait dengan peningkatan produksi gas rumah kaca) dampaknya mungkin akan menghancurkan – dampak perubahan iklim yang muncul lebih cepat, dan dalam bentuk yang lebih parah.

Dalam jangka panjang, skenario kasus terbaik untuk semua negara adalah berkomitmen untuk mitigasi iklim dan berkolaborasi bersama. Sementara penelitian menunjukkan bahwa banyak kerusakan iklim sudah terkunci, kerja sama dan pengurangan emisi tentu akan mengurangi dampak ini. Konsekuensinya, meskipun beberapa negara di kawasan ini bisa dibilang lebih rentan terhadap dampak perubahan iklim, adalah demi kepentingan terbaik dari wilayah tetangga bahwa mitranya stabil. Sebagian besar wacana akademik menggambarkan dampak krisis kemanusiaan, migrasi massal, dan ketahanan pangan yang dapat merusak perdamaian di suatu wilayah. Ini tidak diragukan lagi diperburuk dalam lingkungan yang semakin mengglobal.

Sementara pada tingkat yang mendasar, model dilema narapidana nampaknya berlaku untuk gagasan mitigasi perubahan iklim, akan lebih mudah untuk mengurangi masalah ilmiah, sosial, politik dan ekonomi yang sangat kompleks menjadi model teori permainan. Namun, ada nilai untuk kembali ke dasar. Pada akhirnya, hanya melalui kerjasama dan kolaborasi lah strategi produktif yang menargetkan perubahan iklim dapat dirumuskan.

Mengingat hal ini, menarik untuk mempertimbangkan peran ASEAN dalam kebijakan mitigasi perubahan iklim, terutama sebagai wilayah yang akan menanggung sebagian besar beban perubahan iklim. Sejak KTT Singapura tahun 2007, ASEAN telah mendaftarkan perubahan iklim sebagai isu prioritas. Seperti yang ada saat ini, semua negara anggota ASEAN telah menandatangani perjanjian Paris dan meratifikasi Protokol Kyoto – kerangka kerja global penting dalam cara mitigasi iklim. Ada juga sejumlah inisiatif khusus ASEAN, termasuk pembentukan Prakarsa Perubahan Iklim ASEAN (ACCI) dan Kelompok Kerja ASEAN tentang Perubahan Iklim (AWGCC), di samping Respon Bersama terhadap Iklim (AAPJRC) pada 2012. Namun , seperti yang dilaporkan oleh Institut Hubungan Internasional Norwegia dan Institut Studi Internasional dan Strategis Myanmar, banyak negara ASEAN telah mengambil kursi belakang dalam negosiasi perubahan iklim yang berpengaruh, membiarkan rekan-rekan mereka di Eropa memimpin. Lebih jauh, kerangka kerja iklim regional, dengan tujuan khusus, dan mekanisme akuntabilitas yang kuat, belum ditetapkan.

Laporan ini menyarankan beberapa alasan mengapa ini bisa terjadi. Yang paling meyakinkan adalah anggapan bahwa kepatuhan yang ketat terhadap ‘cara ASEAN’ mempromosikan kedaulatan nasional, dan prinsip-prinsip non-campur tangan, yang pada awalnya, mungkin tampak bertentangan dengan agenda regional yang kuat tentang mitigasi perubahan iklim. Akibatnya, dikatakan bahwa sekretariat ASEAN sedang menunggu negara-bangsa untuk memimpin dan menentukan kemampuan dan tujuan mereka sendiri. Namun, seperti diakui dalam laporan, perjanjian Paris dan protokol Kyoto masing-masing memasukkan mekanisme di mana kontribusi yang ditentukan secara nasional dihargai. Strategi mitigasi regional yang menghormati elemen-elemen ini, tidak akan mengganggu cara ASEAN. Laporan ini menyarankan beberapa cara praktis di mana ASEAN dapat bertindak atas perubahan iklim untuk mencapai hasil yang lebih baik dan meningkatkan kolaborasi regional, sambil tetap setia pada nilai-nilai inti organisasi. Strategi-strategi semacam itu tampaknya masuk akal, tetapi tidak akan tercapai tanpa pembangunan kapasitas dan peningkatan pendanaan – yang inturn hanya dapat dicapai melalui komitmen dan minat yang tulus dalam mitigasi iklim, dilaksanakan dan disuarakan oleh semua mitra di kawasan.

Secara keseluruhan, ASEAN saat ini duduk di persimpangan jalan, disajikan dengan berbagai pilihan dalam hal respons perubahan iklim. Jalan menuju kolaborasi lebih lanjut dengan fokus tulus pada mitigasi perubahan iklim tidak akan tanpa benjolan, tetapi tampaknya menawarkan hadiah terbesar di akhir perjalanan. Mengambil sikap yang kuat pada mitigasi perubahan iklim tidak hanya akan menetapkan panggung bagi ASEAN untuk menegaskan posisi dan pengaruhnya secara global, tetapi akan meminimalkan dampak dari masalah yang, apakah adil atau tidak, akan memiliki tekanan terbesar pada ekonomi, politik, dan sistem sosial negara-negara bangsanya sendiri.

Membandingkan masalah yang kompleks seperti perubahan iklim, dengan model teori permainan sederhana mungkin tampak sia-sia. Tetapi pelajaran menyeluruh dari ‘dilema tahanan’ beresonansi dengan posisi ASEAN saat ini dalam menangani perubahan iklim. Pada akhirnya, manfaat terbesar bagi kawasan hanya akan dicapai melalui kerja sama.

 

REFERENSI:

Mayer, J., Ryan, R., Aspinall, E. (2011). Climate Change and Indonesia. Inside Indonesia. 105.  http://www.insideindonesia.org/climate-change-and-indonesia

Anderson, P. (2011). Holding up the Sky. Inside Indonesia. 105.

http://www.insideindonesia.org/holding-up-the-sky

Carmenta, R., Zabala, A., Daeli, W, Phelps, J. 2017. Perceptions across scales of governance and the Indonesian peatland fires. Global Environmental Change.  (46). 50-59. 10.1016/j.gloenvcha.2017.08.001.

Swindon, J. 2018. How to have meaningful conversations about global environmental change: An example from Indonesia. Yale Environment Review.https://environment-review.yale.edu/how-have-meaningful-conversations-about-global-environmental-change-example-indonesia

Elliot, L. (2012). Climate Change, Migration and Human Security in Southeast Asia. S Rajaratnam School of International Studies. 1-74. https://www.rsis.edu.sg/wp-content/uploads/2000/01/Monograph24.pdf

Overland, I. (2017). Impacts of Climate Change on ASEAN International Affairs: Risks and Opportunity Multiplier. Norwegian Institute of International Affairs and Myanmar Institute of International and Strategic Studies. 1-28. https://www.researchgate.net/publication/320622312_Impact_of_Climate_Change_on_ASEAN_International_Affairs_Risk_and_Opportunity_Multiplier

Letchumanan, R. (2010). Climate change: is Southeast Asia up to the challenge? S there an ASEAN policy on climate change? IDEAS Reports- London School of Economics and Political Science. SR004. 50-62. http://eprints.lse.ac.uk/43572/1/Climate%20change_is%20there%20an%20ASEAN%20policy(lsero).pdf

Yi Yuan Su, Yi-Hao Weng, Ya-Wen Chiu. (2009). Climate Change and Food Security in East Asia. Asia Pacific Journal of Clinical Nutrition, 18(4), 674-678.

 

 

Artikel ini ditulis oleh Miranda Traeger (dalam Bahasa Inggris), seorang mahasiswa sarjana Sarjana Hukum dan Seni di University of Adelaide, saat magang di Pusat Studi Sosial Asia Tenggara (CESASS).

Indonesia Menolak Stres: Mengungkap Tingginya Angka Indeks Kebahagiaan Indonesia dari Perspektif Budaya

Indonesia merupakan satu dari sekian banyak negara berkembang yang terletak di Asia Tenggara. Dengan tingkat kesehatan, pendidikan, dan pendapatan yang belum dapat dikatakan cukup baik, masyarakat Indonesia tidak tampak terpuruk menghadapi kehidupan sebagai warga negara berkembang dengan banyak polemik yang kerap kali muncul dari berbagai aspek kehidupan. Bahkan pada tahun 2014, indeks kebahagiaan Indonesia naik dengan selisih angka persentase yang cukup besar untuk kurun waktu satu tahun.

Dilansir dari situs Badan Pusat Statistik[1], peningkatan indeks kebahagiaan yang cukup signifikan tersebut adalah 3,17 persen, di mana pada tahun 2013 indeks kebahagiaan Indonesia adalah 65,11 dan pada tahun 2014 indeks kebahagiaan Indonesia naik menjadi 68,28. Berdasarkan situs surat kabar online Dream.co.id[2], tidak disebutkan berapa persen angka kenaikan indeks kebahagiaan negara lain, namun dengan adanya beberapa negara terutama negara maju yang bahkan turun peringkat, angka kenaikan yang dicetak Indonesia dapat dikatakan cukup tinggi.

Wijayanti dan Nurwianti (2010: 116) mengatakan bahwa kebahagiaan orang Indonesia lebih tinggi dibandingkan negara Eropa, seperti Spanyol, Italia, dan Jerman. Indonesia menempati urutan ke-40 dari 97 negara dalam tingkat kebahagiaan penduduknya. Selain itu, berdasarkan peta kebahagiaan dunia yang dikemukakan oleh seorang pakar psikologi dari Universitas Leicester Inggris, tingkat kebahagiaan Indonesia berada di urutan 64 dari 178 negara di dunia. Nation SWLS Score dari penelitian tersebut memperlihatkan peringkat Indonesia berada di atas negara-negara Asia lainnya, seperti Taiwan (68), Cina (82), dan Jepang (90) (Sutanto (2006) dalam Wijayanti dan Nurwianti (2010: 116)).

Indeks kebahagiaan menurut situs Badan Pusat Statistik dihitung berdasarkan 10 aspek kehidupan yang esensial, antara lain adalah 1) kesehatan, 2) pendidikan, 3) pekerjaan, 4) pendapatan rumah tangga, 5) keharmonisan keluarga, 6) ketersediaan waktu luang, 7) hubungan sosial, 8) kondisi rumah dan aset, 9) keadaan lingkungan, dan 10) kondisi keamanan. Salah satu faktor yang menjadi tolok ukur indeks kebahagiaan adalah kesehatan, terutama kesehatan jiwa. Indeks kebahagiaan yang tinggi menunjukkan bahwa masyarakat dalam suatu negara tidak banyak mengalami gangguan jiwa di mana salah satu penyebab gangguan jiwa adalah stres. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat stres yang dialami masyarakat Indonesia cukup rendah.

Stres merupakan suatu keadaan yang bersifat internal, yang dapat disebabkan oleh tuntutan fisik, lingkungan, dan situasi sosial yang berpotensi merusak dan tidak terkontrol (Sriati, 2007). Stres sendiri bisa berasal dari individu, lingkungan keluarga, lingkungan tempat tinggal dan dapat pula berasal dari tempat-tempat di mana individu banyak menghabiskan waktunya seperti kantor dan tempat pendidikan (Pedak, 2009).

Jika keadaan stres pada seseorang dibiarkan begitu saja, tanpa ada upaya penanganan atau upaya pengobatan maka sudah dipastikan akan banyak masyarakat di dunia ini yang akan mengalami gangguan kejiwaan (Tristiadi, 2007: 37). Bahkan di jaman global ini stres cenderung lebih banyak menyerang masyarakat dengan tingkat perekonomian tinggi daripada masyarakat dengan tingkat perekonomian rendah, meskipun demikian terdapat perbedaan daripada tingkatan-tingkatan stres yang dialami oleh masing-masing golongan masyarakat tersebut (Kisker, 1997).

Dong Yul Lee (1999: 352) berpendapat bahwa bukti empiris menunjukkan bahwa korelasi antara kesejahteraan dan kebahagiaan adalah budaya. Compton (2005) dalam Wijayanti dan Nurwianti (2010: 118) mengatakan bahwa individu memiliki cara yang berbeda-beda dalam mencari kebahagiaan sesuai dengan budayanya. Oishi dan Diener (2001) dalam Wijayanti dan Nurwianti (2010: 118) mengemukakan bahwa hal yang membuat kebahagiaan pada budaya individualis dan kolektivis sama sekali berbeda.

Orang-orang dengan budaya individualis akan bahagia hidupnya bila harga diri mereka meningkat dan memiliki kebebasan dalam melakukan sesuatu. Orang-orang pada budaya kolektivis lebih mementingkan hubungan yang harmonis dan dapat memenuhi keinginan orang lain. Salah satu hal yang membuat orang bahagia ialah ketika bisa menjalankan hidup sesuai dengan nilai dan norma budayanya (Wijayanti dan Nurwianti, 2010: 118).

Kekuatan karakter yang menyumbang terhadap kebahagiaan antar kelompok masyarakat yang satu dengan kelompok masyarakat yang lain berbeda-beda. Survei melalui internet yang dilakukan oleh Park, Peterson, dan Seligman (2004) terhadap 5,299 orang dewasa dari berbagai ras dan etnis membuktikan adanya asosiasi antara kebahagiaan dan kekuatan karakter harapan, semangat, berterima kasih, kasih, dan keingintahuan. Selain itu, di negara Swiss ditemukan bahwa kekuatan karakter yang paling menyumbang terhadap kebahagiaan ialah kelanggengan, sementara di Amerika adalah berterima kasih (Beerman (2007) dalam Wijayanti dan Nurwianti (2010: 120)).

Diener and Diener (1995) dalam Dong Yul Lee (1999: 352) memaparkan bahwa korelasi antara harga diri dan kepuasan hidup jauh lebih kuat pada budaya individualistik daripada budaya kolektif. Setiap budaya harus dipahami dari bingkai acuannya sendiri, termasuk konteks ekologi, sejarah, filosofi, dan agama yang ada (Kim et al, 2006). Budaya memiliki sumbangan tersendiri terhadap pembentukan konsep psikologis individu, seperti halnya konsep kebahagiaan (Anggoro dan Widhiarso, 2010: 178).

Uchida, dkk. (2004) dalam Anggoro dan Widhiarso (2010: 184) dalam penelitiannya mengenai konstruksi kultural kebahagiaan, menemukan bahwa terdapat perbedaan makna kebahagiaan dikonteks budaya Barat (individualistik) dan Timur (kolektivistik). Masalah hubungan sosial dan tuntutan lingkungan untuk meningkatkan pencapaian diri serta ketidaksanggupan pribadi dalam memenuhi tuntutan tersebut dapat menimbulkan stres dalam diri seseorang (Mastura, 2007).

Wijayanti dan Nurwianti (2010: 118) berpendapat bahwa prinsip hidup orang Jawa yang banyak pengaruhnya terhadap ketentraman hati ialah ikhlas (nrima). Dengan prinsip ini, orang Jawa merasa puas dengan nasibnya. Apapun yang sudah terpegang di tangannya dikerjakan dengan senang hati. Nrima berarti tidak menginginkan milik orang lain serta tidak iri hati terhadap kebahagiaan orang lain. Mereka percaya bahwa hidup manusia di dunia ini diatur oleh Yang Maha Kuasa sedemikian rupa, sehingga tidak perlu bekerja keras untuk mendapatkan sesuatu. (Herusatoto, 2008).

Terdapat hubungan antara kekuatan karakter dan kebahagiaan pada suku Jawa dan kekuatan karakter memberi sumbangan yang bermakna (signifikan) terhadap kebahagiaan suku Jawa. Tingkat kebahagiaan suku Jawa berada di atas rata-rata. Lima kekuatan karakter utama pada suku Jawa ialah berterima kasih, kebaikan, kependudukan, keadilan, dan integritas, dan kekuatan karakter yang memberikan sumbangan bermakna terhadap kebahagiaan pada suku Jawa adalah kegigihan, kreativitas, persfektif, keadilan, vitalitas, keingin-tahuan, dan pengampunan. (Wijayanti dan Nurwianti, 2010: 120)

Dengan demikian, meskipun Indonesia merupakan negara berkembang dengan berbagai aspek kehidupannya yang secara kuantitatif masih kurang, dengan berbagai nilai dan norma yang dianut dengan taat oleh seluruh masyarakatnya dan budaya timur yang masih dipegang teguh, masyarakat Indonesia mendapatkan pencerahan dan kedamaian tersendiri dalam menjalani hidupnya, tertutama dalam menghadapi stres yang berakhir pada gangguan jiwa seperti yang banyak terjadi di negara maju dengan ketatnya persaingan hidup dan tingkat individual masyaraktnya yang tinggi. Kebahagiaan sendiri tidak dapat dihitung hanya dengan tolok ukur tingkat ekonomi suatu negara melainkan dengan keadaan sosial budaya masyarakatnya.

 

DAFTAR PUSTAKA

Anggoro, Wahyu Jati dan Wahyu Widhiarso. (2010). “Konstruksi dan Identifikasi Properti Psikometris Instrumen Pengukuran Kebahagiaan Berbasis Pendekatan Indigenous Psychology: Studi Multitrait‐Multimethod”. Jurnal Psikologi, Volume 37, No. 2, Desember 2010: 176 – 188.

Dong Yul Lee, et. al. (1999). “What Makes You Happy?: A Comparison of Self-Reported Criteria of Happiness between Two Cultures”. Social Indicators Research, Vol. 50, No. 3 (Jun 2000), pp. 351-362.

Fordyce, Michael W. (Aug 1988). “A Review of Research on the Happiness Measures: A Sixty Second Index of Happiness and Mental Health”. Social Indicators Research, Vol. 20, No. 4, pp. 355-381.

Kisker, George W. 1997. The Disorganized Personality. New York City: McGraw Hill Book Company.

Pedak, Mustamir. 2009. Metode Supernol Menaklukkan Stres. Jakarta: Hikmah Publishing House.

Sriati, Aat. 2007. Tinjauan tentang Stres. Jatinangor: Fakultas Ilmu Keperawatan UNPAD.

Tristiadi, Ardi, dkk. 2007. Psikologi Klinis. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Wijayanti, Herlani dan Fivi Nurwianti. (Juni 2010). “Kekuatan Karakter dan Kebahagiaan Pada Suku Jawa”. Jurnal Psikologi, Volume 3, No. 2.

[1] http://www.bps.go.id/brs/view/id/1117 (diakses pada tanggal 20 Desember 2015)

[2] http://www.dream.co.id/dinar/indeks-kebahagiaan-indonesia-naik-paling-tinggi-di-dunia-151120q.html(diakses pada tanggal 20 Desember 2015)

 

 

Artikel ini ditulis oleh Nitya Swastika, alumnus Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, UGM.

Kekacauan di Tengah Harapan: Melihat Daerah Frontier di Asia Tenggara

“Sebagai kawasan dengan teritori yang luas, relasi antar daerah pinggiran dan pusat kekuasaan di ASEAN sering diwarnai dengan berbagai stereotip negatif akibat adanya perbedayaan kebudayaan. Herannya di tengah stereotip negatif yang berkembang, daerah terluar atau sering disebut sebagai frontier masih terus menerus dibangun tanpa henti demi berbagai harapan di masa depan yang sayangnya kerap menimbulkan permasalahan sosial dan lingkungan”

Istilah frontier di jagad ilmu sosial awalnya digunakan oleh Jackson Turner untuk menjelaskan mentalitas Amerika. Istilah tersebut digunakan untuk menjelaskan kebiasaan masyarakat koloni Amerika Serikat dalam menjelajah dan membangun peradaban di wilayah terluar yang ditemukan di benua baru. Kebiasaan itu muncul disebabkan adanya pandangan bahwa wilayah terluar merupakan daerah yang penuh dengan sumber daya namun masih terbelakang. Oleh karenanya daerah tersebut perlu dieksploitasi secara berkelanjutan guna dimajukan sehingga bisa menghasilkan keuntungan bagi manusia.

Menariknya, perkembangan jaman membuat istilah frontier tidak lagi menjadi monopoli Amerika Serikat. Setidaknya sejauh pengetahuan saya sudah ada banyak antropolog yang menyatakan bahwa Asia Tenggara merupakan wilayah yang memiliki daerah frontier berlimpah. Nama-nama antropolog seperti Bernad Sellato, Tania Li, De Konick, serta tak lupa Pujo Semedi hanyalah sebagian dari banyaknya antropolog lain yang pernah meneliti wilayah frontier di Asia Tenggara.

Dalam konteks antropologi istilah frontier sering dimaknai sebagai relasi antara pusat dan daerah terluar. Dengan kata lain, istilah frontier merupakan upaya dari para akademisi untuk melihat relasi antara masyarakat di daerah pusat kekuasaan terhadap masyarakat di daerah terluar-dan juga sebaliknya. Sebagaimana kita tahu, negara-negara yang terdapat di wilayah Asia Tenggara memiliki teritori yang tidak kecil sehingga terdapat perbedaan kebudayaan yang cukup mencolok diantara wilayah pusat kekuasaan dan daerah terluar. Oleh karena itu, relasi antara wilayah pusat kekuasaan dan daerah terluar seringkali diwarnai dengan berbagai stereotip negatif. Perbedaan kebudayaan yang mencolok membuat masyarakat serta pemerintah yang bercokol di wilayah pusat kekuasaan kerap beranggapan bahwa kebudayaan yang mereka miliki lebih superior.

Dengan kekuasaan dan superioritas yang dimilikinya, masyarakat di wilayah pusat kekuasaan sering memandang daerah terluar sebagai ruang eksotis dengan sumber daya berlimpah namun masih tertinggal, alhasil mereka merasa perlu memajukan wilayah tersebut. Dengan pandangan macam itu, banyak daerah terluar di wilayah Asia Tenggara seperti wilayah pedalaman Kalimantan di Indonesia atau Pulau Mindanao di Filipina yang hasil alamnya dieksploitasi oleh pemerintah melalui perusahaan nasional ataupun multinasional demi ‘kemajuan masyarakat lokal’ (Li,2014; De Konick & Derry dalam Fold dan Hirsch,2007). Akan tetapi, dibalik motif memajukan masyarakat lokal tersembunyi motif yang lebih besar yakni akumulasi keuntungan ekonomi bagi negara. Motif mendapatakan keuntungan sebesar-besarnya membuat negara cenderung mengenalkan komoditas baru yang cocok dikembangkan di wilayah frontier dengan syarat komoditas tersebut memiliki permintaan yang tinggi di pasar global. Dengan demikian, perubahan demi perubahan di daerah frontier dapat dengan mudahnya kita temui seiring dinamisnya permintaan pasar. Lebih dari itu, demi mempercepat pertumbuhan ekonomi pemerintah merasa perlu mengirim tenaga kerja ahli bergaji rendah yang mudah didapat di daerah pusat kekuasaan. Oleh karenanya, tak mengherankan jika di daerah frontier terdapat banyak pemukiman transmigran yang dibangun oleh pemerintah[1].

Para transmigran dan aktor-aktor lain yang datang dari pusat ke daerah frontier tentu tak datang dengan kepala kosong. Kedatangan mereka juga diringi dengan imajinasi tentang kondisi lingkungan baru mereka di masa lampau sekaligus harapan akan masa depan. Dengan demikian daerah frontier merupakan ruang nostalgia sekaligus harapan akan masa depan. Dengan pandangan macam itu daerah frontier akan dieksplotasi secara terus menerus tanpa mengenal waktu. Hal tersebut disebabkan hadirnya imajinasi bahwa daerah frontiermerupakan wilayah yang dulunya eksotis namun terbelakang sehingga sumber daya yang dimilikinya harus dieksploitasi demi memiliki masa depan cemerlang. Term eksploitasi memang masih problematik, sebab sebelum kedatangan masyarakat luar, masyarakat setempat juga sudah memanfaatkan hasil alam untuk kepentingan mereka. Namun demikian, relasi kuasa antara daerah pusat kekuasaan dan wilayah frontiermembuat saya memaknai ekploitasi sebagai pengolahan sumber daya–terutama alam–dengan cara modern melalui pembangunan berorientasi ekonomi yang diiringi dengan terciptanya nilai kebudayaan dan keagamaan baru layaknya nilai-nilai di daerah pusat kekuasaan.

Imajinasi tersebut bukannya tidak bermasalah. Sebab, dengan bekal imajinasi tersebut pemerintah sering berpandangan bahwa satu-satunya cara untuk memajukan daerah frontier ialah dengan cara mengkomodifikasi potensi alamnya yang berlimpah. Oleh karena itu, tak mengherankan jika Anna Tsing (2003) berpendapat bahwa di daerah frontier alam berubah menjadi sumber daya alam. Masalahnya, eksploitasi terhadap alam kerap menghadirkan konflik antara negara dengan masyarakat lokal. Hal itu dikarenakan di daerah frontierbatas kepemilikan privat dan umum untuk hasil alam tidaklah jelas karena berlakunya dua jenis hukum yang dipercaya yaitu adat serta hukum positif. Oleh karena itu, kekacauan sosial bukanlah hal yang ganjil terjadi di tengah masyarakat frontier

Selain itu misi agama atau dakwah yang banyak hadir di daerah frontier demi ‘memperadabkan’ masyarakat lokal juga sering menciptakan pertentangan nilai. Tak jarang pertentangan nilai akibat datangnya nilai-nilai baru dari luar menciptakan konflik internal diantara masyarakat lokal yang menerima dan menolak nilai-nilai tersebut.

Permasalahan tak berhenti pada retaknya relasi antar manusia. Maraknya homogenisasi hutan tropis yang dilakukan oleh pemerintah di daerah frontier seperti Mindanao dan Kalimantan membuat banyak kaum enviromentalis melancarkan kritik dengan keras. Dalam pandangan mereka homogenisasi hutan tropis merupakan salah satu penyebab terjadinya pemanasan global. Saking seriusnya ancaman homogenisasi hutan tropis di daerah frontier bagi pemanasan global, Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam pertemuan tingkat tinggi di Bali pada tahun 2007 bersepakat bahwa negara-negara penghasil emisi tertinggi di dunia harus memberi insentif kepada negara-negara yang memiliki banyak hutan tropis (Fawdi, 2017). Harapannya dengan insentif yang diberikan negara-negara yang memiliki hutan tropis berlimpah dapat melakukan konservasi hutan tropis yang banyak ditemukan di daerah frontier. Dengan kata lain, pembangunan daerah frontier yang memiliki banyak hutan tropis diharapkan tak lagi bercorak antroposentris melalui homogenisasi produk alam melainkan dengan tetap merawat heterogenitas yang ada tanpa kehilangan potensi ekonomi di dalamnya.

Namun demikian, mentalitas frontier–atau disebut juga frontiersm–tak melulu berakibat buruk. Selain mampu meningkatkan Produk Domestik Bruto (PDB) negara, pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah ataupun korporasi di daerah frontier mampu membuat masyarakat lokal keluar dari stereotip terbelakang yang selama ini menghalangi mereka saat ingin mendapatkan akses di perkotaan.

 

DAFTAR PUSTAKA

Sudibyo, Dian Lintang. 2013. Konon Kita Saudara: Ketegangan Etnis di Perkebunan Kelapa Sawit Kalimanatan Barat.Yogyakarta: Skripsi Universitas Gadjah Mada

Fawdi, Ilhami Maulana. 2017. Melihat Proyek REDD+ dan Gerakan Tradisionalisme Masyarakat Adat, sebuah artikel dalam Jurnal Ranah: Fenomena Sosial Dalam Perspektif Antropologi. Yogyakarta: Keluarga Mahasiswa Antropologi UGM

Fold, Neils & Philip Hirsch. 2009. Re-ThinkingFrontier in Southeast Asia: Editorial di The Geographical Journal, Vol. 175, No. 2, Re-thinking Frontiers in Southeast Asia(Jun., 2009), pp. 95-97

Tsing, Anna Lowenhaupt. 2003. “Natural Resources and Capitalist Frontiers” in Economic and Political Weekly, vo. 38, No, 48 (Nov.29 – Dec 5, 2003), pp. 5100-5106.

Wensted, Frederick & Paul D Simkins. 1965. The Journal of Asian Studies, Vol. 25, No. 1 (Nov., 1965), pp. 83-103

catatan kaki:

[1] Sudibyo (2013); Wernstedt & Simkins (1965)

 

 

Artikel ini ditulis oleh Venda Pratama, alumni jurusan Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, UGM dan staff magang di Pusat Studi Sosial Asia Tenggara, UGM.