Unintended Pregnancy dan Masa Depan Anak

Kondisi kehamilan serta masa anak-anak merupakan masa-masa kritis dalam tahap perkembangan individu. Sayangnya, tak jarang kita temui perlakuan tidak pantas yang sejatinya berdampak sangat besar terhadap perkembangan seorang individu. Dorongan untuk melakukan perbuatan tertentu biasanya diawali dengan adanya rasa, niat ataupun perencanaan. Dalam kaitannya dengan kondisi kehamilan dan perkembangan anak, bisa kita lihat bahwasanya niatan atau rencana kehamilan itu memegang peranan penting yang menentukan perlakuan yang akan diberikan pada sang anak nantinya, hal ini berdampak pada kondisi anak tersebut dimasa yang akan datang.

Adanya penganiayaan terhadap seorang anak tidak lepas dari apakah kehamilan yang dijalani telah direncanakan dengan matang atau tidak. Kehamilan yang tidak diinginkan memicu reaksi ketidaksiapan bagi orang tua khususnya calon ibu, baik secara fisik ataupun psikis. Ketidaksiapan inilah yang mendasari adanya perilaku-perilaku yang keras terhadap anak serta kecenderungan untuk mengabaikan anak. Dampak penganiayaan terhadap anak sangat berpengaruh terhadap kondisi psikologis anak, menurunkan interaksi sosial, mengalami keterlambatan sosial, dan kurangnya empati (Lakhdira, et al., 2019) anak cenderung memiliki gangguan kepribadian, gangguan kecemasan, disorder, memiliki kepercayaan diri serta tingkat kepuasan hidup yang rendah (Lakhdira, et al., 2019).

Kehamilan pada remaja atau pada usia muda sering digolongkan sebagai bentuk kehamilan yang tidak diinginkan (unintended pregnancy). Kehamilan tidak diinginkan sendiri terbagi atas dua hal yakni, kehamilan yang terjadi terlalu cepat atau terlalu lama dari perencanaan dan kehamilan bagi keluarga yang sama sekali tidak merencanakan untuk memiliki anak (Guterman, 2015), dalam banyak studi kehamilan ini didefinisikam meliputi kelahiran tidak diinginkan atau tidak sesuai dengan waktu perencanaan, pemaksaan aborsi, serta keguguran (Sigh, et al., 2010). Kehamilan tidak diinginkan membawa konsekuensi serius bagi perempuan dan keluarganya, berkaitan dengan kondisi kesehatan, sosial dan ekonomi (Sigh, et al., 2010). Dalam banyak kasus, kehamilan tak diinginkan berakhir dengan aborsi, namun tak jarang para calon ibu melakukan penolakan terhadap aborsi, padahal hal ini justru dapat menimbulkan efek negatif terhadap mental dan kondisi sosioekonomi seseorang, karena anak-anak yang lahir dari ibu yang menginginkan aborsi mayoritas berada dibawah garis kemiskinan dan berkecenderungan memiliki anak dengan tingkat perkembangan di bawah normal atau rata-rata (Foster, et al., 2019). Kasus-kasus kehamilan tak diinginkan pada remaja biasanya berkaitan dengan kehamilan diluar nikah, yang menimbulkan konsekuensi berupa paksaan untuk keluar dari sekolah, mendapat penolakan dari pihak keluarga atau komunitas tertentu, bahkan dalam masyarakat yang masih sangat konsevatif, perempuan dipaksa untuk menikah ataupun mendapat penganiayaan secara fisik (Sigh, et al., 2010). Berdasarkan catatan UNICEF, 1 dari 9 anak perempuan di Indonesia menikah sebelum berusia 18 tahun, dan 0,5% anak perempuan menikah sebelum berusia 15 tahun. Kesimpulan tersebut berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) 2017 yang mencatat bahwa 14,18% perempuan yang telah menikah di Indonesia berusia di bawah 16 tahun, dengan persentase tertinggi di Provinsi Kalimantan Selatan.

Faktor yang menyebabkan kehamilan tak diinginkan antara lain  stigma terhadap kehamilan, budaya, tuntutan persaingan waktu perempuan (bekerja atau sekolah), upaya penyempurnaan ukuran keluarga, ketidaksepakatan antara pasangan mengenai bentuk dan ukuran keluarga, kurangnya dukungan dari salah satu pihak pasangan, kurangnya akses terhadap jasa perencanaan keluarga, masalah kontrasepsi, khususnya berbicara mengenai metode yang akan ditempuh dan ketersediaan, hingga banyak yang menghindari kontrasepsi karena stigma memberikan efek samping tertentu, rendahnya pemahaman mengenai resiko-resiko kehamilan, serta munculnya keadaan-keadaan yang tak diharapkan seperti sakit, kehilangan pekerjaan dan perceraian (Sigh, et al., 2010), rendahnya tingkat edukasi, hidup di keluarga atau lingkungan keluarga yang tidak harmonis dan dilampiaskan pada konsumsi alkohol, obat-obatan terlarang serta melakukan aktifitas seksual pertama lebih muda sehingga menimbulkan aktivitas seksual lebih sering (Panova, et al., 2016). Perilaku orang tua secara signifikan menciptakan situasi tertentu yang mempengaruhi proses kehamilan hingga kelahiran anak. (Guterman, 2015). Perilaku tersebut menurun dari perilaku ibu sebelumnya,  yang akan menghasilkan pola perilaku yang lebih beresiko (Panova, et al., 2016). Dalam menghadapi kehamilan tak diinginkan, seseorang sudah seharusnya mendapat konseling dan dukungan, dukungan medis dan managemen pembedahan untuk aborsi sebagai pilihan alternatif (Burton, 2018) Dukungan dan keseriusan pasangan berpengaruh pada keinginan untuk memiliki anak, keterlibatan saorang ayah dapat mengurangi resiko adanya kekerasan pada masa kehamilan, hal ini dikarenakan laki-laki dianggap berperan lebih dalam perlindungan dan kontrol terhadap keluarga (Guterman, 2015).

Penganiayaan anak (maltreatment children) merupakan sebuah bentuk perlakuan yang kekerasan serta wujud pengabaian atau penelantaran dari orang tua ataupun pengasuh anak seperti orang tua tiri, pengasuh dan wali anak yang berupa kekerasan seksual, fisik dan mental ( mengancam, merendahkan, mempermalukan, dan menertawakan), serta pengabaian secara fisik yakni dengan tidak terpenuhinya kebutuhan pokok anak seperti makanan, tempat tinggal, pakaian, perlindungan, pelayanan kesehatan, kesempatan terhadap akses pendidikan, dan pengawasan dan pengabaian secara mental yakni dengan tidak mendapatkan dukungan, perhatian, dan rasa sayang. (H.C.G., et al., 2017). Jumlah pelanggaran hak asasi terhadap anak-anak di Indonesia di 33 provinsi dan 202 kabupaten/kota selama lima tahun terakhir berjumlah 21.689.987 kasus. Komnas Anak mencatat pada 2015 terdapat 2.898 kasus kekerasan terhadap anak dengan 59,30% kasus berupa kejahatan seksual. “Survei Kekerasan terhadap Anak Indonesia 2013” dari Kementerian Sosial memperlihatkan prevalensi kekerasan terhadap anak mencapai 17,98 persen (2.603.770 anak).

Dilihat dari pola kecenderunganya, seorang ibu cenderung menunjukkan kekerasan secara mental dan melakukan pengabaian atau penelantaran, sedangkan seorang ayah cenderung melakukan kekerasan secara fisik (Guterman, 2015). Menurut data Komnas Anak, anak-anak Indonesia cenderung mengalami kekerasan emosional dibandingkan fisik, sebanyak 86,65 persen anak laki-laki dan 96,22 persen anak perempuan menyatakan pernah mengalaminya. Beberapa faktor yang mempengaruhi pengaiayaan terhadap anak adalah rendahnya pendapatan (kemiskinan), fungsi serta kualitas orang tua (Font & Berger, 2015), tidak konsistennya dalam disiplin, tinggal dengan orang tua tiri atau wali, ibu muda, kelangkaan makanan, konflik keluarga, pengetahuan yang rendah mengenai kehamilan, hubungan dengan orang tua (Lakhdira, et al., 2019) serta ketidakmampuan seseorang dalam menjalani peran sesuai dengan realita yang seharusnya ia jalankan (Guterman, 2015). Seseorang yang menjadi korban dari penganiayaan anak memiliki kecenderungan untuk berlaku serupa dan beresiko lebih tinggi mengalami kehamilan diusia muda serta melakukan kekerasan terhadap pasangan dan anak, hal ini berkaitan dengan proses transisi menjadi orang tua dan pengetahuan yang sangat terbatas tentang bagaimana mengurus anak (Murphy, et al., 2017), ibu usia muda cenderung memiliki keterbatasan dalam teknik, skill, pengalaman, serta pengetahuan untuk  merawat dan membesarkan anak mereka (Lakhdira, et al., 2019).


Referensi

Badan Pusat Statistik, 2012. Angka Kelahiran Pada Perempuan Umur 15-19 Tahun, s.l.: Badan Pusat Statistik.

Badan Pusat Statistik, 2012. Angka Kelahiran Pada Perempuan Umur 15-19 Tahun Menurut Provinsi, s.l.: Badan Pusat Statistik.

Bruce J. Hillman, M., 2018. Gender Bias. Adona Lane, Wake Forest: Elseiver Inc. on behalf of American College Radiology.

Burton, R., 2018. Criminalised Abortion in UK : UK Medical Students should be Taught How to Manage Unwanted Pregnancy. Liverpool: BMJ.

Chrisine L. Hancock, Deborah R. Carter, 2016. Building Environments that Encourage Positive Behavior : the Preschool Behavior Support Self-Assesment. JSTOR & National Assosiation for the Education at Young Childern (NAEYC), pp. 66-73.

Font, S. A. & Berger, L. M., 2015. Child Maltreatment and Childern’s Developmental Trajectories in Early to Middle Childhood. Child Development, 86(2), pp. 536-556.

Foster, D. G. et al., 2019. Effects of Carrying an Unwanted Pregnancy to Term on Women’s Existing Childern. The Journal of Pediatrics, Volume 205, pp. 183-189.

Friederike Mengel, Jan Sauermann, Ulf Zolitz, 2017. Gender Bias in Teaching Evaluations. Oxford Journals, pp. 1-50.

Gerintya, S., 2017. tirto.id. [Online]
Available at: https://tirto.id/737-persen-anak-indonesia-mengalami-kekerasan-di-rumahnya-sendiri-cAnG
[Diakses 5 April 2019].

Gerintya, S., 2017. tirto.id. [Online]
Available at: https://tirto.id/737-persen-anak-indonesia-mengalami-kekerasan-di-rumahnya-sendiri-cAnG
[Diakses 5 April 2019].

Giovanni Abramo, Ciriaco Andrea D’Angelo, Francesso Rosati, 2016. Gender Bias in Academic Recruitment. Springer, pp. 119-141.

Guterman, K., 2015. Unintended Pregnancy as a Predictor of Child Maltreatment. Child Abuse & Neglect, Volume 48, pp. 160-169.

H.C.G., L. et al., 2017. Parent-Child Agreement on Parent-to-Child Maltreatment. Springer, Volume 32, pp. 207-217.

Handayani, M. S., 2016. tirto.id. [Online]
Available at: https://tirto.id/ragam-kekerasan-anak-8Ms
[Diakses 5 April 2019].

Jessica Sullivan, Corinne Moss-Racusin, Michael Lopez, Katherine Williams, 2018. Backlash Against Gender Stereotype-Violating Preschol Children. PLOS ONE, pp. 1-24.

Karson T.F. Kung, Gu Li, Jean Golding, Melissa Hines, 2018. Preschool Gender-Type Play Behavior at Age 3.5 Years Predicts Psycal Aggression at Age 13 Years. Springer : Arch Sex Behav, pp. 905-914.

Kathy Cabe Trundle, Mandy Mc.Cormick Smith, 2017. A Hearts-on, Hands-on, Minds-on Model for Preschool Science Learning. JSTOR & National Assosiation for the Education of Young Children (NAEYC), pp. 80-86.

Khalika, N. N., 2018. tirto.id. [Online]
Available at: https://tirto.id/bapak-ibu-kandung-di-ranking-teratas-pelaku-kekerasan-pada-anak-cYdp
[Diakses 5 April 2019].

Kirnandita, P., 2017. tirto.id. [Online]
Available at: https://tirto.id/bersenang-senang-berdua-tapi-kb-dianggap-urusan-perempuan-cwMV
[Diakses 5 April 2019].

Kirnandita, P., 2018. tirto.id. [Online]
Available at: https://tirto.id/mengorek-yang-terjadi-di-pernikahan-bawah-umur-zaman-now-cFV9
[Diakses 5 April 2019].

Kristin Shutts, Ben Kenward, Helena Falk, Anna Iveran, Christine Fawcett, 2017. Early Preschool Environments and Gender : Effects of Gender Pendagogy in Sweeden. Elseiver : Journal of Experimental Child Psichology, pp. 1-17.

Lakhdira, M. P. A. et al., 2019. Intergenerational transmission of child maltreatment: Predictors of child emotional maltreatment among 11 to 17 years old children residing in communities of Karachi, Pakistan. Child Abuse & Neglect, Volume 91, pp. 109-115.

Murphy, S., Elklit, A. & Shevlin, M., 2017. Child Maltreatment Typologies and Intimate Partner Violence : Findings from a Danish National Study of Young Adult. Journal of Interpersonal Violence, pp. 1-16.

Panova, O. V., Kulikov, A. M., Berchtold, A. & Suris, J. C., 2016. Factors Associated with Unwanted Pregnancy Among Adolescents in Russia. Pediatric and Adolescent Gynecology, Volume 29, pp. 501-505.

Primastika, W., 2018. tirto.id. [Online]
Available at: https://tirto.id/krisis-agraria-di-indonesia-picu-perkawinan-anak-c5ay
[Diakses 5 April 2019].

Sigh, S., Sedgh, G. & Hussain, R., 2010. Unintended Pregnancy : Worldwide Levels, Trends, and Outcomes. Studies in Family Planning, 41(4), pp. 241-250.

Zhongwei Liang, Chunliang Zhang, Sikun You, Hongguang Deng, 2011. Teaching Examples and Pedagogy Methods of Mechanical Drafting Based on Behaviorism Teaching Theory. Springer-Verlag Berlin Heidelberg, pp. 144-148.


Artikel ini ditulis oleh Putri Berliyanti, mahasiswi Departemen SosioloGi, Universitas Gadjah Mada, saat mengikuti Program Magang di Pusat Studi Sosial Asia Tenggara.

Photo by Leo Rivas on Unsplash

 

 

Tren Environmental Consciousness di Asia Tenggara untuk Mengurangi Sampah

Dalam laporan yang berjudul Streaming the Tide: Land-based strategies for a plastic-free ocean yang diterbitkan oleh McKinsey Center for Business and Environment dan Ocean Conservancy, Indonesia, Cina, Filipina, Thailand, dan Vietnam adalah lima negara yang membuang lebih banyak plastik ke lautan daripada gabungan sampah yang dibuang ke lautan oleh gabungan seluruh dunia. Di lima negara ini, sampah sering menyumbat saluran air di kota-kota, meningkatkan risiko banjir, atau tersapu oleh angin dan dibuan kelaut hingga menyumbang sampai dengan 60 persen sampah plastik ke lautan. Negara-negara ini baru-baru mendapat manfaat dari peningkatan PDB yang signifikan, pengurangan kemiskinan, dan peningkatan kualitas hidup. Namun, peningkatan kekuatan ekonomi juga telah menghasilkan ledakan permintaan akan produk-produk konsumsi yang belum dipenuhi dengan infrastruktur pengelolaan limbah yang sepadan.

Menyikapi hal ini, beberapa tahun belakangan, negara-negara Asia Tenggara telah melakukan langkah-langkah untuk meminimalisasi penggunaan plastik sekali pakai. Misalnya, jaringan restoran KFC, McDonalds, dan Burger King di Indonesia, Malaysia dan Singapura yang mulai menghentikan penggunaan sedotan plastik di restoran mereka. Di Filipina, McDonalds mengadakan progam “No Straw Friday” sebagai suatu langkah untuk meminimalisasi penggunaan sedotan plastik sehari-hari.

Banyak pula toko-toko, baik toko fisik dan toko online menerapkan pembungkusan produk yang dibeli tidak menggunakan plastik, di Indonesia, hal ini telah diterapkan oleh Cleanomic dan The Body Shop. Bahkan, toko swalayan di Indonesia telah menyarankan para pelanggannya untuk membeli tas kanvas sebagai pengganti kantong belanja.

Per 1 Maret 2019, Asosiasi Pengusaha  Ritel Indonesia (Aprindo) resmi mengenakan biaya penggunaan kantong plastik belanja di ritel-ritel modern kepada konsumen. Hingga kini ada sekitar 40.000 ritel di Indonesia yang masuk dan menjadi anggota Aprindo. Begitu pula dengan beberapa toko-toko di Indonesia yang telah berhenti menyediakan packaging plastik dan styrofoam untuk membungkus makanan, melainkan mewajibkan para konsumennya untuk membawa kotak atau kantong makanan sendiri, salah satu contohnya adalah Kebun Roti di Yogyakarta. Bahkan, di Ubud, Bali, Bintang Supermarket sudah tidak menggunakan plastik untuk membungkus sayur-sayuran, seperti terong, kangkong, asparagus. Kini, Bintang Supermarket telah menggunakan daun pisang dan tali bambu untuk membungkus sayur-sayuran tersebut. Yang lebih menarik lagi, di Bali, sebuah penjual waffle vegan dengan merk Bruxel, menggunakan kemasan yang dapat dimakan sebagai pembungkusnya, untuk menggantikan plastik pembungkus makanan yang biasa digunakan. Kemasan yang dapat dimakan ini terbuat dari rumput laut dan tentu saja aman untuk dimakan.

Pemerintah Kota Surabaya, Indonesia pun memiliki inisiatif yang menarik untuk mengurangi sampah plastik, yaitu dengan program “Tukar Sampah Botol Plastikmu Buat Naik Suroboyo Bus”. Untuk dapat menaiki Suroboyo Bus, warga harus menukarkan salah satu di antara tiga botol besar, lima botol tanggung, atau 10 gelas air mineral untuk satu stiker, yang mana satu stiker berlaku untuk dua jam. Tri Rismaharini, Walikota Surabaya yang menjabat saat ini, berharap sistem pembayaran tersebut bisa mengurangi jumlah sampah di Surabaya. Sampah plastik tersebut akan diolah dengan baik sehingga bisa bermanfaat bagi lingkungan sekitar.

Pemerintah Indonesia sendiri menargetkan Indonesia dapat mengurangi 70 persen sampah plastik di laut hingga 2025 nanti. Target itu diklaim bisa tercapai jika semua elemen bangsa ini secara aktif mau beraksi secara nyata untuk membudayakan Gerakan Indonesia Bersih (GIB) dalam praktik rutinitas harian. Gerakan Indonesia Bersih adalah gerakan kolaboratif antara pemerintah pusat, daerah, swasta dan berbagai pihak demi mewujudkan Indonesia bebas sampah. Gerakan ini mencakup beberapa hal, antara lain peningkatan perilaku hidup bersih dan sehat lingkungan keluarga, satuan pendidikan, satuan kerja, dan komunitas, Gerakan Indonesia Bersih ini telah diimplementasikan di kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia, salah satunya dengan kegiatan bersih-bersih pantai, salah satunya di Pantai Kuta, yang menjadi salah satu destinasi favorit turis domestik maupun mancanegara di Bali. Gerakan Indonesia Bersih ini juga diharapkan dapat memupuk kesadaran masyarakat untuk dapat membuang sampah pada tempatnya dan berpartisipasi menjaga lingkungannya.

Menurut para ahli, mengurangi penggunaan sedotan plastik atau bahkan menghentikan penggunaan sedotan plastik ini mungkin tidak banyak membendung polusi. Masalah sebenarnya terletak pada buruknya sistem pengelolaan limbah di negara-negara. Hal ini dikarenakan sedotan plastik hanyalah satu dari banyak hal yang mencemari lingkungan laut. Gerakan anti sedotan plastik telah berdampak besar dalam menciptakan kesadaran di benak konsumen tentang dampak negatif terhadap lingkungan yang dihasilkan oleh penggunaan plastik sekali pakai, dan bukan hanya sedotan plastik. Tentu saja, semua ini hanyalah awal. Jack Buffington, professor dari University of Denver dan ahli dalam rantai pasokan dan ilmu material, mengatakan bahwa menyingkirkan sedotan dan plastik sekali pakai lainnya, mendaur ulang, serta mengurangi tindakan konsumerisme kita adalah upaya mulia, namun juga tetap diperlukan suatu desain ulang yang mendasar untuk mengatasi limbah plastik. Negara-negara berkembang di Asia, pada akhirnya akan membutuhkan lebih banyak tempat pembuangan sampah modern, incinerator, dan program daur ulang swadaya.

Tak hanya langkah-langkah pengurangan sampah plastik yang marak digalakkan oleh beberapa negara di Asia Tenggara, guna mengurangi jumlah sampah, telah banyak kalangan di negara-negara Asia Tenggara mengikuti campaign gerakan Zero Waste. Zero Waste adalah suatu tindakan atau kebiasaan seseorang bersikap ramah lingkungan dengan cara selalu menghindari segala sesuatu yang menimbulkan sampah atau limbah, baik itu sampah makanan, plastik, pakaian, dan lain-lain.

GAP Filipina pada September 2018 mengadakan program donasi jeans lama yang dapat ditukarkan dengan voucher senilai 500 peso untuk membeli jeans yang baru. Jeans lama yang terkumpul kemudian akan didonasikan ke Zero Waste Recycling Movement of the Philippines Foundation. Selain itu, guna menyelamatkan makanan berlebih yang tidak termakan, di Malaysia, terkenal suatu gerakan yang dinamakan The Lost Food Project, sebuah bank makanan yang menyelamatkan makanan berkualitas dan bergizi yang berlebih yang jika tidak dimakan akan berakir di Tempat Pembuangan Akhir (TPA). The Lost Food Project akan mendistribusikan kembali makanan ini kepada mereka yang membutuhkan. Tim sukarelawan The Lost Food Project bekerja sama dengan distributor dan pemasok makanan, menyelamatkan berton-ton kelebhan makanan setiap minggu dan memberikannya kepada mereka yang membutuhkan. Sejak diluncurkan pada bulan April 2016, The Lost Food Project telah mampu menyelamatkan cukup banyak makanan berlebih untuk menyediakan hampir 2 juta makanan bagi orang-orang yang membutuhkan dan mencegah lebih dari 1 juta kilogram emisi karbon memasuki atmosfer. Di negara-negara Asia Tenggara, telah banyak aksi-aksi yang dilakukan untuk memperkenalkan zero waste ini, seperti adanya movie screening untuk mempelajari zero waste, penandatanganan Zero Waste Aspiration pada Civil Society Forum 2018 yang ditandatangani oleh partisipan dari 32 kota di 15 Provinsi di Indonesia, workshop dan kuliah umum tentang zero waste management, serta berbagai campaign di sosial media.

 

 

Reference:

Buffington, J. (2019, February 13). Commentary: Why recycling, less single-use plastics are not the answers to our plastic scourge. Retrieved June 4, 2019, from https://www.channelnewsasia.com/news/commentary/recycling-less-single-use-plastics-not-answer-to-global-crisis-11222502

Komang Erviani, Ni. (2019, April 29). Bali supermarket ditches plastic packaging for banana leaves. Retrieved June 4, 2019, from https://www.thejakartapost.com/life/2019/04/29/bali-supermarket-ditches-plastic-packaging-for-banana-leaves.html

Lingga, Murti Ali. (2019, February 28). Kantong Plastik Berbayar di Ritel Modern, Berapa Harganya? Retrieved June 3, 2019, from https://ekonomi.kompas.com/read/2019/02/28/224700626/kantong-plastik-berbayar-di-ritel-modern-berapa-harganya-

Mahmud, A. H. (2018, July 25). Skipping plastic straws might not do much to stop marine pollution, experts say. Retrieved June 3, 2019, from https://www.channelnewsasia.com/news/singapore/skipping-plastic-straws-might-not-stop-marine-pollution-10555340

Tanakasempipat, P. (2018, June 06). Southeast Asia’s plastic ‘addiction’ blights world’s oceans. Retrieved June 4, 2019, from https://www.reuters.com/article/us-environment-day-plastic/southeast-asias-plastic-addiction-blights-worlds-oceans-idUSKCN1J10LM

 

 

Artikel ini ditulis oleh Rahma Safira S., mahasiswa Sarjana Hukum di Universitas Gadjah Mada, ketika magang di Pusat Studi Sosial Asia Tenggara (PSSAT).

Photo by Bas Emmen on Unsplash

Tinjauan Yuridis Penggunaan Tentara Anak di Myanmar Menurut Perspektif Hukum Humaniter Internasional

Dewasa ini, penggunaan tentara anak dalam konflik bersenjata kian merebak. Ribuan anak melayani sebagai tentara dalam konflik bersenjata diseluruh belahan dunia, seperti Suria, Irak, Myanmar, dan Sudan Selatan. Anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan, bertugas di pasukan angkatan bersenjata pemerintah dan kelompok oposisi bersenjata. Mereka mungkin bertarung di garis depan, berpartisipasi dalam misi bunuh diri, dan bertindak sebagai mata-mata. Anak-anak perempuan mungkin dipaksa menjadi budak seksual. Banyak dari mereka yang diculik atau direkrut secara paksa, sementara yang lain bergabung karena putus asa dan berbekal atas kepercayaan bahwa kelompok-kelompok bersenjata menawarkan kesempatan terbaik mereka untuk tetap bertahan hidup.

Myanmar telah dipengaruhi oleh beberapa konflik bersenjata internal yang berjalan paling lama di dunia. Setelah kemerdekaan dari Inggris pada tahun 1948, kegagalan untuk menyetujui penyelesaian politik yang komperehensif tentang pembagian kekuasaan menyebabkan konflik antara sejumlah kelompok etnis minoritas. Setelah angkatan bersenjata Tentara Nasional Myanmar (Tatmadaw) merebut kekuasaan pada tahun 1962, Myanmar bekerja dibawah kediktatoran militer yang represif selama hampir setengah abad. Tatmadaw dan hampir semua kelompok etnis Burma secara sistematis merekrut tentara anak-anak. Disamping angkatan bersenjata nasional milik pemerintah, kelompok bersenjata etnis, seperti Karen National Liberation Army, Kachin Independence Army (KIA), the Shan State Army (SSA), and the Ta’ang National Liberation Army di negara bagian Kachin, Kayin, dan Shan adalah perekrut utama tentara anak-anak. Baik Tatmadaw dan kelompok bersenjata etnis mempunyai kebijakan tersendiri yang melarang perekrutan anak, namun mereka konflik bersenjata internal masih berlanjut, anak-anak umumnya masih direkrut dan digunakan oleh pihak-pihak yang bertikai. Transisi ke pemerintahan sipil dimulai pada 2011.

Konflik bersenjata internal Myanmar telah ditandai oleh pelanggaran HAM berat, serangan terhadap warga sipil, dan pemindahan massal, dengan anak-anak banyak digunakan oleh angkatan bersenjata negara dan kelompok-kelompok bersenjata. Meskipun usia pendaftaran minimum 18 tahun, sejumlah besar anak laki-laki direkrut, seringkali secara paksa, ke dalam tentara nasional, dengan beberapa dikirim ke garis depan jauh dari rumah dan dipaksa untuk bertempur dalam kondisi yang melelahkan dan berbahaya. Selama bertahun-tahun, para peneliti telah menetapkan bahwa penyebab utama peningkatan dalam perekrutan dan penggunaan tentara anak dapat dikaitkan dengan adanya konflik sipil / perang, ketidakstabilan politik, dan indoktrinasi yang kuat oleh tentara dan kelompok pemberontak. Dalam kasus Myanmar, dua penyebab utama tentara anak adalah konflik etnis yang sedang berlangsung dan ketidakstabilan politik. Faktor-faktor ini menciptakan lingkungan di mana bisnis dan sekolah tidak dapat berfungsi menyebabkan faktor-faktor lain seperti kemiskinan, buta huruf, pengangguran, pengaruh ideologis, dan budaya menjadi penyebab sekunder tentara anak.

Paris Principles on the Involvement of Children in Armed Conflict 2007, mendefinisikan seorang tentara anak sebagai “setiap orang dibawah usia 18 tahun yang, atau telah, direkrut atau digunakan oleh angkatan bersenjata atau kelompok bersenjata dalam kapasitas apa pun, termasuk tetapi tidak terbatas pada anak-anak, anak laki-laki dan perempuan, digunakan sebagai pejuang, koki, kuli angkut, mata-mata, atau untuk tujuan seksual”. Pemerintah Myanmar pada Februari 2017 telah menandatangani Paris Principles on the Involvement of Children in Armed Conflict 2007 ini sebagai suatu kerangka kerja internasional yang penting untuk reintegrasi anak-anak ke dalam kehidupan sipil.

Pada dasarnya, Hukum Humaniter Internasional pun melarang perekrutan dan penggunaan anak-anak dalam konflik bersenjata. Larangan ini juga berlaku untuk konflik bersenjata internasional dan non internasional. Menurut Pasal 3 common articles Konvensi Jenewa 1949, kasus Myanmar dikategorikan sebagai konflik bersenjata non internasional (konflik internal), karena berlangsung dalam batas-batas wilayah suatu negara. Pasal tersebut berlaku pada konflik antara pasukan Pemerintah dan pasukan pemberontak atau antara dua pasukan pemberontak atau pada konflik lain yang mempunyai seluruh karakteristik perang tetapi berlangsung di dalam batas-batas wilayah sebuah negara.

Pada konflik bersenjata non internasional, anak-anak dilindungi oleh jaminan mendasar bagi orang-orang yang tidak ikut serta secara langsung dalam permusuhan, sebagaimana yang dituangkan dalam Pasal 3 ayat 1 Konvensi Jenewa 1949 dan Pasal 4 Protokol Tambahan II. Bunyi Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 adalah sebagai berikut:

“Dalam hal sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional yang berlangsung dalam wilayah salah satu dari Pihak Peserta Agung; tiap Pihak dalam sengketa itu akan diwajibkan untuk melaksanakan sekurang-kurangnya ketentuan-ketentuan berikut:

  1. Orang-orang yang tidak turut serta aktif dalam sengketa itu, termasuk anggota angkatan perang yang telah meletakkan senjata-senjata mereka serta mereka yang tidak lagi turut serta (hors de combat) karena sakit, luka-luka, penahanan atau sebab lain apapun, dalam keadaan bagaimanapun harus diperlakukan dengan kemanusiaan, tanpa perbedaa merugikan apapun juga yang didasarkan atas suku, warna kulit, agama atau kepercayaan, kelamin, keturunan atau kekayaan, atau setiap kriteria lainnya serupa itu. Untuk maksud ini, maka tindakan-tindakan berikut dilarang dan tetap akan dilarang untuk dilakukan terhadap orang-orang tersebut diatas pada waktu dan ditempat apapun juga:

(a) tindakan kekerasan atas jiwa dan raga, terutama setiap macam pembunuhan, pengudungan, perlakuan kejam dan penganiayaan;

(b) penyanderaan;

(c) perkosaan atas kehormatan pribadi, terutama perlakuan yang menghina dan merendahkan martabat;

(d) menghukum dan menjalankan hukuman mati tanpa didahului keputusan yang dijatuhkan oleh suatu pengadilan yang dibentuk secara teratur, yang memberikan segenap jaminan peradilan yang diakui sebagai keharusan oleh bangsa-bangsa beradab.”

Pasal 4 Protokol Tambahan II menjelaskan adanya jaminan-jaminan dasar dan mengharuskan adanya perhatian perawatan dan bantuan khusus untuk anak, sebagaimana tercantum pada ayat 3 huruf c, yaitu adanya larangan bagi anak-anak yang belum mencapai usia lima belas tahun untuk direkrut dalam angkatan perang ataupun kelompok-kelompok tertentu, dan turut serta dalam permusuhan. Bunyi Pasal 4 ayat 3 Protokol Tambahan II adalah sebagai berikut:

“3. Anak-anak harus mendapatkan perhatian perawatan dan bantuan yang mereka butuhkan terutama:

(a) dalam bidang pendidikan, termasuk pendidikan agama dan keusilan, sesuai dengan keinginan orang tua mereka, atau dalam keadaan tidak ada orang tua, keinginan dari mereka yang bertanggung jawab atas perawatan anak-anak itu;

(b) Harus diambil langkah yang patut untuk mempemudah bersatunya kembali keluarga yang terpisah sementara;

(c) Adanya larangan bagi anak-anak yang belum mencapai usia lima belas tahun untuk direkrut dalam angkatan perang ataupun kelompok-kelompok tertentu, dan turut serta dalam permusuhan;

(d) Memberikan perlindungan istimewa sebagaimana ditetapkan dalam Pasal ini bagi anak-anak yang belum mencapai umur lima belas tahun, akan tetap berlaku bagi mereka, seandainya mereka ikut serta secara langsung dalam permusuhan, walaupun telah diatur dalam sub ayat c diatas, dan mereka ditawan;

(e) Mengambil tindakan-tindakan bila diperlukan, bila mungkin dengan seijin orang tua mereka atau undang-undang yang berdasarkan undang-undang atau adat kebiasaan bertanggung jawab atas perawatan mereka, untuk memindahkan anak-anak untuk sementara waktu dari daerah dimana permusuhan sedang berlangsung ke daerah yang lebih aman di dalam negeri, dan menjamin bahwa mereka disertai atas keamanan dan kesejahteraan mereka itu.”

Selanjutnya, mengingat Myanmar juga merupakan negara yang meratifikasi Convention on the Rights of the Child 1989 pada 1991, maka Myanmar tunduk pula kepada ketentuan dalam Article 38 Convention on the Rights of the Child 1989 yang menyatakan bahwa Pemerintah harus melakukan apa saja untuk melindungi dan merawat anak-anak yang terkena dampak perang. Anak-anak dibawah 15 tahun tidak boleh dipaksa atau direkrut untuk mengambil bagian dalam perang atau bergabung dengan angkatan bersenjata.

“1. State Parties undertake to respect and to ensure respect for rules of international humanitarian law applicable to them in armed conflicts which are relevant to the child.

  1. State Parties shall take all feasible measures to ensure that persons who have not attained the age of fifteen years do not take a direct part in hostilities
  2. State Parties shall refrain from recruiting any person who has not attained the age of fifteen years into their armed forces. In recruiting among those persons who have attained the age of fifteen years but who have not attained the age of eighteen years, States Parties shall endeavour to give priority to those who are oldest.
  3. In accordance with their obligations under international humanitarian law to protect the civilian population in armed conflicts, State Parties shall take all feasible measures to ensure protection and care of children who are affected by an armed conflict.”

Pada 27 Juni 2012 silam, antara Tatmadaw dan United Nations Country Task Force on Monitoring and Reporting (CTFMR) telah bersama-sama menandatangani Joint Action Plan between the United Nations Country Task Force on Monitoring and Reporing on Grave Violations against Children and untuk mengakhiri dan mencegah perekrutan dan penggunaan anak-anak oleh Tatmadaw. Berdasarkan Action Plan, pemerintah harus melepaskan anak-anak yang kini menjadi tentara dan melakukan rehabilitasi serta reintegrasi untuk mereka ke dalam kehidupan sipil. Sesuai dengan rencana implementasi, semua tentara anak dibawah umur seharusnya dibebaskan selama 18 bulan dan CTFMR memastikan bahwa tidak akan ada lagi perekrutan tentara anak. Selain itu, pemerintah dan CTFMR telah merencanakan untuk membangun mekanisme pemantauan untuk memungkinkan akses ke pangkalan, personel, dan verifikasi dokumentasi.

Pada September 2014, Pemerintah mengadopsi rencana kerja guna kepatuhan dan mempercepat implementasi Action Plan ini. Pada 2017 silam, Tatmadaw membebaskan 67 anak-anak dan remaja dari jabatannya, dan sejak penandatanganan Joint Action Plan tersebut, total sebanyak 849 anak-anak dan remaja telah dibebaskan oleh Tatmadaw. Pemerintah pun mulai meluncurkan kembali kampanye nasional untuk meningkatkan kesadaran di kalangan masyarakat tentang komitmennya untuk mengakhiri penggunaan dan rekrutmen anak-anak oleh Tatmadaw. Kedepannya, CTFMR meminta kepada Pemerintah untuk mempercepat pembentukan Child Rights Bill, yang mencakup bab tentang anak-anak dan konflik bersenjata, meratifikasi Optional Protocol to the Convention on the Rights of the Child (OPAC), dan melepaskan tersangka anak dibawah umur ketika ada keraguan tentang usia mereka.

Optional Protocol to the Convention on the Rights of the Child (OPAC), yang mulai berlaku pada 12 Februari 2002, turut mengembangkan hak ini, sebagaimana yang tercantum dalam Article 1 sampai dengan Article 4. Pada dasarnya, Optional Protocol to the Convention on the Rights of the Child menaikkan usia minimum untuk perekrutan sukarela anak kedalam angkatan bersenjata, dari 15 tahun pada Article 38 Convention on the Rights of the Child, menjadi usia 18 tahun. Selain itu, Negara Pihak harus mengambil langkah-langkah yang mungkin untuk memastikan bahwa anggota angkatan bersenjata mereka yang berusia dibawah 18 tahun tidak mengambil bagian dalam perang dan bahkan seseorang yang berusia dibawah 18 tahun tidak diwajibkan untuk direkrut kedalam angkatan bersenjata mereka.

Article 1

“States Parties shall take all feasible measures to ensure that members of their armed forces who have not attained the age of 18 years do not take a direct part in hostilities.”

Article 2

“State Parties shall ensure that persons who have not attained the age of 18 years are not compulsorily recruited into their armed forces.”

Article 3

“1. State Parties shall raise the minimum age for the voluntary recruitment of persons into their national armed forces from that set out in article 38, paragraph 3, of the Convention on the Rights of the Child, taking account of the principles contained in that article and recognizing that under the Convention persons under the age of 18 years are entitled to special protection.

  1. Each State Party shall deposit a binding declaration upon ratification of or accession to the present Protocol that sets forth the minimum age at which it will permit voluntary recruitment into its national armed forces and a description of the safeguards it has adopted to ensure that such recruitment is not forced or coerced.
  2. States Parties that permit voluntary recruitment into their national armed forces under the age of 18 years shall maintain safeguards to ensure, as a minimum, that:

(a) Such recruitment is genuinely voluntary;

(b) Such recruitment is carried out with the informed consent of the person’s parents or legal guardians;

(c) Such persons are fully informed of the duties involved in such military service;

(d) Such persons provide reliable proof of age prior to acceptance into national military service.

  1. Each State Party may strengthen its declaration at any time by notification to that effect addressed to the Secretary-General of the United Nations, who shall inform all States Parties. Such notification shall take effect on the date on which it is received by the Secretary-General.
  2. The requirement to raise the age in paragraph 1 of the present article does not apply to schools operated by or under the control of the armed forces of the States Parties, in keeping with articles 28 and 29 of the Convention on the Rights of the Child.”

Article 4

“1. Armed groups that are distinct from the armed forces of a State should not, under any circumstances, recruit or use in hostilities persons under the age of 18 years.

  1. States Parties shall take all feasible measures to prevent such recruitment and use, including the adoption of legal measures necessary to prohibit and criminalize such practices.
  2. The application of the present article shall not affect the legal status of any party to an armed conflict.”

Pada 2015, Myanmar menyambut baik OPAC dan turut menandatanganinya. OPAC adalah sebuah langkah signifikan menuju penghapusan perekrutan dan penggunaan ana-anak dalam konflik bersenjata. Namun, karena Myanmar belum meratifikasi OPAC, belum membuat OPAC sepenuhnya mengikat secara hukum. Dengan meratifikasi OPAC akan menujukkan kemauan politik Myanmar untuk terus menangani masalah ini, sejalan dengan sekitar 85% negara yang telah melakukannya, termasuk setiap anggota ASEAN lainnya. Lebih jauh lagi, dengan meratifikas OPAC akan memberikan jalan untuk memperkuat dialog dengan kelompok-kelompok bersenjata tentang perlindungan anak di bidang-bidang yang mereka kendalikan, dan menyediakan kerangka kerja bagi pemerintah dan organisasi masyarakat sipil untuk menyoroti upaya nasional untuk mengakhiri penggunaan tentara anak.

Selain Tatmadaw, ada tujuh kelompok bersenjata non-negara yang terdaftar oleh Sekretaris Jenderal PBB sebagai “pelaku gigih” dalam perekrutan dan penggunaan anak-anak di Myanmar. Mereka adalah Democratic Karen Benevolent Army (DKBA), Kachin Independence Army (KIA), Karen National Liberation Army (KNLA), Karen National Liberation Army Peace Council, Karenni Army (KA), Shan State Army South (SSA-S), dan United Wa State Army (UWSA).

Di masa yang akan datang, diharapkan akan ada hukuman yang memberikan efek jera bagi perekrut tentara anak serta bagi mereka yang melakukan pelanggaran berat terhadap anak-anak. Terhadap tindakan perekrutan dan penggunaan anak dibawah umur juga perlu dianggap sebagai perbuatan pidana, yang harus diatur lebih lanjut dalam undang-undang nasional Myanmar. Pemerintah pun harus memastikan bahwa anak-anak akan dibebaskan dan diperlakukan dengan baik setelahnya, serta mendapatkan rehabilitasi dan reintegrasi sebelum masuk ke kehidupan sipil. Bagi Tatmadaw dan kelompok bersenjata etnis lainnya, harus memiliki pedoman usia yang diperbolehkan untuk mengikuti perekrutan dan setiap proses rekrutmen nya kelak harus mengacu kepada pedoman usia tersebut.

 

References

Journal

Kevin. Heppner. (2002). My Gun was Tall as me. Human Rights Watch. Retrieved June 5, 2019, from http://pantheon.hrw.org/reports/2002/burma/

Prajkta. Gupte. (2018). Child Soldiers in Myanmar: Role of Myanmar Government and Limitations of International Law. Penn State Journal of Law and International Affairs,6(1). Retrieved June 6, 2019, from http://elibrary.law.psu.edu/jlia/vol6/iss1/15/

 

Website

Human Rights Watch. Child Soldiers. Retrieved June 6, 2019, from https://www.hrw.org/topic/childrens-rights/child-soldiers

Office of the Special Representative of the Secretary-General for Children and Armed Conflict. (2017). Myanmar: 849 children and young people released from Tatmadaw since 2012. United Nations. Retrieved from https://childrenandarmedconflict.un.org/myanmar-849-children-and-young-people-released-from-tatmadaw-since-2012/

 

Legal Basis

Convention on the Rights of the Child

Optional Protocol to the Convention on the Rights of the Child

Paris Principles on the Involvement of Children in Armed Conflict 2007

The Geneva Conventions of 1949 and their Additional Protocols 1977

 

 

Artikel ini ditulis oleh Rahma Safira S., mahasiswa Sarjana Hukum di Universitas Gadjah Mada, ketika magang di Pusat Studi Sosial Asia Tenggara (PSSAT).

Photo by israel palacio on Unsplash

Perlindungan Hukum Transgender di Indonesia dan Thailand

Istilah ‘transgender’ mungkin sudah tidak asing lagi di telinga kita. Transgender yang dimaksud dalam artikel ini berarti orang yang memiliki identitas gender atau ekspresi gender yang berbeda dengan gender yang mereka miliki ketika lahir, baik dari wanita ke pria, maupun sebaliknya.

Asia Tenggara merupakan satu kawasan di mana agama menjadi faktor yang paling diperhitungkan, sehingga transgender kerap kali dianggap melanggar norma. Tidak jarang di Asia Tenggara, transgender mendapat perlakuan diskriminasi, terutama untuk menikmati kehidupan yang layak. Bahkan mereka sering diusir paksa, dipecat, dan sebagainya. Padahal, transgender adalah manusia dan warga negara yang memiliki hak asasi. Di samping itu, harus selalu diingat, bahwa negara berkewajiban untuk memberikan perlindungan kepada warga negaranya, tanpa adanya pengecualian. Dengan demikian, fenomena transgender perlu kita soroti.

Bicara tentang transgender yang senantiasa menuntut adanya kesetaraan dalam keberagaman, memunculkan suatu pertanyaan besar tentang bagaimana hukum mengatur tentang transgender. Sebagaimana diketahui, rata-rata hukum di dunia, mengatur segala sesuatunya dengan membagi jenis kelamin warga negara ke dalam dua golongan: laki-laki dan perempuan. Misalnya, seperti yang kita dapati di Indonesia, dalam hukum ketenagakerjaan, ada cuti tertentu yang hanya dapat diambil oleh wanita atau pidana perkosaan yang dirumuskan dengan ciri khusus korban wanita.

Di Indonesia, mayoritas masyarakat masih menganggap transgender sebagai suatu hal yang ‘tidak biasa’. Meskipun demikian, ada segelintir orang yang peduli dengan fenomena ini. Hal ini terbukti dengan adanya Yayasan Srikandi yang mulai berdiri sejak tahun 1998 dan berfokus pada masalah kesehatan yang berkaitan dengan transgender dan pekerjaan mereka. Selain itu, pada 2010 ada kasus terkait transgender yang cukup terkenal, yakni Alter Hofan. Alter adalah seorang pria yang dulunya wanita. Kemudian, ia menikah dengan seorang wanita bernama Jane. Mengetahui Alter adalah transgender, ibunda Jane melaporkan pernikahan tersebut ke polisi dengan alasan penipuan. Setelah menjalani persidangan di PN Jakarta Selatan, majelis hakim memutuskan Alterina divonis lepas dari segala tuntutan karena majelis hakim berpendapat bahwa hal tersebut bukan merupakan tindak pidana. Bahkan pada tingkat kasasi, berkas putusan menyatakan bahwa meskipun Terdakwa telah terbukti mengajukan permohonan identitas dari jenis kelamin perempuan ke laki-laki, tetapi perbuatan itu dilakukan atas dorongan jiwa yang disebabkan oleh adanya kelainan yang disebut sindroma klinefetser, sehingga lagi-lagi ia lepas dari segala tuntutan.

Menurut hukum Indonesia, sebagaimana tertuang dalam Pasal 28 Ayat 1 UUD 45, setiap orang berhak untuk hidup dan mempertahankan hidupnya. Maksud ‘setiap orang’ dalam pasal ini pastinya ditujukan untuk seluruh warga negara Indonesia, terlepas dari kondisi masing-masing. Kemudian, dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 71 menegaskan bahwa pemerintah wajib dan bertanggung jawab untuk menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan HAM.

Pada kenyataanya, pemerintah memang memberikan perhatian kepada warga negara transgender, sebagaimana Kementerian Kesehatan senantiasa memberikan obat-obatan HIV/AIDS secara gratis kepada transgender. Lembaga negara Komnas HAM juga selalu  menegaskan bahwa setiap warga negara, terlepas dari bagaimanapun kondisinya, memiliki hak yang sama dan tidak boleh didiskriminasi. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa, terlepas dari anggapan negatif masyarakat, menurut hukum Indonesia, transgender tetap memiliki status sebagai warga negara yang memiliki kewajiban untuk membangun negaranya dan menyukseskan pembangunan negara. Oleh karena itu, hak untuk transgender tetap berlaku, termasuk hak atas pekerjaan, jaminan sosial, standar hidup yang layak, kesehatan, pendidikan, dan mereka pun harus berperan serta dalam kehidupan budaya.

Di samping Indonesia, Thailand sebagai salah satu negara di Asia Tenggara dapat dikatakan lebih terbuka terhadap eksistensi transgender, melihat banyaknya ladyboy di sana. Transgender di Thailand memiliki julukan “kathoey”. Mereka biasanya bekerja di dunia hiburan Thailand, acaraTV, dan pertunjukan klub malam. Thailand juga selangkah lebih maju dalam mendukung dan melindungi hak transgender. Terbukti, mereka menerbitkan “Gender Equality Act” pada September 2015 guna menghapuskan diskriminasi, salah satunya terhadap transgender. Undang-undang ini mengkriminalkan diskriminasi di antara identitas seksual yang mnegaskan bahwa diskriminasi yang tidak adil kepada seorang yang memiliki ekspresi seksual yang berbeda dari jenis kelamin awalnya merupakan satu tindak pidana.

Meskipun demikian, seperti halnya di Indonesia, diskriminasi terhadap transgender masih ada di Thailand, sebagaimana artikel di Bangkok Post pada tahun 2013 yang mengklaim adanya diskriminasi sosial pada transgender di sana. Bangkok Post mengatakan bahwa tidak akan ditemukan transgender dengan pekerjaan yang tinggi dan berkelas, seperti dokter, advokat, ilmuwan, guru di sekolah dan universitas negeri, dan eksekutif di perusahaan. Oleh karena itu, kebanyakan transgender menjadi wirausaha atau freelancer. Bahkan pada 1954, transgender sempat dilarang masuk ke ranah militer karena mereka dianggap memiliki ‘ganggungan jiwa’. Namun, keputusan ini dicabut pada 2005.

Sampai sekarang ini, fenomena transgender masih menjadi perdebatan di negara-negara di Asia Tenggara. Namun, Thailand dan Indonesia, melalui pemerintah dan beberapa pihaknya, sebenarnya tetap memperlakukan transgender sama seperti warga negara lain pada umumnya.

 

 

Artikel ini ditulis oleh Vicky Van Winkelhoff, seorang mahasiswa sarjana di Fakultas Hukum di Universitas Islam Indonesia, ketika magang di Pusat Studi Sosial Asia Tenggara (CESASS).

In the Light of Breaking the Chains (2015): Pasung di Indonesia Saat Ini

Pasung adalah praktik tradisional untuk menangani orang-orang dengan gangguan psikologis, atau mereka yang dianggap demikian. Praktik ini terdiri dari mengikat orang, sering dengan rantai, dan mengunci mereka di kamar kecil, kandang atau gudang. Praktik ini bisa berlangsung dari beberapa jam hingga bertahun-tahun. Meskipun dilarang di Indonesia pada tahun 1977, praktik ini masih dipraktekkan sampai hari ini, terutama di daerah pedesaan.

Harus saya akui bahwa ketika saya mendengar tentang pasung untuk pertama kalinya saya cukup kaget. Adalah kekejaman dan ketidakberdayaan orang-orang yang paling mengejutkan saya. Namun, film dokumenter Breaking the Chains, dirilis pada tahun 2015, membuat saya melihat masalah ini dari perspektif yang lebih luas. Para penciptanya tidak fokus pada bagaimana orang-orang brutal yang mengutuk orang-orang yang mereka cintai dengan takdir seperti itu, tetapi menunjukkan betapa kompleksnya situasi mereka, yaitu berapa banyak elemen mempengaruhi keputusan untuk mengambil langkah seperti itu.

Tidak bisa dipungkiri bahwa praktik-praktik seperti itu melanggar hak asasi manusia. Namun, orang-orang yang ditampilkan dalam film itu merantai keluarga mereka bukan karena mereka kejam dan tak berjiwa. Mereka juga tidak melakukannya karena takut akan reaksi tetangga mereka. Meskipun mungkin motivasi ini penting dalam beberapa kasus, orang-orang yang digambarkan dalam Breaking the Chains tidak melihat kemungkinan lain. Seringkali, tidak ada lembaga yang mengkhususkan diri dalam pengobatan penyakit mental di daerah mereka. Kadang-kadang harga kunjungan ke psikiater adalah beban yang tidak dapat diatasi. Akhirnya, banyak dari mereka hanya percaya bahwa itu adalah sihir hitam yang menyebabkan masalah, jadi daripada mengunjungi dokter yang berkualifikasi, mereka akan mencari solusi dari para pemimpin spiritual, tabib tradisional, atau spesialis sihir hitam, yang sering kali menegaskan keyakinan mereka pada pasung sebagai satu-satunya jalan keluar. Salah satu protagonis film ‘- Yayah – didiagnosis dengan skizofrenia kronis tetapi keluarganya percaya dia dirasuki oleh roh jahat. Mereka mengira pasung adalah satu-satunya pilihan mereka, jadi mereka mengunci dan merantai Yayah selama 17 tahun.

Para pembuat film Breaking the Chains mengikuti para aktivis yang terkait dalam Komunitas Sehat Jiwa (Komunitas Orang dengan Penyakit Mental) – sebuah organisasi yang terbentuk di Cianjur (Jawa Barat) yang tujuannya adalah untuk sepenuhnya menghilangkan praktik pasung. “Tidak ada obat lain untuk ini,” kata seorang ibu dari seorang pria yang sakit jiwa di salah satu adegan film, selama percakapan dengan seorang psikiater. Para penyembuh setempat menegaskan keyakinannya. Aktivis Komunitas Sehat Jiwa mencari orang-orang seperti itu. Mereka menawarkan kepada mereka pengetahuan tentang kondisi keluarga mereka, pengobatan yang tepat, serta memberikan obat yang tepat. Yang penting, mereka menjelaskan kepada keluarga berapa banyak cinta dan rasa hormat yang penting untuk proses pengobatan. Tampaknya kurangnya pendidikan merupakan faktor utama yang mempertahankan tradisi pasung.

Menurut data yang disajikan dalam film tersebut, hingga peluncurannya, Komunitas Sehat Jiwa berhasil menguraikan 117 pasien, termasuk Yayah. Diagnosis mereka tentang alasan-alasan seperti skala besar fenomena di Indonesia berbunyi sebagai berikut:

“Tempat berlindung bukan hanya produk ketidaktahuan keluarga dan masyarakat, ketidakmampuan ekonomi, atau penolakan untuk menerima perawatan psikiatris. Lebih tepatnya itu terkait dengan kurangnya perhatian dan tanggung jawab pemerintah untuk menyediakan layanan kesehatan mental dasar bagi orang-orang dengan penyakit mental yang parah” (Pasung, n.d.).

Pada tahun 2016, Human Rights Watch khawatir tentang betapa buruknya status perawatan kesehatan mental di Indonesia, mengeluarkan laporan luas tentang topik ini berjudul Living in Hell: Abuses against People with Psychosocial Disabilities in Indonesia (Hidup di Neraka: Pelecehan terhadap Orang-Orang dengan Cacat Psikososial di Indonesia) (Sharma, 2016). Data yang disajikan oleh penulis laporan itu mengkhawatirkan – selama pembuatannya ada 57 ribu orang di Indonesia yang telah dipasung setidaknya sekali dalam hidup mereka. 18.800 orang saat ini dipasung. Para penulis laporan menunjukkan bahwa pasung bukanlah satu-satunya masalah yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia dalam hal perlindungan kesehatan mental. Pasien di berbagai jenis pusat kesehatan, tradisional atau agama, serta panti jompo, dan akhirnya rumah sakit psikiatri, sering mengalami berbagai macam pelanggaran, termasuk kekerasan fisik dan seksual, pengasingan paksa dan pengobatan paksa. Beberapa dari pusat kesehatan mental tersebut merawat pasien dengan terapi elektrokonvulsif – tanpa persetujuan mereka. Yang lebih buruk, beberapa rumah sakit masih melakukan perawatan ini dengan cara yang tidak dimodifikasi – tanpa anestesi, pelemas otot atau oksigenasi.

Data yang disediakan oleh Departemen Kesehatan Indonesia, yang dikutip dalam laporan yang disebutkan sebelumnya, menegaskan bahwa sebagian kecil penduduk Indonesia memiliki akses ke perawatan psikiater. Hanya 48 rumah sakit psikiatri yang beroperasi di negara berpenduduk 250 juta orang. 8 dari 34 provinsi di Indonesia tidak memiliki rumah sakit jiwa, 3 bahkan tidak memiliki seorang psikiater. Organisasi Kesehatan Dunia memperkirakan bahwa pada tahun 2014, untuk setiap 100 ribu orang Indonesia, ada 0,29 psikiater dan 0,18 psikolog yang bekerja di sektor kesehatan mental. Sebagai perbandingan – pada saat yang sama, ada 0,76 psikiater per 100 ribu orang Malaysia, di Singapura tingkat ini adalah 3,48, di Norwegia 29,69. Pada tahun 2011 Swiss memiliki lebih dari 40 psikiater untuk setiap 100 ribu orang (“Global Health,” 2015).

Para penulis artikel yang berjudul “Human Rights of Persons with Mental Illness in Indonesia: More Than Legislation Is Needed”, diterbitkan oleh International Journal of Mental Health Systems, tampaknya untuk mengkonfirmasi tesis yang disebutkan sebelumnya, bahwa kesalahan untuk keadaan yang buruk terletak bukan dengan rakyat, tetapi tindakan lembaga pemerintah yang tidak mencukupi (Irmansyah, Prasetyo & Minas, 2009). Mereka menunjukkan bahwa dari sudut pandang legislatif, situasinya memuaskan, tetapi peraturan yang benar tidak selalu diikuti oleh tindakan yang memadai. Namun, Departemen Kesehatan Indonesia, Kementerian Sosial dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mengakui pasung sebagai masalah serius dan telah menyatakan bahwa mereka akan melakukan apa saja untuk membebaskan Indonesia dari itu. Perhatian di seluruh dunia yang diperoleh oleh Breaking the Chains meyakinkan bahwa tidak hanya Indonesia sendiri yang menunggu tindakan tegas dalam waktu terdekat.

 

REFERENSI:

Colucci, E. (Director). (2015). Breaking the Chains [Motion picture].Global Health Observatory data repository. (2015, May 8). Retrieved from http://apps.who.int/gho/data/node.main.MHHR?lang=en

Irmansyah, I., Prasetyo, Y.A. & Minas, H. (2009, Jun 19). Human rights of persons with mental illness in Indonesia: more than legislation is needed. International Journal of Mental Health Systems, 3:14. Retrieved from https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2709890/

Pasung. (n.d.). Retrieved from http://komunitassehatjiwa.blogspot.co.id

Sharma, K. (2016 March 20). Living in Hell: Abuses against People with Psychosocial Disabilities in Indonesia. Retrieved from https://www.hrw.org/report/2016/03/20/living-hell/abuses-against-people-psychosocial-disabilities-indonesia

 

 

Artikel ini ditulis oleh Michał Bielecki (dalam Bahasa Inggris), seorang mahasiswa PhD di Graduate School for Social Research di Institute of Philosophy and Sociology dari Akademi Ilmu Pengetahuan Polandia, saat bekerja sebagai rekan peneliti di Pusat Studi Sosial Asia Tenggara (CESASS).

Negara-Negara ASEAN terhadap Pendekatan Berbasis Hak Asasi Manusia untuk Mencegah Perdagangan Manusia

Sekalipun ada upaya terus-menerus untuk menangani Perdagangan Manusia, bentuk perbudakan modern ini masih meluas di Asia Tenggara di mana semua negara di kawasan ini adalah negara asal, tujuan, dan keduanya. Sering diperdebatkan bahwa strategi untuk memerangi perdagangan lebih berfokus pada penegakan hukum dan bantuan kepada para korban daripada pencegahan. Hal tersebut menghalangi kemampuan pemerintah untuk memberi dampak yang signifikan terhadap masalah tersebut. Untuk memberantas Perdagangan Manusia, diperlukan pendekatan yang lebih komprehensif dan strategi pencegahan harus diprioritaskan.

Strategi pencegahan yang efektif perlu dikembangkan dengan mempertimbangkan berbagai elemen. Langkah pertama untuk mengembangkan pemahaman mendalam tentang karakteristik perdagangan adalah ketersediaan data. Penelitian sebelumnya dan pengumpulan data ekstensif perlu dilakukan untuk mendeteksi kerentanan dan untuk memahami modus operandi para pedagang. Kerentanan tidak selalu mudah dideteksi karena sering disebabkan oleh kombinasi beberapa faktor seperti kemiskinan, lingkungan yang rusak, usia, rendahnya tingkat pendidikan, diskriminasi dan kurangnya informasi. Selain itu, para pedagang terus menyesuaikan modus operandi mereka sesuai dengan konteks dan kerangka hukum yang mereka operasikan, oleh karena itu perlu ada penelitian konstan untuk menjaga strategi pencegahan tetap up to date. Bagian penting dari pencegahan adalah memberikan individu yang rentan instrumen yang mereka butuhkan untuk menghindari direkrut; jenis instrumen dan strategi yang perlu diadopsi bergantung pada konteksnya.

Selangkah ke konsep pencegahan dibawa oleh pendekatan berbasis Hak Asasi Manusia yang melampaui peningkatan kesadaran untuk menghindari rekrutmen dan termasuk -sebagai bagian dari pencegahan- menangani akar penyebab di balik kerentanan dan perdagangan. Atas dasar itu, pendekatan yang lebih proaktif terhadap pencegahan diperlukan dengan mengambil tindakan positif seperti program ekonomi di daerah rawan. Ketika mengembangkan strategi pencegahan berbasis Hak Asasi Manusia, sangat penting untuk melibatkan masyarakat dan kelompok-kelompok yang terpinggirkan agar pencegahan menjadi efektif dan tahan lama. Efektivitas program pencegahan akan sangat tergantung pada keberlanjutannya tidak hanya dalam hal partisipasi masyarakat tetapi juga dari sudut pandang ekonomi.

Dalam konteks Asia Tenggara, komunitas ASEAN baru-baru ini memperbarui komitmennya untuk menangani Perdagangan Manusia melalui Konvensi ASEAN Melawan Perdagangan Manusia, Terutama Perempuan dan Anak-anak (ACTIP). ASEAN ACTIP, berdasarkan Protokol untuk Mencegah, Menekan, dan Menghukum Perdagangan Manusia Terutama Perempuan dan Anak-Anak, adalah instrumen yang mengikat secara hukum yang secara resmi mulai berlaku pada 8 Maret 2017 dan telah diratifikasi oleh delapan dari sepuluh negara ASEAN. [1] Sementara larangan Perdagangan Manusia telah dinyatakan dalam Pasal 13 Deklarasi Hak Asasi Manusia ASEAN, ACTIP ASEAN membawa perang melawan perdagangan di kawasan ASEAN selangkah lebih maju dengan menyediakan dasar yang kuat untuk kerjasama antar negara. Konvensi ini bertujuan untuk menciptakan standar umum di tingkat regional untuk kriminalisasi, pencegahan, bantuan korban, penegakan hukum dan penuntutan. Secara khusus, beberapa strategi pencegahan perdagangan manusia disarankan dalam Bab III Konvensi. Pencegahan perdagangan digambarkan sebagai kombinasi berbagai tindakan seperti penelitian, informasi, dan kampanye kesadaran. Kemiskinan dan ketidaksetaraan disebutkan sebagai penyebab utama kerentanan yang perlu ditangani melalui langkah-langkah ekonomi, sosial dan pendidikan untuk mencegah permintaan dan pasokan perdagangan manusia.

Rincian lebih lanjut tentang pelaksanaan ASEAN ACTIP dan pencegahan perdagangan manusia disediakan dalam Rencana Aksi ASEAN Melawan Perdagangan Manusia, Terutama Perempuan dan Anak-Anak (APA). Menurut Rencana Aksi ACTIP, mendidik semua lapisan masyarakat dan melibatkan, antara lain, tokoh masyarakat merupakan langkah mendasar untuk menciptakan lingkungan yang aman. Selanjutnya, melakukan dan mendukung penelitian dan pengumpulan data diidentifikasi sebagai maksud untuk lebih memahami fenomena perdagangan dan bagaimana mencegahnya. Dalam Rencana Aksi ACTIP, disarankan juga agar database perdagangan ASEAN harus dikembangkan dengan membuat sistem pengumpulan data nasional di setiap negara ASEAN dan menghubungkannya melalui database regional.

Pada kesempatan Konsultasi Lintas Sektoral AICHR tentang Instrumen Berbasis Hak Asasi Manusia yang Terkait dengan Pelaksanaan ACTIP, Khususnya Perempuan dan Anak-anak, yang diadakan pada 29 dan 30 Agustus di Yogyakarta, perwakilan pemerintah, perwakilan AICHR, organisasi non-pemerintah dan berbagai pemangku kepentingan memiliki kesempatan untuk membahas bagaimana mengembangkan strategi implementasi ACTIP ASEAN berdasarkan hak asasi manusia. Secara khusus, pendekatan berbasis hak asasi manusia untuk memerangi perdagangan telah didefinisikan sebagai memahami apa penyebab utama perdagangan manusia dan di mana harus bertindak dengan mempertimbangkan perspektif korban dan orang yang rentan terhadap masalah tersebut. Sesuai dengan itu, kebutuhan untuk menyeimbangkan upaya antara pencegahan, penegakan hukum dan perlindungan korban ditekankan sebagai hal yang sangat penting untuk memiliki pendekatan komprehensif untuk memerangi Perdagangan Manusia.

Selama Konsultasi, dimensi ekonomi pencegahan digambarkan perlu untuk mengatasi akar penyebab perdagangan karena dengan memberikan pelatihan dan alternatif kepada orang-orang bahwa pencegahan dapat menjadi sarana untuk memberdayakan individu. Tempat yang strategis untuk melakukan pencegahan telah diidentifikasi di tingkat lokal dan lebih spesifik di desa-desa karena kedekatannya dengan orang-orang memfasilitasi deteksi kerentanan dan pengakuan atas kasus perdagangan pada tahap awal. Akibatnya, kerjasama dengan pejabat pemerintah lokal dan pembentukan organisasi berbasis desa untuk mencegah perdagangan sangat dianjurkan. Namun demikian, diakui juga bahwa masih ada kurangnya peluang ekonomi di tingkat akar rumput untuk Organisasi Masyarakat Sipil dan bahwa lebih banyak sumber daya perlu dialokasikan untuk menjangkau sebanyak mungkin individu.

Tentu saja, ada konsensus luas mengenai hubungan antara memprioritaskan strategi pencegahan dan menerapkan pendekatan berbasis Hak Asasi Manusia untuk menangani perdagangan manusia. Meskipun demikian, kemauan politik pemerintah ASEAN dalam mengadopsi pendekatan yang lebih komprehensif untuk memerangi perdagangan akan memainkan peran penting dalam memperkuat upaya pencegahan. Pendekatan yang lebih proaktif yang melampaui sekedar peningkatan kesadaran akan membutuhkan tindakan positif dari negara dan alokasi dana. Kebijakan berbasis Hak Asasi Manusia yang efektif untuk memerangi perdagangan manusia perlu menemukan keseimbangan yang tepat antara dimensi regional, di mana kerjasama antar negara sangat diperlukan, dan dimensi lokal, terutama tingkat desa, di mana prakarsa pencegahan telah terbukti efektif dan membutuhkan dukungan politik yang lebih besar.

 

REFERENSI:

One Year Later: ASEAN Anti-Trafficking Action Plan Still Dormant

https://businessmirror.com.ph/asean-convention-against-trafficking-in-persons-enters-into-force-in-march/

http://www.thejakartapost.com/news/2016/09/29/indonesia-to-ratify-asean-convention-against-human-trafficking-1475161284.html

http://www.kemlu.go.id/id/berita/siaran-pers/Pages/konsultasi-actip-lanjutan-ks-lintas-batas.aspx

Lokakarya Peningkatan Pemahaman ACTIP dan APA di Indonesia

http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/16/09/29/oe9fyb366-konvensi-asean-tentang-perdagangan-manusia-diharap-selesai-akhir-tahun

http://m.covesia.com/berita/27571/menlu-saat-ini-proses-ratifikasi-actip-tengah-dijalankan-indonesia.html

http://agreement.asean.org/search.html?q=trafficking

Home

 

“Taking prevention seriously>developing a comprehensive response to child trafficking and sexual exploitation” Jonathan Todres.

“ASEAN Welcomes Entry into Force of ACTIP” asean.org.

AICHR Cross-sectoral Consultation on the Human Rights Based Instruments Related to the Implementation of the ACTIP, Especially Women and Children, 29th– 30th of August, Yogyakarta.

ASEAN Plan of Action Against Trafficking in Persons, Especially Women and Children.

ASEAN Human Rights Declaration.

ASEAN Convention Against Trafficking in Persons, Especially Women and Children.

[1] Indonesia dan Brunei belum meratifikasi ASEAN ACTIP, namun ada tanda-tanda positif bahwa proses ratifikasi telah dimulai.

 

 

Artikel ini ditulis oleh Ilaria Montagna (dalam Bahasa Inggris), seorang mahasiswa master Teori dan Praktek Hak Asasi Manusia di Universitas Oslo, ketika magang di Pusat Studi Sosial Asia Tenggara (CESASS).

 

Belajar tentang Perbedaan Hukuman Mati di Negara-Negara Asia Tenggara

Negara-negara Asia Tenggara memiliki peraturan hukuman mati sendiri, sebenarnya mereka semua memilikinya sampai Filipina dan Brunei menghapus hukuman mati mereka. Sebagian besar negara-negara Asia Tenggara memiliki kejahatan yang dapat dihukum dengan modal yang sama seperti; penyelundupan narkoba, kepemilikan narkoba jika dianggap sebagai kejahatan terorganisir atau melebihi batas kuantitas, terorisme, pembunuhan, pengkhianatan, spionase, kejahatan perang, melawan kemanusiaan, dan juga genosida. Namun, setiap daerah memiliki perbedaan dalam peraturan tersebut.

Indonesia telah mengeksekusi banyak penjahat terutama dalam perdagangan obat-obatan terlarang dan terorisme, baik penjahat dari Indonesia atau negara lain, ini membuat kontroversi dengan negara lain yang sudah menghapus hukuman mati terutama Indonesia telah meratifikasi ICCPR, namun pemerintah Indonesia tidak mentolerir kejahatan luar biasa ini. dan eksekusi masih dieksekusi di Indonesia.

Malaysia memiliki dua undang-undang yang dapat dipilih untuk digunakan dalam persidangan, karena mereka juga mengakui hukum syariah selain dari peraturan mereka sendiri, yang harus dilakukan di pengadilan Islam. Metode yang digunakan Malaysia untuk eksekusi tergantung. Di Malaysia, seorang pelanggar yang melepaskan senjata api dalam upaya untuk membunuh atau menyebabkan kerugian saat menentang penangkapan atau melarikan diri dari tahanan yang sah dapat dihukum dengan hukuman mati.

Berbeda dengan negara lain, dalam kejahatan kepemilikan narkoba Singapura bukanlah kematian yang dapat dihukum, karena asalkan di bawah 20 gram dan orang tersebut dapat dibuktikan tidak bersalah dari perdagangan narkoba maka mereka tidak dapat dihukum mati. Singapura memiliki peraturan yang menyatakan hukuman mati harus dilakukan dengan menggunakan metode gantung, hal ini dinyatakan dalam Bagian 316 KUHAP; “Ketika seseorang dijatuhi hukuman mati, hukumannya akan mengarahkan bahwa dia akan digantung di leher sampai dia mati tetapi tidak akan menyatakan tempat di mana maupun waktu ketika hukuman itu akan dilakukan.”

Thailand memiliki sejarah panjang tentang hukuman mati karena negara mereka menggunakan sistem monarki. Saat itu selama periode Rattanakosin, Thailand berada di bawah “Hukum Tiga Segel”. Sistem ini dikodifikasikan pada 1805 pada masa pemerintahan Raja Rama I di bawah monarki absolut dan tetap di sana sampai Thailand beralih ke monarki konstitusional, setelah revolusi pada tahun 1932. Ada 21 bentuk hukuman mati yang berbeda di bawah Hukum Tiga Segel, seperti; mereka yang dihukum karena pengkhianatan akan dibungkus dengan kain yang direndam minyak dan dibakar. Metode eksekusi Thailand telah berubah beberapa kali tahun ini; seperti pada tahun 1938 narapidana dieksekusi dengan menggunakan senapan otomatis tunggal, pada tahun 2001 lima narapidana dieksekusi oleh regu tembak dalam eksekusi publik, sampai akhirnya pada tahun 2003 Thailand mengadopsi suntikan mematikan sebagai metode resmi eksekusi,

KUHP Vietnam pada waktu itu memiliki begitu banyak kejahatan yang dianggap dihukum mati, namun setelah amandemen pada tahun 2009 dikurangi menjadi hanya 22 kejahatan. Vietnam mengatur 29 kejahatan pada KUHP mereka yang membuat hukuman mati dapat dipilih sebagai hukuman. Kemudian Vietnam menggunakan metode regu tembak sebagai eksekusi, digantikan dengan suntikan mematikan setelah UU Eksekusi Putusan Pidana, pasal 59 (1) disahkan oleh Majelis Nasional pada November 2011. Pada November 2015, KUHP Vietnam sedang diberlakukan. diamandemen yang membuat hukuman mati dihapuskan untuk tujuh kejahatan seperti; menyerah kepada musuh, menentang ketertiban, penghancuran proyek-proyek penting keamanan nasional, perampokan, kepemilikan obat-obatan terlarang, perampasan obat-obatan terlarang, dan produksi dan perdagangan makanan palsu.

Myanmar memiliki beberapa amandemen dalam mengatur hukuman mati. Myanmar telah mengamandemen hukum mereka sehingga hukuman mati mencakup perdagangan narkoba pada tahun 1993, dan kemudian pada 2005 pemerintah mengubah lagi sehingga hukuman mati juga berlaku untuk perdagangan manusia. Hukuman mati diatur dan dijelaskan berdasarkan Pasal 353 dan 373 Konstitusi 2008, yang menyatakan bahwa seorang individu tidak dapat dicabut nyawanya kecuali dalam pelaksanaan hukum yang ada pada saat pelanggaran. Namun, hak ini dilemahkan oleh Konstitusi Myanmar, pasal 382, ​​yang memungkinkan undang-undang untuk melepaskan hak-hak dasar dalam keadaan tertentu. Di Myanmar, kejahatan terkait terorisme tidak dinyatakan dapat dihukum mati, karena pemerintah yang berwenang menganggap dan menuntut kejahatan terkait terorisme sebagai pengkhianatan, yang berdasarkan peraturan mereka pengkhianatan dapat dihukum dengan hukuman mati. Dari laporan eksekusi, baik Laos dan Brunei tidak lagi melakukan hukuman mati pada tahun ini, meskipun mereka masih memilikinya di hukum mereka. Eksekusi terakhir yang terjadi di Laos adalah pada tahun 1989, sedangkan Brunei pada tahun 1957.

Baik Filipina dan Kamboja sudah menghapus hukuman mati dari hukum mereka. Namun, Filipina memiliki beberapa kali amandemen hukum pidana mati dalam sejarah mereka, sejak tahun 1946 hingga 1986 Filipina masih melakukan hukuman mati dengan kursi listrik, ini untuk kejahatan pembunuhan, pemerkosaan, dan pengkhianatan. Di Filipina 1987 Konstitusi dilarang hukuman mati tetapi memungkinkan Kongres untuk mengembalikannya “selanjutnya: untuk” kejahatan keji “, yang membuat hukuman mati masih dieksekusi selama didefinisikan menjadi kejahatan keji. Hingga 2006, hukuman mati sedang ditangguhkan oleh Undang-Undang Republik No. 9346 yang ditandatangani oleh Presiden Filipina saat itu, Gloria Macapagal-Arroyo. Pada akhirnya, presiden memaafkan banyak tahanan selama masa kepresidenannya dan membuat Filipina tidak lagi memiliki hukuman mati atas hukum mereka.

Ada banyak metode untuk mengeksekusi hukuman mati yang ada di negara-negara Asia Tenggara, seperti; Gantung, Pemotretan, Injeksi Lethal, dan bahkan Kursi Listrik. Semua metode ada karena sejarah dan latar belakang yang berbeda dari masing-masing negara, dipelajari oleh negara lain dan pengaruh hukum di negara mereka.

Gantung adalah metode yang paling umum yang digunakan dalam hukuman mati negara-negara yang menggunakan metode ini adalah, Malaysia, Singapura, Myanmar, Brunei. Metode lain adalah injeksi mematikan yang digunakan di Thailand, Vietnam. Sementara Indonesia dan Laos memiliki metode yang sama dalam mengeksekusi hukuman mati, mereka menggunakan metode penembakan. Sebelum penghapusan hukuman mati, Filipina menggunakan kursi listrik karena pengaruh dari masa kolonial AS, kemudian diubah menggunakan regu tembak pada tahun 1987, dan diubah lagi pada tahun 1993 untuk menggunakan suntikan mematikan. Sementara di sisi lain, sejauh yang saya cari tidak ada catatan tentang metode eksekusi Kamboja; sejak mereka telah menghapuskan hukuman mati pada tahun 1989.

 

REFERENSI:

Crouch, Melissa and Tim Lindsey. 2014. Law, Society and Transition in Myanmar. Oxford, United Kingdom: Hart Publishing

Harding, Andrew and Peter Leyland. 2011. The Constitutional System of Thailand: A Contextual Analysis. Oxford and Portland, Oregon: Hart Publishing

http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/04/150426_dampak_diplomatik_indonesia

http://madpet06.blogspot.co.id/2011/04/malaysias-death-penalty-information-as.html

http://news.bbc.co.uk/2/hi/asia-pacific/5112696.stm

Mempertanyakan Kebijakan Penenggelaman Kapal Asing

Berita tentang penenggelaman kapal negara asing yang mencuri ikan di perairan Indonesia akhir-akhir ini semakin marak. Nyaris semua media massa memberitakan mengenai tindakan pemerintah ini. Tindakan ini bukanlah hal baru di Indonesia, hanya saja pemberitaannya baru diperhatikan media,  dan dianggap tidak biasanya sehingga mendapatkan atensi dari publik.

Di era globalisasi ini dimana hubungan antar Negara menjadi sesuatu yang penting, terlebih hubungan Indonesia dengan negara-negara di ASEAN. Tindakan tegas suatu negara kepada warga negara asing tentu saja akan mempengaruhi hubungan baik kedua negara. Jika kita melihat melalui kasus penenggelaman kapal asing ini maka tindakan pemerintah Indonesia yang mengebom kapal asing tanpa bernegosiasi dengan negara asalnya dapat disimpulkan mempengaruhi hubungan baik kedua negara.

 

Hukum Perikanan Indonesia

Namun sebelum kita mengkritisi tindakan tegas pemerintah Indonesia ini alangkah baiknya kita melihat permasalahan ini dari segi hukum, dimana Indonesia adalah negara hukum dan semua kegiatan yang dilakukan di Indonesia haruslah dilindungi dan sesuai dengan hukum yang berlaku.

Menurut UU No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan Pasal 69 ayat (4) menyatakan “Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) penyidik dan/atau pengawas perikanan dapat melakukan tindakan khusus berupa pembakaran dan/atau penenggelaman kapal perikanan yang berbendera asing berdasarkan bukti permulaan yang cukup”. Pasal ini memberikan penyidik atau pengawas perikanan Indonesia memiliki hak untuk melakukan tindakan khusus seperti penenggelaman kapal asing dengan bukti permulaan yang cukup, dimana sesuai dengan penjelasan pasal ini; yang dimaksud dengan “bukti permulaan yang cukup” adalah bukti dugaan adanya tindak pidana di bidang perikanan oleh kapal perikanan berbendera asing tersebut, contohnya adalah tindak pidana pencurian ikan yaitu menangkap atau mengangkut ikan ketika memasuki wilayah pengelolaan perikanan di Indonesia.

Setelah melihat pasal diatas tentu saja proses penenggelaman kapal tidaklah main asal dibom saja, namun dengan proses pengecekan surat-surat kapal dan pembuktian lainnya seperti yang telah disebutkan di pasal tersebut yaitu membutuhkan bukti permulaan yang cukup.

Indonesia melalui UU No. 17 tahun 1985 sudah meratifikasi UNCLOS yaitu  United Nations Convention on the Law of the Sea, yang diartikan sebagai Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut yang merupakan mengenai hukum internasional tentang kelautan. Hal ini membuat pada Pasal 102 dalam UU Perikanan mengikuti aturan yang ditentukan dalam UNCLOS Article 73 (3) yang mengatur bahwa hukuman yang diberikan untuk tindak pidana perikanan yang terjadi di Zona Ekonomi Eksklusif tidak boleh berupa pengurungan, kecuali adanya kesepakatan dari kedua belah pihak negara.

Hal ini membuat Pasal 69 ayat 4 yang berisi ancaman pidana paling lama 6 tahun kepada tindak pidana perikanan oleh negara asing menjadi tidak berlaku jika tidak ada kesepakatan dari kedua negara, hukuman yang mereka dapatkan hanya berupa denda paling banyak 20 miliar rupiah dan dideportasi ke negara asal.

Setidaknya dari aspek hukum tindakan tegas penenggelaman kapal dengan cara pengeboman tidaklah bertentangan dengan UNCLOS dikarenakan subyek yang dilindungi oleh Article 73 (3) adalah manusianya bukan kapalnya, dimana manusianya dapat diberi denda atau deportasi tanpa diberikan pidana kurungan sedangkan kapalnya dapat disita atau bahkan ditenggelamkan olehPemerintah Indonesia, tentu saja dengan proses yang sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku di negara itu.

Namun lain halnya jika dilihat dalam pandangan hubungan internasional. Hubungan Indonesia dengan yang bersangkutan berpotensi memburuk akibat permasalahan ini. Hal ini dikarenakan seringkali negara yang bersangutan ingin warganya diadili menurut hukum yang berlaku di negara mereka., hukum yang dianggap dapat melindungi hak-hak warga negaranya. Belum lagi tekanan kepentingan dari beberapa pihak dari negara tersebut.

 

Praktik Mafia Pelelangan Kapal

Sebenarnya ada beberapa pilihan tindakan yang dapat diambil pemerintah terhadap kasus seperti ini, misalnya dengan penyitaan atau penghibahan kapal tanpa perlu adanya penenggelaman kapal, hal ini jelas-jelas disebutkan di pasal di undang-undagan perikanan. Namun adanya penggelapan dan praktik mafia perikanan yang dapat memberikan keuntungan untuk para pencuri ikan membuat pemerintah Indonesia terpaksa untuk melakukan penenggelaman kapal ini untuk memberikan efek jera.

Menurut Eks Dirjen Pengawasan dan Pengendalian Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan Indonesia Aji Sularso, adanya praktik mafia perikanan dalam hal pelelangan kapal asing ini adalah dengan cara kerjasama antara pemilik kapal asing dengan mafia perikanan di Indonesia, dengan taksiran harga kapal Rp 1,5 miliar, maka para mafia perikanan Indonesia ini akan mendapatkan uang hingga 50% dari harga kapal tersebut atau sekitar 750 juta rupiah. Pada saat pelelangan kapal tersebut para perusahaan domestic sudah diatur dalam satu grup sehingga tidak ada yang menawar diatas Rp. 150 juta; kemudian Rp. 150juta tersebut tetaplah masuk ke kas negara. Pembagian selanjutnya Rp. 600 juta akan dibagikan ke berbagai pihak terutama Kejaksaan sebagai penuntut umum dan juga penyelenggara lelang tersebut. Sudah banyak kasus yang mencatat harga kapal sitaan hanya disekitaran Rp. 150 juta namun yang masuk ke dalam kas negara hanya sekitar Rp. 40 juta. Terlebih kapal tersebut dapat kembali kepemiliknya dan beroperasi mencuri ikan di Indonesia lagi.

Praktik seperti inilah yang membuat pemerintah Indonesia lebih memilih menenggelamkan kapal daripada melelangnya. Fakta menyebutkan bahwa pelelangan dengan praktik mafia perikanan ini hanya dapat merugikan Negara Indonesia karena biaya operasi penangkapan, biaya adhoc kapal, penambatan kapal dan memberi makan ABK selama proses pengadilan tidak sepadan dengan hasil lelang yang masuk ke kas negara.

Akibat dari penenggelaman kapal asing ini banyak kapal-kapal asing yang berada di perairan Indonesia hampir kosong berdasarkan data  dari pantauan satelit. Dengan ini dapat dikatakan cara ini terbukti efektif dalam membuat kapal-kapal asing illegal tak lagi beroperasi di wilayah laut Indonesia.

Kapal-kapal asing pencuri ikan diperairan Indonesia ini telah membuat kerugian yang besar untuk Indonesia bahkan diperkirakan kerugian hingga Rp. 300 triliun pertahun. Besarnya kerugian negara ini didukung oleh perkiraan Menteri Kelautan dan Perikanan Indonesia Susi Pudjiastuti, menurutnya jumlah tangkapan sebuah kapal asing di perairan Indonesia dapat mencapai 300 ton hingga 600 ton pertahun, para pengangkap ikan illegal itu bukan hanya menangkap tongkol, namun juga udang, ikan pelagi, kakap merah; yang jika dihitung-hitung Indonesia dirugikan US$15 miliar  sampai  US$25  miliar pertahunnya.

Dari hal-hal yang disebutkan diatas, dapat disimpulkan bahwa tindak tegas penenggelaman kapal asing pencuri ikan bukanlah tindakan yang salah secara hukum. Dilihat dari segi hukum tidak ada pasal yang mengatur atau melarang adanya penenggelaman kapal pencuri ikan, walaupun adanya opsi hukuman lain yaitu penghibahan atau pelelangan kapal tersebut namun adanya praktik mafia perikanan di Indonesia membuat hukuman itu diselewengkan dan malah merugikan negara. Walaupun hal ini memungkinkan adanya konflik atau hubungan antar negara menjadi tidak baik, namun sudah seharusnya Negara yang baik adalah negara yang menentang segala bentuk kejahatan yang dilakukan warga negaranya di negara lain dan menghargai setiap kebijakan dan hukum yang berlaku di negara lain. Jalan tengah dari masalah ini adalah dengan diadakannya kesepakatan antar negara mengenai penyitaan, pelelangan, atau penenggelaman kapal asing, hal ini tentu saja bertujuan untuk menjaga hubungan baik antar negara dan juga menekan tindakan-tindakan ilegal.

 

 

Artikel ini ditulis oleh Clay Vulcano Dharanindra, peneliti di Pusat Studi Sosial Asia Tenggara (CESASS).

Indonesia dan Darurat Pernikahan Anak

Pikirkan diri Anda sebagai seorang remaja, antusias dengan dunia. Anda memiliki tujuan yang ambisius, yang akan membantu Anda mencapai impian Anda. Anda ingin menjadi guru, pengacara, dokter, atau mungkin insinyur. Anda melihat tubuh Anda sebagai bunga yang baru mekar, dan menikmati membenamkan diri dalam kisah cinta romantis. Namun, kehidupan terkadang membatalkan semua harapan. Anda diminta (atau lebih tepatnya “dipaksa”) untuk menikah untuk meningkatkan nasib keluarga. Anda dipaksa menikah untuk menghindari dosa. Anda dipaksa menikah dengan adat. Anda menjalani hidup Anda sebagai seorang ibu, meskipun Anda masih anak-anak. Anda menikah untuk mematuhi orang tua Anda, dan sekarang Anda harus menaati suami yang tidak Anda kenal. Impian Anda untuk menjadi pengacara, guru, atau dokter langsung goyah.

 

 

Judicial Review Putusan Mahkamah Konstitusi No. 30-74 / PUU-XII / 2014, yang gagal menaikkan usia pernikahan di Indonesia, mengkhawatirkan di tengah seruan dunia untuk mengakhiri pernikahan anak. Data yang dikeluarkan oleh Dewan Hubungan Luar Negeri, menyatakan bahwa Indonesia adalah salah satu dari sepuluh negara di dunia dengan jumlah anak terbanyak. Di kawasan ASEAN, Indonesia adalah yang kedua setelah Kamboja. Di Indonesia, Jawa Barat merupakan jumlah anak terbanyak. Tentu saja ini semakin terkait dengan tingginya tingkat perdagangan manusia di wilayah ini. Keadaan ekonomi global saat ini, akan mengarah pada kemiskinan yang mendorong orang untuk melakukan apa saja untuk bertahan hidup. Di kawasan ASEAN, pernikahan telah digunakan untuk menyamarkan masalah pelacuran dan perdagangan anak (Plambech, 2010; Lainez, 2010).

Hukum perkawinan di Indonesia masih bersifat diskriminatif, dan merupakan faktor yang berkontribusi terhadap tingginya tingkat kekerasan terhadap perempuan. Undang-undang khusus ini tidak diragukan lagi akan mengarah pada penghambatan akses anak perempuan ke hak-hak dasar mereka, seperti pendidikan dan kesehatan. Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974, pasal 7, paragraf 1, menyatakan bahwa pernikahan hanya diizinkan ketika pria mencapai usia 19 tahun, dan ketika wanita telah mencapai usia 16 tahun. Penolakan peninjauan yudisial atas batas usia pernikahan mengindikasikan bahwa negara mengabaikan perlindungan terhadap anak perempuan. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK), juga bertentangan dengan UU No.35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, khususnya pasal 26 ayat 1 (c), yang menyatakan bahwa orang tua bertanggung jawab untuk mencegah pernikahan anak-anak mereka jika mereka masih di bawah umur. Menurut Pasal 1 Undang-Undang Perlindungan Anak, ini mencakup semua anak di bawah usia 18 tahun.

Masalah yang berkaitan dengan pernikahan anak di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari masalah ekonomi, sosial, dan budaya yang mendasarinya. Selain kemiskinan dan pendidikan yang rendah, situasi budaya juga mempengaruhi tingkat pengantin anak. Di Nusa Tenggara Barat, pernikahan anak terjadi karena mekanisme budaya merariq di masyarakat Sasak. Sistem Merariq menunjukkan bahwa ketika seorang wanita pergi ke rumah dengan seorang pria di malam hari, maka itu adalah tanda bahwa mereka akan menikah. Karena itu, pendidikan hukum adat budaya merariq harus dibenahi agar pernikahan anak bisa dicegah (Fajriyah, 2016: 72-73).

Pernikahan anak di Indonesia mengkhawatirkan. Data pada tahun 2012 menunjukkan bahwa sekitar 11,13% anak perempuan menikah antara usia 10-15 tahun, dan sekitar 32,10% menikah antara usia 16-18 tahun. Praktik pernikahan anak harus dihentikan. Selain membatasi potensi anak, hal itu juga dapat mengakibatkan tingginya angka kematian ibu di Indonesia. Statistik menunjukkan bahwa kematian terjadi pada 359 / 100.000 kelahiran hidup, dan 48/1000 kelahiran di mana ibu berusia antara 15-19 tahun (SDKI, 2012 dalam Candraningrum, Journal of Women Vol .88, Februari 2016).

Penyebab perkawinan anak tidak dapat dipisahkan dari tiga hal: (1) kemiskinan dan akses pendidikan yang buruk; (2) munculnya fundamentalisme agama yang menjadikan diskusi tentang seksualitas dan perzinahan tabu; dan (3) akses yang buruk ke HKRS (hak kesehatan reproduksi seksual) (Grijns, et al, 2016). Berdasarkan studi ini, direkomendasikan untuk mengurangi tingkat perkawinan anak dengan memasukkan pendidikan seksual yang komprehensif ke dalam kurikulum sekolah, sehingga anak-anak dan remaja mengetahui hak kesehatan reproduksi seksual mereka.

Jalan lain untuk mencegah perkawinan anak adalah dengan membuat kebijakan melalui Peraturan Daerah (Perda). Ini telah terjadi di Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta, melalui Peraturan Bupati (Perbub) Gunung Kidul No.36 tahun 2015. Proses serupa telah terjadi di Provinsi Nusa Tenggara Barat, melalui Surat Edaran Gubernur No. 150 / 1138 / Kum tentang Kematangan Pernikahan (PUP), yang merekomendasikan usia pernikahan bagi pria dan wanita untuk menjadi setidaknya 21 tahun (www.ntbprov.go.id, 2015). Berbagai kebijakan yang dibuat oleh pemerintah daerah sebagai upaya untuk memberantas pernikahan anak, sangat menjanjikan pada saat pemerintah pusat tidak mengetahui masalah ini. Selain itu, keterlibatan masyarakat juga perlu, seperti yang terjadi di Gunung Kidul, Yogyakarta. Pembuat kebijakan, bersama dengan warga negara, bersama-sama mempromosikan jaringan integrasi berbasis MoU (perjanjian kolektif) untuk menghapuskan pernikahan anak (Sundari, 2016). Selama pernikahan anak, pihak-pihak terkait seperti Kepala RT, RW, Kepala Desa, petugas KUA, puskesmas, kelompok tani, polisi dan LSM mengunjungi dan mendidik keluarga, sehingga pernikahan dapat dicegah. Gerakan ini telah berhasil mengurangi perkawinan anak dari 9 kasus pada 2012, turun menjadi 8 kasus pada 2013, dan menjadi hanya 5 kasus pada 2014. (Sundari, 2010: 45-46).

Namun, dorongan untuk menghilangkan pernikahan anak tidak hanya diperlukan dalam hal pencegahan, tetapi juga harus didekati dengan memberikan bantuan paska nikah. Masa kanak-kanak harus menjadi saat yang menyenangkan, melibatkan bermain, belajar, dan mengembangkan potensi diri. Konseling ibu muda yang sudah menikah harus mencakup pendidikan tentang kesehatan reproduksi seksual, pengasuhan anak, pengajaran, dan penguatan kapasitas untuk menghilangkan kemungkinan trauma, termasuk konseling hukum ketika ada kecenderungan untuk bercerai, serta pelatihan untuk mendorong potensi mereka di bidang usaha kreatif. Bantuan semacam itu harus melibatkan berbagai kelompok sosial seperti pemerintah, masyarakat, kelompok ulama, dan terutama keluarga.

Pernikahan anak adalah masalah global yang dialami oleh banyak negara di dunia. ASEAN sendiri juga telah berkomitmen untuk menghapus kekerasan terhadap anak, termasuk pernikahan anak melalui Rencana Aksi Regional ASEAN tentang Penghapusan Kekerasan terhadap Anak (ASEAN RPA on EVAC). Komitmen ASEAN termasuk pencegahan, perlindungan dan peningkatan kesadaran untuk mencegah kekerasan terhadap anak-anak secara fisik, seksual atau psikologis. Aspirasi ASEAN harus mendorong pemerintah Indonesia untuk menanggapi keadaan darurat pernikahan anak yang saat ini sedang terjadi.

 

 

Artikel ini ditulis oleh Meike Lusye Karolus, peneliti di Pusat Studi Sosial Asia Tenggara (PSSAT).

School of Peace: Memahami ASEAN Melalui Dialog Interfaith

Sudah menjadi sebuah kebenaran bahwa masyarakat ASEAN terdiri dari berbagai budaya, etnis dan kepercayaan. Memahami masyarakat ASEAN jelas tidak dapat dipisahkan dari perbedaan-perbedaan yang ada. Dalam hal ini, kepercayaan yang tumbuh dan berkembang menjadi bagian dari masyarakat yang melekat dalam kehidupan mereka.

ASEAN menjadi kawasan berkumpul dan berkembangnya sejumlah kepercayaan-kepercayaan lewat jalur perdagangan maupun lewat kolonilisasi pada masa silam. Namun pada dasarnya, pada masyarakat ASEAN itu sendiri telah ada dan berkembang sejumlah kepercayaan sejak ratusan bahkan ribuan tahun sebelumnya, bahkan hingga saat ini masih terus dipertahankan keberadaannya seperti pada masyarakat indigenous yang memiliki kepercayaan terhadap alam.

Pada beberapa waktu yang lalu, sebuah program School of Peace (SOP) yang dilaksanakan oleh Interfaith Coordinator Forum (ICF) melibatkan 15 pesrta dari kawasan Asia dengan didominasi oleh peserta yang berasal dari kawasan Asia Tenggara. Kegiatan yang dilaksankan selama tiga bulan di Seam Reap, Kambodia ini memiliki fokus pada keadilan dan perdamaian dengan melihat perbedaan kepercayaan yang dimiliki oleh masyarakat khususnya yang ada di kawasan ASEAN. Penulis sendiri menjadi salah satu peserta pada program tersebut. Kegiatan ini sendiri menjadi sebuah program yang menarik dalam melihat keberagamaan masyarakat ASEAN.

Berbicara masalah agama dan kepercayaan dapat membawa kepada sejumlah perbedaan dan juga kesamaan. Agama dan kepercayaan sendiri merupakan identitas dari masyarakat atau juga diri pribadi. Sebagai sebuah identitas, terkadang agama dan kepercayaan dapat menimbulkan konflik. Kemudian konflik tersebut membawa kepada pemahaman bahwa agamalah yang menyebabkan konflik tersebut, yang kemudian menimbulkan sinisme antar kelompok agama dan kepercayaan yang ada. Pada tahapan ini, kemudian konflik akan meluas dan melibatkan banyak massa dengan berdalih membela agama dan kepercayaan mereka. Akan tetapi, agama dan kepercayaan yang ada pada dasarnya tidak pernah mengajarkan kebencian dan permusuhan. Agama dan kepercayaan lahir dari nilai harmonisasi yang murni dalam melihat hubungan antara manusia dan manusia, manusia dan alam, serta manusia dengan tuhan.

 

Dialog Interfaith

Proses pemahaman yang mendalam antar agama mungkin tidak cukup hanya dilakukan pada ruang-ruang seminar atau pertemuan. Sama halnya dengan upaya untuk mencipatakan kehidupan yang harmonis tidak hanya cukup dengan toleransi, akan tetapi aspek terpenting ialah keterikatan. Sejauh mana setiap orang atau sebuah kelompok merasa bagian dari kelompok lain. Seperti yang selama ini digadang-gadangkan “torang semua ba saudara”. Dialog sudah seharusnya kembali pada hakikat dasarnya yaitu mempertemukan orang-orang pada ruang privat, yang lebih bersifat kekeluargaan dan lebih kepada mendengrakan bukan memperdebatkan.

Selama ini mungkin saja konflik antar agama terjebak pada pemahaman yang keliru atau bisa dikatakan bahwa pemahaman itu benar-benar keliru. Hal itu muncul karena kurangnya pemahaman yang dalam dan lengkap mengenai agama dan kepercayaan yang berbeda. Lebih parahnya lagi, proses mincipakan saling pengertian tersebut berupa kegiatan dialog yang dilakukan dalam ruang seminar yang menghabiskan waktu dua tiga jam dan telah diklaim sebagai proses yang dianggap cukup dalam memahami perbedaan antar agama dan kepercayaan. Jika kembali lagi pada pengertian dialog, maka merupakan proses mendengarkan yang tidak dapat diselesaikan dalam waktu yang singkat. Ada proses panjang yang harus dilalui untuk kemudian menarik kesimpulan. Dalam berdialog, setiap orang harus datang dengan hati dan pikiran yang tulus. Setiap orang yang terlibat bukan untuk mencari cela, tapi lebih kepada memahami mengapa terdapat perbedaan. Dari situ kemudian melahirkan pemahaman yang benar. Di sini, yang tidak kalah penting ialah setiap orang harus mampu menumbuhkan rasa empati dalam dirinya, sehingga melahirkan sebuah perasaan saling menghargai yang dilandasi oleh kasih sayang.

 

Engagement : Toleransi Saja Tidak Cukup

Sudah sejak lama Indonesia mengemukakan bahwa dalam menumbuhkembangkan masyarakat yang harmonis dan damai, maka kita harus hidup dalam toleransi. Antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain saling menghargai dan menghilangkan sekat-sekat yang ada. Nampaknya toleransi telah menjadi bagian hidup masyarakat. Namun pertartanyaan yang timbul adalah apakah toleransi saja cukup? Sejauh mana toleransi bertahan jika tidak mendorong setiap orang untuk saling terikat antara satu dan lain dalam kehidupan yang lebih harmonis?

Dengan melihat berbagai konflik yang timbul di kawasan ASEAN, termasuk di Indonesia, dengan mengatas namakan agama nampaknya perlu mempertegas bahwa konflik tersebut bukan berdasarkan agama. Kelompok masyarakat yang berkonflik tidak serta merta mewakili agama tertentu. Hal ini perlu diperjelas, termasuk dalam pemberitaan oleh media massa yang dengan mudah memberi lebel kelompok agama tertentu pada kasus konflik yang terjadi.

Pada satu kesempatan, penulis berkunjung ke Kabupaten Cilacap. Kota kabupaten yang terletak di Jawa Tengah tersebut memiliki keberagaman dalam agama dan kepercayaan. Tidak hanya agama-agama yang diakui dalam undang-undang akan tetapi terdapat pula kepercayaan masyarakat jawa seperti Jawa Kejawen. Kemudian yang menarik ialah masyarakat yang hidup dalam perbedaan tersebut saling terikat dalam hubungan yang harmonis. Pada satu pertemuan, perbedaan dibicarakan secara santai dalam suasana kekeluargaan.

Indonesia yang merupakan negara dengan pemeluk agama Islam terbanyak di dunia, setidaknya sebagian masyarakat merasa geram dengan saudara-saudara Islam Rohingya di Mianmar. Berbagai pemberitaan menunjukan perlakuan tidak adil pemerintah Mianmar dan bahkan para penganut agama Budha terhadap mereka. SOP kemudian banyak melakukan dialog interfaith dengan memahami ajaran Budha itu sendiri. Di sini kemudian menjadi jelas, bahwa ajaran Budha tidak pernah mengajarkan untuk membenci apa lagi menyakiti dan membuhuh. Ajaran Budha penuh dengan belas kasih dan cinta kasih terhadap makhluk hidup. Kekerasan yang terjadi terhadap Islam Rohingya, jelas merupakan kekeliruan. Agama dijadikan latar belakang untuk membenarkan tidakakan kekerasan yang sama sekali tidak pernah diajarkan dalam agama itu sendiri.

Jika kembali lagi pada masyarakat ASEAN, maka masyarakat ASEAN lahir sebagai masyarakat yang memiliki sejumlah agama dan kepercayaan yang berbeda. Dari perbedaan tersebut, masyarakat kemudian mampu menumbuhkan rasa empati yang melihirkan keterikatan yang harmonis tanpa ada sekat dan prasangka. Dengan demikian, untuk memahami masyarakat ASEAN sudah seharusnya dimulai dari hal dasar yang menjadi falsafah hidup mereka serta pada aspek yang paling dekat dengan masyarakat itu sendiri yakni agama dan keyakinan. Sehingga, kita benar-benar mengerti bahwa masyarakat yang hidup dikawasan Asia Tenggara memiliki warna tersendiri yang menjadi ciri khasnya, identitas yang berbeda dengan masyarakat di belahan bumi lainnya.