Tidak bisa dipungkiri Film-film Asia Tenggara memiliki posisi tersendiri dan telah mendapat sorotan dunia melalui berbagai bentuk apresiasi. Film-film seperti “Kinatay” karya Briliante Mendoza dari Filipina memenangkan kategori best director pada festival de Cannes pada tahun 2009. Pada tahun 2010, ada film berjudul “Uncle Boonmee” dari Thailand besutan sutradara Apichatpong Weerasethakul yang menyabet gelar Palme d’Or pada ajang yang sama. Terakhir tahun 2016, penghargaan yang sama menjadi milik sineas Indonesia. Karya dari Wregas Bhanuteja berjudul “Prenjak” menjadi film terbaik pada gelaran festival film paling bergengsi tersebut. Fakta diatas menjadi bukti keberhasilan sinema Asia Tenggara dalam mengambil posisi di dalam peta perfilman dunia.
Gemilangnya beberapa film Asia Tenggara di kancah internasional tersebut secara tidak langsung dipengaruhi oleh beberapa faktor. Secara umum kondisi negara-negara Asia Tenggara yang sebagian besar merupakan bekas negara jajahan, menjadikan sinema-sinema yang lahir dari kawasan ini memiliki pengalaman yang berbeda di bandingkan dengan kawasan-kawasan lain. Hal yang paling penting dalam mempengaruhi keragaman budaya sinema Asia Tenggara adalah dengan tingginya tingkat keragaman etnis, budaya, dan bahasa yang ada di kawasan ini. Keragaman budaya sinema Asia Tenggara juga dipengaruhi kondisi perekonomian Negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Sebagian negara dalam kondisi maju seperti Singapura, dan adapula negara dengan perekonomian yang rendah seperti Myanmar. Sineas ternama dari Indonesia, Garin Nugroho dalam satu wawancara menggambarkan kondisi sinema di Asia Tenggara sebagai sebuah paradoks. Paradoks dalam artian karena banyak gap yang terjadi. Dikarenakan banyak gap yang terjadi maka banyak pula drama yang tercipta. Terciptanya banyak drama tersebut melahirkan banyak kejutan dalam sinema di Asia Tenggara.
Budi Irawanto selaku pembicara dalam diskusi SEA-Talks #9 menyebutkan bahwa untuk mengetahui gambaran film-film Asia Tenggara dapat dilakukan dengan melihat karakteristik-karakteristik umum yang dimilikinya. Karakteristik pertama, Film-film Asia Tenggara cenderung untuk selalu mengangkat identitas dan budaya nasional. Salah satu bentuk penerapannya dapat dilihat pada film-film komersial Asia Tenggara dalam genre laga selalu memasukan seni bela diri lokal sebagai satu bentuk indentitas. Kecenderungan lain dari film-film Asia Tenggara bahwa film-film dengan genre melodrama dan horor masih menjadi favorit untuk diproduksi, dikarenakan anggaran yang dibutuhkan relatif murah.
Meskipun memiliki karakteristik secara umum, perkembangan sinema Asia Tenggara memiliki cerita tersendiri di masing-masing negara. Naik turunnya perkembangan industri sinema Asia Tenggara ditandai dengan jumlah film yang mampu diproduksi. Hal tersebut dipengaruhi beberapa hal, diantaranya kondisi politik dan ekonomi yang terjadi. Contoh kasus Industri film Filipina yang sempat mengalami dua kali masa keemasan pada 1950an hingga 1960an, dan pada tahun 1970an. puncaknya industri film Filipina sempat merajai industri film di Asia Tenggara dengan jumlah produksi yang mencapai 200 judul setiap tahunnya. Kondisi industri film Filipina kemudian mengalami ketenggelaman pada era 1990an, ditandai dengan merosotnya jumlah produksi film yaitu hanya 40an judul pertahunnya. Kondisi industri film Filipina kemudian semakin membaik, didorong dengan masuknya pemain independen ke ranah industri komersil.
Di Thailand, Produksi film dimulai pada tahun 1923 dengan film berjudul “Nang Sao Suan” garapan sineas asing, Henry McRay. Pada masa itu, kondisi masyarakat Thailand dengan tingkat buta huruf yang tinggi membuat film-film asing yang masuk ke negara ini harus melalui proses dubbing. Kondisi tersebut terus berlanjut hingga tahun 1970an. Penerapan kebijakan pembangunan ekonomi di Thailand pada tahun 1957 hingga 1973 membawa lompatan besar pada produksi film di Thailand. Pada masa tersebut rata-rata 4 hingga 5 film dirilis setiap bulan. Puncaknya pada akhir 1970an, tercatat sekitar 160an judul film diproduksi setiap tahunnya. Tahun 1997 merupakan kondisi terendah dari kondisi perfilman Thailand. Di tahun tersebut kurang dari 10 film yang mampu diproduksi pada tahun tersebut. Namun pada masa tersebut menjadi titik balik dikenalnya film Thailand di kancah dunia, setelah film “Pen-ek Ratanaruang” (Fun Bar Karaoke) menjadi film pembuka pada Festival Film Berlin.
Di Malaysia, sejarah awal film negara ini dimulai di Singapura, ketika Malaysia masih menjadi bagian dari British Malaya. Film pertama yang diproduksi berjudul “Leila Majnun” (1930) yang disutradarai oleh B.S. Rajhans. Pengaruh studio film di Malaysia dimulai sejak 1947, dan berakhir pada 1970-an yang dimonopoli oleh pengusaha cina. Era keemasan industri film Malaysia berada pada tahun 1950-an dan 1960-an, terutama dengan keberhasilan film-film karya P. Ramlee. Gelombang baru industri perfilman Malaysia terjadi pada akhor 1980-an atau awal 1990-an, ditandai dengan munculnya sutradara-sutradara baru, seperti; Suhaimi Baba, Uwei Haji Saari, Rahim Razali, dan kawan-kawan. Pada awal 2000-an, Kehadiran teknologi digital pada awal mendorong lahirnya gelombang baru industri film Malaysia. Kehadiran sutradara –sutradara muda independen menandai kelahiran gelombang pembaharuan kedua industri film Malaysia. Sutradara tersebut datang dari latar belakang etnis yang beragam, sebut saja nama-nama seperti; Amir Muhammad, Ho Yuhang, Tan Chui Mui, Liew Seng Tat, James Lee, Woo Ming Jin, Deepak Kumaramenon, dan lain-lain. Mereka hadir dengan banyak mengangkat tema-tema sosial politik dan etnisitas yg ada di Malaysia.
Beda kasus dengan yang terjadi di Myanmar, industri film di negara tersebut mulai mengalami kontrol ketat pemerintah sejak terjadinya peristiwa 1998. Pembuat film dilarang untuk terlibat dalam dunia politik. Akhirnya produksi lebih banyak dihasilkan dalam bentuk video dengan genre komedi. Film pertama Myanmar sebenarya telah diproduksi pada tahun 1910, yaitu film tentang pemakaman Tun Shieng (Seorang pejuang kemerdekaan Burma). Namun indusri film Myanmar kemudian diawali oleh seorang produser bernama Ohn Maung yang memproduksi film berjudul Love and Liqour, yang diputar pada 13 oktober 1920. Wathann Film Festival merupakan film pertama yang lahir sejak terjadinya keterbukaan politik di Myanmar. Masa tersebut membuka semakin banyaknya produksi film-film dokumenter.
Berbicara tentang industri film tentu tidak lengkap tanpa membahas perkembangan film independen (indie). Secara umum merebaknya produksi film independen di Asia Tenggara mulai terjadi pada dekade awal tahun 2000-an, atau pasca krisis moneter melanda kawasan ini. Perkembangan film indie di Asia Tenggara difilitasi oleh hadirnya kamera digital dengan kualitas standar broadcast dengan harga terjangkau, perangkat lunak editing dan computer yang relatif murah, dan adanya DVD burners yang memungkinkan pembuat film untuk menggandakan filmnya sendiri. Para penggerak film indie tersebut sebagian besar memiliki latar belakang pendidikan film dan berasal dari latar etnis yang beragam, serta sebelumnya pernah bekerja di televisi atau biro iklan.
Berbeda dengan sinema arus utama, film-film indie di Asia Tenggara sering mengangkat isu-isu kehidupan kelompok marjinal dan minoritas serta kondisi urban sebagai bentuk kritik sosial. Proses produksinya banyak dilakukan secara bergotong royong, baik itu secara finansial, atau keterampilan. Meningkatnya geliat produksi film-film indie tersebut juga mendorong lahirnya “sinema regional”, atau sinema yang diproduksi dari tangan-tangan sineas daerah yang berada diluar pusat produksi film di ibukota negara. Perkembangan film independen tersebut juga dibarengi dengan kehadiran sejumlah festival film di kawasan ini, sebut saja Wathann film Fest di Myanmar, Salaya Doc di Thailand, Salamindanaw di Filipina, Lubang Prabang di Laos, dan beberapa festival film lainnya.
Meskipun telah mengalami perkembangan yang cukup baik, perkembangan film di Asia Tenggara masih mengalami permasalahan kontemporer. Budi Irawanto menyebutkan bahwa permasalahannya diataranya adalah masih ketatnya sensor film cenderung masih membatasi kebebasan berekspresi para pembuat film. Masalah lain adalah terbatasnya akses ke pemodal yang ikut menyulitkan produksi film untuk berjalan secara berkelanjutan. Faktor lain yang membatasi perkembangan film-film independen di kawasan ini yaitu terbatasnya jaringan distribusi dan eksebisi. Belum lagi permasalahan terbatasnya pasar regional dan international bagi sinema Asia Tenggara. Hal ini dipengaruhi permintaan dan ketergantungan akan film-film dari Hollywood yang pengaruhnya masih sangat kuat.