Berita tentang penenggelaman kapal negara asing yang mencuri ikan di perairan Indonesia akhir-akhir ini semakin marak. Nyaris semua media massa memberitakan mengenai tindakan pemerintah ini. Tindakan ini bukanlah hal baru di Indonesia, hanya saja pemberitaannya baru diperhatikan media, dan dianggap tidak biasanya sehingga mendapatkan atensi dari publik.
Di era globalisasi ini dimana hubungan antar Negara menjadi sesuatu yang penting, terlebih hubungan Indonesia dengan negara-negara di ASEAN. Tindakan tegas suatu negara kepada warga negara asing tentu saja akan mempengaruhi hubungan baik kedua negara. Jika kita melihat melalui kasus penenggelaman kapal asing ini maka tindakan pemerintah Indonesia yang mengebom kapal asing tanpa bernegosiasi dengan negara asalnya dapat disimpulkan mempengaruhi hubungan baik kedua negara.
Hukum Perikanan Indonesia
Namun sebelum kita mengkritisi tindakan tegas pemerintah Indonesia ini alangkah baiknya kita melihat permasalahan ini dari segi hukum, dimana Indonesia adalah negara hukum dan semua kegiatan yang dilakukan di Indonesia haruslah dilindungi dan sesuai dengan hukum yang berlaku.
Menurut UU No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan Pasal 69 ayat (4) menyatakan “Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) penyidik dan/atau pengawas perikanan dapat melakukan tindakan khusus berupa pembakaran dan/atau penenggelaman kapal perikanan yang berbendera asing berdasarkan bukti permulaan yang cukup”. Pasal ini memberikan penyidik atau pengawas perikanan Indonesia memiliki hak untuk melakukan tindakan khusus seperti penenggelaman kapal asing dengan bukti permulaan yang cukup, dimana sesuai dengan penjelasan pasal ini; yang dimaksud dengan “bukti permulaan yang cukup” adalah bukti dugaan adanya tindak pidana di bidang perikanan oleh kapal perikanan berbendera asing tersebut, contohnya adalah tindak pidana pencurian ikan yaitu menangkap atau mengangkut ikan ketika memasuki wilayah pengelolaan perikanan di Indonesia.
Setelah melihat pasal diatas tentu saja proses penenggelaman kapal tidaklah main asal dibom saja, namun dengan proses pengecekan surat-surat kapal dan pembuktian lainnya seperti yang telah disebutkan di pasal tersebut yaitu membutuhkan bukti permulaan yang cukup.
Indonesia melalui UU No. 17 tahun 1985 sudah meratifikasi UNCLOS yaitu United Nations Convention on the Law of the Sea, yang diartikan sebagai Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut yang merupakan mengenai hukum internasional tentang kelautan. Hal ini membuat pada Pasal 102 dalam UU Perikanan mengikuti aturan yang ditentukan dalam UNCLOS Article 73 (3) yang mengatur bahwa hukuman yang diberikan untuk tindak pidana perikanan yang terjadi di Zona Ekonomi Eksklusif tidak boleh berupa pengurungan, kecuali adanya kesepakatan dari kedua belah pihak negara.
Hal ini membuat Pasal 69 ayat 4 yang berisi ancaman pidana paling lama 6 tahun kepada tindak pidana perikanan oleh negara asing menjadi tidak berlaku jika tidak ada kesepakatan dari kedua negara, hukuman yang mereka dapatkan hanya berupa denda paling banyak 20 miliar rupiah dan dideportasi ke negara asal.
Setidaknya dari aspek hukum tindakan tegas penenggelaman kapal dengan cara pengeboman tidaklah bertentangan dengan UNCLOS dikarenakan subyek yang dilindungi oleh Article 73 (3) adalah manusianya bukan kapalnya, dimana manusianya dapat diberi denda atau deportasi tanpa diberikan pidana kurungan sedangkan kapalnya dapat disita atau bahkan ditenggelamkan olehPemerintah Indonesia, tentu saja dengan proses yang sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku di negara itu.
Namun lain halnya jika dilihat dalam pandangan hubungan internasional. Hubungan Indonesia dengan yang bersangkutan berpotensi memburuk akibat permasalahan ini. Hal ini dikarenakan seringkali negara yang bersangutan ingin warganya diadili menurut hukum yang berlaku di negara mereka., hukum yang dianggap dapat melindungi hak-hak warga negaranya. Belum lagi tekanan kepentingan dari beberapa pihak dari negara tersebut.
Praktik Mafia Pelelangan Kapal
Sebenarnya ada beberapa pilihan tindakan yang dapat diambil pemerintah terhadap kasus seperti ini, misalnya dengan penyitaan atau penghibahan kapal tanpa perlu adanya penenggelaman kapal, hal ini jelas-jelas disebutkan di pasal di undang-undagan perikanan. Namun adanya penggelapan dan praktik mafia perikanan yang dapat memberikan keuntungan untuk para pencuri ikan membuat pemerintah Indonesia terpaksa untuk melakukan penenggelaman kapal ini untuk memberikan efek jera.
Menurut Eks Dirjen Pengawasan dan Pengendalian Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan Indonesia Aji Sularso, adanya praktik mafia perikanan dalam hal pelelangan kapal asing ini adalah dengan cara kerjasama antara pemilik kapal asing dengan mafia perikanan di Indonesia, dengan taksiran harga kapal Rp 1,5 miliar, maka para mafia perikanan Indonesia ini akan mendapatkan uang hingga 50% dari harga kapal tersebut atau sekitar 750 juta rupiah. Pada saat pelelangan kapal tersebut para perusahaan domestic sudah diatur dalam satu grup sehingga tidak ada yang menawar diatas Rp. 150 juta; kemudian Rp. 150juta tersebut tetaplah masuk ke kas negara. Pembagian selanjutnya Rp. 600 juta akan dibagikan ke berbagai pihak terutama Kejaksaan sebagai penuntut umum dan juga penyelenggara lelang tersebut. Sudah banyak kasus yang mencatat harga kapal sitaan hanya disekitaran Rp. 150 juta namun yang masuk ke dalam kas negara hanya sekitar Rp. 40 juta. Terlebih kapal tersebut dapat kembali kepemiliknya dan beroperasi mencuri ikan di Indonesia lagi.
Praktik seperti inilah yang membuat pemerintah Indonesia lebih memilih menenggelamkan kapal daripada melelangnya. Fakta menyebutkan bahwa pelelangan dengan praktik mafia perikanan ini hanya dapat merugikan Negara Indonesia karena biaya operasi penangkapan, biaya adhoc kapal, penambatan kapal dan memberi makan ABK selama proses pengadilan tidak sepadan dengan hasil lelang yang masuk ke kas negara.
Akibat dari penenggelaman kapal asing ini banyak kapal-kapal asing yang berada di perairan Indonesia hampir kosong berdasarkan data dari pantauan satelit. Dengan ini dapat dikatakan cara ini terbukti efektif dalam membuat kapal-kapal asing illegal tak lagi beroperasi di wilayah laut Indonesia.
Kapal-kapal asing pencuri ikan diperairan Indonesia ini telah membuat kerugian yang besar untuk Indonesia bahkan diperkirakan kerugian hingga Rp. 300 triliun pertahun. Besarnya kerugian negara ini didukung oleh perkiraan Menteri Kelautan dan Perikanan Indonesia Susi Pudjiastuti, menurutnya jumlah tangkapan sebuah kapal asing di perairan Indonesia dapat mencapai 300 ton hingga 600 ton pertahun, para pengangkap ikan illegal itu bukan hanya menangkap tongkol, namun juga udang, ikan pelagi, kakap merah; yang jika dihitung-hitung Indonesia dirugikan US$15 miliar sampai US$25 miliar pertahunnya.
Dari hal-hal yang disebutkan diatas, dapat disimpulkan bahwa tindak tegas penenggelaman kapal asing pencuri ikan bukanlah tindakan yang salah secara hukum. Dilihat dari segi hukum tidak ada pasal yang mengatur atau melarang adanya penenggelaman kapal pencuri ikan, walaupun adanya opsi hukuman lain yaitu penghibahan atau pelelangan kapal tersebut namun adanya praktik mafia perikanan di Indonesia membuat hukuman itu diselewengkan dan malah merugikan negara. Walaupun hal ini memungkinkan adanya konflik atau hubungan antar negara menjadi tidak baik, namun sudah seharusnya Negara yang baik adalah negara yang menentang segala bentuk kejahatan yang dilakukan warga negaranya di negara lain dan menghargai setiap kebijakan dan hukum yang berlaku di negara lain. Jalan tengah dari masalah ini adalah dengan diadakannya kesepakatan antar negara mengenai penyitaan, pelelangan, atau penenggelaman kapal asing, hal ini tentu saja bertujuan untuk menjaga hubungan baik antar negara dan juga menekan tindakan-tindakan ilegal.
—
Artikel ini ditulis oleh Clay Vulcano Dharanindra, peneliti di Pusat Studi Sosial Asia Tenggara (CESASS).