Minggu, 18 Oktober 2020, Pusat Studi Sosial Asia Tenggara (PSSAT) Universitas Gadjah Mada melaksanakan seri kedua dari Webinar Series Pusat Unggulan Iptek Perguruan Tinggi (PUI-PT). Seri kedua dari webinar ini mengusung “Manajemen Penerbitan Jurnal Internasional” sebagai tema utama. Berangkat dari tema tersebut, webinar ini menghadirkan Dr. phil. Vissia Ita Yulianto selaku Managing Editor dari Indonesian Journal of Southeast Asian Studies (IKAT) dan Dr. Siti Nurleily Marliana dari Indonesian Journal of Biotechnology (IJBiotech). Pembicaraan dan diskusi yang berlangsung dari narasumber dan peserta webinar dimoderatori oleh Ni Putu Yogi Paramitha Dewi, S. H., M. H. selaku peneliti dari PSSAT UGM.
Manajemen Penerbitan Jurnal Internasional
Dr. phil. Vissia Ita selaku pembicara pertama memaparkan pengalamannya sebagai journal manager di Indonesian Journal of Southeast Asian Studies (IKAT). IKAT merupakan jurnal yang berfokus pada isu-isu sosial Asia Tenggara dan didirikan pada 2017. Selain IKAT, terdapat beberapa jurnal lain yang berfokus pada isu serupa, contohnya Journal of Southeast Asian Studies dari University of Cambridge dan Southeast Asian Studies dari National University of Singapore. Tiap jurnal memiliki sistem manajemen yang berbeda. Center for Southeast Asian Studies, atau CESEAS dari University Kyoto, misalnya, memiliki pembagian tugas yang berbeda antara chief editor, journal manager, dan editorial board.
Lebih lanjut, Vissia Ita menjelaskan pentingnya review dari proses publikasi jurnal. IKAT, dalam hal ini, memiliki proses seleksi yang ketat sejak tahap submission, screening, hingga editorial decision. Proses review diberikan oleh orang yang ahli dalam bidangnya dan sering kali memberikan berbagai masukan yang patut dipertimbangkan untuk tiap tulisan dan kualitas jurnal.
“Proses review adalah jantung dari academic publication internasional. Kalau gagal dalam proses ini, hal itu menjadi indikator bahwa quality control jurnal masih kurang,” tegas Vissia Ita mengenai pentingnya review. Demi menekankan kualitas dan pentingnya proses review jurnal, IKAT turut melampirkan bagan peer review dan tim editorial dari laman jurnal IKAT. Proses review dari IKAT juga turut melibatkan berbagai peneliti dari luar sesuai dengan fokus penelitiannya di tiap issues yang diterbitkan.
Review dan quality control merupakan proses yang memakan waktu lama. Namun demikian, dua hal tersebut menjadi hal utama dalam memastikan kualitas jurnal. Vissia Ita menambahkan, mengutip kalimat dari Al Makin dari UIN Sutan Kalijaga Yogyakarta, “Di jurnal harus ada dua orang yang passionate, satu yang mengurus hal teknis, dua yang mengurus substansi.”
Dengan nada yang sama, pembicara kedua, Dr. Siti Nurleily Marliana, turut menekankan pentingnya proses review dalam menjaga kualitas penerbitan jurnal. Siti Nurleily menceritakan pengalamannya merombak secara signifikan ketika masih menjadi manager editor di ASEAN Journal on Science and Technology for Development (AJSTD) dan Indonesian Journal of Biotechnology (IJBiotech). Siti Nurleily menghadapi beberapa tantangan dalam manajemen jurnal, mulai dari hilangnya status Directory of Open Access Journals (DOAJ), perlunya mengubah layout jurnal, sampai mendefinisikan ulang fokus jurnal tertentu.
Siti Nurleily menekankan unsur penting bahwa jurnal yang baik sepatutnya memiliki fokus studi yang jelas dan mengedepankan kualitas sebagai prioritas utama. Selain itu, beberapa jurnal Indonesia sudah sepatutnya mencantumkan DOI sebagai bagian dari kepustakaan jurnal. Hal tersebut menjadi permasalahan yang sering luput dalam publikasi jurnal Indonesia yang akhirnya membuat beberapa kendala seperti distribusi ataupun reproduksi tulisan dianggap sebagai hal yang melanggar ketentuan.
“Jurnal yang baik adalah jurnal yang spesifik yang mempunyai market tersendiri untuk bidang tersebut,” ujar siti Nurleily. Membuat fokus suatu jurnal menjadi lebih spesifik memberikan ‘unique selling point’ dalam publikasi tersebut. Selain itu, fokus yang lebih spesifik membuat jurnal dapat lebih mudah mencari tim editor yang sesuai dengan fokus studi yang ditetapkan. Meskipun demikian, hal ini turut membuat naskah yang dikirimkan menjadi lebih sedikit karena ketidaksesuaian dengan fokus jurnal.
Di akhir pemaparan materinya, Siti Nurleily menekankan pentingnya mengutamakan kualitas jurnal daripada kuantitas publikasi. Kerap kali, suatu jurnal berfokus hanya pada kuantitas untuk semata-mata mendapatkan indeks dari Scopus. Berbeda dari itu, Siti Nurleily berpendapat bahwa justru indeks jurnal internasional “dengan sendirinya” akan didapatkan bila suatu jurnal dapat mengembangkan kualitas penerbitan yang baik.
“Scopus dalam hal ini adalah bonus. Yang saya kerjakan selama ini adalah pokoknya harus mencapai kualitas jurnal yang baik. Karena kalau memang jurnalnya itu bagus, pasti masuk dengan sendirinya akan masuk (ke dalam indeks jurnal internasional),” ungkap Siti Nurleily. (Zizi & Rizal)