Senin (3/5) Pusat Studi Sosial Asia Tenggara (PSSAT) bersama dengan Digital Society kembali mengadakan Discussion Series #6 bertajuk “Informalitas Teknologi: Belajar dari Pengalaman Penetrasi Bisnis Transportasi Berbasis Aplikasi di Kota Malang”. Diskusi menghadirkan Dr. phil. Anton Novenanto dari Departemen Sosiologi, Universitas Brawijaya. Diskusi dimoderatori oleh Pradipa P. Rasidi dari University of Amsterdam. Digital Society Discussion Series kali ini mengupas tentang formalisasi jenis transportasi konvensional maupun berbasis aplikasi di Kota Malang.
Diskusi dibuka langsung oleh Prof. Sunyoto dari Departemen Sosiologi sebagai inisiator dari komunitas Digital Society. Prof. Nyoto menyampaikan, “ide awal pendirian komunitas ini adalah untuk menumbuhkan semangat kritisisme bagi para intelektual”. “Intelektual muda harus dibangun dengan pikiran kritis dengan tujuan untuk mencerdaskan, bukan untuk kepentingan politik ataupun kepentingan praktis lain”, ucap Prof. Nyoto. Selanjutnya, Dr. phil. Anton Novenanto dengan panggilan akrab Pak Nino, mengajak audiens untuk merefleksikan kembali penetrasi transportasi berbasis digital di tahun 2017-2018. Ia menyampaikan bahwa hal tersebut Ini merupakan refleksi intelektual dalam menyusun karya tulis ini.
Penjelasan dimulai dengan memperkenalkan komunitas Poltransit (Politik Transportasi Perkotaan). Poltransit memiliki tiga rangkaian perjalanan salah satunya analisis wacana terhadap regulasi pemerintah kepada para kurator di Museum Angkut, Batu. Komunitas ini menjadi salah satu komunitas yang menginisasi studi ini. Pak Nino menjelaskan alasan beliau memilih studi ini yang sekarang menjadi presentasinya. Ada bebarapa fakta pemantik disini, salah satunya adalah posisi kota Malang menjadi salah satu yang pertama kali mendeklarasikan resistensinya terhadap kedatangan transportasi berbasis digital.
Kemunculan transportasi digital menciptakan paradoks tersendiri di industri trasnsportasi kota Malang. Menurut Pak Nino, “Pada satu sisi, mitra merupakan agensi yang menghidupkan “bentang-teknologi” geospasial di kota Malang sementara pengemudi konvensional merupakan representasi lokal yang terikat oleh kesamaan geospasialitas dan kepentingan untuk mempertahankan aturan main yang selama ini bekerja”.
Padahal, kedua pihak tersebut digolongkan sebagai kaum prekariat yang memilih untuk tidak mengikat diri pada sistem kerja kapitalisme berdasarkan waktu. Menurut Ford & Homan (2017), kemunculan teknologi memberikan disrupsi pada pasar kerja tradisional yang dikenal sebagai pekerja sektor informal. Pekerja sektor infomal yang dipekerjakan oleh perusahaan teknologi ini mereka sebut ‘mitra’ sehingga memunculkan kontrak kerja, pemberian upah dan jaminan kerja yang tidak jelas.
Dalam menyikapi masalah ini, Pak Nino menggunakan pendekatan Sosio-Spasial dan Sosio-Teknis. Sosio-Spasial menekankan hubungan antara manusia dengan ruang dan hubungan itu bersifat resiprokal. Tidak ada hubungan yang bersifat deterministik antara manusia dan ruangnya. Pendekatan Sosio-Teknis merupakan pendekatan terhadap alat-alat teknis yang membentuk pola interaksi manusia. “Kita dibiasakan dengan teknologi tetapi teknologi juga mengikuti kita, dan developer akan mencari cara menyesuaikan dengan permintaan manusia.”
Komparasi terhadap formalitas antara dua metode transportasi tadi yaitu, transportasi konvensional dan transportasi berbasis aplikasi dengan cara melihat organisasi yang berhasil dibentuk. Salah satunya adalah penarik becak yang bahkan tidak diakui sebagai transportasi umum oleh pemerintah. Metode pengorganisasiannya pun belum terjadi secara organik, dikarenakan penghasilan yang pas-pasan dan rutinitas kerja yang menghabiskan waktu seharian penuh sehingga tidak memiliki cukup sumber daya untuk berkumpul dan mendirikan organisasi. Berbeda lagi dengan supir angkot di Kota Malang. Supir angkot memiliki paguyuban di setiap trayek dimana mereka mengumpulkan uang kas. Uang kas akan digunakan sebagai social safety bagi para supir angkot. Mereka juga memiliki koperasi yang dibentuk oleh pemerintah. Alasan mereka bergabung dengan koperasi adalah jika ada supir yang tidak ikut koperasi, maka pengurusan adminitrasi izin bagi kendaraan akan dipersulit. “Mereka ikut koperasi supaya dapat ijin mudah untuk trayek mereka itu”.
Berbeda dengan pengemudi transportasi berbasis aplikasi atau yang disebut ‘Mitra’. Mitra sebagai pengemudi tidak ada jaminan untuk bekerja dari kantor seperti pekerja kebanyakan. Mereka ini dikenal sebagai ‘Prekariat’ dimana seseorang bekerja untuk melepaskan eksploitasi waktu luang yang terjadi di sistem kapitalisme saat ini. Seperti yang terjadi pada seorang pengemudi Grab dari Nganjuk. Dia menjadikan mobil untuk ‘menarik’ sebagai rumahnya. Ia berpindah dari Nganjuk ke Malang karena menurutnya lebih menguntungkan karena jarak tempuh yang lebih pendek dan kota yang lebih kecil menjadikan biaya hidup lebih murah. Fleksibilitas seperti ini yang dicari oleh ‘kaum Prekariat’.
Formalitas yang berusaha dipayungi perusahaan teknologi justru menimbulkan informalisasi baru. Ford dan Homan (2017) mengamati kehadiran aplikasi seperti Grab atau Gojek telah menarik minat banyak pekerja sektor informal untuk menjadi ‘mitra’. Banyak orang merasa bahwa bekerja sebagai mitra berarti mereka bisa bekerja secara bebas, bebas menentukan waktu kerja dan bebas menentukan waktu istirahat. Kemunculan aplikasi teknologi seperti ini mendorong terjadinya “prekariatisasi”, yang bahkan dijalani secara bangga oleh mitra. Satunya-satunya formalisasi ekonomi substantif yang terjadi dalam model bisnsi seperti ini adalah pencatatan perputaran uang yang difasilitasi oleh mesin algoritma sebagai wujud digitalisasi dalam penerapan teknologi.
Please click: https://www.youtube.com/watch?v=jA2SXoQlUFM&list=PLlcIkjRwK8NWApbEdJCZtZ1TTRC1gpois&index=6 for detail.
Tentang Pembicara:
Dr. phil. ANTON NOVENANTO, S.Sos., MA bekerja sebagai dosen senior di Departemen Sosiologi, Universitas Brawijaya, Indonesia. Sebagai seorang peneliti, ia memiliki pengalaman pelatihan formal di bidang Sosiologi dan Antropologi dan pengalaman dalam aktivisme hak asasi manusia dna lingkungan.
Google Scholar:
https://scholar.google.com/citations?user=9WE_JOAAAAAJ&hl=en