Sawatdi Khrab!
Nama saya Jusuf, atau biasa dipanggil Ucup. Dalam artikel ini, saya akan menceritakan pengalaman saya ketika mengikuti Liberal Arts ASEAN Seeds Camp III, tanggal 9-14 Januari 2017 yang diselenggarakan oleh Universitas Thammasat di Rangsit, Thailand.
Acara ini diselenggarakan selama enam hari di beberapa kota, seperti Rangsit, Ayuthaya, Kumphaeng Phet, dan Sukhothai. Disana kami mengunjungi daerah wisata dan kerajinan. Ketika berada di Sukhothai, kami mengunjungi musium Ram Kamhaeng, Sukhothai Historical Park, Sukhothai Airport, industri tenun tradisional Haad Siew, dan sentra kerajinan tanah liat Sukhothai. Jadwal kegiatannya pun cukup padat. Setiap hari, acara dimulai pukul 06.00 pagi dan berakhir pukul 20.00, kecuali pada waktu tertentu dimana kami dipulangkan lebih awal karena haruspindah melanjutkan perjalanan ke kota.
Seluruh peserta dibagi dalam lima kelompok, dan setiap kelompok wajib membuat sebuah proyek untuk dipresentasikan pada hari terakhir camp. Proyek yang dipresentasikan ini kemudian akan dinilai dan diberi ranking oleh panitia. Tema proyek tersebut harus sesuai dengan tema dari program ini, yaitu Promoting Thai Wisdom; usaha untuk mempromosikan budaya dan kearifan tradisi Thai serta terkait dengan beragam kegiatan yang sudah diikuti peserta dari hari pertama.
Terinspirasi dari peninggalan sejarah kebudayaan Thai, kelompok saya memutuskan untuk membuat Sukho Ruin Lamp, sebuah lampu yang terbuat dari sisa pecahan keramik . Bagi kami, proyek tersebut menarik karena produk tersebut hanya memenuhi kebutuhan konsumen, tetapi juga memanfaatkan barang yang tidak terpakai dan mempromosikan identitas budaya Thailand. Selain itu, kami menambahkan produk lain untuk mendukung penjualan dari lampu tersebut, seperti lilin beraroma dan minyak wangi. Kami pun juga menyertakan rancangan bisnis dari produk tersebut, terkait dengan harga jual yang direkomendasikan, taktik penjualan, serta dimana produk ini akan dipasarkan.
Walaupun kelompok kami tidak mendapat peringkat pertama, namun saya tetap senang. Saya mendapat beragam pengalaman yang berharga. Kesempatan untuk bertemu dan berkenalan dengan teman dari beragam negara, khususnya negara-negara ASEAN, telah membuka mata saya akan beragamnya budaya, tradisi, kepercayaan, dan bahasa. Saya juga mendapatkan pengalaman bekerjasama dalam sebuah kelompok yang multikultur. Dalam bekerjasama ini kami didorong untuk mempelajari, berkomunikasi, dan mengambil keputusan dalam konteks budaya yang beragam.
Meski tidak mudah, tetapi saya merasa ada konsep yang penting, yaitu pemahaman. Pada salah satu seminar dengan tema Cross Culture, konsep pemahaman dijelaskan sebagai konsep mendasar untuk memahami adanya ‘cultural barrier’ pada proses interaksi budaya yang berbeda, sehingga interaksi tersebut dapat memberi solusi bagi permasalahan yang sedang dihadapi dan tidak berujung pada sebuah konflik. Salah satu contoh yang saya alami disana adalah perbedaan bahasa, yang menjadi salah satu faktor penghambat dalam berkomunikasi. Tetapi, dengan memahami bahwa kami berada pada konteks latar budaya yang berbeda menjadi kunci interaksi. Jika ada peserta yang belum paham, dia dapat meminta penjelasan ulang tanpa ada yang merasa keberatanPemahaman mendalam tersebut menjadi kunci dalam interaksi antar budaya yang beragam.
Ada beberapa hal yang saya catat selama mengunjungi program ini. Pertama, saya menyadari bahwa pemerintah Thai sangat mengapresiasi peninggalan budaya mereka. Hal ini terlihat dari berbagai situs arkeologi yang dikelola dan dirawat dengan baik. Sebagai contoh, museum menerapkan aturan yang ketat dan sejumlah staf pun mengawal kami ketika berkunjung kesana. Selain itu, artefak tersebut pun ditata sedemikian rupa sehingga terlihat menarik. Hal ini dapat menjadi contoh bagi pemerintah Indonesia dalam menjaga dan merawat berbagai peninggalan sejarahnya, mengingat bahwa Indonesia memiliki sangat banyak peninggalan sejarah yang bernilai bagi Indonesia dan dunia. Seperti Candi Borobudur, Candi Prambanan, Candi Mendhut, dan lain-lain.
Kedua, saya juga melihat bagaimana usaha Universitas Thammasat, atau Thailand dalam menyongsong globalisasi dalam konteks Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Bagi saya, program ini menunjukkan kesiapan Thailand dalam mempersiapkan generasi mereka untuk menyambut komunitas Masyarakat Ekonomi ASEAN. Adanya jurusan ASEAN Studies di Universitas Thammassat juga menunjukkan keseriusan mereka dalam mempersiapkan diri di tengah komunitas masyarakat ASEAN. Keberadaan program Liberal Arts ASEAN Seeds Camp pun dapat dilihat sebagai usaha universitas Thammasat dan Thailand untuk memajukan pariwisata Thailand, dimana kami sebagai peserta diharuskan memunculkan ide-ide yang baru yang potensial yang dapat dikembangkan sebagai usaha pengembangan produk-produk pariwisata Thailand dalam waktu ke depan. Tentunya hal ini perlu menjadi catatan reflektif bagi kita semua. Dalam era globalisasi saat ini, Thailand mengingatkan kita perlunya mempersiapkan diri dalam pasar persaingan MEA. Sekiranya hal ini pun dapat menjadi contoh bagi kita bersama dalam mempersiapkan diri ke depannya.
Kob Khun Khrab!
—
This article was written by Jusuf Ariz Wahyuono