Bentuk korupsi yang terjadi pada sektor swasta antara lain adalah masalah perijinan, pengadaan barang dan jasa, politik uang, penyuapan dan pasal siluman. Pasal siluman adalah pasal-pasal dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) yang masuk ke dalam naskah atas peran pihak swasta. Tidak hanya itu, pasal semacam ini bahkan bisa muncul dalam produk hukum di bawahnya seperti Peraturan Menteri. Hal tersebut disampaikan oleh Dr. Rimawan Pradiptyo, dosen Departemen Ekonomi, FEB UGM, dalam diskusi rutin SEA-Talks #15 pada Kamis, 15 Juni 2017.
Beneficiary Ownership untuk Pencegahan Korupsi, Pencucian Uang, Kejahatan Korporasi dan Persaingan Usaha Tidak Sehat menjadi topik bahasan utama pada SEA-Talks edisi kali ini. Dr. Rimawan memaparkan bahwa selama ini penjeratan korporasi belum diatur secara rinci. Keberadaan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) tersebut diharapkan mampu mendorong KPK menjerat pengendali utama perusahaan. “KPK sebenarnya dapat menjerat pengendali utama perusahaan, yang biasanya tak terlihat dalam struktur. Namun dia adalah orang yang mendapatkan manfaat utama dari perusahaan,” kata Rimawan
Dosen sekaligus peneliti di Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM ini juga membenarkan bahwa ada banyak sektor yang belum diatur secara jelas. Beberapa di antaranya adalah sektor swasta nasional, swasta multi-nasional dan lembaga nirlaba. Ia menyebutkan bahwa di sektor-sektor tersebut ada area gelap karena lembaga negara tidak bisa menindak jika terdapat tindakan korupsi, baik itu Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) maupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Rimawan juga menyoroti peran pemerintah dan DPR dalam kaitannya dengan penyusunan RUU. Seharusnya, hanya ada dua pihak yang bisa mengusulkan sebuah RUU, yaitu pemerintah dan DPR. Tetapi menurutnya, terdapat RUU yang merupakan usulan dari sektor swasta. Padahal tidak seharusya kalangan bisnis menawarkan produk aturan hukum, baik ke kementerian maupun lembaga. Kondisi ini akan menimbulkan ketidakjelasan mengenai siapa penentu aturan dan siapa pihak yang seharusnya menerima aturan itu, yaitu sektor swasta.
“Inilah fenomena yang terjadi di Indonesia, di negara lain tidak boleh ada asosiasi pengusaha atau pedagang tapi di Indonesia masih ada. Padahal asosiasi pedagang, pasti menciptakan kartel, teorinya sudah ada sejak era Adam Smith. Pengusaha itu jarang berkumpul, tetapi kalau sudah kumpul, yang akan dilakukan pasti adalah manipulasi harga untuk merugikan konsumen, untuk mengeksploitasi pasar. Pertanyaannya adalah, mengapa kemudian seluruh kementerian dan lembaga itu paling senang kalau berurusan dengan asosiasi,” ungkap Rimawan. GP