Pusat Studi Sosial Asia Tenggara (PSSAT) Universitas Gadjah Mada sebagai salah satu pembina Pusat Unggulan Iptek Perguruan Tinggi (PUI-PT) yang ditunjuk oleh Kementerian Riset dan Teknologi melaksanakan Webinar Series Pusat Unggulan Iptek Perguruan Tinggi (PUI-PT). Seri pertama dari webinar kali ini mengangkat tema utama, yaitu “Manajemen Lembaga Riset yang Unggul dan Inovatif.” Webinar kali ini menghadirkan Prof. Aris Ananta, M.Sc., Ph. D. dari Universitas Indonesia dan Aninda Dewayanti, S. IP., M. A dari ISEA-Yusof Ishak Institute selaku pembicara. Lebih lanjut, diskusi yang berlangsung mengenai manajemen lembaga riset dari kedua narasumber dimoderatori oleh Prof. Dr. Phil. Hermin Indah Wahyuni selaku Direktur PSSAT UGM dan dibuka oleh Dra. Nining Setyawati sebagai Koordinator Penilaian Kinerja Direktorat Kelembagaan Ditjen Dikti, Kemendikbud RI.
Manajemen Lembaga Riset yang Unggul dan Inovatif
Tantangan akan pertumbuhan lembaga riset di Indonesia menjadi suatu hal yang masih menjadi perdebatan hingga saat ini. Lembaga riset dituntut untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, tetapi tuntutan tersebut harus dicapai secara berdikari dengan bantuan dana riset yang masih sangat minim dan belum memenuhi kebutuhan. Selain dana riset, kemudahan dalam mengakses jurnal bertaraf internasional turut menjadi dilema di antara para kalangan peneliti. Perlu disadari, perkembangan dan kesuksesan dari lembaga riset di luar negeri besar dipengaruhi oleh besarnya dukungan dan kesadaran akan posisi lembaga riset yang beragam. Lebih lanjut, Prof. Aris Ananta menambahkan bahwa akses jurnal yang masih terbatas di Indonesia menjadi tantangan tersendiri bagi lembaga riset untuk dapat bersaing di level internasional.
Selain itu, lembaga riset juga perlu untuk lebih menjangkau kalangan masyarakat umum, tidak hanya para akademisi. Beberapa bentuk terbitan yang lebih populer dapat berwujud policy brief, artikel, atau publikasi alternatif lain yang bahkan lebih populer daripada jurnal. “Jadi kalau kita melihat impact factor, itu apa? Impact factor yang biasa kita dengar adalah yang biasa dikutip orang lain dari para akademisi. ISEAS memiliki target lain. Tidak hanya dari para akademisi, namun juga orang umum dan para pembuat kebijakan,” ujar Prof. Aris Ananta. Prof. Aris Ananta menyadari betul tantangan terhadap perkembangan lembaga riset yang ada di Indonesia. Namun, hal tersebut tidak menurunkan optimisme Prof. Aris Ananta akan pertumbuhan dan perkembangan lembaga riset yang sejak tahun 1980-an telah beliau amati.
Ujaran dengan nada yang serupa juga disampaikan oleh Aninda Dewayanti selaku peneliti di ISEAS-Yusof Ishak Institute, institusi penelitian yang berfokus pada studi mengenai isu sosiopolitik, keamanan, dan ekonomi di Singapura. Dalam mengulik strategi suatu lembaga riset, lembaga riset di Singapura dan negara lain dapat turut diadopsi oleh lembaga-lembaga riset lain di Indonesia, Aninda Dewayanti menambahkan.
Aninda Dewayanti turut menjelaskan beberapa tantangan yang dihadapi oleh lembaga riset Indonesia. Beberapa di antaranya adalah isu komersialisasi pendidikan, fasilitas yang masih sangat terbatas, dan kultur superioritas yang masih banyak ditemui dalam suatu lembaga riset. Selain itu, belum adanya standardisasi yang jelas mengenai apa yang dimaksud tentang lembaga riset “berstandar internasional” turut menyulitkan pengelola dalam menentukan tujuan pengembangan lembaga riset.
Dalam akhir sesi materi, Aninda Dewayanti juga turut menjelaskan berbagai potensi yang dapat dicapai PUI-PT untuk menjadi lembaga riset bereputasi internasional. Hal tersebut dapat dicapai bila dapat memenuhi beberapa hal, seperti keterbukaan pada wacana akademik global, organisasi kelembagaan yang responsif pada prosedur internasional, dan kolaborasi riset antarindividu. Terakhir dan juga yang tak kalah penting, yaitu upaya untuk turut bersifat inklusif dan menggaet para peneliti muda.
“Banyak sekali diaspora Indonesia yang berada di forum-forum diaspora sana yang sukses, lalu akhirnya membawa network-nya kembali ke Indonesia. Dan saya rasa, itu menjadi hal yang penting,” pungkas Aninda Dewayanti terkait diaspora peneliti Indonesia di luar. (Zizi & Rizal)