• Tentang UGM
  • IT Center
  • Bahasa Indonesia
    • Bahasa Indonesia
    • English
Universitas Gadjah Mada Pusat Studi Sosial Asia Tenggara
Universitas Gajah Mada
  • Beranda
  • Tentang Kami
    • Selayang Pandang
    • Peneliti
    • Peneliti Mitra
    • Mitra
    • Perpustakaan
  • Penelitian
    • Penelitian
    • Kluster
  • Program
    • Konferensi Internasional
      • Konferensi Urbanisasi Asia Internasional ke-17
      • SEA MCA 2021
      • Symposium on Social Science 2020
      • Symposium on Social Science 2018
    • SUMMER COURSE
      • Summer Course 2021
      • Summer Course 2022
      • Summer Course 2023
      • PROGRAM SUMMER COURSE MMAT 2024 SOCIAL TRANSFORMATION IN CONTEMPORARY SOUTHEAST ASIA
    • CESASS Research Fellowship
    • Magang
      • MAGANG DOMESTIK
      • Aktivitas Magang
      • Essay Magang
    • CESASS TALK
    • CESASS Chat
    • Program Sebelumnya
      • SEA Talk
      • SEA Chat
      • SEA Movie
    • Pelatihan
      • Workshop Kominfo
  • Publikasi
    • Jurnal
    • Buku
    • Prosiding
  • Esai Akademik
    • Ekonomi & Kesejahteraan Sosial
    • Hukum dan Hak Asasi Manusia
    • Media dan Komunikasi
    • Pendidikan
    • Politik dan Hubungan Internasional
    • Sejarah dan Budaya
    • Panduan Artikel
  • Beranda
  • 2017
  • December
Arsip 2017:

December

Sepak Bola, Memori Kolektif, dan Nasionalisme di Asia Tenggara

Esai AkademikSejarah dan Budaya Thursday, 21 December 2017

Nasionalisme adalah hal yang tak pernah selesai. Ia harus diwariskan secara terus menerus melalui pendidikan, slogan, dan tentu saja keberadaan liyan. Dalam konteks relasi antar negara keberadaan liyan akan menjadi lebih rumit jika identitas nasional bangsa lainnya pernah bersinggungan dalam konflik terbuka. Dengan kata lain, liyan akan dianggap sebagai sosok antagonis jika sejarah menyajikan memori kolektif tentang konflik antar negara.

Di Asia Tenggara, konflik antar negara bukanlah hal baru. Konfrontasi antara Malaysia dengan Indonesia di penghujung Orde Lama adalah salah satu contohnya. Namun, sejak ASEAN didirikan 50 tahun yang lalu konflik terbuka antar negara Asia Tenggara yang tergabung dalam ASEAN hampir tidak pernah terdengar. Hal tersebut disebabkan negara-negara yang tergabung dalam ASEAN bersepakat untuk tidak saling mengintervensi kedaulatan negara lain dalam bidang politik ataupun ideologi. Dengan kesepakatan tersebut mereka berharap bisa menciptakan perdamaian di kawasan regional Asia Tenggara.

Namun demikian memori tetaplah memori. Sejarah konflik yang terekam secara kolektif bisa membuat sentimen yang tertanam laten bisa mencuat kembali. Dalam pandangan Plato yang dikutip oleh Anne Whitehead (2009) memori penting masa lalu bisa muncul kembali jika ada pancingan dari terciptanya relasi kritis di masa sekarang. Dalam tataran praktis, kondisi tersebut bisa ditemukan dalam kemarahan pendukung Indonesia terhadap Malaysia pada perhelatan SEA Games 2017 yang membuat netizen Indonesia teringat akan sejarah konfrontasi Indonesia-Malaysia di tahun 1964. Dimulai Dari kasus bendera terbalik hingga bertemunya kesebelasan Indonesia dengan Malaysia pada semifinal cabang olah raga sepak bola pria; memori kolektif kita terhadap politik konfrontasi yang dilancarkan oleh Bung Karno kembali hidup dan termanifestasi dalam slogan-slogan ‘nasionalistik’ seperti “Ganyang Malaysia”, atau tagar yang lebih kontemporer seperti #shameonyoumalaysia. Slogan-slogan tersebut dihidupkan kembali seakan tak mempedulikan bahwa kini banyak Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di negara itu.

Secara sekilas maraknya slogan-slogan bernada sumbang tersebut adalah contoh dari menguatnya nasionalisme di era digital. Tak jarang naiknya wacana-wacana tersebut di jejaring sosial diiringi dengan pesan-pesan tentang pentingnya menjaga persatuan di tengah kondisi kebangsaan kita yang semakin rapuh pasca Pilkada Jakarta. Tentu menarik untuk melihat kembali bagaimana sebuah bangsa yang di sedang dilanda konflik politik antar-golongan seperti Indonesia bisa kembali menemukan semangat nasionalisme persatuan dalam olahraga. Akan tetapi sebagai sebuah ideologi, nasionalisme memang akan kembali hidup jika dipanggil. Dalam hal ini pemanggilan dilakukan dengan medium media yang menyiarkan dan mengobarkan semangat nasionalisme melalui framing-framing dengan nuansa patriotik. Kondisi tersebut semakin didukung dengan pernyataan kekecewaan menteri olahraga Imran Nahwari terhadap persiapan Malaysia sebagai tuan rumah Sea Games dan opini sinis dari warganet Indonesia terhadap kepemimpinan wasit asal Malaysia dalam pertandingan sepak bola pria Indonesia melawan Timor Leste. Akumulasi dari presepsi negatif rakyat Indonesia terhadap kompetensi Malaysia sebagai tuan rumah Sea Games 2017 bertambah parah dengan adanya sejarah konfrontasi Indonesia-Malaysia yang tercetus dalam Dwi Komando Rakyat (Dwikora). Oleh karenanya tak mengherankan jika protes yang dilakukan oleh netizen Indonesia terhadap Malaysia bukan lagi protes yang rasional tapi emosional.

Permasalahan konflik dalam dunia olahraga yang mengikutsertakan sentimen politik bukanlah monopoli Indonesia dan Malaysia semata. Di regional ASEAN sentimen serupa pernah terjadi dalam pertandingan anatara Thailand melawan Vietnam dalam turnamen Asean Football Federation U-19 (AFF U-19) di Viantieni, Laos. Saat itu Thailand sedang dalam proses meniup Vietnam, dengan hasil akhir 6-0. Dalam perayaan tersebut, para pendukung Thailand mulai menyalakan dan melambaikan suar. Sebuah tim polisi Laos pergi ke tribun, mungkin untuk memastikan tidak ada yang terluka, namun mereka mendapat reaksi keras dari pendukung Thailand. Kekacauan pun meletus, dan tembakan senjata banyak beredar. Ketika polisi Laos mencoba memasuki kerumunan, para penggemar Thailand menciptakan semacam “dinding manusia” untuk mencegah pihak berwenang mengakses tribun mereka. Menariknya, pendukung Vietnam juga ikut “membantu” polisi Laos dengan melemparkan botol ke arah pendukung Thailand[1].

Rumitnya pertikaian antar pendukung Laos, Vietnam, dan Thailand di lapangan hijau bisa kita telusuri secara lebih luas dengan membaca buku berjudul Creating Laos: The Making of a Lao space between Indochina and Siam 1860-1945 karya Søren Ivarrson. Dalam buku tersebut, dijelaskan bahwa identitas kultural Laos tercipta dari pertarungan antara kaum ekspansionis Thailand dan Pemerintah Kolonial Prancis di Indocina. Dengan demikian identitas masyarakat Laos dibentuk seiring dengan hadirnya kenangan buruk terhadap Thailand. Di sisi lain, ideologi komunis yang menjadi tonggak nasionalisme Laos dan Vietnam dewasa ini, membuat rasa persaudaraan antara masyarakat Laos serta Vietnam menguat, apalagi Thailand sebagai lawan mereka dalam turnamen tersebut, nasionalismenya bertumpu pada feodalisme kerajaan yang berlawanan dengan asas dasar komunisme[2]. Oleh karenanya, tak mengherankan jika pendukung Vietnam terlihat aktif “membantu’’ polisi Laos dengan turut melempar botol ke arah pendukung Thailand.

Maraknya konflik terbuka yang dilakukan oleh pendukung olah raga–khususnya sepak bola–dalam pertandingan antar negara bukanlah hal yang mengejutkan. Kehadiran para pendukung ke stadion untuk meluapakan rasa nasionalisme secara langsung dan terbuka biasanya akan dibalas dengan tindakan serupa dari pendukung lawan. Dengan jumlah massa yang banyak tentu sangat sulit untuk memastikan ekpresi mereka masih dalam koridor yang “aman”. Belum lagi jika media, tokoh masyarakat, ataupun sejarah kelam di masa lalu ikut dilibatkan dalam menciptakan persepsi negatif terhadap tim lawan. Jika hal demikian terjadi, maka bisa dipastikan sentimen nasionalisme yang bercorak oposan biner akan memanaskan jalannya pertandingan. Dengan demikian sepak bola bukan lagi menjadi urusan antara pemain, wasit, ataupun FIFA; sebab seperti kata kolumnis Zen RS dalam sambutannya pada buku Sepak Bola Sejuta Tafsir: sepak bola bukanlah urusan perebutan bola semata, karena sepanjang 90 menit berlangsungnya pertandingan sepak bola terdapat begitu banyak alegori kehidupan. Jika boleh menambahkan, maka saya percaya bahwa seperti halnya kehidupan, jalannya pertandingan akan semakin rumit jika kita memiliki musuh. Oleh karenanya, tak mengherankan bila Jean-Paul Sartre berkata, “dalam sepak bola segalanya menjadi lebih rumit akibat kehadiran tim lawan”

 

Referensi:

Ivarrson, Søren. 2008. Creating Laos: The Making of a Lao Space between Indochina and Siam 1860-1945. Copenhagen: NIAS Press

Kennedy, S Edward. 2014. Sepak Bola Sejuta Tafsir. Yogyakarta: Indie Book Corner

Sartre, Jean-Paul. 2004. Critique of Dialectical Reason, translated by Alan Sheridan-Smith. London: Verso

Whitehead, Anne. 2009. Memory. New York: Routledge

https://www.youtube.com/watch?v=aXPlleyUGLI diaksea pada 15 September 2017 pukul 2.14

https://www.youtube.com/watch?v=aXPlleyUGLI diaksea pada 15 September 2017 pukul 2.14

[1] Anda bisa melihat video kerusuhan dalam laman berikut https://www.youtube.com/watch?v=aXPlleyUGLI diaksea pada 15 September 2017 pukul 2.14

[2] Guna penjelasan lebih lanjut sila baca http://www.newmandala.org/soccer-wars-in-southeast-asia/ diakses pada 15 September 2017 pukul 1.09

 

—

 

Artikel yang ditulis oleh Venda Pratama, mahasiswa Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, UGM, saat magang di Pusat Studi Sosial Asia Tenggara (PSSAT).

In the Light of Breaking the Chains (2015): Pasung di Indonesia Saat Ini

Esai AkademikHukum dan Hak Asasi Manusia Wednesday, 20 December 2017

Pasung adalah praktik tradisional untuk menangani orang-orang dengan gangguan psikologis, atau mereka yang dianggap demikian. Praktik ini terdiri dari mengikat orang, sering dengan rantai, dan mengunci mereka di kamar kecil, kandang atau gudang. Praktik ini bisa berlangsung dari beberapa jam hingga bertahun-tahun. Meskipun dilarang di Indonesia pada tahun 1977, praktik ini masih dipraktekkan sampai hari ini, terutama di daerah pedesaan.

Harus saya akui bahwa ketika saya mendengar tentang pasung untuk pertama kalinya saya cukup kaget. Adalah kekejaman dan ketidakberdayaan orang-orang yang paling mengejutkan saya. Namun, film dokumenter Breaking the Chains, dirilis pada tahun 2015, membuat saya melihat masalah ini dari perspektif yang lebih luas. Para penciptanya tidak fokus pada bagaimana orang-orang brutal yang mengutuk orang-orang yang mereka cintai dengan takdir seperti itu, tetapi menunjukkan betapa kompleksnya situasi mereka, yaitu berapa banyak elemen mempengaruhi keputusan untuk mengambil langkah seperti itu.

Tidak bisa dipungkiri bahwa praktik-praktik seperti itu melanggar hak asasi manusia. Namun, orang-orang yang ditampilkan dalam film itu merantai keluarga mereka bukan karena mereka kejam dan tak berjiwa. Mereka juga tidak melakukannya karena takut akan reaksi tetangga mereka. Meskipun mungkin motivasi ini penting dalam beberapa kasus, orang-orang yang digambarkan dalam Breaking the Chains tidak melihat kemungkinan lain. Seringkali, tidak ada lembaga yang mengkhususkan diri dalam pengobatan penyakit mental di daerah mereka. Kadang-kadang harga kunjungan ke psikiater adalah beban yang tidak dapat diatasi. Akhirnya, banyak dari mereka hanya percaya bahwa itu adalah sihir hitam yang menyebabkan masalah, jadi daripada mengunjungi dokter yang berkualifikasi, mereka akan mencari solusi dari para pemimpin spiritual, tabib tradisional, atau spesialis sihir hitam, yang sering kali menegaskan keyakinan mereka pada pasung sebagai satu-satunya jalan keluar. Salah satu protagonis film ‘- Yayah – didiagnosis dengan skizofrenia kronis tetapi keluarganya percaya dia dirasuki oleh roh jahat. Mereka mengira pasung adalah satu-satunya pilihan mereka, jadi mereka mengunci dan merantai Yayah selama 17 tahun.

Para pembuat film Breaking the Chains mengikuti para aktivis yang terkait dalam Komunitas Sehat Jiwa (Komunitas Orang dengan Penyakit Mental) – sebuah organisasi yang terbentuk di Cianjur (Jawa Barat) yang tujuannya adalah untuk sepenuhnya menghilangkan praktik pasung. “Tidak ada obat lain untuk ini,” kata seorang ibu dari seorang pria yang sakit jiwa di salah satu adegan film, selama percakapan dengan seorang psikiater. Para penyembuh setempat menegaskan keyakinannya. Aktivis Komunitas Sehat Jiwa mencari orang-orang seperti itu. Mereka menawarkan kepada mereka pengetahuan tentang kondisi keluarga mereka, pengobatan yang tepat, serta memberikan obat yang tepat. Yang penting, mereka menjelaskan kepada keluarga berapa banyak cinta dan rasa hormat yang penting untuk proses pengobatan. Tampaknya kurangnya pendidikan merupakan faktor utama yang mempertahankan tradisi pasung.

Menurut data yang disajikan dalam film tersebut, hingga peluncurannya, Komunitas Sehat Jiwa berhasil menguraikan 117 pasien, termasuk Yayah. Diagnosis mereka tentang alasan-alasan seperti skala besar fenomena di Indonesia berbunyi sebagai berikut:

“Tempat berlindung bukan hanya produk ketidaktahuan keluarga dan masyarakat, ketidakmampuan ekonomi, atau penolakan untuk menerima perawatan psikiatris. Lebih tepatnya itu terkait dengan kurangnya perhatian dan tanggung jawab pemerintah untuk menyediakan layanan kesehatan mental dasar bagi orang-orang dengan penyakit mental yang parah” (Pasung, n.d.).

Pada tahun 2016, Human Rights Watch khawatir tentang betapa buruknya status perawatan kesehatan mental di Indonesia, mengeluarkan laporan luas tentang topik ini berjudul Living in Hell: Abuses against People with Psychosocial Disabilities in Indonesia (Hidup di Neraka: Pelecehan terhadap Orang-Orang dengan Cacat Psikososial di Indonesia) (Sharma, 2016). Data yang disajikan oleh penulis laporan itu mengkhawatirkan – selama pembuatannya ada 57 ribu orang di Indonesia yang telah dipasung setidaknya sekali dalam hidup mereka. 18.800 orang saat ini dipasung. Para penulis laporan menunjukkan bahwa pasung bukanlah satu-satunya masalah yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia dalam hal perlindungan kesehatan mental. Pasien di berbagai jenis pusat kesehatan, tradisional atau agama, serta panti jompo, dan akhirnya rumah sakit psikiatri, sering mengalami berbagai macam pelanggaran, termasuk kekerasan fisik dan seksual, pengasingan paksa dan pengobatan paksa. Beberapa dari pusat kesehatan mental tersebut merawat pasien dengan terapi elektrokonvulsif – tanpa persetujuan mereka. Yang lebih buruk, beberapa rumah sakit masih melakukan perawatan ini dengan cara yang tidak dimodifikasi – tanpa anestesi, pelemas otot atau oksigenasi.

Data yang disediakan oleh Departemen Kesehatan Indonesia, yang dikutip dalam laporan yang disebutkan sebelumnya, menegaskan bahwa sebagian kecil penduduk Indonesia memiliki akses ke perawatan psikiater. Hanya 48 rumah sakit psikiatri yang beroperasi di negara berpenduduk 250 juta orang. 8 dari 34 provinsi di Indonesia tidak memiliki rumah sakit jiwa, 3 bahkan tidak memiliki seorang psikiater. Organisasi Kesehatan Dunia memperkirakan bahwa pada tahun 2014, untuk setiap 100 ribu orang Indonesia, ada 0,29 psikiater dan 0,18 psikolog yang bekerja di sektor kesehatan mental. Sebagai perbandingan – pada saat yang sama, ada 0,76 psikiater per 100 ribu orang Malaysia, di Singapura tingkat ini adalah 3,48, di Norwegia 29,69. Pada tahun 2011 Swiss memiliki lebih dari 40 psikiater untuk setiap 100 ribu orang (“Global Health,” 2015).

Para penulis artikel yang berjudul “Human Rights of Persons with Mental Illness in Indonesia: More Than Legislation Is Needed”, diterbitkan oleh International Journal of Mental Health Systems, tampaknya untuk mengkonfirmasi tesis yang disebutkan sebelumnya, bahwa kesalahan untuk keadaan yang buruk terletak bukan dengan rakyat, tetapi tindakan lembaga pemerintah yang tidak mencukupi (Irmansyah, Prasetyo & Minas, 2009). Mereka menunjukkan bahwa dari sudut pandang legislatif, situasinya memuaskan, tetapi peraturan yang benar tidak selalu diikuti oleh tindakan yang memadai. Namun, Departemen Kesehatan Indonesia, Kementerian Sosial dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mengakui pasung sebagai masalah serius dan telah menyatakan bahwa mereka akan melakukan apa saja untuk membebaskan Indonesia dari itu. Perhatian di seluruh dunia yang diperoleh oleh Breaking the Chains meyakinkan bahwa tidak hanya Indonesia sendiri yang menunggu tindakan tegas dalam waktu terdekat.

 

REFERENSI:

Colucci, E. (Director). (2015). Breaking the Chains [Motion picture].Global Health Observatory data repository. (2015, May 8). Retrieved from http://apps.who.int/gho/data/node.main.MHHR?lang=en

Irmansyah, I., Prasetyo, Y.A. & Minas, H. (2009, Jun 19). Human rights of persons with mental illness in Indonesia: more than legislation is needed. International Journal of Mental Health Systems, 3:14. Retrieved from https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2709890/

Pasung. (n.d.). Retrieved from http://komunitassehatjiwa.blogspot.co.id

Sharma, K. (2016 March 20). Living in Hell: Abuses against People with Psychosocial Disabilities in Indonesia. Retrieved from https://www.hrw.org/report/2016/03/20/living-hell/abuses-against-people-psychosocial-disabilities-indonesia

 

—

 

Artikel ini ditulis oleh Michał Bielecki (dalam Bahasa Inggris), seorang mahasiswa PhD di Graduate School for Social Research di Institute of Philosophy and Sociology dari Akademi Ilmu Pengetahuan Polandia, saat bekerja sebagai rekan peneliti di Pusat Studi Sosial Asia Tenggara (CESASS).

Seminar Hasil Penelitian Program World Class Professor di Universitas Mataram

Aktivitas Wednesday, 20 December 2017

Setelah bekerja keras sejak bulan Agustus – November untuk merealisasikan program World Class Professor (WCP) Kemenristekdikti, konsorsium Pusat Studi Sosial Asia Tenggara (PSSAT) Universitas Gadjah Mada, Pusat Kajian Mitigasi Bencana dan Rehabilitasi Pesisir (PKMBRP/CoRem) Universitas Diponegoro, serta Pusat Studi Tsunami dan Mitigasi Bencana (TDMRC) Universitas Syiah Kuala menyelenggarakan seminar hasil penelitian bertema “Ecological Communication on Maritime Disaster Management in Southeast Asia” di Fakultas Teknik, Universitas Mataram (15/12/2017).

Dalam seminar tersebut, terdapat dua panel yang terdiri dari enam topik penelitian yang akan dipresentasikan oleh tim peneliti dari konsorsium ini. Berbagai topik penelitian yang dipaparkan dalam panel pertama antara lain, “The Importance of Integrated Research in Disaster Risk Reduction” oleh Kepala TDMRC Unsyiah, Dr. Khairul Munadi, “Coastal Geo-hazard at Semarang and Demak, Central Java” oleh Kepala CoRem Undip, Dr. Muhammad Helmi, dan “Ecological Communication: Social Adaptation to Maritime Disasters in Indonesia” oleh Kepala PSSAT UGM, Dr.phil. Hermin Indah Wahyuni. Dalam panel kedua, berbagai penelitian yang dibahas antara lain, “Study of Earthquake Hazard and Its Mitigation in Northern Sumatra” oleh Dr.Muksin Umar (TDMRC, Unsyiah), “The Effect of ENSO on the Variability of SST and Chlorophyll-a in the Maluku Sea” oleh Dr.Sc. Anindya Wirasatriya, dan “Waste as an Environmental Disaster: Socio-Religious Practices at the South Coast of Java” oleh Dr.phil.Vissia Ita Yulianto.

Seminar hasil ini dihadiri oleh kalangan civitas akademika Universitas Mataram dan praktisi yang memiliki ketertarikan dalam isu lingkungan dan bencana maritim. Berbagai penelitian tersebut akan dipublikasikan melalui jurnal-jurnal ilmiah internasional. Dengan demikian, tujuan program WCP sebagai sarana untuk mendukung kapasitas akademisi dan meningkatkan publikasi internasional telah tercapai. Program WCP juga tidak hanya membuka kesempatan untuk bertemunya para akademisi dan institusi di tanah air, tetapi juga potensi kerjasama dengan akademisi dan institusi dari luar negeri. (Meike)

Kerjasama PSSAT UGM Memulai Kerjasama dengan Goethe Universität Frankfurt

Aktivitas Sunday, 17 December 2017

Salah satu upaya untuk mengembangkan kapasitas dan kinerja sebuah institusi adalah membangun kerjasaman dengan institusi lainnya. Hal tersebut juga dilakukan oleh Pusat Studi Sosial Asia Tenggara (PSSAT) Universitas Gadjah Mada yang memulai kerjasaman dengan Departemen Kajian Asia Tenggara, Goethe Universität Frankfurt am Main (7/12/2017). Kepala PSSAT UGM, Dr.phil. Hermin Indah Wahyuni didampingi oleh peneliti PSSAT UGM , antara lain Dr. Agus Suwignyo, Dr. phil. Vissia Ita Yulianto, Andi Awaluddin Fitrah, M.A., Aditya Indra Nugraha, S.Ant, dan Fitri Handayani, S.I.P. bertemu dengan Kepala Departemen Kajian Asia Tenggara Goethe Universität Frankfurt am Main, Prof. Dr. Arndt Graf.

Departemen Kajian Asia Tenggara Goethe Frankfurt am Main merupakan salah satu departemen kajian Asia Tenggara terbaik di Jerman. Sebelumnya, PSSAT UGM telah menjalin kerjasama dengan departemen Kajian Asia Tenggara, Albert-Ludwig University of Freiburg. Dengan menjalin kerjasama dengan departemen kajian Asia Tenggara di Eropa, maka harapannya akan mendorong semakin terbukanya dialog antara akademisi Eropa dan Asia Tenggara, khususnya antara Jerman dan Indonesia.

Dengan menggunakan bahasa Indonesia yang lancar, Prof. Dr. Arndt Graf memperkenalkan secara umum mengenai departemen Kajian Asia Tenggara di Goethe Universität. Dalam pertemuan tersebut, baik dari PSSAT UGM dan Departemen Kajian Asia Tenggara Goethe membahas peluang kerjasama di bidang riset, publikasi bersama, dan kemungkinan pertukaran untuk mahasiswa S1, S2, dan S3.(Meike)

World Class Professor: Peneliti PSSAT UGM Bertarung Gagasan di Jerman

Aktivitas Wednesday, 13 December 2017

Sebagai bentuk timbal-balik dari proses pertukaran ilmu dan joint publication, tim peneliti Pusat Studi Sosial Asia Tenggara (PSSAT) Universitas Gadjah Mada melakukan kunjungan ke Jerman dari tanggal 25 November 2017 sampai 8 Desember 2017. Kunjungan ini merupakan kunjungan balik atas kedatangan dua profesor Jerman terdahulu, Prof. Thomas Hanitzsch (Ludwig-Maximilians-Universität München) dan Prof. Judith Schlehe (Albert-Ludwigs University of Freiburg) yang menjadi visiting professor dalam program World Class Professor (WCP) Kemenristekdikti.

Tim Peneliti PSSAT UGM terdiri dari Dr. phil. Hermin Indah Wahyuni, Muhadi Sugiono, M.A., Dr. Agus Suwignyo, Dr. Wawan Mas’udi, Dr.phil. Vissia Ita Yulianto, Andi Awaluddin Fitrah, M.A., Aditya Indra Nugraha, S.Ant, dan Fitri Handayani, S.IP. Di Jerman, mereka melakukan kunjungan ke München dan Freiburg sebagai bentuk kelanjutan dari penelitian dan penulisan jurnal yang tengah digarap bersama Prof. Thomas Hanitzsch dan Prof. Judith Schlehe.

Dalam pertemuan di Departemen Kajian Asia Tenggara/Southeast Asian Studies (SEAS) Albert-Ludwigs University of Freiburg, tim peneliti PSSAT UGM memaparkan penelitian mereka mengenai bencana maritim dalam perspektif ilmu sosial, antara lain seperti riset yang berjudul Ecological Communication: Social Adaptation to Maritime Disasters in Indonesia dari tim yang diketuai Dr.phil. Hermin Indah Wahyuni atau riset yang berjudul Exploiting the Coast, Breeding the Risk: Preliminary Findings on the State-Society Contention in Coastal-Based Economy, Yogyakarta oleh Dr. Wawan Mas’udi. Presentasi tersebut menjadi ajang pertukaran gagasan antara tim peneliti PSSAT UGM dan civitas akademika serta para mahasiswa Jerman. (Meike)

Indonesia Menolak Stres: Mengungkap Tingginya Angka Indeks Kebahagiaan Indonesia dari Perspektif Budaya

Ekonomi & Kesejahteraan SosialEsai Akademik Monday, 11 December 2017

Indonesia merupakan satu dari sekian banyak negara berkembang yang terletak di Asia Tenggara. Dengan tingkat kesehatan, pendidikan, dan pendapatan yang belum dapat dikatakan cukup baik, masyarakat Indonesia tidak tampak terpuruk menghadapi kehidupan sebagai warga negara berkembang dengan banyak polemik yang kerap kali muncul dari berbagai aspek kehidupan. Bahkan pada tahun 2014, indeks kebahagiaan Indonesia naik dengan selisih angka persentase yang cukup besar untuk kurun waktu satu tahun.

Dilansir dari situs Badan Pusat Statistik[1], peningkatan indeks kebahagiaan yang cukup signifikan tersebut adalah 3,17 persen, di mana pada tahun 2013 indeks kebahagiaan Indonesia adalah 65,11 dan pada tahun 2014 indeks kebahagiaan Indonesia naik menjadi 68,28. Berdasarkan situs surat kabar online Dream.co.id[2], tidak disebutkan berapa persen angka kenaikan indeks kebahagiaan negara lain, namun dengan adanya beberapa negara terutama negara maju yang bahkan turun peringkat, angka kenaikan yang dicetak Indonesia dapat dikatakan cukup tinggi.

Wijayanti dan Nurwianti (2010: 116) mengatakan bahwa kebahagiaan orang Indonesia lebih tinggi dibandingkan negara Eropa, seperti Spanyol, Italia, dan Jerman. Indonesia menempati urutan ke-40 dari 97 negara dalam tingkat kebahagiaan penduduknya. Selain itu, berdasarkan peta kebahagiaan dunia yang dikemukakan oleh seorang pakar psikologi dari Universitas Leicester Inggris, tingkat kebahagiaan Indonesia berada di urutan 64 dari 178 negara di dunia. Nation SWLS Score dari penelitian tersebut memperlihatkan peringkat Indonesia berada di atas negara-negara Asia lainnya, seperti Taiwan (68), Cina (82), dan Jepang (90) (Sutanto (2006) dalam Wijayanti dan Nurwianti (2010: 116)).

Indeks kebahagiaan menurut situs Badan Pusat Statistik dihitung berdasarkan 10 aspek kehidupan yang esensial, antara lain adalah 1) kesehatan, 2) pendidikan, 3) pekerjaan, 4) pendapatan rumah tangga, 5) keharmonisan keluarga, 6) ketersediaan waktu luang, 7) hubungan sosial, 8) kondisi rumah dan aset, 9) keadaan lingkungan, dan 10) kondisi keamanan. Salah satu faktor yang menjadi tolok ukur indeks kebahagiaan adalah kesehatan, terutama kesehatan jiwa. Indeks kebahagiaan yang tinggi menunjukkan bahwa masyarakat dalam suatu negara tidak banyak mengalami gangguan jiwa di mana salah satu penyebab gangguan jiwa adalah stres. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat stres yang dialami masyarakat Indonesia cukup rendah.

Stres merupakan suatu keadaan yang bersifat internal, yang dapat disebabkan oleh tuntutan fisik, lingkungan, dan situasi sosial yang berpotensi merusak dan tidak terkontrol (Sriati, 2007). Stres sendiri bisa berasal dari individu, lingkungan keluarga, lingkungan tempat tinggal dan dapat pula berasal dari tempat-tempat di mana individu banyak menghabiskan waktunya seperti kantor dan tempat pendidikan (Pedak, 2009).

Jika keadaan stres pada seseorang dibiarkan begitu saja, tanpa ada upaya penanganan atau upaya pengobatan maka sudah dipastikan akan banyak masyarakat di dunia ini yang akan mengalami gangguan kejiwaan (Tristiadi, 2007: 37). Bahkan di jaman global ini stres cenderung lebih banyak menyerang masyarakat dengan tingkat perekonomian tinggi daripada masyarakat dengan tingkat perekonomian rendah, meskipun demikian terdapat perbedaan daripada tingkatan-tingkatan stres yang dialami oleh masing-masing golongan masyarakat tersebut (Kisker, 1997).

Dong Yul Lee (1999: 352) berpendapat bahwa bukti empiris menunjukkan bahwa korelasi antara kesejahteraan dan kebahagiaan adalah budaya. Compton (2005) dalam Wijayanti dan Nurwianti (2010: 118) mengatakan bahwa individu memiliki cara yang berbeda-beda dalam mencari kebahagiaan sesuai dengan budayanya. Oishi dan Diener (2001) dalam Wijayanti dan Nurwianti (2010: 118) mengemukakan bahwa hal yang membuat kebahagiaan pada budaya individualis dan kolektivis sama sekali berbeda.

Orang-orang dengan budaya individualis akan bahagia hidupnya bila harga diri mereka meningkat dan memiliki kebebasan dalam melakukan sesuatu. Orang-orang pada budaya kolektivis lebih mementingkan hubungan yang harmonis dan dapat memenuhi keinginan orang lain. Salah satu hal yang membuat orang bahagia ialah ketika bisa menjalankan hidup sesuai dengan nilai dan norma budayanya (Wijayanti dan Nurwianti, 2010: 118).

Kekuatan karakter yang menyumbang terhadap kebahagiaan antar kelompok masyarakat yang satu dengan kelompok masyarakat yang lain berbeda-beda. Survei melalui internet yang dilakukan oleh Park, Peterson, dan Seligman (2004) terhadap 5,299 orang dewasa dari berbagai ras dan etnis membuktikan adanya asosiasi antara kebahagiaan dan kekuatan karakter harapan, semangat, berterima kasih, kasih, dan keingintahuan. Selain itu, di negara Swiss ditemukan bahwa kekuatan karakter yang paling menyumbang terhadap kebahagiaan ialah kelanggengan, sementara di Amerika adalah berterima kasih (Beerman (2007) dalam Wijayanti dan Nurwianti (2010: 120)).

Diener and Diener (1995) dalam Dong Yul Lee (1999: 352) memaparkan bahwa korelasi antara harga diri dan kepuasan hidup jauh lebih kuat pada budaya individualistik daripada budaya kolektif. Setiap budaya harus dipahami dari bingkai acuannya sendiri, termasuk konteks ekologi, sejarah, filosofi, dan agama yang ada (Kim et al, 2006). Budaya memiliki sumbangan tersendiri terhadap pembentukan konsep psikologis individu, seperti halnya konsep kebahagiaan (Anggoro dan Widhiarso, 2010: 178).

Uchida, dkk. (2004) dalam Anggoro dan Widhiarso (2010: 184) dalam penelitiannya mengenai konstruksi kultural kebahagiaan, menemukan bahwa terdapat perbedaan makna kebahagiaan dikonteks budaya Barat (individualistik) dan Timur (kolektivistik). Masalah hubungan sosial dan tuntutan lingkungan untuk meningkatkan pencapaian diri serta ketidaksanggupan pribadi dalam memenuhi tuntutan tersebut dapat menimbulkan stres dalam diri seseorang (Mastura, 2007).

Wijayanti dan Nurwianti (2010: 118) berpendapat bahwa prinsip hidup orang Jawa yang banyak pengaruhnya terhadap ketentraman hati ialah ikhlas (nrima). Dengan prinsip ini, orang Jawa merasa puas dengan nasibnya. Apapun yang sudah terpegang di tangannya dikerjakan dengan senang hati. Nrima berarti tidak menginginkan milik orang lain serta tidak iri hati terhadap kebahagiaan orang lain. Mereka percaya bahwa hidup manusia di dunia ini diatur oleh Yang Maha Kuasa sedemikian rupa, sehingga tidak perlu bekerja keras untuk mendapatkan sesuatu. (Herusatoto, 2008).

Terdapat hubungan antara kekuatan karakter dan kebahagiaan pada suku Jawa dan kekuatan karakter memberi sumbangan yang bermakna (signifikan) terhadap kebahagiaan suku Jawa. Tingkat kebahagiaan suku Jawa berada di atas rata-rata. Lima kekuatan karakter utama pada suku Jawa ialah berterima kasih, kebaikan, kependudukan, keadilan, dan integritas, dan kekuatan karakter yang memberikan sumbangan bermakna terhadap kebahagiaan pada suku Jawa adalah kegigihan, kreativitas, persfektif, keadilan, vitalitas, keingin-tahuan, dan pengampunan. (Wijayanti dan Nurwianti, 2010: 120)

Dengan demikian, meskipun Indonesia merupakan negara berkembang dengan berbagai aspek kehidupannya yang secara kuantitatif masih kurang, dengan berbagai nilai dan norma yang dianut dengan taat oleh seluruh masyarakatnya dan budaya timur yang masih dipegang teguh, masyarakat Indonesia mendapatkan pencerahan dan kedamaian tersendiri dalam menjalani hidupnya, tertutama dalam menghadapi stres yang berakhir pada gangguan jiwa seperti yang banyak terjadi di negara maju dengan ketatnya persaingan hidup dan tingkat individual masyaraktnya yang tinggi. Kebahagiaan sendiri tidak dapat dihitung hanya dengan tolok ukur tingkat ekonomi suatu negara melainkan dengan keadaan sosial budaya masyarakatnya.

 

DAFTAR PUSTAKA

Anggoro, Wahyu Jati dan Wahyu Widhiarso. (2010). “Konstruksi dan Identifikasi Properti Psikometris Instrumen Pengukuran Kebahagiaan Berbasis Pendekatan Indigenous Psychology: Studi Multitrait‐Multimethod”. Jurnal Psikologi, Volume 37, No. 2, Desember 2010: 176 – 188.

Dong Yul Lee, et. al. (1999). “What Makes You Happy?: A Comparison of Self-Reported Criteria of Happiness between Two Cultures”. Social Indicators Research, Vol. 50, No. 3 (Jun 2000), pp. 351-362.

Fordyce, Michael W. (Aug 1988). “A Review of Research on the Happiness Measures: A Sixty Second Index of Happiness and Mental Health”. Social Indicators Research, Vol. 20, No. 4, pp. 355-381.

Kisker, George W. 1997. The Disorganized Personality. New York City: McGraw Hill Book Company.

Pedak, Mustamir. 2009. Metode Supernol Menaklukkan Stres. Jakarta: Hikmah Publishing House.

Sriati, Aat. 2007. Tinjauan tentang Stres. Jatinangor: Fakultas Ilmu Keperawatan UNPAD.

Tristiadi, Ardi, dkk. 2007. Psikologi Klinis. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Wijayanti, Herlani dan Fivi Nurwianti. (Juni 2010). “Kekuatan Karakter dan Kebahagiaan Pada Suku Jawa”. Jurnal Psikologi, Volume 3, No. 2.

[1] http://www.bps.go.id/brs/view/id/1117 (diakses pada tanggal 20 Desember 2015)

[2] http://www.dream.co.id/dinar/indeks-kebahagiaan-indonesia-naik-paling-tinggi-di-dunia-151120q.html(diakses pada tanggal 20 Desember 2015)

 

—

 

Artikel ini ditulis oleh Nitya Swastika, alumnus Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, UGM.

JAFF dan PSSAT UGM Menggelar Program “Public Lecture”

Aktivitas Friday, 8 December 2017

Pada 12th Jogja-Netpac Asian Film Festival 2017, JAFF bekerja sama dengan Pusat Studi Sosial Asia Tenggara (PSSAT) Universitas Gadjah Mada untuk menyelenggarakan program “Public Lecture”. Tahun ini, Public Lecturelebih istimewa karena terdapat presentasi poster penelitian tentang sinema di Asia yang diorganisir oleh PSSAT UGM. Hasilnya, terdapat 9 presenter terpilih dari Indonesia, Malaysia, dan Filipina yang turut andil dalam kegiatan ini.

Program Public Lecture dilaksanakan mulai dari tanggal 4-6 Desember 2017 di Ruang Seminar Lt.2 Perpustakaan Pusat UGM. Terdapat enam sesi selama tiga hari pelaksanaan yang meliputi seminar, diskusi, peluncuran buku, dan presentasi riset poster. Tema-tema yang dibahas dalam forum ini merupakan turunan dari tema besar JAFF tahun ini yaitu “Fluidity” seperti “Film and Art Performance”, “Indonesian Film Audience”, “Asia Pacific in the Digital World”, “Distribution and Film Funding”, “ASEAN Identity in the Short Films”, dan diskusi buku Film, Ideologi, dan Militer karya Budi Irawanto dan Cultural Specificity in Indonesian Films: Unity in Diversity karya David Hanan.

Public Lecture kali ini menjadi arena bagi bertemunya sineas dan akademisi bahkan perwakilan pemerintah. Hal ini tercermin dari beragamnya para pembicara, antara lain Reza Rahadian (aktor), Hanung Bramantyo (sutradara), Tony Rayns (sutradara dan kritikus film), Rukman Rosadi (dosen Institut Seni Indonesia), Dyna Herlina (Dosen Universitas Negeri Yogyakarta dan co-founder JAFF), Meiske Taurisia (produser film), Maggie Lee (kritikus film), Maxine Williamson (direktur Brisbane International Film Festival), Wregas Bhanuteja (sutradara), Lisabona Rahman (krititikus dan pemerhati film), Agung Sentausa (Badan Perfilman Indonesia), Anocha Suwichakornpong (sutradara), Amanada Nell Eu (sutradara), Sabrina Baracetti (presiden Udin Far East Film Festival), David Hanan (akademisi dari Monash University), serta Budi Irawanto (dosen UGM dan direktur JAFF). Masing-masing sesi dimoderatori bergantian oleh Ade Nuriadin, Apriline Widani, dan Meike Lusye Karolus dari PSSAT UGM.

Sebagai Direktur JAFF, Budi Irawanto menjelaskan bahwa program Public Lecture menjadi tradisi dalam JAFF yang diciptakan sebagai ruang pertukaran gagasan untuk menciptakan wacana tentang perfilman. Dalam tiga hari pelaksanaan Public Lecture, animo penonton yang terdiri dari para pemerhati film, mahasiswa, akademisi, dan fans sangat positif. (Meike).

Berita Terakhir

  • Inovasi dan Sistem Pengelolaan Sampah yang Smart untuk Mendukung Implementasi Smart City di Ibu Kota Nusantara
  • PSSAT UGM Menyelenggarakan Webinar Series GEO-PW #6 dan Focus Group Discussion Kelanjutan Pembangunan Ibu Kota Negara: Aspek Penguatan dan Pembatasan
  • CESASS UGM dan SEALC NCCU Adakan Pertemuan Strategis untuk Memperkuat Kemitraan Regional
  • Penandatanganan MoU Kolaborasi Jurnal antara COMICOS 2026 dan IKAT: The Indonesian Journal of Southeast Asian Studies
  • PSSAT UGM Menerima Kunjungan Director of Government Affairs & Strategic Collaborations, Grab Indonesia
Universitas Gadjah Mada

Pusat Studi Sosial Asia Tenggara
Universitas Gajah Mada

Gedung PAU, Jl. Teknika Utara
Daerah Istimewa Yogyakarta 55281
pssat@ugm.ac.id
+62 274 589658

Instagram | Twitter | FB Page | Linkedin |

© Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY