Abstrak
Pola relasi-relasi sosial yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan komunitas digital antara lain ditandai oleh kontak langsung, komunikasi yang melibatkan banyak orang (many-to-many communication), keterbukaan pandangan (ide), serta kebebasan berinteraksi. Uraian berikut memetakan perbedaan pandangan tentang dampak pola relasi-relasi tersebut terhadap inklusi sosial atau proses meningkatnya kapasitas akses komunitas pada sumber daya (resources), menguatnya partisipasi mereka dalam formulasi dan eksekusi keputusan publik, serta jalinan kerja sama di antara mereka dalam memanfaatkan dan menciptakan peluang. Di satu sisi, terdapat pandangan yang yakin (optimistic) bahwa relasi-relasi sosial tersebut memiliki dampak signifikan terhadap inklusi sosial karena mampu menghimpun perbendaharaan informasi yang dapat dipergunakan sebagai saluran akses pada sumber daya (resources), dapat dimanfaatkan sebagai pengetahuan (knowledge) untuk menciptakan dan memanfaatkan peluang, serta sebagai sarana mendorong partisipasi politik. Sementara itu, di sisi yang lain, terdapat pandangan yang justru meragukannya (skeptic) karena relasi-relasi sosial tersebut masih menghadapi kendala ketimpangan digital (digital divide) dan literasi sehingga tidak kondusif bagi upaya meningkatkan inklusi sosial.
Kata kunci: informasi, akses, inklusi, ketimpangan digital
Pendahuluan
Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi telah mengubah berbagai tatanan kehidupan. Kita sekarang hidup di era digital atau era informasi, sebuah kehidupan yang diwarnai oleh relasi-relasi sosial yang melembagakan kontak secara langsung, komunikasi yang melibatkan banyak orang (many-to-many communication), keterbukaan pandangan (ide), dan kebebasan berinteraksi. Relasi-relasi sosial tersebut didukung oleh komputer (computer mediated) dengan beragam divice melalui e-mail, chat room, short message service, video call, telepon, teks, dan gambar, yang mampu menembus batas wilayah geografis, kelas, etnis, agama, gender, dan ideologi, juga membentuk. Di samping itu, keanggotaan komunitas digital bersifat sukarela (voluntary) dan terjalin atas dorongan atau motivasi pribadi (individuated) serta tidak mengenal hubungan hierarkis (berlapis). Berbeda dengan kehidupan komunitas nyata (real), relasi-relasi sosial dalam komunitas ini tidak terdapat dominasi individu atau kelompok atas individu atau kelompok lain. Identitas dalam komunitas ini juga bersifat fleksibel dan dibangun secara spontan. Identitas dalam komunitas ini tidak dibangun berdasarkan penghargaan status dan peran sebagaimana lazim terdapat dalam kehidupan komunitas nyata. Oleh karena itu, setiap anggota komunitas ini dalam waktu yang sama bisa menjadi follower (pengikut) sekaligus menjadi influencer (berpengaruh). Silih berganti peran semacam itu menciptakan kehidupan komunitas digital amat dinamis karena mereka senantiasa dituntut terus-menerus melakukan adaptasi dan negosiasi terhadap norma, nilai, dan pengetahuan baru (Boyd, 2007: 136).
Relasi-relasi sosial dalam komunitas digital yang melembagakan kontak langsung, komunikasi yang melibatkan banyak orang, keterbukaan pandangan (ide), serta kebebasan interaksi memproduksi informasi yang membentuk kultur unik, oleh Castel disebut culture of real-virtuality (Castel, 2001: 169–170). Di satu sisi, kultur tersebut berkarakter virtual (maya) karena nilai, norma, dan pengetahuan yang tumbuh di dalamnya dimanifestasikan melalui pesan-pesan audiovisual. Akan tetapi, di sisi lain, kultur tersebut juga berkarakter real (nyata) karena nilai, norma, dan pengetahuan tersebut dituangkan secara nyata dalam bentuk gambar, profil, suara, kata, dan sub-text. Informasi tersebut juga beredar luas dan kompleks, tidak hanya berbentuk deskripsi suatu kejadian yang dialami masyarakat nyata, tetapi juga berupa refleksi hasil-hasil diskusi, dialog, atau catatan kritis, bahkan refleksi protes keras yang berujung pada transaksi atau ketegangan politik.
Pertanyaannya yang menarik diajukan adalah sejauh mana sebenarnya relasi-relasi sosial dalam komunitas digital tersebut memiliki dampak signifikan terhadap inklusi sosial atau proses meningkatnya kapasitas akses komunitas terhadap sumber daya (resources), partisipasi mereka dalam formulasi dan eksekusi keputusan publik, serta kerja sama di antara mereka dalam memanfaatkan dan menciptakan peluang. Pertanyaan semacam ini relevan diajukan karena kontak langsung, komunikasi yang melibatkan banyak orang, keterbukaan pandangan (ide), dan kebebasan interaksi yang melembaga dalam komunitas digital dipercaya mampu meningkatkan akumulasi pengetahuan yang dapat dipergunakan untuk meningkatkan inklusi sosial. Jawaban atas pertanyaan tersebut terbelah ke dalam dua pandangan. Pandangan pertama percaya bahwa relasi-relasi sosial semacam itu memiliki efek yang signifikan terhadap inklusi sosial (optimistic in mind). Sebaliknya, pandangan kedua justru meragukannya (skeptic in mind). Perbedaan pandangan semacam itu sampai saat masih menjadi perdebatan (disputes) dalam berbagai diskusi dalam literatur sosiologi dan studi komunikasi. Uraian berikut bermaksud mengupas argumentasi di balik perbedaan pandangan yang bertolak belakang tersebut.
Pandangan optimistic
Seperti dinyatakan pada uraian terdahulu bahwa relasi-relasi sosial dalam komunitas digital melembagakan kontak langsung, komunikasi antar banyak orang, keterbukaan pandangan (ide), dan kebebasan berinteraksi sosial yang mampu menembus batas wilayah geografis, kelas, etnis, agama, gender, dan ideologi. Relasi-relasi sosial semacam itu memproduksi informasi yang tidak hanya bergulir dengan cepat dan menjangkau kalangan yang amat luas, tetapi juga dapat menciptakan stimulan dan mengundang tanggapan langsung (direct response) secara terbuka. Stimulan dan tanggapan tersebut beragam, bisa bersifat positif atau berupa dukungan (support) atau apresiasi, tetapi bisa juga bersifat negatif atau berupa catatan kritis dan protes yang dipicu oleh perlakukan yang diskriminatif. Stimulan dan respons tersebut bisa berkembang menjadi gerakan politik terutama ketika informasi yang bergulir ditengarai menciptakan kelompok tertentu menjadi marginal.
Bukankah catatan kritis dan protes secara langsung dan terbuka semacam itu lazim ditemukan pula dalam kehidupan komunitas nyata? Lalu, apa bedanya? Boleh jadi begitu. Namun, catatan kritis dan protes dalam komunitas digital dapat disampaikan secara langsung karena tidak membutuhkan perwakilan, artinya dapat menembus hambatan terjadinya mediasi yang dikendalikan oleh konspirasi politik. Di samping itu, dalam konteks demokrasi, penyampaian secara langsung dan menembus institusi mediasi juga diyakini mampu mempercepat proses pembentukan aspirasi dan opini sehingga berbagai bentuk kebijakan yang dirancang dan diimplementasikan menjadi lebih memperhatikan harapan publik. Dalam sistem demokrasi, pembentukan aspirasi dan opini juga dibutuhkan untuk menjaga kedaulatan (Dorota, 2006: 43–64).
Lazim pula dinyatakan bahwa relasi-relasi sosial dalam kehidupan komunitas digital memproduksi informasi yang mampu meningkatkan interactivity, yaitu proses berkembangnya tukar-menukar pengetahuan (Bucy and Tao, 2007; Tewksbury and Rittenber, 2012: 94–95). Pengetahuan tersebut bisa berupa kondisi aktual yang sedang menjadi keresahan masyarakat, tetapi bisa pula deskripsi tentang misi yang perlu diketahui publik, bahkan bisa pula terkait dengan efisiensi dan efektivitas kebijakan publik yang telah diimplementasikan. Oleh sebab itu, interactivity dapat berperan sebagai mimbar yang memberi fasilitas bertemunya berbagai macam kepentingan, serta menjadi tempat berdiskusi untuk menemukan alternatif solusi memecahkan masalah-masalah krusial. Peran interactivity semacam itu amat penting bagi berkembangnya inklusi sosial karena di samping melibatkan interaksi banyak kalangan, juga memiliki tautan dengan kepentingan publik.
Relasi-relasi sosial dalam komunitas digital juga diyakini berpengaruh signifikan terhadap berkembangnya modal sosial. Modal sosial adalah sumber daya (resources) yang dimiliki oleh kelompok atau komunitas dalam bentuk nilai-nilai dan norma yang melembagakan hubungan yang saling menguntungkan (reciprocal relationships) dan saling memberi atau menaruh kepercayaan (trust) yang dapat dikapitalisasi untuk kegiatan produktif. Hubungan antara pola relasi-relasi sosial dalam komunitas digital dan modal sosial adalah sebagai berikut. Pertama, karena pola relasi-relasi sosial tersebut mampu meningkatkan pengetahuan (knowledge) dari berbagai bersumber, maka bukan hanya penting dalam proses mengidentifikasi pelbagai masalah yang dihadapi (serta menemukan alternatif solusinya), tetapi juga dalam proses menciptakan dan memanfaatkan peluang. Kedua, pola relasi-relasi sosial tersebut juga menjadi modal membuat prakiraan langkah-langkah yang perlu dibangun supaya memperoleh hasil optimal. Ketiga, pola relasi-relasi sosial tersebut juga memiliki energi yang dapat dipergunakan untuk mobilisasi sumber daya (resources). Semakin banyak informasi yang diperoleh, semakin luas pengetahuan yang dimiliki, dan semakin kuat pula energi untuk melakukan mobilisasi sumber daya. Selanjutnya, relasi-relasi sosial tersebut dapat menanamkan dan menebarkan trust (nilai-nilai positif terhadap perkembangan), sekaligus mengembangkan mempertegas identitas sehingga mudah mengembangkan hubungan yang saling menghargai (recognition).
Pandangan skeptic
Pandangan optimistic yang yakin bahwa relasi-relasi sosial mampu meningkatkan inklusi sosial telah diragukan oleh sejumlah kalangan. Keraguan tersebut muncul karena masalah ketimpangan digital (digital divide) dan literasi. Digital divide adalah ketimpangan yang terjadi akibat perbedaan akses terhadap infrastruktur dan sistem pelayanan jaringan teknologi informasi dan komunikasi. Boleh jadi benar kontak langsung dan komunikasi yang melibatkan banyak orang (many-to-many communication) dalam komunitas digital mampu menembus batas-batas kelas, etnis, agama, gender, dan ideologi politik, sehingga pengguna dapat memperoleh pengetahuan dari berbagai macam sumber. Boleh jadi benar keterbukaan pandangan (ide) dan kebebasan interaksi sosial dalam komunitas digital tersebut mampu menciptakan peluang untuk menyampaikan catatan kritis, pengaduan, bahkan protes tanpa mengikuti sistem perwakilan. Akan tetapi, dalam realitasnya tidak setiap komunitas memiliki akses yang sama terhadap infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi serta mampu memanfaatkan konten dan aplikasi. Observasi selama ini menunjukkan bahwa perbedaan wilayah, kelas, dan status berhubungan signifikan dengan akses dan literasi.
Kesenjangan digital tersebut terkait dengan difusi (penyebaran) infrastruktur jaringan teknologi informasi dan komunikasi serta ketersediaan device dan aplikasi dan konten internet (software). Tendensi ketimpangan digital (digital divide) ini terjadi karena pembangunan infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi membutuhkan dana yang amat besar, dan pada umumnya diserahkan kepada swasta atau dalam skema kerja sama pemerintah-swasta (public-private partnership). Oleh karena itu, infrastruktur teknologi dan informasi cenderung dibangun di daerah-daerah yang secara ekonomi lebih mendatangkan keuntungan ekonomi. Implikasinya kemudian adalah terjadi gap atau kesenjangan akses pada infrastruktur informasi dan telekomunikasi. Kedua, terkait dengan status ekonomi pengguna (user). Supaya dapat menggunakan aplikasi dan konten (software) membutuhkan ketersediaan device yang tidak murah. Observasi selama ini juga menunjukkan bahwa aplikasi dan konten internet lebih banyak digunakan lapisan menengah dan atas (the have) terutama kategori usia muda, bekerja di sektor perdagangan, industri barang dan jasa, serta bermukim di daerah perkotaan. Tendensi demikian semakin mempertegas bahwa masalah kesenjangan digital (digital divide) cukup kompleks, maksudnya di samping terkait dengan potensi wilayah, juga terkait dengan sektor pekerjaan dan status sosial ekonomi.
Ketimpangan digital tersebut juga terkait dengan literasi, yaitu pengetahuan dan keterampilan (skill) menggunakan media digital untuk melakukan komunikasi melalui jaringan internet dalam rangka memenuhi berbagai kebutuhan. Dalam konteks ini literasi digital lebih terkait dengan kecakapan kognitif dan teknikal dan merupakan adaptasi terhadap perkembangan teknologi digital. Pengetahuan dan keterampilan tersebut biasanya diukur dari frekuensi dan intensitas: (1) menggunakan aplikasi dan konten internet dalam rangka mencari berbagai macam informasi yang relevan untuk melakukan perubahan, (2) mengirimkan informasi melalui aplikasi dan konten internet disertai dengan dialog tentang informasi tersebut, (3) berpartisipasi aktif dalam diskusi atau seminar yang diselenggarakan melalui internet, serta (4) membuat kreasi web page, terutama terkait dengan stimulan dan respons terhadap perkembangan isu-isu krusial. Observasi selama ini juga memperlihatkan bahwa mereka yang memiliki pengetahuan dan keterampilan semacam itu lebih banyak ditemukan di kalangan usia muda, bekerja di sektor perdagangan, industri barang dan jasa, dan bertempat tinggal di daerah perkotaan.
Seperti telah disampaikan dalam uraian terdahulu bahwa relasi-relasi sosial dalam komunitas digital yang ditandai dengan kontak langsung, komunikasi yang melibatkan banyak kalangan (many-to-many communication) mampu menembus batas wilayah geografis serta perbedaan kelas, ras, etnis, ideologi politik, umur, dan gender. Namun demikian, dalam realitasnya, relasi-relasi sosial acap kali terlalu bebas dan tidak mudah dikendalikan, dan potensial merusak nilai-nilai dan norma-norma yang telah disepakati secara kolektif. Relasi-relasi sosial semacam itu acap kali dipenuhi oleh ambiguitas dan inkonsistensi yang justru dapat menghambat kreativitas dan kegiatan ekonomi yang produktif. Oleh karena itu, asumsi bahwa relasi-relasi sosial dalam komunitas digital dapat mendorong berkembangnya modal sosial menjadi sukar menemukan bukti.
Selanjutnya, asumsi bahwa relasi-relasi sosial dalam komunitas digital mampu meningkatkan partisipasi politik dalam kenyataannya tidak mudah diwujudkan. Bahkan, tidak berlebihan apabila dinyatakan bahwa relasi-relasi sosial dalam komunitas digital potensial mengganggu stabilitas politik. Adapun bentuk gangguan terhadap stabilitas politik tersebut adalah sebagai berikut. Pertama, relasi-relasi sosial dalam komunitas digital dapat menciptakan delegitimasi sistem politik yang sudah menjadi kesepakatan publik. Strategi yang dilakukan adalah mengonstruksi sistem politik tersebut dengan mengembangkan wacana bahwa sarat konspirasi dan mengandung pelemahan hak-hak politik, sehingga harus ditolak. Relasi-relasi sosial dalam komunitas digital menjadi saluran yang efektif dalam proses penolakan tersebut. Kedua, kontak langsung, komunikasi yang melibatkan banyak kalangan (many-to-many communication), keterbukaan pandangan (ide,) dan kebebasan interaksi sosial menciptakan apa yang lazim disebut cyberbalkanization atau internet balkanization, yaitu segregasi di antara pengguna menjadi himpunan kelompok-kelompok kecil berbasis persamaan kepentingan politik. Kelompok-kelompok kecil ini sering kali membangun wacana dan pandangan sempit (a narrow-minded) dan sukar menerima wawasan yang dianggap tidak sesuai atau berlawanan dengan prinsip-prinsip yang melekat dalam kelompoknya. Dalam perkembangnya, relasi-relasi sosial semacam itu memicu kebebasan berekspresi (free expression), menutup diri, dan pada gilirannya berujung pada melemahkan integritas dan kerja sama.
Ketiga, relasi-relasi sosial dalam komunitas digital acap kali menjadi lahan subur bagi berkembangnya buzzer politik. Dalam konotasi negatif, buzzer politik adalah pemilik akun menjalin hubungan dengan menggunakan aplikasi tertentu seperti facebook, twitter, istagram, whatshapp, flog melakukan propaganda atau menyerang rival politik. Buzzer politik melakukan kegiatan untuk memperoleh keuntungan finansial sehingga sering kali berperilaku oportunis atau berada di “dua kaki” pihak yang terlibat dalam kontestasi, kompetisi, atau konflik politik. Kegiatan buzzer bisa merusak stabilitas politik karena menciptakan wacana atau analisis yang menimbulkan rasa saling curiga atau saling tidak percaya. Itulah sebabnya acap kali dinyatakan bahwa relasi-relasi sosial dalam komunitas digital tidak hanya menciptakan respons dan stimulan yang serba spontan, ekspresif. dan emosional, tetapi juga memelihara epidemi irasionalitas.
Relasi-relasi sosial yang melembagakan kontak langsung, komunikasi yang melibatkan banyak orang (many-to-many communcation), keterbukaan pandangan (ide), dan kebebasan interaksi sosial dalam komunitas digital juga mendorong berkembangnya kapitalisme informasi (information capitalism), yaitu bisnis swasta yang memanfaatkan informasi sebagai modal utama dalam kegiatan ekonomi. Dalam konteks ini informasi tidak sekadar dipahami sebagai deskripsi peristiwa yang disebarkan untuk memperkaya perbendaharaan pengetahuan publik, tetapi lebih dari dikapitalisasi sebagai modal yang dimanfaatkan untuk kepentingan bisnis. Kapitalisme informasi mengembangkan pola bisnis yang berbeda dengan kapitalisme industrial. Dalam kapitalisme industrial, kegiatan bisnis terutama dalam bentuk mengolah barang dan jasa serta memanipulasi pasar. Pola bisnis kapitalisme informasi berbeda dengan kaptalisme industrial. Dalam kapitalisme industrial lokasi produksi, jaringan transportasi, penyimpanan atau pergudangan (storage), dan sistem distribusi (supply-chain) sangat diperlukan karena menjadi faktor-faktor yang determinan bagi keberhasilan bisnis, sedangkan dalam kapitalisme informasi, faktor-faktor tidak menjadi fokus kapitalisasi informasi. Kapitalisme informasi mengabaikan aglomerasi (wilayah) industri karena tidak lagi bergantung pada lokasi, jaringan transportasi, pergudangan, dan sistem distribusi. Dalam kapitalisme informasi, fasilitas produksi yang utama adalah akses pada teknologi informasi dan komunikasi serta jaringan internet. Implikasinya kemudian adalah kegiatan produksi dan distribusi hasil produksi dapat dikerjakan secara mandiri (tidak harus di pabrik). Tendensi demikian memicu berkembangnya out sourcing yang pada gilirannya menciptakan precariat atau kelas pekerja.
Semakin pesatnya perkembangan kapitalisme informasi ternyata tidak melemahkan kegiatan kapitalisme industrial. Sebaliknya, kapitalisme industrial justru semakin berkembang karena para kapitalis ternyata semakin canggih memanfaatkan dan menciptakan peluang yang hadir bersama relasi-relasi sosial dalam komunitas digital yang melembagakan kontak langsung, komunikasi yang melibatkan banyak kalangan, keterbukaan pandangan (ide), dan kebebasan interaksi. Dalam kehidupan nyata, kapitalisme industrial dan kapitalisme informasi acap kali bersinergi (working in gloves). Kegiatan kapitalisme industrial justru semakin besar, semakin leluasa bergerak dalam berbagai sektor usaha, dan semakin sistematis melakukan eksploitasi dan monopoli pasar. Implikasinya adalah pelaku usaha yang tergolong besar akan semakin besar, sedangkan pelaku usaha kecil dan menengah semakin terpuruk. Daya saing kelompok ini semakin rapuh karena kalah berkompetisi dan acap kali juga tidak memperoleh perlindungan yang memadai. Tendensi demikian menjadi alasan bagi sejumlah kalangan untuk meragukan (skeptic) asumsi bahwa relasi-relasi sosial dalam komunitas digital mampu meningkatkan inklusi sosial.
Catatan Penutup
Uraian yang telah disampaikan memaparkan argumentasi di balik perbedaan pandangan tentang hubungan antara relasi-relasi sosial dalam komunitas digital dan inklusi sosial. Inklusi sosial termanifestasi dalam tiga hal: (a) kapasitas komunitas akses terhadap sumber daya (resources), (b) partisipasi komunitas dalam proses formulasi dan eksekusi keputusan publik, dan (c) kerja sama komunitas dalam memanfaatkan dan menciptakan peluang. Argumentasi pandangan optimistic dibangun di atas asumsi sebagai berikut. Pertama, relasi-relasi sosial dalam komunitas digital tidak hanya menciptakan relasi-relasi sosial yang menembus batas wilayah geografis, kelas, etnis, agama, gender, dan ideologi, tetapi juga dapat meningkatkan perbendaharaan pengetahuan yang dapat dimanfaatkan menjadi energi untuk akses pada sumber daya (resources). Kedua, perbendaharaan pengetahuan yang diperoleh melalui relasi-relasi sosial komunitas digital tersebut tidak hanya berupa deskripsi suatu peristiwa, tetapi juga menciptakan perspektif yang dapat menjadi energi partisipasi politik. Ketiga, perspektif semacam itu selain dapat menjadi strategi menciptakan struktur hubungan sosial yang egaliter, juga dapat menjadi referensi membangun nilai-nilai yang melembagakan trust dan relasi-relasi saling menguntungkan (social relationships).
Sementara itu, argumentasi pandangan skeptic dikembangkan di atas asumsi sebagai berikut. Pertama, relasi-relasi sosial dalam komunitas digital masih belum merata atau masih berhadapan dengan tantangan digital divide (kesenjangan akses) dan literasi. Tendensi demikian terjadi terutama karena pembangunan teknologi informasi dan komunikasi diserahkan kepada pihak swasta, dan lebih mengutamakan dibangun di daerah-daerah yang secara ekonomis potensial memperoleh keuntungan ekonomi. Konsekuensinya adalah terjadi ketimpangan digital (digital divide). Kedua, relasi-relasi sosial dalam komunitas digital acap kali justru menumbuhkan berbagai macam propaganda dan intrik yang menyerang rival politik. Relasi-relasi sosial dalam komunitas digital tersebut gagal mendorong partisipasi politik, dan potensial menciptakan kegaduhan dan konflik politik. Ketiga, relasi-relasi sosial dalam komunitas digital menjadi lahan subur bagi berkembangnya kapitalisme informasi, yaitu kegiatan bisnis yang memberi ajang amat lebar kepada swasta. Kapitalisme informasi ditandai dengan melemahnya aglomerasi (kawasan) industri karena tidak lagi bergantung pada lokasi, jaringan transportasi, pergudangan, dan sistem distribusi. Kapitalisme informasi tersebut semakin melemahkan tatanan kesempatan kerja dan posisi tenaga kerja karena mereka masih tetap dihadapkan dengan eksploitasi dan manipulasi kegiatan kapitalisme industrial.
Pelajaran apakah yang dapat dipetik dari argumentasi di balik perbedaan pandangan tersebut? Pelajaran pertama, pada tataran teoretis, argumentasi yang dibangun baik oleh pandangan optimistic maupun pandangan skeptic sama-sama menempatkan kontak langsung, komunikasi yang melibatkan banyak orang (many-to-many communication), keterbukaan pandangan (ide) dan kebebasan interaksi sosial dalam komunitas digital melembagakan hubungan tanpa tergantung pada mediasi atau representasi (perwakilan). Kedua, dalam analisis tentang hubungan antara relasi-relasi sosial dalam komunitas digital sama-sama dikaitkan dengan pengetahuan (knowledge) yang mampu meningkatkan akses terhadap sumber daya (resources), partisipasi politik dan kegiatan menciptakan dan memanfaatkan peluang bisnis. Ketiga, upaya meningkatkan inklusi sosial melalui relasi-relasi sosial yang tumbuh dan berkembang dalam komunitas digital menghadapi kendala ketimpangan digital (digital dived) dan tingkat literasi pengguna.
Daftar Pustaka
Boczkowski, P. (2004). The processes of adopting multimedia and interactivity in three online newsrooms. Dalam Journal of Communication (34, pp. 197-213).
Boyd, Danah. (2007). “None of This to Real: Identity and Participation in Friendster. Dalam Joe Karaganis (ed). Structure of Participation in Digital Culture. Columbia University Press.
Bucy, E.P and C.C. Tan. (2007). The mediated moderation model of interactivity. Media Psychology (9, pp. 647-672).
Burke, P.J and Stets J.F. (2000). Identity Theory. Oxford Universitsy Press.
Castells. (2001). Informationalism and the Network Society. Dalam The Hacker Ethic and the Spirit of the Information Age. London: Secker & Warbung.
Coleman, Stephen. (2008). Cutting out the middle man: from virtual representation to direct deliberation. Dalam Barry N. Hague and Brian D. Loader. Digital Democracy, Discourse and Decision Making in the Information Age (pp. 190-210). London: Routledge.
McDonald. (2008). The Benefits of Society Online: Civic Engagement. Dalam Karen Mossberger, Caroline J.Tolbert and Ramona Sl McNeal. Dalam Digital Citizenship, The Internet, Society, and Participatian (pp. 47-66). Cambridge: The MIT Press, Cambridge.
Pietrzy-Reeves, Dorota. (2006). Deliberative Democracy and Citizenship. Dalam Polish Political Science, Yearbook (vol. XXXV, pp. 43-64).
Tewksbury, David and Jason Rittenberg. (2012). News on The Internet, Information and Citizenship in the 21st Century. New York: Oxford University Press.
Oleh : Sunyoto Usman (Pakar Pembangunan Sosial UGM)