• Tentang UGM
  • IT Center
  • Bahasa Indonesia
    • Bahasa Indonesia
    • English
Universitas Gadjah Mada Pusat Studi Sosial Asia Tenggara
Universitas Gajah Mada
  • Beranda
  • Tentang Kami
    • Selayang Pandang
    • Peneliti
    • Peneliti Mitra
    • Mitra
    • Perpustakaan
  • Penelitian
    • Penelitian
    • Kluster
  • Program
    • Konferensi Internasional
      • Konferensi Urbanisasi Asia Internasional ke-17
      • SEA MCA 2021
      • Symposium on Social Science 2020
      • Symposium on Social Science 2018
    • SUMMER COURSE
      • Summer Course 2021
      • Summer Course 2022
      • Summer Course 2023
      • PROGRAM SUMMER COURSE MMAT 2024 SOCIAL TRANSFORMATION IN CONTEMPORARY SOUTHEAST ASIA
    • CESASS Research Fellowship
    • Magang
      • MAGANG DOMESTIK
      • Aktivitas Magang
      • Essay Magang
    • CESASS TALK
    • CESASS Chat
    • Program Sebelumnya
      • SEA Talk
      • SEA Chat
      • SEA Movie
    • Pelatihan
      • Workshop Kominfo
  • Publikasi
    • Jurnal
    • Buku
    • Prosiding
  • Esai Akademik
    • Ekonomi & Kesejahteraan Sosial
    • Hukum dan Hak Asasi Manusia
    • Media dan Komunikasi
    • Pendidikan
    • Politik dan Hubungan Internasional
    • Sejarah dan Budaya
    • Panduan Artikel
  • Beranda
  • 2016
  • July
Arsip 2016:

July

Cambodian Orphanage Tourism – Ketika Anak Yatim Dijadikan Objek Wisata

Esai AkademikSejarah dan Budaya Thursday, 21 July 2016

Tahun 2001 lalu aktris ternama Hollywood,  Angelina Jolie, mengunjungi daerah Kamboja barat ketika ia sedang menjalani syuting film box-officenya Tomb Raider. Angeline lalu jatuh hati dengan seorang bayi mungil yang baru berumur 7 bulan. Setahun kemudian Angelina  resmi mengadopsi bayi tersebut yang kemudian diberi nama ‘Maddox’ dan dirawat hingga kini. Angelina mengakui bahwa dirinya sebenarnya  tidak  ada keinginan untuk mempunyai anak, sebelum dia berjumpa dengan bayi tersebut. Namun ketika ia bermain bersama anak-anak di sebuah sekolah di Kamboja, hal yang kemudian mengubah pikirannya. Kini, Angelina menjadi seorang ibu dari enam orang anak, dan 3 diantaranya melalui proses adopsi.

 

—

 

Anak-anak dengan wajah yang riang, kata-kata yang polos, spontan, lucu, penuh keceriaan, tak jarang memikat hati dan empati kita. Empati adalah emosi manusia yang kuat, namun perasaan empati terhadap anak-anak ini nyatanya dikapitalisasi menjadi salah satu objek bisnis di Kamboja dengan sasaran empuk turis-turis asing dan relawan.

Kita tidak bisa menutup mata bahwa pariwisata juga telah mentransformasi kehidupan sosial rakyat Kamboja, terutama anak-anak. Salah satu contoh nyata yang terjadi di Kamboja ialah berkembangnya salah satu cabang pariwisata baru yaitu orphanage tourism – wisata panti asuhan. Pada dasarnya, orphanage tourism dapat berarti mengunjungi sebuah panti asuhan selama beberapa jam sebagai bagian dari tur yang terjadwal dan terkadang ditambah dengan kegiatan seperti berjalan-jalan. (Eimer, 2013)

Namun di Kamboja, kebanyakan kegiatan orphanage tourism ini telah berkembang menjadi sebuah objek komoditas bisnis. Orphanage tourism menjadi salah satu sisi gelap dunia pariwisata Kamboja yang memanfaatkan panti-panti asuhan dan lembaga-lembaga perawatan anak yatim piatu untuk dijadikan objek wisata di mana kepolosan anak kecil menjadi umpan untuk menarik hati para wisatawan yang biasanya akan memberibantuan berupa donasi. Orphanage tourism menempatkan dan mengkomodifikasi anak sebagai objek yang rapuh, tak berdosa, menggemaskan, dan menunggu untuk dicintai oleh orang-orang dari dunia pertama. (Reas, 2013)

Para wisatawan yang datang ke Kamboja ditawarkan untuk mengunjungi panti asuhan dan memberikan donasi kepada para anak-anak yang ada di panti asuhan. Karena orang-orang asing sering memberikan donasi, niat baik dari para donator ini kemudian disalahgunakan oleh oknum-oknum pengelola yang berkedok pada ‘orphanage tourism’. Panti asuhan yang seharusnya menampung anak-anak yatim piatu untuk diberi pendidikan, diasuh, dan dirawat sengaja diubah menjadi suatu tempat untuk menghasilkan pundi-pundi kekayaan di mana anak-anak sengaja dijadikan objek untuk menarik belas kasih dari para wisatawan. Ketika wisatawan yang berkunjung ke panti asuhan mengeluarkan sejumlah uang sebagai bentuk donasi, sejumlah uang tersebut justru masuk ke kantong para pengelola panti asuhan. Selain itu, sejumlah panti asuhan tersebut kurang memiliki layanan perlindungan, pendidikan, dan kesehatan anak dan sengaja mempertahankan kondisi hidup yang buruk sehingga anak-anak terlihat menderita dan dengan demikian meningkatkan sumbangan dari turis asing.

Pariwisata Kamboja membuka celah kepada para oknum-oknum orphanage tourism ini untuk mencari keuntungan. Faktanya, orphanage tourism berkembang pesat seiring dengan berkembangnya pariwisata Kamboja. Pada tahun 2005, Kamboja memperoleh jumlah kunjungan wisatawan mancanegara sebanyak 1.421.615 wisman dan terus naik hingga mencapai angka 2.508.289 wisman di tahun 2010 (Tourism Statistics Report, 2016). Data yang dihimpun oleh Kementrian Sosial, Veteran, dan Rehabilitasi Pemuda Kamboja (MoSVY) menunjukkan bahwa ada peningkatan jumlah panti asuhan di Kamboja sejumlah 75 persen dari angka 154 buah di tahun 2005 menjadi 269 buah di tahun 2010 (UNICEF, 2011). Itupun tidak semuanya terdaftar di MoSVY, diduga banyak panti asuhan yang tidak terdaftar secara legal sehingga jumlah secara factual mungkin lebih tinggi. Intinya, semakin banyak jumlah wisatawan, semakin banyak pula panti asuhan – panti asuhan yang berdiri.

Mirisnya lagi, sebagian besar anak-anak yang dititipkan di panti asuhanpun ternyata sengaja di-yatimpiatu-kan, padahal sebagian besar dari mereka masih memiliki orang tua. Data MoSVY juga menunjukkan bahwa 44 persen dari anak-anak yang diasuh di panti asuhan dibawa kesana oleh orang tuanya sendiri maupun oleh sanak saudaranya. Kemiskinan menjadi faktor utama penyebab mengapa anak-anak dikirimkan ke panti asuhan. Faktanya, 30,1 persen dari masyarakat Kamboja hidup di bawah garis kemiskinan (World Bank, 2009).

Angkor Wat, salah satu situs arkeologi yang bersejarah di Asia Tenggara dan menjadi salah satu daya tarik wisata andalan Kamboja, ditunggangi pula untuk jadi salah satu lokasi penyebaran brosur ini karena banyaknya turis yang berkunjung ke sana. Tidak heran, karena wilayah tempat berdirinya  Angkor Wat, Siem Reap, merupakan daerah kumuh dan salah satu provinsi termiskin di Kamboja. Dan para oknum pelaku orphanage tourism melakukan bisnis ini untuk menaikkan standar hidupnya

 

Upaya Pemberantasan Orphanage Tourism

Salah satu cara untuk mengataasi semakin maraknya kegiatan orphanage Tourism ini adalah anak-anak harus dicegah dari tindakan ekploitasi. Anak-anak yang sengaja dimanfaatkan dalam bisnis orphanage tourism tentu akan terhambat perkembangan mentalnya. Pendidikan yang kurang akan memburamkan masa depan mereka sehingga mereka akan terus terjebak dalam kemiskinan. Ditambah lagi dengan kebersihan dan sanitasi yang tidak layak akan membuat kesehatan anak-anak tidak terjaga.

Fenomena yang terjadi di Kamboja bukan hanya sebagai krisis-krisis anak yang terlantar namun juga telah terjadi krisis kemanusiaan. Lebih jauh lagi, orphanage tourism berpotensi akan bertautan dengan permasalahan lainnya seperti perdagangan anak, prostitusi anak, dan sebagainya. Pemerintah Kamboja sebenarnya telah berupaya untuk menanggulangi permasalahan orphanage tourism ini dengan mengeluarkan sederet kebijakan.

Tahun 2006, pemerintah Kamboja mengeluarkan kebijakan Alternative Care for Children yang bertujuan untuk menjamin agar anak-anak dapat hidup di keluarganya dan di lingkungan yang mendukung. Kebijakan ini juga mempromosikan prinsip bahwa lembaga perawatan seperti panti asuhan seharusnya menjadi opsi terakhir dan merupakan solusi sementara bagi anak-anak yatim piatu.

Menindaklanjuti peraturan tersebut, pada tahun 2006 dan 2008 pemerintah Kamboja juga telah menetapkan standar untuk fasilitas lembaga perawatan untuk anak-anak. Pada tahun 2009, pelaksanaan Kebijakan Alternative Care for Children semakin diperkuat dengan ditetapkannya sistem kesejahteraan anak di Kamboja. Awalnya, kebijakan ini diharapkan akan memperketat izin pendirian panti asuhan sehingga akan mencegah berkembangnya orphanage tourism. Namun masih saja banyak dijumpai kasus serta diikuti permasalahan sebagai dampak dari orphanage tourism hingga saat ini.

Hal ini ikut diperparah karena banyaknya wisatawan, donor, dan relawan yang tidak menyadari bahwa orphanage tourism di kamboja telah memicu lebih banyak bahaya dari pada kebaikan. Untuk itu, sejumlah gerakan organisasi non-profit bersama pemerintah Kamboja sendiri telah menggalakan kampanyenya untuk melawan orphanage tourism sekaligus meningkatkan kesadaran masyarakat dunia akan bahaya orphanage tourism. Banyak gerakan yang telah digencarkan seperti gerakan thinkchildsafe.org dan orphanages.no yang sama-sama memiliki visi untuk menekan penyimpangan dari orphanage tourism di Kamboja.

Pemerintah Kamboja juga mutlak untuk memberantas kemiskinan melalui investasi jangka panjang berupa penyediaan pendidikan dan kesehatan yang layak pada anak-anak sehingga mereka dapat menjadi sumber daya berharga di masa depan. Untuk itu, pendidikan harus tersedia dalam jumlah dan kualitas yang memadai untuk menjamin hak anak anak dalam memperoleh pendidikan.

 

Kunci di Tangan Wisatawan

Wisatawan memang memegang peranan penting dalam rangka melawan orphanage tourism. Terlebih lagi wisatawan merupakan salah satu sumber pendanaan dari panti-panti asuhan di sana. Akhir-akhir ini sedang marak gerakan yang menggalakan dan menghimbau kepada para wisatawan untuk menghindari tur yang bersifat menjadikan anak-anak sebagai daya tariknya, dengan alasan bahwa anak-anak bukanlah objek tur.

Kemudian, wisatawan sebaiknya menghindari untuk memberikan uang kepada para anak-anak. Sebagian wisatawan mungkin akan merasa tidak kuasa untuk menahan diri dan tidak membantu anak-anak di sana. Namun permasalahannya, para wisatawan harus dapat melihat kondisi secara keseluruhan. Hal yang peru disadari adalah dengan memberikan sejumlah uang kepada anak-anak tidak akan membantu banyak. Anak-anak tersebut akan terus terjebak dalam lingkaran kemiskinan apabila hanya terus dipelihara oleh orphanage tourism ini.

Para wisatawan juga hendaknya menghindari donasi-donasi kepada panti asuhan yang tidak jelas reputasinya. Karena dalam hal ini, meskipun dengan niat baik, memberi donasi kepada panti asuhan yang tidak jelas perizinannya akan mendatangkan lebih banyak keburukan daripada kebaikan – sama saja dengan mendukung anak-anak untuk dijadikan objek untuk mendulang keuntungan. Jika tetap ingin berdonasi hendaknya melalui lembaga perawatan yang telah mempunyai izin resmi yang jelas sehingga terpercaya untuk menyalurkan donasi secara tepat. Kemudian hendaknya melaporkan kepada apabila mengetahui ada tindakan.

Sebagai bagian dari masyarakat Asia Tenggara, kita tidak bisa tinggal diam saja menghadapi fenomena orphanage tourism ini. Terutama karena 40% jumlah kunjungan wisatawan Kamboja berasal dari negara-nagara ASEAN sendiri. Di negara-negara Asia Tenggara pulalah praktik-praktik orphanage tourism paling marak terjadi. Mari kita semua memainkan bagian kita dan berkontribusi untuk membangun lingkungan yang positif bagi anak-anak dengan menjadi wisatawan ramah anak.

 

Website Orphanage Tourism:

thinkchildsafe.org

orphanages.no

friends-international.org

 

REFERENSI:

Eimer, D. (2013, April). Voluntourism tips: is it ethical to visit orphanages? Retrieved from Lonely Planet: https://www.lonelyplanet.com/travel-tips-and-articles/77716

Reas, P. J. (2013). ‘Boy, have we got a vacation for you’: Orphanage Tourism in Cambodia and the Commodification and Objectification of the Orphaned Child. Thammasat Review, 121-139.

Tourism Statistics Report. Phnom Penh: Ministry of Tourism Cambodia. Retrieved from Cambodia Tourism: http://www.cambodia-tourism.org/statistic/

UNICEF. (2011). A Study of Attitudes Towards Residential Care in Cambodia. Phnom Penh: UNICEF.

World Bank. (2009). Cambodia Socio-economic Survey for 2007. Phnom Penh: East Asia and Pacific Regional Office.

 

—

 

Artikel yang ditulis oleh Riza Rafigani, mahasiswa Universitas Gadjah Mada, saat magang di Pusat Studi Sosial Asia Tenggara (PSSAT).

Pariwisata dan Komodifikasi Budaya di Asia Tenggara

Esai AkademikSejarah dan Budaya Tuesday, 19 July 2016

Apakah Anda pernah pergi ke Borobudur pada saat Waisak? Atau pergi ke Thailand dan melihat banyak toko yang menyediakan kebutuhan para biksu? Tidak jarang, Anda perlu mempersiapkan uang lebih di dompet Anda.

Ya, ritual agama dan tradisi kebudayaan kini mulai dimanfaatkan oleh para penggiat bisnis untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar dengan dalih pariwisata berbasis budaya. Beberapa tempat ritual keagamaan menerapkan sistem tiket masuk, atau penggunaan atribut keagamaan yang mengharuskan kita membayar sewa. Selain itu, dampak ekonomi juga dirasakan oleh sekitarnya, seperti bisnis makanan dan parkir. Hal inilah yang sering disebut dengan komodifikasi, yang berasal dari kata komoditas dan modifikasi. Sebagian besar ahli dalam penggunaan kontemporer, mengartikan komoditas sebagai suatu barang atau jasa yang berhubungan dengan mode produksi kapitalis dan dapat ditemukan akibat merambahnya paham kapitalisme, ini merupakan warisan Karl Marx dan ekonom politik awal (Appadurai, 1986). Sependapat dengan Karl Marx, Greenwood (1977) pun menyatakan bahwa segala sesuatu yang dijual diasumsikan sebagai bentuk komoditas, tak terkecuali kebudayaan. Modifikasi artinya mengubah. Apabila disatukan dengan pengertian komoditas tadi, komodifikasi adalah pengubahan suatu benda untuk menjadi komoditas yang benilai ekonomis. Shepherd (2002) menyatakan bahwa seiring dengan meningkatnya permintaan wisata, komodifikasi budaya tak bisa dihindarkan karena para turis ingin merasakan pengalaman berbudaya yang beda dari tempat asal mereka. Perdebatan ini cukup hangat didiskusikan oleh publik dan pemerhati budaya maupun agama.

Kebudayaan lokal biasanya dianggap sebagai contoh utama yang rentan akan komodifikasi. Khususnya pakaian adat, ritual, festival, dan seni rakyat tradisional menjadi bagian dari komoditas pariwisata, sebagaimana mereka dipentaskan atau diproduksi semata-mata untuk konsumsi pariwisata. (Cohen, 1988). Kebudayaan lokal biasanya dengan sengaja diubah dan diperlakukan sebagai atraksi wisata sehingga dapat hancur karena kehilangan makna aslinya. Seperti yang dijelaskan oleh Greenwood, hilangnya suatu makna yang terkandung sebagai akibat komodifikasi budaya ini adalah sebuah masalah serius sebagai hasil dari berkembangnya pariwisata yang tidak terkendali.

 

Komodifikasi Budaya di Asia Tenggara

Di Asia Tenggara, industri pariwisata sendiri merupakan komponen penting dari perekonomian semua negara anggota ASEAN — terutama di Kamboja, Laos, Malaysia, Filipina, dan Thailand, di mana kontribusi industri pariwisata selama lebih dari 10% dari PDB dalam perekonomian mereka. Menurut World Travel Tourism Council(WTTC), pada tahun 2013 lalu negara-negara anggota ASEAN mendapatkan devisa yang cukup besar dari sektor pariwisata yaitu sebesar US $112.600.000.000 dari. Dari sisi jumlah kedatangan wisatawan, pada 2014 yang lalu ASEAN juga berhasil mendatangkan total 55 juta wisatawan dari luar ASEAN.

Kekayaan dan keanekaragaman budaya menjadi salah satu daya tarik wisata yang menjadi pilar utama kesuksesan pariwisata di Asia Tenggara ini. Dengan memanfaatkan budaya sebagai daya tarik, negara-negara di kawasan juga tidak juga luput dari permasalahan komodifikasi budaya tersebut. Seperti halnya di Indonesia dengan tradisi budaya masyarakat Hindu Bali, tari-tarian di dalamnya memiliki makna yang berlapis dan biasanya dipentaskan di pura tempat sembahyang sebagai persembahan kepada para dewa. Dalam konteks kepariwisataan, pertunjukan tari-tarian merupakan salah satu bentuk hiburan yang kemudian bisa diperjualbelikan kepada para turis. Baker et al. (2006) menyoroti tentang dampak yang dibawa oleh pariwisata kepada Tari Barong yang populer di kalangan para turis. Baker menjelaskan bagaimana I Made Kredek, seorang penari sekaligus koreografer terkenal dari Desa Singapadu, memperkenalkan versi pendek dari Tari Barong yang hanya berdurasi satu jam sehingga lebih cocok untuk disajikan kepada para turis. Versi ini juga terdapat bagian ‘kerasukan’ dari para penarinya meskipun hanyalah sebuah simulasi yang terkontrol, berdurasi singkat, dan dengan dialog yang minimal. Lebih jauh lagi, kostum yang digunakan juga sengaja disesuaikan dengan selera para turis. Sebagai contoh, topeng Barong di beberapa pertunjukan bahkan dibuat mirip dengan topeng kepala singa Barongsai yang biasa ditemui di Asia Timur supaya lebih menarik perhatian wisatawan dari daerah tersebut. Upaya ini memicu polemik di antara masyarakat Bali. Di satu sisi ada beberapa orang yang setuju dan beropini bahwa penciptaan versi ‘turis’ dari Tari Barong sebenarnya ini adalah sebuah usaha untuk memisahkan Tari Barong asli yang sakral dan digunakan untuk upacara ritual. Sedangkan beberapa orang lain tetap tidak setuju dan beranggapan bahwa Tarian Barong seharusnya hanya untuk keperluan ritual saja untuk menjaga kesakralannya, bukan untuk disajikan kepada para turis.

Tidak jauh berbeda dengan Bali, industri pariwisata di Thailand telah berkembang sedemikian pesatnya hingga Thailand berhasil menarik wisatawan dengan jumlah yang masif, hingga mencapai angka 29,88 juta wisatawan pada tahun 2015 yang lalu. Pariwisata juga telah berjasa memberikan sumbangsih sebesar 10 persen dari PDB Thailand. Distrik Chiangkhan, di Provinsi Loei telah terkenal sebagai sebuah daerah tujuan wisata budaya yang penting di bagian barat laut. Ketika industri pariwisata Thailand semakin berkembang, banyak sekali produk budaya masyarakat Chiangkhan yang sengaja dimodifikasi lalu dijual kepada wisatawan (Meekaew & Srisontisuk, 2012). Misalnya saja, rumah-rumah tradisional warga yang sengaja direnovasi menjadi homestay kemudian ditawarkan kepada para wisatawan. Komodifikasi budaya lainnya terjadi pada ritual sedekah beras ketan kepada para biksu yang biasa dilakukan oleh warga sekitar. Beras ketan diletakkan di dalam mangkuk-mangkuk kemudian dikirim ke sebuah kuil bersama dengan makanan dan bunga-bunga. Para pemilik usaha perjalanan dan pemilik homestay melihat peluang bisnis dan membuat sebuah paket kemasan yang berisikan beras ketan, makanan, dan bunga-bunga yang dapat dibeli oleh para wisatawan. Jelas, upaya tersebut merupakan komodifikasi karena kehadiran pariwisata di sana telah merubah nilai dari ritual ini dan mengubahnya menjadi salah satu komoditas yang dapat dijual.

Hal serupa terjadi di Vietnam. Mua roi nuoc, berasal dari bahasa Vietnam yang berarti ‘boneka yang menari di atas air’, adalah sejenis wayang yang merupakan seni pertunjukan tradisional Vietnam. Wayang ini mirip dengan wayang golek di Indonesia. Yang membedakan ialah pertunjukan wayang yang beratnya 10-15 kg ini disajikan di atas panggung berupa kolam berisi air setinggi pinggang. Pertunjukan wayang air Mua roi nuoc berakar pada nilai-nilai agama dari kehidupan agraris di Vietnam (Pack, Eblin, & Walther, 2012). Pertunjukan ini menghubungkan aspek penting dari agama dan spiritualitas yang diwujudkan dalam cerita-cerita rakyat dalam pementasannya selama berabad-abad. Seiring dengan meningkatnya popularitas Mua roi nuoc di kalangan wisatawan, para praktisi modern telah mengubah komponen kunci dari penampilan mereka baik dari segi isi dan format yang bertujuan untuk menarik penonton dari wisatawan mancangera. Misalnya, topik utama yang mengangkat kehidupan rakyat pedesaan Vietnam kini telah digabungkan dengan topik-topik lain yang lebih universal seperti cinta dan asmara. Tokoh-tokoh yang dimunculkan juga terpengaruh oleh budaya asing seperti dimunculkannya tokoh koboi. Durasi pertunjukan telah dipersingkat secara signifikan untuk memaksimalkan jumlah pertunjukan dalam sehari. Tak heran bahwa dewasa ini banyak pemimpin adat, dalang, dan tokoh kebudayaan yang mengklaim bahwa pertunjukan kontemporer ini telah kehilangan nilai pertunjukan ritualnya yang terkait dengan spiritualitas pedesaan Vietnam.

 

Antara Kebutuhan Pariwisata dan Pemeliharaan Budaya

Bagai dua sisi mata uang, kehadiran pariwisata di Asia Tenggara mendatangkan pengaruh yang positif maupun negatif. Sisi positif yang kita bisa peroleh ialah bahwa pariwisata telah memutar roda perekonomian sehingga mampu mendatangkan devisa yang cukup besar. Pariwisata juga berperan sebagai sebuah sarana mempelajari budaya asing sehingga kita bisa mendapatkan cross cultural understanding untuk menciptakan perdamaian dunia yang diimpi-impikan. Namun mau tidak mau, kita juga merasakan efek negatif dari hadirnya pariwisata berupa komodifikasi budaya lokal seperti yang sudah dijelaskan. Untuk menyikapi hal tersebut, damage control (pengendalian kerusakan) perlu dilakukan agar kebudayaan tidak berubah penuh menjadi hanya sebagai paid performance, perlu dipisahkan mana budaya yang sakral dan mana budaya yang dapat dipromosikan kepada turis. Salah satu pendekatan lain yang mungkin bisa dilakukan adalah proses de-marketing dengan maksud pembatasan/pengeksklusifan wisatawan yang datang ke daerah wisata teresbut. Hal ini didasari asumsi bahwa wisatawan dengan jumlah yang berlebihan, atau sering disebut dengan mass tourism, dapat merusak nilai-nilai yang ada di tempat tersebut (Swarbrooke, 1999).

Budaya lebih menonjolkan nilai-nilai kearifan yang terkandung di dalamnya, sementara ekonomi lebih menonjolkan sisi komersial dan kesejahteraan masyarakat. Harus ada titik seimbang antara budaya dan ekonomi. Harus ada pemisahan mana kebudayaan yang bermakna dalam dan sakral dengan bagian dari kebudayaan tersebut yang boleh dipromosikan untuk wisata.  Meskipun dapat dikatakan bahwa cukup sulit untuk mencapai hal tersebut, namun pada akhirnya akan mendatangkan manfaat dan kebaikan bagi kebudayaan itu sendiri. Harus ada keyakinan bahwa tidak mustahil untuk menemukan keseimbangan yang sempurna di antara. Hasil kebudayaan masih bisa dimanfaatkan sebagai daya tarik wisata, selama para pemain dunia pariwisata tidak gelap mata dan mengubah intisari kebudayaan tersebut semata-mata untuk meraup keuntungan belaka.

 

REFERENSI:

Appadurai, A. (1986). Commodities in Cultural Perspective. Cambride: Cambridge University Press.

Barker, T., Putra, D., & Wiranatha, A. (2006). Authenticity and commodification of Balinese dance performances. Cultural Tourism in a Changing World, 215.

Cohen, E. (1988). Authenticity and commoditization in tourism. Annals of Tourism Research, Volume 15, 371-386.

Greenwood, D. J. (1977). Culture by the pound: An anthropological perspective on tourism as cultural commoditization. Hosts and Guests: The Antrophology of Tourism, 129-138.

Meekaew, N., & Srisontisuk, S. (2012). Chiangkhan: Cultural commodification for tourism and its impact on local community. International Proceedings of Economics Development and Research, Volume 42, 34-37.

Pack, S., Eblin, M. and Walther, C. (2012). Water puppetry in the red river delta and beyond: tourism and the commodification of an ancient tradition. ASIANetwork Exchange: A Journal for Asian Studies in the Liberal Arts, Volume 19(2)

Shepherd, R. (2002). Commodification, Culture, and Tourism. Volume 2(2), 183-201.

Swarbrooke, J. (1999). Sustainable Tourism Management. New York: CABI Publishing.

 

—

 

Artikel yang ditulis oleh Aninda Dewayanti & Riza A. Raafigani.

 

Berita Terakhir

  • Inovasi dan Sistem Pengelolaan Sampah yang Smart untuk Mendukung Implementasi Smart City di Ibu Kota Nusantara
  • PSSAT UGM Menyelenggarakan Webinar Series GEO-PW #6 dan Focus Group Discussion Kelanjutan Pembangunan Ibu Kota Negara: Aspek Penguatan dan Pembatasan
  • CESASS UGM dan SEALC NCCU Adakan Pertemuan Strategis untuk Memperkuat Kemitraan Regional
  • Penandatanganan MoU Kolaborasi Jurnal antara COMICOS 2026 dan IKAT: The Indonesian Journal of Southeast Asian Studies
  • PSSAT UGM Menerima Kunjungan Director of Government Affairs & Strategic Collaborations, Grab Indonesia
Universitas Gadjah Mada

Pusat Studi Sosial Asia Tenggara
Universitas Gajah Mada

Gedung PAU, Jl. Teknika Utara
Daerah Istimewa Yogyakarta 55281
pssat@ugm.ac.id
+62 274 589658

Instagram | Twitter | FB Page | Linkedin |

© Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY