Masalah prostitusi memang tidak ada habisnya. Di samping banyak pihak yang menolak, tetap ada segelintir pihak yang mendukung. Walaupun dianggap immoral oleh orang kebanyakan orang, namun industri seks masih bertahan sampai sekarang di seluruh dunia. Seberapa gencar pun pemerintah menyatakan illegal, tidak semudah itu prostitusi hilang dari suatu negara karena selalu ada yang membutuhkan. Di Asia Tenggara, Thailand terkenal dengan pariwisata seksnya. Boonchutima (2009) menyatakan bahwa pemerintah negara Gajah Putih tersebut sudah berusaha mengubah image dengan mempromosikan pariwisata lain seperti pariwisata budaya. Namun sayangnya, image Thailand yang kental akan pariwisata seksnya masih belum berubah.
Podhista (1994) menyatakan bahwa prostitusi di Thailand memang punya sejarah yang cukup panjang. Praktik tersebut sudah ada sejak jaman Ayuthya (1350-1776). Orang-orang Eropa yang datang ke Siam[1] pada abad ke-17 sudah menyaksikan praktik prostitusi di Thailand (Poumisak, 1975; Hantrakul, 1983; Skrobanek, 1983; dan Thanh-Dam, 1990 dalam Podhista, 1994). Salah satu orang-orang Eropa tersebut adalah envoy[2] asal Prancis, La Loubère. Dalam catatannya, La Loubère menyebutkan ada seorang pejabat yang disebut sebagai ‘orang yang membeli wanita dan pelayan untuk melacurkan mereka’ (Thanh-Dam (1990: 148) dalam Podhista (1994).
Di samping itu, ketika periode Ayuthya, terdapat sistem corvée[3] di mana semua laki-laki memang harus meninggalkan keluarga dan mengabdi kepada bangsawan feodal selama enam bulan (Podhista, 1994). Pada jaman itulah pramuria diyakini sebagai pelayan para corvée ketika mereka jauh dari istri masing-masing. Pada akhirnya, pada tahun 1960, seks komersial di Thailand menjadi industri yang cukup besar ketika Perang Vietnam atau Perang Indocina Kedua (1957-1975). Selama itu tentara Amerika Serikat terkadang datang ke Thailand untuk beristirahat dan ketika itulah para perempuan Thailand menggunakan kesempatan tersebut untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan melayani para tentara Amerika Serikat.
Sejak itulah prostitusi marak di Thailand bahkan bertahan sampai sekarang. Meskipun kabarnya pemerintah sedang gencar-gencarnya mencanangkan pariwisata tanpa seks dan melarang rumah-rumah bordil untuk beroperasi di Thailand, faktanya praktik prostitusi di Thailand masih aktif. Bahkan, Gugić (2014) mengatakan bahwa prostitusi di Thailand bermain peran dalam perekonomian negara. Sekitar 60% pedapatan nasional Thailand berasal dari sektor pariwisata dan pariwisata seks berperan besar dalam sektor pariwisata Thailand. Setiap tahun, Gugić (2014) mengatakan sekitar 10 juta turis datang ke Thailand dan sekitar 60% turis adalah laki-laki padahal 70% turis laki-laki tersebut datang untuk pariwisata seks. Jadi, setiap tahun terdapat lebih dari 4 juta laki-laki datang ke Thailand untuk pariwisata seks.
Ironisnya, ketika pariwisata seks di Thailand menyumbang banyak untuk pendapatan nasional negara, Boonchalaksi dan Guest (1994) dalam salah satu penelitiannya mengemukakan bahwa para pramuria Thailand masuk ke dalam dunia prostitusi justru karena masalah ekonomi. Memang, secara universal masalah ekonomi memang merupakan masalah semua negara terutama di kawasan negara dunia ketiga. Namun, menurut Podhista (1994), secara spesifik kemiskinan di Thailand terjadi karena pemerintah yang mengedepankan sektor industri dan jasa, tapi mengabaikan sektor pertanian. Padahal Thailand merupakan negara agraris dan sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai petani.
Kemiskinan yang terjadi pada petan-petani di desa mengakibatkan perbedaan kondisi ekonomi di desa dan di kota menjadi sangat timpang. Belum lagi berdasarkan Podhista (1994), di jaman globalisasi seperti sekarang ini, konsumerisme dan gaya hidup yang tinggi sudah mewabah ke desa. Dengan demikian, guna memenuhi kebutuhan pokok ditambah dengan tuntutan gaya hidup, pekerjaan apapun yang menghasilkan uang banyak dalam waktu singkat diterima dengan baik oleh masyarakat, termasuk prostitusi.
Bukan hanya para petani yang dilanda kemiskinan, DaGrossa (1989) mengungkapkan bahwa di Thailand tidak tersedia cukup banyak lapangan pekerjaan untuk perempuan muda dari desa yang kurang berpendidikan dan kurang berpengalaman. Padahal, di Thailand anak perempuan memiliki tanggung jawab lebih besar dari pada anak laki-laki jika berkaitan dengan perekonomian rumah tangga. Oleh karena itu, para petani yang dilanda kemiskinan pun pada akhirnya mau tidak mau terpaksa melibatkan anak-anak perempuan mereka ke dalam prostitusi. Dengan demikian, seorang anak perempuan dari keluarga tidak mampu yang merantau ke luar kota menjadi pramuria demi menyokong keluarganya sudah dimaklumi dan dianggap wajar oleh masyarakat sekitar.
Wacana tradisional di mana anak perempuan di Thailand bertanggung jawab untuk menghidupi keluarganya masih diterapkan sampai sekarang. Dalam penelitian Phongpaichit (1980) dalam Podhista (1994), para pramuria dalam narasumber penelitian mengaku bahwa mereka memang merupakan tulang punggung keluarga. Bahkan, faktanya perempuan yang kurang mampu menghidupi keluarganya dianggap gagal, bukan hanya oleh keluarga tapi juga oleh masyarakat sekitar. Oleh karena itu, tidak heran jika para perempuan Thailand pun pada akhirnya terpaksa menghalalkan segala cara untuk memenuhi tuntutan tersebut, meskipun jika itu artinya mereka harus melibatkan diri ke dalam dunia prostitusi.
Dengan demikian, tidak heran jika sampai detik ini praktik prostitusi masih eksis di Thailand. Memang pemerintah sudah berkali-kali mencoba untuk menghapus industri seks di Thailand. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa masyarakat sekitar memang sudah tidak keberatan akan adanya praktik tersebut di lingkungan mereka karena toh memang banyak yang membutuhkan, baik dari pihak perempuan yang membutuhkan uang untuk memenuhi kebutuhan pokok, maupun dari pihak laki-laki untuk memenuhi kebutuhan biologis.
Bukti penerimaan prostitusi di Thailand dibuktikan dengan rumah-rumah bordil yang tidak diasingkan. Rumah-rumah bordil tersebut terletak di antara pemukiman warga. Menurut Boonchalaksi dan Guest (1994) rumah-rumah bordil di Thailand bahkan terletak dekat dengan tempat-tempat ibadah dan pusat perdagangan. Rumah bordil di Thailand dianggap normal keberadaannya, seperti halnya kantor pada umumnya.
Bahkan, salah satu film dokumenter tentang prostitusi di Thailand arahan sutradara asal Austria Michael Glawogger, Whores’ Glory (2011) memperlihatkan bagaimana praktik prostitusi dalam rumah bordil eksklusif berkedok massage parlor di Bangkok bernama Fish Tank. Gedung Fish Tank terletak dan beroperasi di tengah keramaian kota layaknya gedung kantor. Para pramuria Fish Tank berdiri di lantai atas gedung Fish Tank yang terbuat dari kaca dan menyorotkan laser ke arah laki-laki yang melewati mereka untuk mengundag konsumen. Bukan hanya bangunannya yang mewah, Fish Tank pun memiliki pegawai lain seperti halnya kantor pada umumnya, seperti customer service, waitress, tukang parkir, dan satpam.
Fish Tank bukan satu-satunya rumah bordil yang berkedok massage parlor di Bangkok. Lagipula bukan hanya di Bangkok hal seperti ini terjadi, penyamaran rumah bordil tersebar ke berbagai kota di Thailand. Hal ini memperlihatkan bahwa prostitusi telah menjadi salah satu aspek dalam kehidupan masyarakat Thailand dan telah mengakar. Bahkan, keberadaannya tidak mengancam ataupun meresahkan masyarakat sekitar. Akar yang sudah lama ditanam sejak puluhan tahun yang lalu dan didukung oleh kemiskinan yang tidak pernah ada habisnya, menjadikan prostitusi sangat sulit untuk diberantas di Thailand.
Referensi:
Boonchalaksi, Wathinee dan Philip Guest. 1955. Prostitution in Thailand. Salaya: Mahidol University.
Boonchutima, Smith. 2009. Resistance to Change: Thailand’s Image as a Sex Tourist Destination. Bangkok: Chulalongkorn University.
DaGrossa, Pamela S.. 1989. “Kamphæng Din: A Study of Prostitution in the All-Thai Brothels of Chiang Mai City”. Crossroads: An Interdisciplinary Journal of Southeast Asian Studies, Vol. 4, No. 2, pp. 1-7.
Gugić, Zrinka. 2014. Human Trafficking Under the Veil of Sex Tourism In Thailand: Reactions of the EU. Osijek:University of Osijek.
Podhisita, Chai, et. al.. 1994. “Socio-Cultural Context of Commercial Sex Workers in Thailand: An Analysis of Their Family, Employer, and Client Relations”. Health Transition Review, Vol. 4, pp. 297-320.
Glawogger, Michael. 2011. Whores’ Glory. Lotus Film. Austria, 110 min.
[1] Thailand dulu dikenal sebagai Siam.
[2] Seorang utusan atau perwakilan, terutama dalam misi diplomatik.
[3] Tenaga kerja yang tidak dibayar oleh seorang bawahan kepada bangsawan feodal.
—
Artikel yang ditulis oleh Nitya Swastika, mahasiswa Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, UGM, saat magang di Pusat Studi Sosial Asia Tenggara (PSSAT).