Tahun 2001 lalu aktris ternama Hollywood, Angelina Jolie, mengunjungi daerah Kamboja barat ketika ia sedang menjalani syuting film box-officenya Tomb Raider. Angeline lalu jatuh hati dengan seorang bayi mungil yang baru berumur 7 bulan. Setahun kemudian Angelina resmi mengadopsi bayi tersebut yang kemudian diberi nama ‘Maddox’ dan dirawat hingga kini. Angelina mengakui bahwa dirinya sebenarnya tidak ada keinginan untuk mempunyai anak, sebelum dia berjumpa dengan bayi tersebut. Namun ketika ia bermain bersama anak-anak di sebuah sekolah di Kamboja, hal yang kemudian mengubah pikirannya. Kini, Angelina menjadi seorang ibu dari enam orang anak, dan 3 diantaranya melalui proses adopsi.
—
Anak-anak dengan wajah yang riang, kata-kata yang polos, spontan, lucu, penuh keceriaan, tak jarang memikat hati dan empati kita. Empati adalah emosi manusia yang kuat, namun perasaan empati terhadap anak-anak ini nyatanya dikapitalisasi menjadi salah satu objek bisnis di Kamboja dengan sasaran empuk turis-turis asing dan relawan.
Kita tidak bisa menutup mata bahwa pariwisata juga telah mentransformasi kehidupan sosial rakyat Kamboja, terutama anak-anak. Salah satu contoh nyata yang terjadi di Kamboja ialah berkembangnya salah satu cabang pariwisata baru yaitu orphanage tourism – wisata panti asuhan. Pada dasarnya, orphanage tourism dapat berarti mengunjungi sebuah panti asuhan selama beberapa jam sebagai bagian dari tur yang terjadwal dan terkadang ditambah dengan kegiatan seperti berjalan-jalan. (Eimer, 2013)
Namun di Kamboja, kebanyakan kegiatan orphanage tourism ini telah berkembang menjadi sebuah objek komoditas bisnis. Orphanage tourism menjadi salah satu sisi gelap dunia pariwisata Kamboja yang memanfaatkan panti-panti asuhan dan lembaga-lembaga perawatan anak yatim piatu untuk dijadikan objek wisata di mana kepolosan anak kecil menjadi umpan untuk menarik hati para wisatawan yang biasanya akan memberibantuan berupa donasi. Orphanage tourism menempatkan dan mengkomodifikasi anak sebagai objek yang rapuh, tak berdosa, menggemaskan, dan menunggu untuk dicintai oleh orang-orang dari dunia pertama. (Reas, 2013)
Para wisatawan yang datang ke Kamboja ditawarkan untuk mengunjungi panti asuhan dan memberikan donasi kepada para anak-anak yang ada di panti asuhan. Karena orang-orang asing sering memberikan donasi, niat baik dari para donator ini kemudian disalahgunakan oleh oknum-oknum pengelola yang berkedok pada ‘orphanage tourism’. Panti asuhan yang seharusnya menampung anak-anak yatim piatu untuk diberi pendidikan, diasuh, dan dirawat sengaja diubah menjadi suatu tempat untuk menghasilkan pundi-pundi kekayaan di mana anak-anak sengaja dijadikan objek untuk menarik belas kasih dari para wisatawan. Ketika wisatawan yang berkunjung ke panti asuhan mengeluarkan sejumlah uang sebagai bentuk donasi, sejumlah uang tersebut justru masuk ke kantong para pengelola panti asuhan. Selain itu, sejumlah panti asuhan tersebut kurang memiliki layanan perlindungan, pendidikan, dan kesehatan anak dan sengaja mempertahankan kondisi hidup yang buruk sehingga anak-anak terlihat menderita dan dengan demikian meningkatkan sumbangan dari turis asing.
Pariwisata Kamboja membuka celah kepada para oknum-oknum orphanage tourism ini untuk mencari keuntungan. Faktanya, orphanage tourism berkembang pesat seiring dengan berkembangnya pariwisata Kamboja. Pada tahun 2005, Kamboja memperoleh jumlah kunjungan wisatawan mancanegara sebanyak 1.421.615 wisman dan terus naik hingga mencapai angka 2.508.289 wisman di tahun 2010 (Tourism Statistics Report, 2016). Data yang dihimpun oleh Kementrian Sosial, Veteran, dan Rehabilitasi Pemuda Kamboja (MoSVY) menunjukkan bahwa ada peningkatan jumlah panti asuhan di Kamboja sejumlah 75 persen dari angka 154 buah di tahun 2005 menjadi 269 buah di tahun 2010 (UNICEF, 2011). Itupun tidak semuanya terdaftar di MoSVY, diduga banyak panti asuhan yang tidak terdaftar secara legal sehingga jumlah secara factual mungkin lebih tinggi. Intinya, semakin banyak jumlah wisatawan, semakin banyak pula panti asuhan – panti asuhan yang berdiri.
Mirisnya lagi, sebagian besar anak-anak yang dititipkan di panti asuhanpun ternyata sengaja di-yatimpiatu-kan, padahal sebagian besar dari mereka masih memiliki orang tua. Data MoSVY juga menunjukkan bahwa 44 persen dari anak-anak yang diasuh di panti asuhan dibawa kesana oleh orang tuanya sendiri maupun oleh sanak saudaranya. Kemiskinan menjadi faktor utama penyebab mengapa anak-anak dikirimkan ke panti asuhan. Faktanya, 30,1 persen dari masyarakat Kamboja hidup di bawah garis kemiskinan (World Bank, 2009).
Angkor Wat, salah satu situs arkeologi yang bersejarah di Asia Tenggara dan menjadi salah satu daya tarik wisata andalan Kamboja, ditunggangi pula untuk jadi salah satu lokasi penyebaran brosur ini karena banyaknya turis yang berkunjung ke sana. Tidak heran, karena wilayah tempat berdirinya Angkor Wat, Siem Reap, merupakan daerah kumuh dan salah satu provinsi termiskin di Kamboja. Dan para oknum pelaku orphanage tourism melakukan bisnis ini untuk menaikkan standar hidupnya
Upaya Pemberantasan Orphanage Tourism
Salah satu cara untuk mengataasi semakin maraknya kegiatan orphanage Tourism ini adalah anak-anak harus dicegah dari tindakan ekploitasi. Anak-anak yang sengaja dimanfaatkan dalam bisnis orphanage tourism tentu akan terhambat perkembangan mentalnya. Pendidikan yang kurang akan memburamkan masa depan mereka sehingga mereka akan terus terjebak dalam kemiskinan. Ditambah lagi dengan kebersihan dan sanitasi yang tidak layak akan membuat kesehatan anak-anak tidak terjaga.
Fenomena yang terjadi di Kamboja bukan hanya sebagai krisis-krisis anak yang terlantar namun juga telah terjadi krisis kemanusiaan. Lebih jauh lagi, orphanage tourism berpotensi akan bertautan dengan permasalahan lainnya seperti perdagangan anak, prostitusi anak, dan sebagainya. Pemerintah Kamboja sebenarnya telah berupaya untuk menanggulangi permasalahan orphanage tourism ini dengan mengeluarkan sederet kebijakan.
Tahun 2006, pemerintah Kamboja mengeluarkan kebijakan Alternative Care for Children yang bertujuan untuk menjamin agar anak-anak dapat hidup di keluarganya dan di lingkungan yang mendukung. Kebijakan ini juga mempromosikan prinsip bahwa lembaga perawatan seperti panti asuhan seharusnya menjadi opsi terakhir dan merupakan solusi sementara bagi anak-anak yatim piatu.
Menindaklanjuti peraturan tersebut, pada tahun 2006 dan 2008 pemerintah Kamboja juga telah menetapkan standar untuk fasilitas lembaga perawatan untuk anak-anak. Pada tahun 2009, pelaksanaan Kebijakan Alternative Care for Children semakin diperkuat dengan ditetapkannya sistem kesejahteraan anak di Kamboja. Awalnya, kebijakan ini diharapkan akan memperketat izin pendirian panti asuhan sehingga akan mencegah berkembangnya orphanage tourism. Namun masih saja banyak dijumpai kasus serta diikuti permasalahan sebagai dampak dari orphanage tourism hingga saat ini.
Hal ini ikut diperparah karena banyaknya wisatawan, donor, dan relawan yang tidak menyadari bahwa orphanage tourism di kamboja telah memicu lebih banyak bahaya dari pada kebaikan. Untuk itu, sejumlah gerakan organisasi non-profit bersama pemerintah Kamboja sendiri telah menggalakan kampanyenya untuk melawan orphanage tourism sekaligus meningkatkan kesadaran masyarakat dunia akan bahaya orphanage tourism. Banyak gerakan yang telah digencarkan seperti gerakan thinkchildsafe.org dan orphanages.no yang sama-sama memiliki visi untuk menekan penyimpangan dari orphanage tourism di Kamboja.
Pemerintah Kamboja juga mutlak untuk memberantas kemiskinan melalui investasi jangka panjang berupa penyediaan pendidikan dan kesehatan yang layak pada anak-anak sehingga mereka dapat menjadi sumber daya berharga di masa depan. Untuk itu, pendidikan harus tersedia dalam jumlah dan kualitas yang memadai untuk menjamin hak anak anak dalam memperoleh pendidikan.
Kunci di Tangan Wisatawan
Wisatawan memang memegang peranan penting dalam rangka melawan orphanage tourism. Terlebih lagi wisatawan merupakan salah satu sumber pendanaan dari panti-panti asuhan di sana. Akhir-akhir ini sedang marak gerakan yang menggalakan dan menghimbau kepada para wisatawan untuk menghindari tur yang bersifat menjadikan anak-anak sebagai daya tariknya, dengan alasan bahwa anak-anak bukanlah objek tur.
Kemudian, wisatawan sebaiknya menghindari untuk memberikan uang kepada para anak-anak. Sebagian wisatawan mungkin akan merasa tidak kuasa untuk menahan diri dan tidak membantu anak-anak di sana. Namun permasalahannya, para wisatawan harus dapat melihat kondisi secara keseluruhan. Hal yang peru disadari adalah dengan memberikan sejumlah uang kepada anak-anak tidak akan membantu banyak. Anak-anak tersebut akan terus terjebak dalam lingkaran kemiskinan apabila hanya terus dipelihara oleh orphanage tourism ini.
Para wisatawan juga hendaknya menghindari donasi-donasi kepada panti asuhan yang tidak jelas reputasinya. Karena dalam hal ini, meskipun dengan niat baik, memberi donasi kepada panti asuhan yang tidak jelas perizinannya akan mendatangkan lebih banyak keburukan daripada kebaikan – sama saja dengan mendukung anak-anak untuk dijadikan objek untuk mendulang keuntungan. Jika tetap ingin berdonasi hendaknya melalui lembaga perawatan yang telah mempunyai izin resmi yang jelas sehingga terpercaya untuk menyalurkan donasi secara tepat. Kemudian hendaknya melaporkan kepada apabila mengetahui ada tindakan.
Sebagai bagian dari masyarakat Asia Tenggara, kita tidak bisa tinggal diam saja menghadapi fenomena orphanage tourism ini. Terutama karena 40% jumlah kunjungan wisatawan Kamboja berasal dari negara-nagara ASEAN sendiri. Di negara-negara Asia Tenggara pulalah praktik-praktik orphanage tourism paling marak terjadi. Mari kita semua memainkan bagian kita dan berkontribusi untuk membangun lingkungan yang positif bagi anak-anak dengan menjadi wisatawan ramah anak.
Website Orphanage Tourism:
thinkchildsafe.org
orphanages.no
friends-international.org
REFERENSI:
Eimer, D. (2013, April). Voluntourism tips: is it ethical to visit orphanages? Retrieved from Lonely Planet: https://www.lonelyplanet.com/travel-tips-and-articles/77716
Reas, P. J. (2013). ‘Boy, have we got a vacation for you’: Orphanage Tourism in Cambodia and the Commodification and Objectification of the Orphaned Child. Thammasat Review, 121-139.
Tourism Statistics Report. Phnom Penh: Ministry of Tourism Cambodia. Retrieved from Cambodia Tourism: http://www.cambodia-tourism.org/statistic/
UNICEF. (2011). A Study of Attitudes Towards Residential Care in Cambodia. Phnom Penh: UNICEF.
World Bank. (2009). Cambodia Socio-economic Survey for 2007. Phnom Penh: East Asia and Pacific Regional Office.
—
Artikel yang ditulis oleh Riza Rafigani, mahasiswa Universitas Gadjah Mada, saat magang di Pusat Studi Sosial Asia Tenggara (PSSAT).