Memahami Perpustakaan Digital dalam Bingkai Multikulturalisme dan Digital Humanities
Teknologi menjadi ciri khas manusia abad 21. Hampir setiap manusia pada masa ini pernah dan sedang memanfaatkan kehadiran teknologi. Penggunaan teknologi telah banyak mempengaruhi seluk-beluk kehidupan individu. Sehingga istilah dunia digital dan segala aktivitas di ruang maya membawa konsekuensi perubahan perilaku interaksi masyarakat. Manusia sebagai makhluk sosial membutuhkan informasi sebagai objek yang dipertukarkan manakala terjadi interaksi. Kebutuhan manusia akan informasi niscaya mengalami perubahan yang mengacu pada perkembangan peradaban manusia itu sendiri. Perubahan tersebut terjadi pada bentuk dan struktur informasi yang semula dikenal dalam bentuknya yang konvensional menjadi bentuk yang lebih fluid. Pada perkembangannya, kebutuhan informasi yang dinamis ini menjadi sebuah tuntutan seiring dengan berubahnya perilaku informasi masyarakat. Perubahan yang tengah terjadi pada masyarakat dunia hari ini tak bisa dilepaskan dari perkembangan teknologi yang mengubah tatanan sosial menjadi apa yang disebut sebagai masyarakat digital.
Perpustakaan sebagai lembaga informasi jelas menghadapi tantangan baru dalam menghadapi karakter masyarakat digital. Jika sebelumnya jenis koleksi yang dibutuhkan cukup dalam bentuk tercetak, kini para pengiat perpustakaan dihadapkan pada kebutuhan informasi dalam bentuk baru, yaitu dalam bentuk digital yang bersifat dinamis. Perubahan mencolok dari era ini adalah ketersediaan informasi yang dituntut dalam suatu alur yang gesit dengan tingkat aksesibilitas yang tinggi. Tuntutan ini juga hadir kepada pustakawan, mereka dituntut responsif terhadap segala informasi yang berkembang baik di dunia nyata maupun di dunia digital itu sendiri. Bagi masyarakat digital, segala perubahan sosial yang mungkin terjadi merupakan konsumsi informasi yang memiliki nilai tersendiri. Dalam diskursus studi perpustakaan, dampak langsung dari berkembangnya teknologi informasi dan masifnya jejaring internet adalah hadirnya konsep perpustakaan digital. Kehadiran perpustakaan digital memberikan alternatif bagi masyarakat yang membutuhkan informasi dalam bentuk non-fisik.
ICDL: Sebuah Ambisi Besar
Salah satu contoh perpustakaan digital yang sudah cukup mapan adalah International Children Digital Library (ICDL). Sebuah platform perpustakaan digital yang mengkhususkan diri pada literatur anak-anak. Sebagai sebuah perpustakaan digital, koleksi yang tersedia disana merupakan koleksi yang diperuntukkan bagi anak-anak berusia 3 sampai 13 tahun (International Children’s Digital Library, 2005). Perpustakaan ini diinsiasi oleh Internet Archive, sebuah organisasi nirlaba Amerika yang bergerak melakukan pengarsipan berbagai macam literatur di Internet, dan University of Maryland yang diwakili oleh College of Information Studies. Projek ini dimulai pada tahun 2002 dengan pembiayaan dari National Science Foundation dan Institute for Museum and Library Services (Hutchinson et al., 2005). ICDL dirancang untuk bisa meluaskan jangkauan penggunanya secara global, untuk itu dalam menyusun fondasi dasarnya para stakeholder melibatkan beberapa unsur masyarakat. Di dalam laporan timnya, Hutchinson menegaskan bahwa demi memastikan konten dan tampilan muka (interface) sesuai dan disukai anak-anak, proyek ini sengaja melibatkan anak-anak dengan rentang umur yang disesuaikan. Mereka ditugaskan untuk menganalisa beberapa detail seperti pengembangan desain tampilan untuk memaksimalkan proses pencarian informasi yang diinginkan (user experience). Kemudian anak-anak ini disandingkan dengan para pakar yang usianya sudah dewasa dan menguasai berbagai aspek. Para pakar yang turut dilibatkan berasal dari latar belakang bidang yang berbeda, yaitu; sains komputer, ilmu perpustakaan, pendidikan, dan seni visual. Para dewasa ini merupakan ilmuwan yang dipilih pada bidangnya untuk bisa menerjemahkan hasil pembacaan dari para anak-anak.
Pada awal pembentukannya, ICDL disusun dengan semangat untuk bisa menghadirkan 10.000 buku anak dalam 100 ragam bahasa. Beberapa bahasa dari kawasan Asia Tenggara pun juga turut disertakan ke dalam koleksi. Setidaknya itu bisa terlihat ketika memilih suatu buku yang oleh pihak ICDL disediakan pilihan terjemahan bahasa yang mereka miliki. Jika dilihat dari kolom pencarian, bisa terlihat bahwa Bahasa Indonesia, Vietnam, dan Thailand yang saat ini sudah disediakan terjemahannya. Ini dikarenakan ICDL tidak memiliki volunteer yang cukup banyak di kawasan Asia Tenggara sehingga upaya penyediaan terjemahan bahasa pun juga jadi terbatas. Koleksi ICDL berasal dari beberapa sumber, mulai dari perpustakaan nasional lintas negara, penerbit, penulis, komunitas, perpustakaan daerah, dan perpustakaan lokal. Seperti yang tertuang dalam sesi kebijakan pengembangan koleksi, ICDL mengajukan permohonan kepada perpustakaan yang memiliki koleksi buku yang dianggap cocok dan pantas untuk anak usia 3-13 tahun. Yang menjadi salah dua target capaian ICDL adalah mampu mengidentifikasi koleksi yang berasal dari berbagai negara, dan dengan demikian mereka menghadapi tantangan yaitu coverage terhadap identifikasi kebahasaan yang sangat luas. Capaian lainnya adalah memiliki koleksi buku anak yang merupakan peraih penghargaan yang diadakan di berbagai belahan dunia (Hutchinson et al., 2005). Kebijakan setiap institusi tentu berbeda-beda, namun secara umum proses akuisisi koleksi material ICDL berasal dari :
- Sumber public domain yang sudah bisa diakses secara bebas;
- Perpustakaan Nasional yang menyumbangkan koleksinya atau agensi perbukuan yang memiliki copyrights atas suatu bahan material;
- Diperoleh dari penerbit atau individu pembuat (creators) yang berhak secara sah atas properti intelektual berdasarkan persetujuan legal kontrak yang disepakati bersama;
- Diperoleh melalui kerjasama dengan pihak publik maupun swasta yang memiliki concern dengan material koleksi anak (International Children’s Digital Library, 2005, “Acquisitions Process”).
Melalui beragam bentuk proses akuisi tersebut, maka sangat wajar kemudian jangkauan bahan koleksi yang dimiliki ICDL mencapai taraf global. Ribuan koleksi yang berhasil disimpan pada database dengan mengakomodir ragam bahasa di seluruh dunia merupakan faktor yang menjadikan ICDL sebagai sustainable platform. Terdapat cukup banyak koleksi yang berasal dari abad 19 dan berhasil dialih wahanakan dengan hasil yang berkualitas. Beberapa bahan material juga ada yang berasal dari bahasa non-english. Bantuan dari para volunteer, translator, serta advisors membuat ICDL mampu menjadikan bahan material lintas bahasa sebagai koleksi perpustakaan. Para volunteer berperan untuk menentukan isi suatu bahan material apakah cocok dan sesuai untuk menjadi koleksi. Sementara penerjemah memainkan perannya agar suatu bahan material tetap bisa tersedia dalam beragam bahasa. ICDL sebagai platform dalam bidang studi literatur anak membuka ruang ragam budaya dalam medium yang berbeda. Ragam budaya atau lebih sering disebut multikulturalisme hanya bisa ditemukan pada ruang yang menghargai perbedaan corak kebiasaan atas suatu adat budaya.
Corak Multikulturalisme
Fondasi rancang bangun yang dibuat oleh ICDL berhasil membentuk sebuah platform lintas budaya dan bahasa. Ini menjadi preseden baik dalam pengembangan literatur anak. Manfaat penggunaan dari koleksi ICDL bisa diukur dari seberapa besar jumlah anak-anak yang mempelajari budaya yang diluar kesehariannya. ICDL sendiri telah menjadi objek penelitian dari para peneliti lintas negara. Tema penelitian yang dilakukan pun tidak tertutup selalu membahas tentang kajian literatur. Penelitian yang dilakukan oleh de Souza et al. (2008), misalnya, memaparkan tentang bagaimana simbol-simbol yang ditampilkan pada web mampu menciptakan suatu kemampuan berkomunikasi jika ditinjau dari unsur semiotika mesin. Penelitian ini melibatkan pengguna yang berbasis di Brazil dengan penggunaan aksara Spanyol sebagai komunikasi. Penelitian lain menunjukkan bagaimana pengguna (yang merupakan kategori anak-anak) melakukan interaksi dengan informasi yang berada di website ICDL (Bilal & Bachir, 2007). Kali ini penelitian melibatkan anak-anak yang memiliki bahasa Arab sebagai komunikasi utama. Anak-anak diuji sejauh mana mereka bisa mengenali dan memanfaatkan koleksi materil yang ada di website. Ketersediaan tampilan muka (interface) yang berbahasa arab atau bahasa non english lainnya merupakan nilai lebih bagi ICDL.
Dari beberapa penelitian tersebut, secara keseluruhan bisa terlihat kecenderungan nilai-nilai kulturalisme yang diakomodir oleh ICDL. Ini merupakan merupakan dampak langsung dari proses penciptaan ICDL diawalnya yang memang diperuntukkan bagi pengunjung di berbagai belahan dunia. Seperti yang dikemukakan oleh penelitian Hutchinson bahwa pada saat proses pembentukannya ICDL memang sengaja membentuk tim yang terdiri anak-anak dan orang dewasa yang masing-masing dari tim tersebut berasal dari latar belakang budaya dan negara yang berbeda (Hutchinson et al., 2005). Ini merupakan upaya agar daya jangkau dari koleksi materil bisa menyentuh sebanyak mungkin kultur budaya dan bahasa yang ada. Sehingga ketika melihat output yang dihasilkan pada hari ini pun, eksistensi ICDL bisa dijadikan tonggak kulturalisme pada perpustakaan digital.
Kebudayaan Dalam Ruang Digital
Seperti yang telah dikemukakan diawal bahwa di era kekinian pengaruh teknologi menjadi begitu determinan terhadap kelangsungan hidup manusia. Penggunaan teknologi tidak bisa dinafikan kemanfaatannya bagi kemudahan hidup manusia hari ini. Teknologi bisa menjadi seperangkat alat untuk membuat analisa terhadap banyak fenomena, termasuk untuk memotret kebudayaan. Dalam koridor akademis, dampak yang bisa dirasakan dari kehadiran teknologi adalah meluasnya sudut pandang dalam melihat sebuah peristiwa. Jika perluasan tema ini diterapkan pada rumpun ilmu humaniora, terdapat sebuah konsep kebudayaan yang bertaut langsung dengan teknologi, konsep tersebut adalah Digital Humanities. DH adalah sebuah konsep yang tidak bisa ditranslasikan secara letterlijk begitu saja. Ia merupakan sebuah titik yang mempertemukan dua konsep besar antara ilmu kebudayaan dengan bidang komputasi dalam ranah dunia digital. Nyhan dan Flinn memberikan penjelasan sederhana: “DH takes place at the intersection of computing and cultural heritage. It aims to transform how the artefacts (such as manuscripts) and the phenomena (such as attitudes) that the Humanities study can be encountered, transmitted, questioned, interpreted, problematized and imagined” (Nyhan & Flinn, 2016).
Sebelum akhirnya mencapai definisinya yang sekarang, DH telah melalui proses transformasi yang cukup panjang. Dahulu DH dikenal dengan konsep Humanities Computing, dan dalam era yang lebih lampau dikenal sebagai Apllied Computing in the Humanities. Menurut peneliti, perubahan ini terjadi lantaran konsep ini berdiri pada dua kutub besar yang sudah mapan secara keilmuan, yaitu Humaniora dan Teknologi. Pergeseran terminologi ini juga membawa perubahan pada segi materiil pembahasan di dalamnya. Jika pada sebelumnya Teknologi menjadi sebatas pelayan dan penyedia dari tema Humaniora, maka pada DH kedua tema ini melebur menjadi satu untuk saling menguatkan masing-masing disiplin dan menghasilkan suatu diskursus (Mahony, 2018). DH biasanya berdiri pada tema-tema yang berkaitan dengan bagaimana sebuah warisan budaya bisa tetap dimanfaatkan oleh masyarakat, pengembahan teknologi (komputasi), maupun diskursus baru yang sebelumnya dikategorikan sebagai ketidakmungkinan.
Dalam kaitannya dengan perpustakaan digital, DH berada pada tegangan antara titik temu kaidah preservasi koleksi, yang bernilai kebudayaan tinggi (biasanya dikategorikan sebagai warisan budaya, artefak, manuskrip, dlsb), dengan kemajuan teknologi yang menjadi platform di banyak tempat. Dalam diskurus perpustakaan digital, ada sebuah konsep yang dikemukakan oleh El Hadi bahwa yang menjadi aktivitas utama dari DH adalah proses digitasi dari representasi nilai sejarah dan kebudayaan itu sendiri. Objek koleksi yang sudah menjadi bentuk digital kemudian menjadi bahan utama dari perpustakaan digital dan DH dalam kapasitasnya mengembangkan dan menyampaikan koleksi materil yang dimiliki oleh perpustakaan digital (El Hadi, 2016). Dalam kasus ICDL, sebagai perpustakaan digital yang diperuntukkan bagi tersedianya variasi koleksi bagi anak-anak di seluruh dunia, maka tim pengembang melakukan ekspansi seluas-luasnya. Ekspansi ini juga melibatkan komunitas yang merupakan salah satu diskursus dalam DH (Nyhan & Flinn, 2016). Ragam koleksi dengan kebudayaan dari berbagai masyarakat lintas negara dan dengan penggunaan varian bahasa yang cukup banyak merupakan syarat dalam tema DH. Selain itu, jika kita telusur secara urutan tahun, ICDL memiliki koleksi yang berasal dari abad 19. Melihat fakta ini nilai kebudayaan yang ada pada ICDL merupakan representasi konsep DH. Upaya memberikan layanan dan diseminasi koleksi yang dilakukan via internet jika melihat konsep DH maka bisa dikategorikan sebagai sebuah warisan budaya.
Daftar Referensi
Bilal, D., & Bachir, I. (2007). Children’s Interaction with Cross-Cultural and Multilingual Digital Libraries: I. Understanding Interface Design Representations. Information Processing and Management, 43(1), 47–64.
de Souza, C. S., Laffon, R. F., & Leitão, C. F. (2008). Communicability in Multicultural Contexts: A study with the International Children’s Digital Library. IFIP International Federation for Information Processing, 272, 129–142.
El Hadi, W. (2016). Digital Libraries and Digital Humanities: Some Reflections on Their Synergy. Pakistan Journal of Information Management and Libraries, 17(SpecialIssue), 13–28.
Hutchinson, H. B., Rose, A., Bederson, B. B., Weeks, A. C., & Druin, A. (2005). The International Children’s Library: A Case Study in Designing for a Multilingual, Multicultural, Multigenerational Audience. Information Technology and Libraries, 24(1), 4–12.
Internationational Children’s Digital Library. (2005). Collection development policy. Retrieved April 28, 2020, from http://en.childrenslibrary.org/about/collection.shtml
Mahony, S. (2018). Cultural Diversity and the Digital Humanities. Fudan Journal of the Humanities and Social Sciences, 11(3), 371–388. Retrieved from https://doi.org/10.1007/s40647-018-0216-0
Nyhan, J., & Flinn, A. (2016). Review of “Computation and the Humanities: towards an Oral History of Digital Humanities.” In Reviews in History. Cham: SpringerNature.
Artikel ini ditulis oleh Muhammad Haikal, mahasiswa Universitas Gadjah Mada saat menjalani magang di Pusat Studi Sosial Asia Tenggara
Jalan Tak Beraspal Itu Bernama Samudera Hindia: Refleksi dari Enggano dan Melihat Distribusi Logistik ke Beranda Indonesia
Bulan April 2019 kapal saya akan segera naik sauh dari Pelabuhan Pulau Baai menuju Pelabuhan Kahyapu. Penyeberangan dari Kota Bengkulu ke Pulau Enggano yang masuk ke dalam wilayah administrasi Kabupaten Bengkulu Utara tersebut harusnya memakan perjalanan sekitar 12 jam. Pukul 18.00 WIB semua tempat tidur yang disediakan pengelola feri Pulo Tello telah penuh oleh pemiliknya masing-masing sesuai dengan nomor yang tertera di tiket yang mereka bayar. Beberapa saat kemudian feri menjauh dari dermaga. Hanya butuh 2-3 tiga jam perjalanan laut untuk feri yang kami tumpangi keluar dari teluk. Namun, saat feri kami betul-betul baru keluar dari perairan teluk menuju laut lepas, seseorang dibalik pengeras suara memberikan pengumuman bahwa perjalanan ke Pulau Enggano harus ditunda. Feri Pulo Tello berputar arah kembali ke pelabuhan Pulau Baai dan perjalanan ditunda hingga waktu yang tidak bisa ditentukan. Biasanya kapten kapal akan memeriksa kembali cuaca esok hari dan memastikan mendapatkan izin berlayar dari syahbandar.
Pulau Enggano terletak sejauh 110 mil perjalanan laut mengarugi lautan lepas Samudera Hindia. Pulau ini terpisah sejauh 100 km di sebelah barat daya Pulau Sumatera dengan koordinat 05 ° 23 ′ 21 ″ Lintang Selatan, 102 ° 24 ′ 40 ″ Litang Timur. Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) tengan Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil, Pulau Enggano termasuk ke dalam kategori tersebut lantaran memiliki luas daratan sebesar 400,6 km2. Moda transportasi hanya ada dua jenis, kapal dan pesawat perintis. Ada dua jenis kapal untuk mengangkut penumpang dan logistik dari dan menuju Pulau Enggano. Pilihan pertama adalah feri Pulo Tello yang beroperasi seminggu dua kali. Kapal jenis ini dapat mengangkut kendaraan bermotor baik kecil maupun besar. Karenanya, orang Enggano akan mendapatkan pasokan logistik yang dibeli dari Kota Bengkulu dengan diangkut menggunakan feri. Sedangkan moda transportasi laut yang kedua adalah KM Sabuk Nusantara 52 yang beroperasi dari dan menuju Pulau Enggano hanya selama 10 hari berturut-turut dalam satu bulan. KM Sabut Nusantara 52 merupakan kapal perintis lebih besar dengan kapasitas muatan lebih banyak. Hanya saja kapal ini hanya mengangkut penumpang dan logistik secara curah tanpa bisa mengikutsertakan kendaraan. Moda transportasi terakhir adalah pesawat perintis yang hnya beroperasi sekali dalam sepekan dan hanya mengangkut 10-20 orang saja dengan batas barang bawaan 7 kg untuk setiap penumpang.
Situasi badai dan tidak adanya kapal yang berlayar adalah hal yang biasa bagi orang Enggano dan Bengkulu. Mereka telah terbiasa dengan penundaan perjalanan yang tidak dapat mereka perkirakan. Paling singkat perjalanan hanya akan ditunda pada hari berikutnya, di pagi hari saat cuaca kembali cerah dan badai menghilang. Namun, beberapa orang yang saya temui mengatakan bahwa perjalanan yang mereka alami pernah mengalami penundaan hingga tiga hari bahkan sepekan. Satu-satunya yang bisa dilakukan adalah kembali pulang dan menunggu hingga badai benar-benar berhenti dan Samudera Hindia aman untuk diarungi kembali. Namun, menunggu bukanlah persoalan besar jika berlayar dari Enggano ke Bengkulu dan sebaliknya hanyalah untuk kepentingan berlibur semata. Nyatanya, transportasi laut yang menghubungkan daratan utama Benkulu dengan Pulau Enggano adalah persoalan vital distribusi logistik dan pemenuhan bahan pangan. Hal ini bahkan telah terjadi sejak catatan Boewang (1854) diterbitkan, bahwa lebih dari satu abad telah berlalu satu-satunya jalur logistik dari dan ke Pulau Enggano hanyalah laut.
Kedatangan saya di Pelabuhan Kahyapu setelah harus tertunda 12 jam akibat badai adalah saat hari akan gelap dan matahari hilang direbut malam. Kapal kami bersandar di pelabuhan disambut oleh mobil-mobil bak terbuka dan truk yang mengangkut pisang. Pemandangan seperti itu akan selalu terjadi pada hari di mana ada jadwal kapal datang dan pergi di Pelabuhan Kahyapu. Situasi ini menandakan bahwa pertukaran ekonomi antara daratan utama Bengkulu dengan Enggano sedang terjadi. Mobil-moil yang turun dari feri membawa banyak pasokan bahan pangan dan keperluan kebutuhan sehari-hari lainnya, sedangkan mobil yang menyambut di pelabuhan bersiap untuk perjalann esok ke Bengkulu dan mengantarkan hasil bumi Pulau Enggano sampai ke pasar. Dengan demikian roda perekonomian di Pulau Enggano tetap berjalan.
Namun, bagaimana jika kapal tidak datang dalam waktu yang lama? Permasalahan yang kerap datang ialah timbul-tenggelamnya ‘pasar’ dalam maknanya sebagai roda perekonomian di Pulau Enggano. Tepat pada 4 Juni 2000, Pulau Enggano dilanda gempa bumi berkekuatan 7,3 SR. Gempa besar itu merusak seluruh dermaga yang ada di pulau itu. Imbasnya adalah kerusakan parah pada dermaga (Pratiwi et al, 2019). Peristiwa tersebut menjadi salah satu peristiwa kerusakan terbesar dalam dua dekade terakhir yang menghambat datang dan perginya kapal ke Pulau Enggano. Krisis bahan bakar dan pasokan makanan juga sempat dialami oleh Enggano pada tahun 2018 yang disebabkan oleh badai berkepanjangan melanda perairan pulau itu (Ibid).
Sepanjang tahun 2019 sendiri, dermaga Kahyapu mengalami kerusakan lagi yang disebabkan oleh sapuan badai. Gelombang tinggi menyebabkan rusaknya adermaga sehingga akses melalui feri ke Pulau Enggano untuk sementara tidak mungkin terjadi (Pratiwi et al: 2019). Tidak adanya akses melalui feri berarti tidak ada hasil bumi yang diantar ke Bengkulu. Pisang-pisang yang terlanjur dipanen akan membusuk di dermaga dan petani akan merugi karenanya. Tidak adanya kapal yang bersandar ke Pulau Enggano pun juga berarti tidak ada pasokan logistik lain seperti bahan bakar dan bahan pangan yang tidak dapat mereka hasilkan sendiri di Enggano seperti minyak goreng, gula, sebagian besar pasokan beras, hingga kebutuhan pokok non-pangan.
Badai dan tidak adanya kapal yang masuk ke perairan Enggano juga tidak hanya sebatas sulitnya mendapatkan pemenuhan pasokan pangan, melainkan juga perputaran uang. Tidak hanya berhentinya kapal-kapal masuk ke perairan Enggano tetapi juga hasil bumi yang pengirimannya ke Bengkulu harus sementara dihentikan membuat orang Enggano tidak mendapatkan pemasukan dari hasil menjual pisang, kopi, pisang, hingga ikan. Pasokan bahan bakar pun memegang peran yang vital di pulau ini. Mayoritas profesi penduduknya adalah petani dan nelayan. Jika feri tidak datang, maka tidak ada hasil kebun terjual dan tidak ada bahan bakar untuk melaut mencari ikan. Oleh sebab itu, tidak adanya kapal yang datang adalah paceklik bagi Enggano.
Situasi yang terjadi di Pulau Enggano dapat membawa kita pada diskusi reflektif mengenai studi-studi kesejahteraan sosial. Russel and Edgar (2005) menyebutkan bahwa perkara kesejahteraan sosial adalah perkara relasi yang harus dilihat antara siapa pemberi kesejahteraan itu dan siapa yang menjadi pihak penerima. Mengikiuti ilustrasi tersebut, maka sejauh ini Enggano adalah penerima dan Bengkulu adalah pemberi dalam konotasi sempit sebagai daratan terdekat dan sebagai lambang kehadiran negara dalam konotasi yang lebih luas. Dalam konteks Enggano, kita dapat menyebutnya sebagai social deprivation seperti yang telah dirumuskan oleh Chambers (1995). Meskipun Bankoff (2016: 16) menyebutkan bahwa ‘ancaman’ akan bahaya tidak pernah jauh-jauh dari berbagai komunitas berbeda yang tinggal di sepanjang pesisir Samudera Hindia, tetapi negara sebagai ‘pemberi’ kesejahteran tidak dapat menggunakan alasan bentang alam sebagai justifikasi tidak meratanya distribusi logistik dan pangan.
Thomas Hylland Eriksen (2010) menyebutkan dalam bukunya yang terkenal berjudul A World of Insecurity: Anthropological Perspective of Human Security bahwa tidak ada yang kebal di dunia ini. Setiap masyarakat, kelompok, individu di bumi memiliki jalan mereka masing-masing dalam berhadapan dengan pertanyaan tentang sebuah konsep “human security”. Kita semua mempertanyakan kepastian dan jaminan atas ketahanan pangan kita masing-masing bahkan seberapa rentan kelompok kecil kita menghadapi ancaman yang datang dari alam maupun kelompok lain. Hylland-Eriksen (2001) dalam bukunya yang lebih lama pun juga berujar bahwa memahami ilmu humaniora adalah memahami banyak hal yang kita lihat dimulai dari banyak hal kecil yang saling terkoneksi kepada hal lain yang mungkin lebih besar. Ia menyebutnya sebagai small places large issues. Bahwa cara kita memandang Pulau Enggano pun demikian, bahwa pulau ini bukanlah satu-satunya tempat di beranda Indonesia yang mengalami paceklik pangan akibat dari seasonal deprivation—melainkan Enggano memberikan saya sebuah catatan reflektif untuk melihat isu ketahanan pangan di Indonesia secara lebih luas lagi dalam kaitannya dengan permasahalan distribusi dan akses.
Daftar Pustaka
Bankoff, Greg. 2016. Bordering on Danger: An Introduction dalam Natural Haards and Peoplesin The Indian Ocean World: Bordering on Danger. New York: Palgrave Macmillan.
Chambers, Robert. 1995. “Poverty and livelihoods: whose reality counts?” dalam Environment and Urbanization, 7: 173.
Edgar, Lain R. and Andrew Russel. 2005. The Anthropology of Welfare. London and New York: Routledge Book.
Eriksen, Thomas Hylland. 2001. Small Places, Large Issues: An Introduction to Social and Cultural Anthropology (Second Edition). London: Pluto Press.
Eriksen, Thomas Hylland. 2010. A World of Insecurity: Anthropological Perspective on Human Security. London: Pluto Press.
Pratiwi, Rewina Ika et al. 2019. “The Absence of “Market” When The Storm Rages: A Study of Welfare among Coastal People in Enggano Island, Indonesia” dalam Jurnal AYC PPIM.
Artikel ini ditulis oleh Rewina Ika Pratiwi, mahasiswa Universitas Gadjah Mada saat menjalani magang di Pusat Studi Sosial Asia Tenggara
Menghadirkan Semangkuk Tteokbokki di Meja: Drama Korea, Aspirasi, dan Kelas Menengah Muda Indonesia
Saya sedang berada di tempat duduk saya semasa SMA. Saat itu dua sesi jam pelajaran sedang ditiadakan karena guru kami harus menyelesaikan beberapa urusan lain yang tampak mendesak. Seorang teman berteriak kepada beberapa teman lainnya untuk segera bergabung ke mejanya. Mereka semua adalah murid-murid perempuan di kelas. Beberapa murid perempuan yang merasa nama mereka dipanggil segera merapat dan menyeret bangku mereka untuk mendekat ke arah murid perempuan yang tadi memanggil mereka. Murid perempuan tersebut membuka komputer jinjingnya dan seketika itu konsentrasi murid-murid perempuan yang tadi berkumpul tertuju pada layar persegi panjang yang barangkali ukurannya adalah 13-18 inci.
Di tengah kerumunan murid perempuan yang sedang menatap komputer jinjing tersebut salah satunya berteriak, “eotteoke!” sambil disusul teriakan murid lainnya. Mereka sedang menyaksikan serial TV Korea Selatan atau yang selanjutnya akan disebut drama Korea dalam tulisan ini. Momen seperti itu tetap berlangsung hingga bel istirahat sekolah kami berbunyi. Murid-murid akan menghabiskan waktu istirahat mereka dengan makan siang. Beberapa akan pergi ke kantin sekolah dan sebagian yang lainnya membentuk meja berkelompok di dalam kelas dan memakan bekal mananan yang dibawa dari rumah bersama-sama. Saya selalu bergagung dengan kelompok itu. Beberapa di antara kami mulai mengeluarkan kotak makan. Kami akan mulai memperlihatkan isinya, saling bertanya membawa bekal apa siang ini dan saling membaginya satu dengan yang lain.
Salah satu di antara kami—seorang murid perempuan yang tadi menonton drama Korea—membuka kotak makan tambahan dan meunjukkan kepada kami sebuah hidangan yang disebutnya sebagai tteokbokki. Hidangan itu berlumur saus berwarna merah dan terbuat dari tepug beras. Ia menyebutnya bahwa hidangan itu adalah kudapan yang berasal dari Korea Selatan. Mereka biasa menontonnya di serial televisi. Hampir di setiap waktu luang para aktor dan aktris di dalam drama Korea tersebut akan pergi ke sebuah kedai untuk memesan tteokbokki dan meminum bir di sana. Oleh karenanya, teman-teman saya mengaku penasaran dan ingin merasakan juga bagaimana rasa makanan tersebut. Mereka pun juga membawa sumpit dan memakannya menggunakan alat makan tersebut untuk semakin membuatnya tampak seperti di dalam drama Korea yang sering mereka saksikan bersama.
Saat itu adalah tahun 2014, mengikuti drama Korea tidak sesulit tahun-tahun sebelumnya saat anak-anak muda di Indonesia hanya dapat menjumpai idola mereka melalui tayangan harian di televisi dan DVD bajakan yang mereka dapatkan dari warung tenda di pinggir jalan. Tahun di mana saya telah menjadi murid sekolah menengah atas, menonton drama Korea cukup mengunduhnya dari internet. Begitulah caranya sehingga teman-teman perempuan saya di kelas semasa sekolah dapat dengan mudah dan bebas menonton drama Korea yang mereka inginkan sepanjang jam pelajaran sedang dikosongkan. Bermodal jaringan internat nirkabel di sekolah dan komputer jinjing yang mereka miliki secara pribadi.
Melihat Kelas Menengah dan Peleburan Batas Budaya
Perkembangan mengenai kemudahan mengakses dan menikmati drama Korea dari yang awalnya hanya dapat diikuti melalui siaran di TV lokal pun terus mengalami perkembangan hingga saat ini. Meskipun tren menikmati drama Korea di Indonesia tidak selalu menunjukkan angka antusiasmme penggemar yang tinggi, tetapi setidaknya beberapa orang mengaku konsisten menonton serial televisi dari negara di Asia Timur tersebut.
Ariel Heryanto (2015) dalam bukunya Identitas dan Kenikmatan, telah melakukan kajian mendalam mengenai hallyu, atau yang kerap disebut sebagai Korean Waves. Catatannya menyebutkan bahwa salah satu konteks yang lebih luas dari diskusi mengenai hallyu dan tergila-gilanya anak muda Indonesia untuk mereproduksi budaya Korea adalah kenyataan menguatnya kesadaran ‘Ke-Asia-an’ di antara mereka. Begitulah penjelasan pendek saat saya ingin menjelaskan bagaimana bisa teman-teman SMA saya begitu tergila-gila dengan drama Korea hingga mereplika kuliner dan menghadirkannya tepat di atas meja makan mereka. Namun, apakah cukup sampai di sini saja?
Saya berbincang dengan seorang teman di Yogyakarta, Asih namanya. Ia adalah seorang perempuan muda 22 tahun yang menceritakan kepada saya tentang pengalamannya ‘keranjingan’ drama Korea yang dimulainya sejak duduk di bangku SMP. Asih memulainya sejak orang tuanya memutuskan sekolah berasrama untuknya. Asrama itu hanya berisi murid-murid perempuan. Setiap libur akhir pekan murid-murid perempuan akan pergi ke warung internet terdekat. Mereka membawa flashdisk. Mereka akan menyewa komputer dan menghabiskan libur akhir pekan dengan mengunduh atau menyalin file drama Korea yang tersedia di sana. Saat itu hiburan murid-murid perempuan di sekolah asrama hanya televisi. Oleh sebab itu, mencari tontonan lain di luar apa yang tersedia di TV lokal terasa menjadi hiburan yang menyenangkan.
Lain dengan Asih, saya juga berbincang dengan seorang mahasiswa tingkat akhir di Yogyakarta. Namanya adalah Aprilia dan ia kini berusia 23 tahun. Aprilia menceritakan kepada saya bahwa sejak lahir Ia telah merasa dipertemukan dengan serial-serial televisi Asia. Ia mendapatkan akses itu dari bibi yang diceritakannya. Bibinya adalah penggemar berat serial Asia—khususnya Asia Timur pada saat itu. Tidak ada kemudahan mengunduh drama Korea melalui situs ilegal di internet pada waktu itu, mungkin sekitar tahun 2007-2009. Oleh sebab itu, sang bibi hanya dapat mengandalkan tukang DVD bajakan di pinggir jalan untuk memenuhi keinginannya mengikuti tayangan serial drama televisi yang hangat di Asia Timur—termasuk drama Korea.
Selain Asih dan Aprilia, saya juga berbincang dengan mahasiswa tingkat akhir lainnya, ia adalah Jeni. Kisaran usianya hampir sama dengan Asih dan Aprilia. Mereka adalah tiga perempuan sebaya. Jeni mulai mengikuti tontonan serial TV Korea ini sejak di bangku SMP. Ia mengaku bahwa saat itu hanya ikut-ikutan saja. “Apa yang sedang dibicarakan saat itu aku tonton dan ikuti. Pokoknya yang sedang ramai”, ujarnya kepada saya. Hal itu ia lakukan hingga SMA dengan membeli DVD bajakan seperti yang dilakukan oleh Aprilia dan bibinya. Hingga tren menonton dari DVD mulai perlahan menghilang dan digantikan oleh kemudahan mengunduh berbagai macam judul drama Korea melalui situs-situs ilegal.
Apa yang telah saya sebut sebagai menguatnya kesadaran ‘ke-Asia-an’ tadi dengan mengutip Ariel Heryanto (2015) adalah situasi yang tercipta seiring dengan kemudahan-kemudahan konsumen budaya populer Korea untuk mengakses apa yang mereka cari: drama dan musik Korea misalnya, atau bahkan informasi mengenai idola mereka. Baik kehadiran tteokbokki di meja makan anak-anak muda Indonesia dan kemudahan mereka mengoleksi belasan judul drama Korea di komputer jinjing mereka, adalah buah dari peleburan batas yang sebelumnya disalahpahami secara kaku bahwa batas kultural dan batas geografis memiliki garis penegas yang sama. Sebab keduanya tentu berbeda. Dalam banyak studi mobilitas tinggi manusia menjadi faktor utama yang mengaburkan keselarasan keduanya—yakni batas kultural dan batas geografis (Abdullah, 2015).
Mobilisasi dalam tingkat yang semakin tinggi serta kemudahan untuk melakukanya semakin mendorong meleburnya batas kultural antar kelompok di muka bumi. Di tempat baru mereka akan mereproduksi kebudayaan mereka dari tempat asal untuk menciptakan ulang bayangan mengenai ‘tempat asal’, menjaga ikatan emosional, dan menciptakan kelompok-kelompok baru yang membawa representasi budaya tempat asal mereka. Sejalan dengan itu, batas-batas wilayah tidak lagi penting saat lalu-lintas berpindahnya manusia dari satu tempat ke tempat yang lain menjadi semakin padat. Jika menilik gagasan Appadurai (1990) mengenai globalisasi, maka ia akan memperkenalkan kita untuk mengenal lima dimensi untuk mengklasifikasikannya. Salah satu di antara lima dimensi yang perlu kita ketahui tersebut adalah ethnoscape—di mana dimensi ini berkaitan dengan migrasi yang dilakukan oleh masyarakat untuk melintas batas wilayah maupun budaya untuk kemudian menampilkan bahwa dunia yang kita tinggali selama ini merupakan sebuah ruang dinamis yang segalanya bersifat cair.
Proses reproduksi kebudayaan yang dijelaskan melalui dimensi ethnoscape tersebut kemudian terus mengalami perkembangan hingga reproduksi kebudayaan tidak lagi hanya dapat dilakukan saat seseorang melakukan perpindahan secara fisik—melainkan interaksi budaya juga dapat dilakukan melalui perantara teknologi. Dimensi ini disebut oleh Appadurai (1990) dengan sebutan technoscape. Sampai di sini kita dapat mengamati bahwa perilaku meniru resep kudapan khas Korea yang dilakukan oleh teman-teman saya semasa SMA dan kemudahan menonton drama Korea yang didapat oleh tiga perempuan muda di yang membagi cerita mereka kepada saya tentu terwakili oleh dimensi technoscape ini—meskipun sebelum teknologi berkembang berkembang semakin canggih—migrasi merupakan satu-satunya pintu utama pertukaran kebudayaan itu.
Di sinilah kemudian muncul gagasan mengenai ‘asianisasi Asia’ sebagaimana yang ditulis oleh Ariel Heryanto (2015) berkaitan dengan penelitan yang ia lakukan mengenai hallyu di beberapa kota di Indonesia. Proses ini tergambar sebagai sebuah interaksi budaya tanpa batas waktu dan wilayah—yang tergambar pada upaya murid-murid yang pada tahun 2014 lalu saya temui di SMA. Mereka berhasil mereplika sebuah hidangan khas Korea dengan mencari tahu resep masaknya di mesin pencari yang mana mereka mendapatkan informasi mengenai nama makanan itu dari drama Korea yang hampir setiap hari mereka saksikan. Oleh karenanya, terjadi sebuah transmisi budaya tanpa harus melakukan kontak langsung dengan sang pemilik kebudayaan tersebut—di mana proses globalisasi kebudayaan ini melahirkan diferensiasi yang meluas—yang tampak dari proses pembentukan gaya hidup dan identitas (Abudullah, 1998: 176).
Meskipun globalisasi dan bahkan yang disebut sebagai ‘asianisasi Asia’ tadi dapat menerpa siapa saja, tetapi pada bagian ini saya ingin menekankan bahwa tinjauan mengenai kelas menengah muda patut mendapat perhatian secara terpisah. Saya memilih datang kepada Asih, April, dan Jeni dengan pertimbangan bahwa mereka adalah sebaya saya—di mana artinya dalam perjalanan mereka menjadi konsumen drama Korea—mereka berkemungkinan melalui perjalanan yang sama tentang pengalaman mereka mengonsumsi drama Korea melalui DVD bajakan, menunggunya tayang di TV, hingga mengunduh dari situs-situs ilegal di mesin pencari. Kini, mereka telah mendapatkan lebih dari yang mereka dapat bayangkan sebelumnya. Mereka tidak lagi memerlukan DVD bajakan, menunggu di TV, pergi ke warnet, atau mengunduhnya di internet—melainkan hanya perlu membayar tagihan internet dan menonton drama Korea melalui situs streaming baik legal maupun ilegal dari ponsel pintar atau komputer jinjing mereka masing-masing dengan nyaman.
Kemudahan yang mereka dapatkan tersebut—meskipun memang disebabkan oleh perkembangan teknologi yang luar biasa cepat—tidak dapat dilepaskan dari tersedianya teknologi tersebut untuk mereka akses. Situasi tersebut berarti bahwa tidak semua orang seusia mereka dapat memiliki kemudahan menonton drama Korea menggunakan fasilitas streaming melalui situs penyedia tayangan baik yang ilegal maupun legal. Adanya kemampuan untuk memenuhi kebutuhan hiburan mereka akan drama Korea inilah yang kemudian membuat saya menyoroti mereka sebagai ‘kelas menengah’. Jika melihat ciri-ciri yang dikemukakan oleh Ariel Heryanto (2015), maka setidaknya mereka memiliki beberapa hal berikut: pendidikan perguruan tinggi, daya beli menengah untuk hiburan, serta kiblat transnasional dalam konsumsi dan gaya hidup.
Asih menggunakan sambungan internet nirkabel sejak ia menyelesaikan pendidikannya di bangku SMA. Ia memiliki fasilitas tersebut di rumah dan dapat menonton drama Korea di waktu luangnya hanya dengan menyambungkan ponsel pintar atau komputer jinjingnya ke jaringan internet. Aprilia tidak tinggal di rumah bersama keluarga. Melainkan ia mampu membayar iuran internet nirkabel di kamar yang ia sewa untuk merantau di Yogyakarta. Tidak berbeda dengan Aprilia, Jeni melakukan hal yang sama. Ia adalah mahasiswa perantau, menyewa kamar untuk tinggal, dan membayar tagihan internet setiap bulannya. Kondisi ini membuat mereka tidak harus pergi mencari jaringan internet nirkabel gratis atau pergi ke warung internet lagi untuk menyalin belasan judul drama Korea di sana seperti usaha-usaha yang mereka lakukan sebelum berbagai kemudahan ini mereka dapatkan.
Reformasi dan Identitas Kosmopolitan
Indonesia telah mengalami gelombang keterbukaan informasi sejak pergantian rezim pemerintahan pada tahun 1998. Titik balik ini pun mendai lahirnya generasi baru di mana mereka adalah generasi pertama yang lahir pada era siaran televisi bukan lagi menjadi mesin propaganda milik negara. Pada saat inilah kemudian generasi yang sebaya dengan Asih, Aprilia, dan Jeni merupakan generasi pertama yang yang sepenuhnya tumbuh bersamaan dengan industri swasta dunia hiburan yang menarik bagi kelas menengah yang saat itu juga baru mulai bermunculan (Heryanto, 2015: 250). Bahkan tidak hanya budaya populer Asia Timur yang saat itu mulai menggempur Indonesia—melainkan juga budaya populer Islam yang sebelumnya terkubur (Nonaka, 2015).
Kembali pada demam drama Korea yang datang bersamaan dengan Korean wave atau hallyu—di titik inilah mereka para penggemar budaya populer Korea—selain memiliki kebebasan untuk mengakses informasi juga memiliki kebebasan untuk mendeklarasikan ide mengenai identitas kosmopolitan yang mereka punya. Mengapa kosmopolitan? Charlotte Setijadi (2005) melakukan studi mengenai hubungan antara cultural proximity dan preferensi orang Indonesia. Tesisnya mengatakan bahwa penonton televisi di Indonesia lebih memilih drama Korea—Asia Timur secara umum—lantarn menganggap memiliki banyak kesamaan budaya. Namun, hal tersebut tidak berarti gagasan mengenai cultural proximity ini menyebabkan preferensi menonton drama Korea semata-mata disebabkan oleh kedekatan budaya.
Perihal aspek kedekatan budaya, tidak ada satu di antara mereka yang saya temui mengaku bahwa preferensi memilih drama Korea yang mereka miliki didasarkan oleh identitas keregionalan—dalam hal ini adalah Asia. Setidaknya, jika tiga orang yang berbincang dengan saya terlalu sedikit dan tidak dapat disebut mewakili dalam konteks yang lebih luas, maka penelitian Ariel Heryanto (2015) juga menyatakan bahwa preferensi anak-anak muda yang ditemuinya adalah jenis musik yang dimainkan, penampilan mereka di panggung dan video klip, serta komunikasi yang bersahabat dengan pendengar. Oleh karenanya, gagasan mengenai ‘asianiasasi Asia’ yang disebut oleh Ariel Heryanto bukan merupakan kesadaran regionalisme yang puritan. Melainkan proses ‘asianisasi’ itu sendiri melambangkan adanya kegembiraan menjadi bagian dari Asia yang modern dan kosmopolitan.
Jeni mengatakan kepada saya bahwa ia menonton drama Korea dan berakhir menjadi tergila-gila disebabkan oleh ide cerita yang diangkat dan potongan kehidupan yang ditampilkan di sana. Ia mengatakan saat SMA ia mengikuti drama Korea berjudul Dream High dan ia gembira mengetahui sisi kehidupan di luar kultur hidupnya sehari-hari. Ia merasa disuguhkan oleh potongan cerita dari belahan bumi yang lain—yang selama ini tidak ia ketahui. Begitu juga dengan Aprilia yang saat SMA lebih memilih menonton secara maraton drama Korea yang mengangkat kisah kehidupan anak muda dan sekolah. Hal tersebut berarti Aprilia lebih memilih keterkaitan usia alih-alih hanya sekadar ‘Asia’. Jika harus menjelaskannya menggunakan dalih kedekatan budaya, maka kedekatan budaya yang tepat ialah budaya mereka sebagai anak sekolah yang seusia daripada kedekatan mereka secara budaya regional seperti yang disebutkan oleh Setijadi (2005). Mereka adalah anak-anak muda Indonesia yang ‘ter-asia-kan’ dan atau ‘meng-asia-kan’ diri melalui konsumsi mereka terhadap budaya populer Korea Selatan.
Di Indonesia sendiri, kebebasan menyatakan diri sebagai penggemar budaya populer Korea nomor wahid tidak akan terwujud sama sekali apabila dua dekade yang lalu Indonesia tidak pernah berganti rezim dan titik balik keterbukaan informasi tidak pernah terjadi. Dalam konteks tulisan ini, tiga orang yang saya temui ini sama sekali tidak mengaitkan keberadaan budaya Korea dengan batas negara yang memisahkan mereka. Justru kegemaran mereka terhadap budaya populer Korea berkembang hingga menikmati musik dan mulai mengidolakan kelompok musik yang seringkali disebut sebagai idol group. Asih dan Aprilia adalah contoh dari mereka yang mengaku memiliki keterikatan terhadap idol group tertentu. Berdasarkan pengalaman yang dimiliki oleh Asih, ia bahkan terhubung dengan komunitas yang transnasional yang lebih besar, saling berkomunikasi satu sama lain, dan meleburkan batas-batas wilayah dan dipersatukan oleh satu aspirasi yang sama: idola mereka.
Lebih dari Sekadar Opera Sabun ‘Biasa’
Pada akhirnya drama Korea bukan sekadar opera sabun biasa. Makna kata ‘biasa’ di sini adalah opera sabun yang biasa mereka tonton di saluran TV lokal di Indonesia. Baik Asih, Aprilia, dan Jeni bersepakat bahwa mereka tidak menyukai sajian cerita yang menampilkan perempuan sebagai sosok yang lemah dan tampak memasrahkan diri pada keadaan. Meskipun pada tahun 2000-an, Indonesia juga sempat digemparkan oleh kemunculan beberapa judul drama Korea yang berdasarkan penilaian Asih, Aprilia, dan Jeni mengandung cerita yang Cinderella complex—di mana sosok tokoh utama perempuan berasal dari keluarga miskin atau kelas pekerja yang bertemu dengan seorang laki-laki dari keluarga kaya atau powerful. Beberapa judul drama Korea yang sempat tayang dan memiliki kecenderungan seperti itu adalah Boys Before Flowers, Princess Hours, Secret Garden, dan The Heirs.
Jika dibandingkan dengan serial TV yang ada di Indonesia, mungkin kita akan menemukan titik kesamaan pada ide cerita yang cenderung Cinderella complex tersebut. Namun demikian, banyak drama Korea lain baik yang tayang dan tidak di saluran TV lokal Indonesia yang tidak meletakkan pemeran utama perempuan sebagai kelompok yang memiliki strata sosial lebih rendah daripada pemeran laki-laki. Meskipun beberapa cerita drama Korea pada saat itu juga mengandung ide yang Cinderella complex—setidaknya para penggemar setia mereka mengungkapkan bahwa kelebihan yang dimiliki oleh drama Korea adalah sinematografinya, cerita yang mendetail tetapi jumlah episodenya cukup, tidak bertele-tele dan selalu ada konflik utama yang akan diselesaikan. Hal serupa juga diungkapkan dalam penelitian yang dilakukan oleh Briandana dan Ibarhim (2015) melalui tulisan mereka yang berjudul Audience Interpretation on Korean TV Drama Series in Jakarta bahwa narasi yang menarik dan adanya elemen cerita seperti komedi, romansa, aksi, hingga misteri adalah beberapa hal yang tidak ditawarkan oleh sinetron di Indonesia.
Namun demikian, drama Korea pada kenyataannya tidak sebatas itu saja. Aprilia mengatakan bahwa koleksi drama Asia dan Korea pada khususnya yang biasa ia konsumsi sejak remaja tidak hanya berkutat pada persoalan ide cerita yang berlatar kehidupan rumah tangga. Banyak sebetulnya drama Korea dengan cerita lebih segar. Barangkali TV lokal di Indonesia memilih judul drama yang memiliki lebih banyak similaritas cerita dengan sinetron yang diproduksi oleh TV lokal sendiri. Karenanya, gagasan ‘kesamaan budaya’ mungkin akan berlaku sementara pada konteks ini. Pada akhirnya mereka yang terlanjur ‘keranjingan’ dan jatuh cinta pada drama Korea lah yang akan melakukan eksplorasi lebih untuk mencari judul-judul drama Korea yang lebih memuaskan aspirasi mereka mengenai serial TV.
Saat saya bertanya mengenai preferensi genre drama Korea yang akhir-akhir ini ia tekuni, Asih menjawab ia tidak memiliki preferensi khusus mengenai genre cerita. Syaratnya hanya satu: bukan horor. Aprilia memiliki jawaban yang berbeda. Hingga saat ini ia konsisten pada drama Korea yang tidak menampilkan sosok perempuan menjadi pihak yang lemah dan hal-hal semacam Cinderella complex seperti yang sebelumnya telah saya singgung. Ia akan memilh drama dengan mempertimbangkan siapa penulis skenarionya, pemainnya, hingga genre. Meskipun genre pada akhirnya bukan menjadi acuan utama jika ia sedang mempertimbangkan penulis skenario dan pemainnya. Ia juga mengaku mengalami pergeseran selera. Saat masih SMP-SMA ia menjadikan drama Korea dengan cerita kehidupan sekolah sebagai pilihannya, higga tiba saatnya ia merasa drama Korea dengan tokoh utama yang bukan lagi anak sekolahan menjadi pertimbangan utama yang ia pikirkan. Sedangkan Jeni, ia akan memilih drama Korea dengan nuansa slice of life yang memiliki narasi lebih mengalir dan terasa amat nyata.
Berbagai macam pertimbangan dari tiga orang di atas dalam memilih drama Korea mereka sebetulnya telah menunjukkan kita apa yang tidak dimilki oleh opera sabun di Insonesia. Jika saya meramunya dari perbincangan yang saya lakukan dengan mereka bertiga, aspek-aspek seperti cerita yang bertele-tele, hanya menekankan pada kehidupan rumah tangga, pilihan profesi yang monoton untuk peran para tokohnya, sinematografi yang kurang menggugah, hingga judul yang ‘lebay’ menjadi pertimbangan tiga orang muda ini untuk lebih memilih drama Korea daripada apa yang tersaji di saluran TV lokal negara mereka sendiri.
Keseluruhan gambar yang kita tangkap dari apa yang telah kita diskusikan di atas ialah penegasan bahwa budaya populer seperti drama Korea telah jauh mengalami transformasi, baik dari bagaimana cara mereka datang ke Indonesia maupun cara konsumen mereka berusaha untuk mendapatkan akses menonton. Oleh sebab itu, dalam diskusi lebih lanjut mengenai hallyu pada umumnya dan drama Korea khususnya, memperhatikan aspek kelas dan ide besar kosmopolitan adalah hal yang tidak dapat diabaikan. Pada akhirnya perbincangan mengenai drama Korea seringkali akan berakhir di dapur kajian-kajian tentang konsumsi dan gaya hidup. Namun, tidak menutup kemungkinan juga bahwa diskusi-diskusi mengenai diplomasi budaya juga akan menjadi poin yang amat menarik. Kita akan melihat bagaimana hallyu memang sengaja diciptakan untuk menjadi bagian dari soft power yang dimiliki oleh Korea Selatan dalam berdiplomasi (Oh, 2017).
Tulisan ini sesungguhnya hanya ingin menegaskan bahwa budaya populer Korea, drama pada khususnya, perkembangan yang terjadi terhadapnya tidak dapat terlepas dari aspek-aspek kelas, konstruksi identitas, dan reproduksi budaya. Dari cerita beberapa murid perempuan di SMA saya hingga tiga perempuan muda yang saya temui di Yogyakarta, secara keseluruhan mereka ingin membagikan aspirasi kepada kita bahwa menonton sinetron Indonesia itu menjemukan kecuali hanya jika tidak ada pilihan. Hal itu terbukti ketika mereka memiliki akses dan kebebasan lebih untuk mengakses sendiri media hiburan untuk mereka, maka secara sadar mereka akan melakukan proses seleksi. Proses seleksi itu kemudian dilakukan dimulai dari apa yang tidak mereka sukai dari sajian-sajian serial TV lokal.
Namun, satu hal yang penting untuk menjadi catatan yakni bahwa kemampuan untuk memiliki kebebasan tak terbatas menyeleksi serial mana yang akan mereka tonton sekali lagi tidak dapat dipisahkan dari aspek kelas sosial tempat mereka berasal. Lantas pada akhirnya kita juga akan melihat bahwa aspek digital divide menjadi penting untuk ikut diperhatikan dan tidak hanya meletakkan fokus kajian budaya populer semacam ini hanya berlatar di kota-kota besar.
Daftar pustaka
Abdullah, Irwan. 1998. “Kultur dan Subkultur Kaum Muda: Suatu Refleksi Pemahaman Antropologi” dalam Antropologi Indonesia. Vol. 21(54)
Abdullah, Irwan. 2015. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Appadurai, Arjun. 1990. “Disjunture and Difference in The Global Economy” dalam Theory, Culture, and Society. Vol. 7, Hal. 295-310.
Briandana, Rizki dan Indan Soliha Ibrahim. 2015. “Audience Interpretation on Korean TV Drama Series in Jakarta” dalam Jurnal Komunikasi Borneo. Vol. 4, Hal. 45-55.
Heryanto, Ariel. 2015. Identitas dan Kenikmatan: Politik Budaya Layar Indonesia. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Ingyu Oh. 2017. “Islamic and Local Cultre: The Peril of State Violence and Hallyu Fandom in Indonesia” dalam Kritika Kultura. Vol. 29, Hal. 232-257.
Nonaka Yo. 2015. “Islamic Novels: Popularizing Islamic Values” dalam Kurasawa Aiko & William Bradley Horton (ed). Consumig Indonesia: Consumption in Indonesia in the Early 21st Century. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Setijadi, Charlotte. 2005. “Questioning Proximity” dalam Media Asia. Vol. 32(4), Hal. 197-205.
Artikel ini ditulis oleh Rewina Ika Pratiwi, mahasiswa Universitas Gadjah Mada saat menjalani magang di Pusat Studi Asia Tenggara.
Mudik dalam Tradisi Nusantara
Salah satu tradisi khas ketika perayaan hari raya keagamaan di Indonesia adalah mudik. Mudik dapat diartikan sebagai pulang kampung, dalam bahasa Jawa ada yang menyebut mudik sebagai singkatan dari mulih disik atau dari kata udik yang dalam bahasa Betawi adalah kampung.
Banyak tafsiran mengenai makna kata mudik. Ada yang menyebut bahwa kata mudik berasal dari bahasa Arab “al-aud” yang bermakna kembali. Mudik adalah kembali ke asal yakni udik. Sementara menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, mudik memiliki arti pulang ke kampung halaman.
Pulang ke kampung halaman yang jauh dari keramaian, aktivitas kota. Mudik dilakukan secara berulang-ulang. Baik ketika lebaran, liburan sekolah, natal, dan tahun baru. Sehingga mudik menjadi semacam budaya atau tradisi di nusantara yang dilakukan hampir setiap tahunnya. Mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, jadi puncak mudik adalah ketika perayaan hari raya Idulfitri. Tradisi ini juga dapat diartikan sebagai suatu simbol akan munculnya kesadaran rohani akibat kehampaan spiritualitas akibat kesibukan aktivitas di kota.
Manusia merupakan makhluk yang tergolong sebagai homo festivus. Manusia menyukai festival. Banyak macam dan ragam mengenai festival, salah satunya adalah festival yang bernuansa kegamaan, seperti perayaan lebaran. Dalam festival, terkandung sebuah pola yang ajeg dan dilakukan berulang-ulang secara massif pada momen tertentu. Selain itu manusia juga dikatakan sebagai makluk yang menyukai ziarah atau wanderer or traveling being. Senang melakukan sebuah perjalanan, ketika ada waktu liburan akan digunakan untuk jalan-jalan atau berekreasi.
Mudik yang tergolong dalam perayaan lebaran tidak disusun secara sistematis oleh negara maupun lembaga tertentu. Secara serempak dan akumulatif, masyarakat secara bersama-sama merayakan hari raya. Menjelang lebaran, jalan-jalan akan ramai kendaraan dengan tingkat volume yang naik tajam dibanding hari biasanya. Mudik adalah peristiwa budaya yang dilakukan berulang-ulang, dan bukan ciptaan atau rekayasa negara.
Tidak ada mudik yang tidak diawali oleh proses migrasi dari desa ke kota. Kota selalu dipandang lebih menjanjikan secara ekonomi maupun pendidikan, dibandingkan dengan desa. Ditinjau dari teori migrasi (Everett Lee, 1984), ada dua sifat perpindahan penduduk, permanen dan non permanen. Dikatakan perpindahan permanen apabila seseorang pindah tanpa kembali lagi ke daerah tempat tinggal sebelumnya. Sementara apabila ia hanya pindah karena urusan tertentu dan masih kembali ke daerah asalnya, maka ia tidak pindah secara permanen. Sifat ini tidak dibatasi oleh ruang, waktu, sukarela atau tidak, dan di dalam maupun luar negeri.
Perpindahan penduduk merupakan kegiatan perpindahan yang melampaui batas suatu wilayah tertentu dan dalam tempo tertentu pula. Perpindahan penduduk dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti ekonomi, geografis, maupun psikologis. Faktor ekonomi lebih dominan daripada kedua faktor lainnya, karena sebagian besar masyarakat merantau ke kota untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik.
Faktor ekonomi banyak mempengaruhi seseorang berpindah ke kota. Penghidupan di desa yang dirasa kurang mencukupi, semakin sempitnya lahan pertanian, dan semakin sedikitnya pemuda yang ingin bertani membuat kota seperti daya tarik sendiri bagi penduduk di desa. Majunya komunikasi serta industri dan teknologi sehingga menyerap lebih banyak tenaga kerja. Tentunya kemajuan baik secara ekonomi, maupun lainnya manarik minat banyak orang untuk berbondong-bondong berurbanisasi ke kota.
Manusia kota cenderung lebih konsentrasi terhadap pekerjaan-pekerjaan mereka. Hal tersebut menimbulkan anonimitas. Logika industrialisasi menambah watak individualisme. Dua hal ini oleh sebagian kritikus menyebut kaum kota sebagai sosok yang kering kerontang. Kondisi ini juga diperparah dengan orientasi nilai yang mengarah ke profan dan material. Tidak mengherankan apabila gerakan radikalisme agama maupun komodifikasi agama tumbuh subur di perkotaan. Karena agama dan kekayaan spiritual adalah hal yang mereka cari.
Mudik menjadi semacam obat bagi kekeringan tersebut. Kembali kepada desa kembali kepada alam, akan meberikan siraman-siraman rohani untuk menyuburkan kegersangan tersebut. Mudik diyakini dapat memberikan banyak manfaat positif bagi yang melakukannya selain daripada untuk tujuan menyambung silaturrahmi atau merayakan lebaran.
Agus Maladi Irianto dalam jurnalnya “Mudik dan Keretakan Budaya” menjelaskan ada 3 dimensi dalam tradisi mudik. Pertama, mudik memiliki dimensi spiritual-kultural. Mudik adalah sebuah tradisi atau warisan dari para leluhur. Umar Kayam (2002) menyebut mudik sebagai tradisi yang terkait dengan kebiasaan petani Jawa mengunjungi kampung kelahiran untuk berziarah ke makam para pendahulunya.
Ikatan kehidupan duniawi tidak bisa dilepaskan dari kehidupan setelah di dunia. Oleh karena itu, orang-orang tetap menziarai kuburan-kuburan leluhur untuk mendoakan keselamatannya. Dalam waktu tertentu orang-orang akan menyempatkan untuk berkunjung ke makam walau terhalang oleh kondisi geografis maupun ekonomi. Hal ini yang kemudian melahirkan tradisi mudik.
Kedua, adalah dimensi psikologis. Mudik seperti yang dijelaskan di atas, memberikan manfaat positif untuk mengisi kegersangan dalam jiwa manusia kota. Kerasanya kehidupan di kota dan beban kerja serta tekanan kehidupan dapat mendorong timbulnya stress. Bertemu keluarga di desa, merasakan kenyamanan dan ketenangan, dan bernostalgia dengan pengalaman dapat mengobati stress bagi masyarakat urban.
Ketiga, adalah dimensi sosial. Pada dimensi ini masyarakat migran datang kembali ke desa dengan status yang berbeda. Keberhasilan ataupun kegagalan di kota akan mempengaruhi status sosial keluarganya di desa. Cerita-cerita tersebut dapat memberikan pengaruh bagi tetangga atau kerabat untuk mengikuti jejaknya.
Umar Kayam mencatat bahwa mudik merupakan tradisi yang sudah ada sejak zaman kerajaan Hindu-Buddha tetapi sempat hilang. Islam datang menghilangkan beberapa tradisi yang dianggap syirik, termasuk ziarah. Tetapi kemudian Islam dan tradisi di Jawa dapat berakulturasi sehingga masyarakat bisa menerima dengan harmoni. Perlahan ziarah kubur dapat diterima dengan disisipi ajaran agama.
Seiring perubahan zaman, mudik juga mengalami pergeseran nilai. Ia tidak hanya sebagai sarana mengobati kegersangan jiwa dan pikir tapi juga sebagai sarana rekreasi, hiburan, menghamburkan uang, dan menunjukkan eksitensi sebagai manusia kota dengan perilaku hedonis dan konsumtif.
Orientasi mudik lebih mengarah pada perputaran ekonomi yang terjadi selama mudik. mudik merupakan sarana penyaluran dana dari kota ke desa. Dengan mengalirnya dana ini, dapat menggambarkan kesenjangan antara desa dan kota selain daripada untuk meratakan pendapatan. Lebih-lebih orientasi ekonomi ini diikuti dengan dampak negatif berupa budaya hedonis dan konsumtif.
Mudik dilihat dari sisi ekonomi memang menghasilkan perputaran uang yang tidak sedikit. Tradisi mudik tidak hanya terjadi di Indonesia saja. Di Malaysia juga ada tradisi mudik saat lebaran, di Filipina para pekerja akan mudik ketika perayaan Natal datang.
Mudik merupakan tradisi yang sudah ada sejak zaman kerajaan Hindu-Buddha dan terjaga hingga saat ini. Mudik bagi Kuntowijoyo (2006:109) sebagai kesadaran balik. Mudik ke kampung kelahiran merupakan upaya untuk membebaskan diri dari kesibukan aktivitas kota yang cenderung individualistik. Dalam kata mudik atau udik terdapat kesamaan arti bahwa perilaku asli manusia seharusnya mencerminkan keaslian diri seperti kolektif, jujur, dan peduli terhadap sesama sebagai ciri khas warga tempat asal.
Dalam masa pandemi seperti ini, saat pemerintah melarang mudik, seharusnya kita dapat memaknai bahwa mudik tidak hanya secara jasad atau raga, tetapi juga secara hati dan batin. Walau jasa tetap di perantauan, tatapi hati seharusnya mudik. Mudik kembali kepada sifat asli warga tempat tinggal kita seperti yang disebutkan di atas.
Referensi
Hidayat, K. (2015). Indahnya Mudik Lebaran. Jakarta: Noura Books.
Iriyanto, A. M. (2012). Mudik dan Keretakan Budaya. Humanika: Jurnal Ilmiah Kajian Humaniora, 15(9).
Kuntowijoyo. (2006). Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.
Soedibyo, B. B. (2011). Mudik Lebaran (Studi Kualitatif). Jurnal Ekonomi Pembangunan, 6(2), 61-68.
Sulaiman, T. (2013). Tuhan yang Kesepian. Yogyakarta: Bentang Pustaka.
Artikel ini ditulis oleh Qorry Aina Fitroh, mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta saat menjalani magang di Pusat Studi Asia Tenggara
Revitalisasi Gaya Belajar Pembelajaran BIPA dengan Pemahaman Lintas Budaya pada Vokasi Industri
Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (BIPA) merupakan bidang yang banyak diminati saat ini. Hal tersebut sesuai dengan jumlah pemelajar maupun pengajar BIPA yang tersebar di seluruh dunia. Berdasarkan data dari “Peta Lembaga BIPA”, sebanyak 29 negara dan 420 lembaga di dalam dan luar Indonesia tercatat sebagai lembaga penyelenggara program BIPA, seperti sekolah, perguruan tinggi, lembaga kursus, lembaga pemerintah atau swasta, dan komunitas yang menyelenggarakan pengajaran BIPA (https://bipa.kemdikbud.go.id). Tingginya angka peminat tersebut didukung oleh beberapa program pemerintah yakni internasionalisasi bahasa Indonesia. Pernyataan tersebut sesuai dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 Pasal 44 tentang peningkatan fungsi bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional. Jadi, sudah saatnya dunia ke-BIPA-an dipandang sebagai dunia industri yang bergerak di bidang jasa/pelayanan, baik untuk menunjang aktivitas industri yang lain maupun secara langsung untuk memberikan jasa kepada konsumen. Untuk itu, diperlukan program pendidikan dan pelatihan vokasi industri ke-BIPA-an guna menyiapkan generasi muda agar lebih berjati diri dan berdaya saing memanfaatkan peluang dan tantangan perdagangan bebas dengan cara revitalisasi pembelajaran BIPA.
Pembelajaran BIPA adalah proses pembelajaran bahasa Indonesia yang berkedudukan sebagai bahasa asing secara sistematis dan terencana. Pembelajaran BIPA mempunyai target tertentu dan dituangkan dalam sebuah perencanaan pembelajaran atau program pembelajaran BIPA (Kusmiatun, 2018: 37). Proses dan materi pembelajaran bahasa dikhususkan pada objektivitas dan kebutuhan pemelajar asing dan bertujuan untuk memungkinkan pemelajar BIPA untuk berbicara bahasa Indonesia dan mengenal kebudayaan-kebudayaan Indonesia. Pembelajaran BIPA dan pembelajaran bahasa Indonesia yang dilakukan pada umumnya sangat berbeda. Perbedaan tersebut dikarenakan pemelajarnya yang berbeda. Oleh karena itu, penyusunan program BIPA juga digunakan metode yang khusus.
Penyusunan program pembelajaran BIPA dapat dilakukan setelah melakukan analisis kebutuhan pada pemelajarnya. Suyitno (2005: 19) menyebutkan terdapat empat aspek yang menjadi indikator kebutuhan pemelajar. Pertama, aspek sosiologis yang meliputi data personal, tujuan belajar, dan hasil yang diinginkan. Kedua, aspek linguis terkait dengan bahasa Indonesia yang mana dan seperti apa yang akan diajarkan. Ketiga, aspek psikologis terkait dengan sikap dan karakter pembelajar serta kemampuannya dalam belajar. Keempat, aspek pedagosis terkait kecakapan untuk menentukan langkah pengajarannya.
Keberhasilan penyusunan program pembelajaran BIPA dapat dilihat sesuai ketercapaian kompetensi berbahasa pemelajar. Ketercapaian dapat dipenuhi dengan revitalisasi gaya pengajar dan pemahaman lintas budaya yang dimiliki oleh pengajar. Kedua kompetensi tersebut merupakan tantangan sekaligus prospek baik yang senantiasa harus ditingkatkan oleh pengajar dalam dunia ke-BIPA-an.
BIPA dipandang sebagai sesuatu yang menjanjikan bagi berbagai pihak. Pada waktu mendatang akan bergelora gerakan diplomasi total dengan semakin banyak warga masyarakat yang terlibat, terutama generasi muda milenial dalam penginternasionalan bahasa Indonesia. Berkaitan dengan hal tersebut, program pedagogis ke-BIPA-an harus memberikan jaminan kemampuan daya sintas bagi warga negara asing yang hendak mencelupkan diri di lingkungan kerja industri. Jika dikaji lebih mendalam pengajar memiliki peranan yang cukup signifikan dalam keberhasilan revitalisasi dunia ke-BIPA-an berkaitan dengan vokasi industri.
Pentingnya Revitalisasi Gaya Belajar
Revitalisasi berarti proses menghidupkan atau menggiatkan kembali. Konteks revitalisasi dalam gaya belajar bermakna memahami karakteristik perbedaan gaya belajar dan memaksimalkan kondisi tersebut melalui proses tertentu. Secara umum, terdapat tiga jenis gaya belajar yang dikenal luas, yaitu gaya belajar visual, gaya belajar auditif, dan gaya belajar kinestetik.
Pemelajar BIPA memiliki gaya belajar yang khas dan kadang-kadang didominasi oleh latar belakang budaya mereka (Suyitno, 2007:64). Gaya belajar dapat menjadi kunci untuk mengembangkan kinerja dalam pembelajaran baik di sekolah maupun di universitas atau lembaga belajar lain. Ketika mengetahui cara termudah seseorang menyerap dan mengolah informasi, belajar dan berkomunikasi menjadi sesuatu yang mudah dan menyenangkan, termasuk di dalamnya ketika mempelajari bahasa baru. Namun demikian, perlu disadari bahwa tidak semua orang memiliki gaya belajar yang sama. Walaupun mereka berada pada jenjang yang sama.
Pentingnya Pemahaman Lintas Budaya
Pemahaman budaya oleh pengajar penting diimplementasikan. Pembelajaran bahasa selalu berkaitan juga dengan budaya. Kepekaan budaya menjadi penting karena persamaan dan perbedaan budaya antara manusia tentu ada tanpa memandang suatu nilai – mana yang positif atau negatif, lebih baik atau jelek, baik atau buruk. Dalam praktiknya, pengajar BIPA tidak dapat mengabaikan nilai budaya ketika mengajarkan bahasa. Jadi, pengajar dituntut paham mengenai latar belakang budaya pemelajar secara mendalam.
Pemelajar BIPA adalah orang-orang yang bukan berkebangsaan Indonesia. Pemelajar BIPA berasal dari berbagai macam negara di dunia dari semua benua. Oleh karena itu, mereka pasti memiliki latar belakang budaya yang berbeda satu sama lain. Latar belakang budaya yang mereka miliki dapat pula berpengaruh pada gaya belajar mereka. Secara umum karaktersitik latar belakang budaya pemelajar BIPA dapat dikategorikan menjadi tiga yaitu pemelajar Asia, pemelajar Afrika, dan pemelajar Amerika dan Eropa (Susanto, 2014).
Pertama, pemelajar dari Asia cenderung pasif dalam suatu forum atau kelas. Mereka sering kali tidak berani mengambil risiko atau takut akan kesalahan. Mereka juga kurang suka jika dianggap tidak mampu atau diremehkan. Namun demikian, pemelajar dari Asia umumnya giat mencari tahu jawaban atau memperbaiki kesalahan mereka di luar kelas. Mereka juga tidak mudah menyerah dan memiliki disiplin yang tinggi.
Kedua, pemelajar dari Afrika pada umumnya dikenal lamban dan memahami sesuatu akan tetapi mereka bersedia belajar dengan sungguh-sungguh. Mereka tidak malu melakukan kesalahan ketika belajar dan tidak malu pula untuk bertanya tentang hal yang belum mereka pahami. Mereka memiliki semangat belajar yang tinggi dan menyenangi belajar dengan berkelompok.
Ketiga, pemelajar dari Amerika dan Eropa cenderung memiliki sifat individualistik. Mereka lebih menyenangi tugas individu daripada kelompok. Pemelajar Amerika dan Eropa juga menyukai pembelajaran yang terprogram secara teratur, rencana belajar dan tujuan belajar yang jelas. Mereka juga memerlukan kontak mata secara langsung ketika berbicara untuk menunjukkan kesopanan. Mereka dengan senang hati menerima kritik dan komentar-komentar koreksi atas kesalahan mereka.
Dengan demikian, tantangan vokasi industri ke-BIPA-an tersebut perlu dijawab dengan menyusun suatu program. Para pengajar dan pegiat BIPA terus mengupayakan untuk menyusun program standar kompetensi bagi pemelajar. Program tersebut bernama Rancangan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (RSKKNI) pengajar BIPA. Rancangan yang disusun harus disesuaikan dengan penjenjangan pemelajar BIPA dan analisis kebutuhan pada pemelajarnya didukung oleh kompetensi yang dimiliki pengajar BIPA yang bertujuan agar terdapat kesamaan persepsi atau pemahaman bahwa pengajaran BIPA juga merupakan dunia industri, selain dunia pedagogi dan diplomasi kebahasaan. Tujuan utama penyusunan RSKKNI Pengajar BIPA tersebut untuk mendukung peningkatan taraf perekonomian Indonesia melalui dunia industri ke-BIPA-an, terutama di kalangan generasi muda milenial, di samping untuk mendukung peningkatan fungsi bahasa Indonesia di dunia internasional, salah satunya melalui revitalisasi pembelajaran BIPA. Revitalisasi penting dilakukan dengan memahami macam gaya belajar dan pemahaman lintas budaya yang baik sesuai dengan tipe pemelajar pada vokasi industri yang tersedia.
Referensi
Kemdikbud. 2019. Peta Lembaga BIPA. Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan
Bahasa Kemdikbud (Diakses melalui https://bipa.kemdikbud.go.id/jaga pada 18 Mei 2019).
Kusmiatun, Ari. 2010. Mengenal BIPA (Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing) dan Pembelajarannya. Yogyakarta: K-Media.
Susanto, Gatut. 2014. “Strategi Belajar Bahasa Indonesia Mahasiswa Critical Language Scholarship Tingkat Pemula di Program BIPA Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang”. Disertasi. Pascassarjana. Universitas Negeri Malang. Malang.
Suyitno, Imam. 2005. Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing (Teori, Strategi, dan Aplikasi Pembelajarannya). Yogyakarta: CV Grafika Indah.
Undang-undang Nomor 24 Tahun 2009 pasal 44 tentang fungsi bahasa Indonesia. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa.
Artikel ini ditulis oleh Ageng Satrio Prabowo, mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta saat menjalani magang di Pusat Studi Asia Tenggara
Impelementasi Pendidikan Karakter melalui Pembelajaran Bahasa Indonesia: Faktor Pendukung dan Penghambat
Indonesia kini sedang dalam masa krisis moral. Masyarakat kerap mengeluhkan tentang kurangnya etika dan sopan santun remaja. Kurangnya sikap etika dan sopan santun remaja tersebut menyebabkan maraknya kenakalan remaja. Degradasi kualitas moral bangsa, khususnya remaja di sekolah disebabkan karena lemahnya pendidikan karakter yang terintegrasi dalam pendidikan formal, informal, maupun nonformal.
Penerapan pendidikan karakter di sekolah terus dikerahkan oleh pemerintah demi mengatasi permasalahan yang telah disebutkan. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) terus mendorong sekolah di seluruh Indonesia untuk menerapkan pendidikan karakter, khususnya penguatan pendidikan karakter (PPK).
Kondisi tersebut sesuai dengan data dalam “Infografis Perkembangan Penyebaran PPK (2015-2018)”, hingga tahun 2018 pelaksanaan PPK telah dimplementasikan pada 188.646 sekolah yang tersebar di seluruh Indonesia. Penerapan pendidikan karakter dapat melalui semua mata pelajaran di sekolah, termasuk mata pelajaran bahasa Indonesia. Mata pelajaran bahasa Indonesia pada jenjang pendidikan tingkat menengah pertama maupun atas mencakup empat kompetensi berbahasa, yaitu menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Setiap kompetensi harus mencakup dan menerapkan pendidikan karakter di dalam proses pembelajaran.
Mengingat pentingnya PPK dalam pembelajaran formal, khususnya pembelajaran bahasa Indonesia, penelitian ini mendeskripsikan mengenai implementasi PPK dalam kurikulum 2013 melalui mata pelajaran bahasa Indonesia. Penelitian ini meliputi perencanaan, pelaksanaan, penilaian, faktor pendukung, dan penghambat dalam mengimplementasikan PPK pada mata pelajaran bahasa Indonesia.
Daerah Istimewa Yogyakarta yang menjadi ikon ‘kota pelajar’ memiliki persepsi bahwa pendidikan di dalamnya juga bagus. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian potret implementasi pendidikan karakter di SD, SMP, dan SMA di Kota Yogyakarta oleh Zuchdi, dkk. (2014: 9). Penelitian ini menyebutkan bahwa, pendidikan karakter di sekolah-sekolah Kota Yogyakarta sudah dilakukan dengan cukup baik. Pelaksanaan pendidikan karakter di sekolah sudah dipadukan dalam berbagai mata pelajaran.
Sekolah yang menerapkan pendidikan karakter di Yogyakarta juga telah menjadi perhatian pemerintah. Hal tersebut terbukti dengan adanya beberapa sekolah baik tingkat dasar maupun menengah yang menjadi sekolah piloting dalam pelaksanaan pendidikan karakter. Penerapan tersebut tentu menimbulkan perbedaan implementasi pendidikan karakter baik dari tingkat dasar hingga menengah, serta pada sekolah negeri maupun swasta.
Oleh karena itu, pentingnya penanaman pendidikan karakter dalam setiap mata pelajaran di SMP negeri maupun swasta di Yogyakarta untuk menghindari adanya degradasi moral dan kekerasan pada remaja khususnya perundungan, serta memperkuat karakter yang telah dimiliki siswanya. Tentu saja, dalam penerapan PPK tidak luput dari hambatan maupun dukungan dari berbagai faktor.
Tentang Pendidikan Karakter
Albertus (2007: 123) mendefinisikan pendidikan sebagai usaha sadar oleh seseorang untuk pengembangan diri secara integral dan utuh. Kemudian, karakter merupakan kondisi dinamis struktur antropologis individu berproses dalam menyempurnakan diri. Jadi, pendidikan karakter sebagai keseluruhan dinamika relasional antar pribadi dengan berbagai macam dimensi agar pribadi tersebut semakin bertanggung jawab dan berkembang.
Lebih lanjut, PPK merupakan gerakan pendidikan di sekolah untuk memperkuat karakter melalui proses pembentukan, transformasi, transmisi, dan pengembangan potensi peserta didik dengan cara harmonisasi olah hati (etik dan spiritual), olah rasa (estetik), olah pikir (literasi dan numerasi), dan olah raga (kinestetik) sesuai falsafah hidup Pancasila (Kemendikbud, 2017: 17).
Secara umum, tujuan program PPK adalah menanamkan nilai-nilai pembentukan karakter bangsa secara masif dan efektif melalui implementasi nilai-nilai utama Gerakan Nasional Revolusi Mental (religius, nasionalis, mandiri, gotong-royong dan integritas) yang akan menjadi fokus pembelajaran, pembiasaan, dan pembudayaan. Oleh karena itu, pendidikan karakter bangsa sungguh dapat mengubah perilaku, cara berpikir dan cara bertindak seluruh bangsa Indonesia menjadi lebih baik dan berintegritas (Kemendikbud, 2017: 2).
Pendidikan karakter dalam implementasinya melalui mata pelajaran bahasa Indonesia tentu melalui tahapan-tahapan pembelajaran, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. Pernyataan tersebut sesuai dengan buku Panduan Pendidikan Karakter di Sekolah Menengah Pertama yang ditetapkan oleh pemerintah, yakni proses pembelajaran dilaksanakan mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi atau penilaian pembelajaran pada semua mata pelajaran (Kemendiknas, 2010: 45).
Berdasarkan buku Panduan Praktis Implementasi Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) Berbasis Kelas, guru dapat mengintegrasikan PPK melalui dua cara dalam perencanaan pembelajaran. Cara implementasi PPK yang pertama adalah dengan pemilihan metode dan model pembelajaran, sedangkan cara kedua adalah dengan meguraikan langkah pembelajaran. (Kemendikbud, 2018: 12).
Kegiatan pembelajaran dari tahapan kegiatan pendahuluan, inti, dan penutup, dipilih dan dilaksanakan agar siswa mempraktikkan nilai-nilai karakter yang ditargetkan (Kemendiknas, 2010: 51). Program PPK perlu dinilai dan dievaluasi secara terukur dan komprehensif. Tujuan kegiatan penilaian adalah untuk mendapatkan data tentang tingkat keberhasilan pelaksanaan gerakan PPK pada satu satuan pendidikan sesuai target waktu yang telah ditetapkan (Kemendikbud, 2017: 52).
Faktor Pendukung dan Penghambat Implementasi PPK
Terdapat faktor pendukung dan penghambat dalam implementasi PPK dalam kurikulum 2013 melalui mata pelajaran bahasa Indonesia dapat diketahui. Hasil dan pembahasan faktor pendukung dan faktor penghambat dalam implementasi PPK tersebut adalah sebagai berikut.
Faktor Pendukung dalam Implementasi PPK melalui Mata Pelajaran Bahasa Indonesia
Faktor pendukung implementasi PPK melalui mata pelajaran bahasa Indonesia yang dialami oleh guru dapat berupa faktor internal dan eksternal. Faktor internal guru yang mendukung terlaksananya implementasi PPK dengan baik dalam pembelajaran adalah berasal dari dalam diri guru masing-masing. Faktor internal guru yang mendukung terlaksananya implementasi PPK dengan baik dalam pembelajaran adalah berasal kode etik yang telah ditetapkan bagi guru.
Selain faktor internal guru, juga terdapat faktor eksternal guru yang mendukung terlaksananya implementasi PPK tersebut dengan baik. Faktor eksternal tersebut adalah adanya aturan yang berlaku, khususnya dalam merancang pembelajaran yang akan dilakukan. Faktor eksternal lain adalah dari rekan-rekan guru yang lain. Guru-guru di sekolah saling membantu dalam implementasi PPK.
Faktor Penghambat dalam Implementasi PPK melalui Mata Pelajaran Bahasa Indonesia
Faktor penghambat implementasi PPK tersebut yang dialami oleh guru dapat berupa faktor yang berasal dari siswa maupun guru. Kondisi siswa yang dimaksud adalah siswa yang belum sepenuhnya mampu menerapkan karakter yang baik sesuai dengan harapan orang tua maupun sekolah dalam kesehariannya, baik di masyarakat maupun di kelas. Faktor penghambat lain yang berasal dari siswa adalah mengenai karakter yang telah dimiliki siswa. Kondisi demikian dapat terjadi di kelas. Terdapat kemungkinan bahwa ada siswa yang memiliki karakter yang belum baik dalam bersikap selama pembelajaran di kelas.
Kedua, faktor metode yang digunakan oleh guru dalam mengatasi kasus siswa yang sulit dalam menerapkan PPK. Guru dituntut untuk dapat memberikan metode dan penanganan yang berbeda sesuai dengan karakteristik siswa.
Dengan demikian, Faktor pendukung implementasi PPK dalam kurikulum 2013 melalui mata pelajaran bahasa Indonesia pada siswa di kelas dapat bersumber dari faktor internal dan eksternal guru. Faktor internal guru yang mendukung terlaksananya implementasi PPK dengan baik dalam pembelajaran adalah berasal dari dalam diri guru masing-masing. Faktor eksternal tersebut adalah adanya aturan yang berlaku, khususnya dalam merancang pembelajaran yang akan dilakukan.
Faktor penghambat juga dialami oleh guru dalam mengimplementasikan PPK dalam kurikulum 2013 melalui mata pelajaran bahasa Indonesia pada siswa di kelas. Faktor penghambat berasal dari kondisi siswa. Faktor tersebut berkaitan dengan masih belum optimalnya nilai PPK yang diimplementasikan oleh siswa dalam pembelajaran bahasa Indonesia.
Berikutnya, langkah yang dapat ditindaklanjuti bagi guru adalah sebaiknya guru bahasa Indonesia di kelas yakni dengan meningkatkan kesadaran siswa terhadap pentingnya implementasi PPK, terutama siswa yang masih belum mengimplementasikan PPK dengan baik. Kemudian, sekolah lain sebaiknya dapat menjadikan hasil penelitian ini sebagai acuan dalam mengimplementasikan PPK melalui mata pelajaran di sekolah. Selain itu, hasil faktor pendukung dalam implementasi PPK pada sekolah yang diteliti pada penelitian ini dapat dicontoh oleh sekolah lain. Faktor penghambat dalam implementasi PPK pada sekolah yang diteliti dapat dihindari oleh guru dalam mengimplementasikan PPK.
Referensi
Albertus, Doni Koesoema. 2007. Pendidikan Karakter. Jakarta: Grasindo.
Kemendiknas. 2010. Panduan Pelaksanaan Pendidikan Karakter. Jakarta: Pusat Kurikulum dan
Perbukuan.
Kemendikbud. 2017. Konsep dan Pedoman Penguatan Pendidikan Karakter Tingkat Sekolah Dasar dan
Sekolah Menengah Pertama. Jakarta: Kemendikbud.
____________. 2018. Panduan Implementasi Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) Berbasis Kelas.
Jakarta: Pusat Analisis dan Sinkronisasi Kemendikbud.
Zuchdi, Darmiyati. 2011. Pendidikan Karakter dalam Perspektif Teori dan Praktik. Yogyakarta: UNY Press
Artikel ini ditulis oleh Ageng Satrio Prabowo, mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta saat menjalani magang di Pusat Studi Asia Tenggara
Durung Riyaya Nek Durung Nyumet Mercon: Semarak Hari Lebaran di Tengah Pandemi
Tahun ini, Hari Raya Idul Fitri atau juga dikenal oleh masyarakat kampung saya dengan istilah riyaya dirayakan dengan berbeda. Di tengah pandemi COVID-19 atau Corona kita dianjurkan oleh pemerintah maupun petugas kesehatan untuk membatasi interaksi sosial secara langsung maupun melakukan perjalanan keluar daerah untuk menemui sanak saudara. Tradisi lebaran dalam keluarga saya termasuk sholat ied berjamaah di masjid kampung, mengunjungi makam nenek, dan berkunjung ke rumah tetangga serta saudara tidak dapat dilakukan. Keputusan ini diambil selain karena khawatir akan penularan COVID-19 juga ada himbauan dari Pak Dukuh di kampung untuk tidak melakukan ujung atau berkunjung ke rumah tetangga maupun saudara dalam sebuah selebaran yang dibagikan oleh perangkat kampung. Seperti argumen yang ditulis oleh Munjid (2020) dalam laman daring The Conversation ID berisi catatan reflektif terhadap posisi agama, ritual atau ibadah hari raya dan posisinya di tengah pandemi menjadi suatu bentuk komentar terhadap posisi institusi agama yang paradoks dengan kondisi saat ini. Kegiatan di riyaya tahun ini tentunya menjadi berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya di mana dilakukannya pembatasan sosial atau berkumpulnya banyak orang pada satu tempat seakan menghilangkan suasana suka cita hari raya. Sesudah berbuka puasa tepatnya menjelang adzan isya dan terdengar kumandang takbir saya baru mulai membaca secara teliti isi dari selebaran itu berkaitan dengan pelaksanaan riyaya tahun ini.
Melalui pembacaan selebaran yang kutemukan dari bawah pintu pagar rumah, jelas bahwa perangkat kampung memutuskan untuk memperbolehkan pelaksanaan sholat ied berjamaah dengan mengindahkan protokol kesehatan. Dari sekian poin yang disampaikan dalam selembar kertas folio salah satu poin yang cukup menarik perhatian saya adalah larangan menyalakan petasan atau mercon pada malam takbiran atau sesudah sholat jamaah. Saat membaca poin ini satu-satunya pertanyaan yang muncul dalam benakku adalah yakin poin ini akan sepenuhnya dipatuhi? Keraguanku atas larangan untuk menyalakan petasan atau mercon pada saat hari raya dan malam sebelumnya akan dipatuhi mengingat akan lekatnya petasan dalam tiap pelaksanaan beberapa perayaan hari besar keagamaan di masyarakat sekitar rumah yang didominasi oleh kalangan muslim. Meski bukan bagian dari ritual yang diatur dalam agama, menyiapkan dan menyalakan petasan atau mercon sudah jadi kegiatan dalam menyambut malam takbiran dan hari raya Idul Fitri.
Hari raya dan Petasan
Dentuman keras dari petasan atau mercon yang menyeruak ditengah kumandang suara takbir saat malam takbiran menjadi suatu kegiatan paling sering ditemukan tiap tahunnya. Kegiatan takbir keliling bagi sebagian masyarakat sudah menjadi adat atau ritual dalam menyambut hari raya Idul Fitri menjadi momen yang tepat untuk dinyalakannya petasan. Bunyi mercon yang keras dan kadang membuat kaget orang yang mendengarnya menjadi suatu sarana bagi peserta takbiran untuk menunjukkan perasaan gembira menyambut esok hari. Suara ledakan dari mercon yang dinyalakan dari berbagai penjuru menandakan takbiran keliling sedang berlangsung dan mereka sedang menikmati suasana malam itu. Suara-suara keras yang saling beradu di tengah kumandang takbir pada malam itu. Seperti yang sudah disebutkan di awal kalau menyalakan mercon bukanlah bagian dari ritual keagamaan, akan tetapi praktiknya tidak dapat dilepaskan dalam perayaannya. Penggunaan petasan, kembang api atau mercon dalam merayakan hari-hari besar bukanlah menjadi suatu praktik baru dalam masyarakat dunia. Berbagai kalangan yang berbeda ras, agama, etnis, maupun kewarganegaraan turut menjadi pengguna alat ledak tersebut dalam merayakan momen-momen tertentu.
Penggunaan kembang api, petasan, atau mercon dibanyak negara digunakan untuk memeriahkan perayaan acara keagamaan, pernikahan, hari bersejarah, atau tahun baru sudah menjadi suatu praktik umum. Daya tarik petasan mulai dari suara yang menggelegar, percikan cahaya hasil pembakaran, atau warna-warni yang muncul di langit malam jadi hal paling ditunggu oleh orang-orang yang menyaksikannya. Praktik penggunaan petasan sebagai alat untuk memeriahkan suatu acara bermula sejak abad 11-12 di Tiongkok di mana bubuk mesiu digunakan sebagai petasan atau kembang api (yen huo) dengan tujuan untuk menyambut kehadiran kaisar pada saat itu (Werrett, 2014). Penggunaan petasan atau lebih tepatnya bubuk mesiu kemudian menyebar hingga ke kawasan Eropa dan Amerika dengan penggunaan masing-masing. Di kawasan Eropa penggunaan kembang api atau petasan dimaknai sebagai bentuk perayaan atas kemenangan saat perang yang kemudian turut digunakan dalam pelaksanaan ritual agama maupun perayaan publik. Di Amerika Serikat khususnya, penggunaan kembang api yang digunakan dalam setiap perayaan 4th July sebagai perayaan hari kemerdekaan memiliki keterikatan historis dan dimaknai sebagai simbol kebebasan (American Pyrotechnics Safety and Education Foundation, 2019).
Penggunaan bahan peledak baik itu kembang api, petasan atau mercon tidak terlepas pada pemaknaan pada kelompok atau orang yang menggunakannnya. Dinyalakannya petasan sebagai salah satu media dalam merayakan suatu acara banyak cukup menarik perhatian orang khususnya anak-anak hingga remaja. Pada kelompok anak-anak dan pra-remaja kehadiran kembang api dalam pelaksanaan suatu perayaan dimaknai secara berbeda dikaitkan dengan latar belakang kegiatan yang sedang dirayakan. Cindy Clark dalam bukunya All Together Now (2019) menunjukkan bagaimana pemaknaan akan perayaan sepanjang tahun dimaknai oleh anak-anak dan orang dewasa di Amerika. Salah satu bagian dari buku ini mengisahkan bagaimana anak-anak memaknai penggunaan kembang api dalam perayaan 4th July dan Memorial Day. Terdapat perbedaan pemaknaan dalam melihat keberadaan kembang api yang berubah seiring dengan bertambahnya usia anak. Pada kelompok anak usia suara ledakan menjadi suatu hal yang menakutkan bagi mereka terlebih dentuman keras yang memekakkan telinga turut membuat hewan-hewan peliharaan seperti anjing dan kucing lari ketakutan. Rasa takut akan suara ledakan dari kembang api lambat laun semakin berkurang dan berubah menjadi rasa senang akan tampilannya yang berwarna-warni dilangit malam.
Kembali pada konteks perayaan Idul Fitri, penggunaan mercon dalam menyemarakkan hari kemenangan dapat dikaitkan dengan upaya untuk memeriahkan suasana sangat lekat dengan aspirasi anak-anak. Kelompok anak-anak dan remaja sebagai kalangan yang jadi pelaku utama dalam menyalakan beraneka peledak di malam takbiran melakukan hal ini tidak sekedar untuk bersenang-senang semata. Pada umumnya terdapat beberapa kelompok orang yang biasa diisi oleh beberapa anak-anak dan remaja mememilih untuk membuat sendiri mercon dengan dentuman sekeras-kerasnya dan bentuk yang besar. Upaya untuk membuat mercon ini dapat dengan mudah terealisasikan dengan mudah didapatkannya bahan baku di pasar dan digunakannya kertas bekas sebagai pembungkus dan isian di dalamnya. Setelah mercon jadi biasanya ada dua pilihan waktu untuk menyalakannya antara malam takbiran atau seusai sholat ied berjamaah.
Setelah selesai lalu apa?
Sebelum pandemi pada malam takbiran tepatnya setelah waktu sholat isya kumpulan orang mulai dari anak-anak hingga dewasa sudah berkumpul di masjid atau lapangan dan bersiap untuk melakukan takbir keliling. Perlengkapan seperti obor, pengeras suara, dan tentunya kembang api, petasan, dan mercon. Setiap dentuman suara dari mercon yang dinyalakan pada malam itu selain terlihat indah pada malam hari turut meninggalkan sampah kertas dan sisa pembakaran yang berserakan di sepanjang jalan yang dilewati. Sampah berserakan sisa ledakan mercon, petasan, dan kembang api nampak jelas di pagi hari menjadi pemandangan yang nampak menjelang waktu sholat ied berjamaah. Sampah kertas, polusi suara dan udara yang disebabkan dari pembakaran kembang api dan sejenisnya jadi kondisi yang tidak dapat dihindarkan. Disamping masalah sampah dan polusi bermunculannya protes dari sebagian masyarakat turut muncul terlebih jika dinyalakan pada waktu tidur atau diatas jam 12 malam. Berkaitan dengan polusi penggunaan kembang apai dalam menyemarakkan suatu perayaan juga menjadi problematis di beberapa kelompok. Pada suatu kasus perayaan Dilwali Festival salah satu ritual agama Hindu India penyalaan kembang api diberbagai penjuru India meningkatkan tingkat polusi udara (C.S.Devara, et al., 2015).
Dibalik perayaan Idul Fitri yang tidak lepas dari bunyi petasan sebagai sebuah representasi suka cita, permasalahan seputar sampah sisa pembakaran mercon juga turut muncul dan menjadi pemandangan umum di beberapa sudut pemukiman. Jika lebaran sudah berlalu, perlahan-lahan anak-anak dan remaja yang menyalakan petasan berangsur-angsur berkurang. Pemlihan waktu untuk menyalakan petasan khususnya saat Idul Fitri secara tidak langsung turut membentuk sebuah memori kita dalam menjalani suatu perayaan. Kegiatan yang terjadi selama hari perayaan tidak jarang menjadi kenangan pada suatu individu yang membentuk persepsi seseorang dalam memaknai kegiatan selama liburan di hari raya (Xygalatas, 2017). Ditengah kondisi pandemi COVID-19 yang menyarankan kita untuk mematuhi protokol kesehatan salah satunya berkumpul dalam jumlah besar memberikan suatu warna tersendiri dalam Lebaran tahun ini. Waktu menunjukkan pukul 12.30 malam di mana keadaan sudah sangat sepi, sepertinya orang-orang sudah tidur. Tiba-tiba suara ledakan mercon cukup keras terdengar tidak jauh dari kamar tidur, dan ya beginilah belum lebaran kalau belum dengan dentuman mercon sebelum pagi menjelang.
Referensi
American Pyrotechnics Safety and Education Foundation, 2019. American Pyrotechnics Safety and Education Foundation. [Online]
Available at: https://www.celebratesafely.org/history-of-fireworks
[Accessed 30 Mei 2020].
C.S.Devara, P. et al., 2015. Celebration-induced air quality over a tropical urban station, Pune, India. Atmospheric Pollution Research, 6(3), pp. 511-520.
Clark, C. D., 2019. All Together Now: American Holiday Symbolism Among Children and Adults. New Jersey: Rutgers University Press.
Munjid, A., 2020. TheConversation.ID. [Online]
Available at: https://theconversation.com/renungan-idul-fitri-memahami-wajah-paradoks-islam-di-tengah-pandemi-covid-19-136869
[Accessed 30 Mei 2020].
Werrett, S., 2014. The Conversation. [Online]
Available at: https://theconversation.com/a-history-of-fireworks-how-about-some-flaming-artichokes-to-blast-in-the-new-year-33751
[Accessed 30 Mei 2020].
Xygalatas, D., 2017. The Conversation. [Online]
Available at: https://theconversation.com/an-anthropologist-explains-why-we-love-holiday-rituals-and-traditions-88462
[Accessed 30 Mei 2020].
Upaya ASEAN dalam Penanggulangan Bencana Melalui Lembaga AHA Centre
Negara memiliki tanggung jawab dalam keselamatan dan keamanan rakyatnya. Hal ini tidak hanya berkaitan dengan keamanan dari segi pertahanan nasional namun juga dari kejadian luar biasa yang tidak terduga seperti bencana alam. Negara wajib memiliki lembaga maupun organisasi untuk menangani hal tersebut karena seringkali kerugian yang ditimbulkan sangat banyak baik material maupun non material.
Wilayah Asia Tenggara termasuk ke dalam wilayah yang rawan akan bencana alam sehingga penanggulangan bencana alam sudah seharusnya menjadi prioritas bagi setiap negara yang ada di dalam wilayah tersebut. Asia Tenggara merupakan suatu kawasan yang paling rawan bencana di dunia dan berpotensi terkena hampir semua jenis bencana alam. Hal tersebut disebabkan karena secara geografis Asia Tenggara terbentang diantara beberapa lapisan tektonik yang paling sering menimbulkan gempa bumi, letusan gunung berapi dan bahkan tsunami. Kawasan ini juga terletak diantara dua samudera, yaitu samudera Hindia dan Pasifik yang dapat menyebabkan munculnya angin topan (Zakiah, 2016).
Salah satu bencana alam yang menelan banyak korban jiwa yaitu Tsunami Aceh yang terjadi pada Desember 2004 yang disebabkan aktivitas seismik di Samudera Hindia. Bencana ini menyebabkan hilangnya lebih dari 200.000 jiwa. Selain itu juga terdapat bencana alam badai topan yang terjadi di Myanmar pada tahun 2008 dimana menyebabkan hilangnya nyawa 130.000 jiwa (Syaban, 2014).
Bencana alam yang terjadi di Asia Tenggara tidak hanya menyebabkan korban jiwa namun juga menyebabkan kerugian material. Menurut Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Willem Rampangilei pada pembukaan 29th ASEAN Committee on Disaster Management (ACDM) pada November 2016 dalam Feybe (2016), negara-negara ASEAN menghadapi risiko bencana yang sangat tinggi dan berpotensi menderita kerugian akibat bencana sebesar US$ 4,6 miliar atau sekitar 0,2 persen dari pendapatan domestik bruto (PDB) kawasan setiap tahunnya. Berdasarkan data Bank Dunia 2011, sejak tahun 2000, lebih dari 100 juta jiwa terkena dampak bencana alam dan hampir semua jenis bencana berpotensi terjadi di kawasan ASEAN seperti gempa bumi, erupsi gunung api, tsunami, banjir, siklon, longsor, dan kekeringan (Feybe, 2016).
Dengan adanya keadaan tersebut, ASEAN sebagai lembaga kerjasama antar negara-negara di Asia Tenggara perlu melakukan kerjasama agar risiko yang ditimbulkan dapat ditekan serendah mungkin. Komunitas ASEAN sebenarnya sudah memiliki perangkat untuk mengukuhkan kerjasama dan kebersamaannya dalam menangani bencana alam, tinggal efektivitas dari penerapannya di lapangan. Melalui ASEAN Ministerial Meeting on Disaster Management (AMMDM), pertemuan tersebut menghasilkan kesepakatan ASEAN Agreement on Disaster Management and Emergency Response (AADMER) dengan ASEAN Committee on Disaster Management (ACDM) sebagai pusat koordinasi. AADMER merupakan kerangka regional yang bersifat proaktif untuk kerjasama, koordinasi, bantuan teknis, dan mobilisasi sumber daya dalam semua aspek manajemen kebencanaan.
Komunitas ASEAN juga memfokuskan kebijakan disaster management melalui ASEAN Regional Forum (ARF) dan ASEAN Defense Ministerial Meeting Plus (ADMM Plus), dimana anggota dari organisasi tersebut melibatkan negara mitra wicara ASEAN. Fokus dari lembaga-lembaga tersebut adalah untuk kerjasama bantuan terhadap kemanusiaan dan pertolongan bencana sebagai bagian dari disaster management kawasan Asia Tenggara. (Syaban, 2014).
Salah satu komponen penting dalam perjanjian AADMER adalah pembentukan ASEAN Coordinating Centre for Humanitarian Assistance on Disaster Management (AHA Centre) pada tahun 2011. Dikutip dari laman AHACentre.org, AHA Centre adalah organisasi antar pemerintah yang didirikan oleh sepuluh Negara Anggota ASEAN dengan tujuan untuk memfasilitasi kerja sama dan koordinasi manajemen bencana di antara Negara-negara Anggota ASEAN. Dalam menjalankan mandatnya, AHA Centre terutama bekerja dengan Organisasi Nasional Penanggulangan Bencana negara-negara Anggota ASEAN. Terdapat dua komitmen tingkat tinggi yang menegaskan kembali peran AHA Centre sebagai agen koordinasi regional utama ASEAN dalam manajemen bencana dan tanggap darurat, yaitu deklarasi ASEAN mengenai menanggapi Bencana sebagai Satu di Kawasan dan Di Luar Kawasan dan visi ASEAN 2025 tentang Manajemen Bencana. AHA Centre sendiri memiliki kantor pusat di Indonesia. Dalam upaya membangun partnership building, telah ada beberapa negara yang menjadi parner kita di AHA Center ini diantaranya yaitu Australia, Jepang, New Zealand, Amerika Serikat dan Uni Eropa (BPPT, 2011).
Badan mitigasi bencana ASEAN ini didanai oleh iuran wajib ke-10 negara anggota sehingga siapa pun yang memerlukan bantuan dapat meminta AHA Centre untuk turun tangan. Bantuan kemanusiaan sendiri disimpan di gudang di Malaysia (BBC, 2017). Berbagai macam barang yang disimpan, seperti tenda, generator, perahu kecil, kemah keluarga, peralatan untuk keluarga, bahkan alat penjernih air juga masuk dalam daftar barang yang diberikan ke kemah-kemah pengungsian warga yang terkena bencana. AHA Centre juga mengirimkan Emergency Response and Assesment Team (ERAT) yang merupaka tim koordinasi cepat. Tim ini nantinya akan membantu mengatasi bencana dan juga memberikan kajian analisa, assesment maupun koordinasi (Ariesta, 2018).
Lalu sejauh mana peran nyata AHA Centre sejak didirikannya lembaga tersebut pada tahun 2011 hingga sekarang? Selama enam tahun, badan ini sudah melaksanakan 19 misi darurat dan 21 kali memobilisasi tim penilai ke tujuh negara (BBC, 2017). Namun dalam praktiknya untuk di Indonesia saja, badan ini baru tiga kali turut membantu yaitu pada gempa dan tsunami Mentawai pada 2010, gempa Aceh pada tahun yang sama, dan banjir Jakarta pada 2013. Hal ini menyebabkan sejumlah kritik yaitu harus adanya inisiatif pendekatan dan perluasan jaringan dari AHA Center kepada masyarakat tidak hanya pendekatan dari pemerintah ke pemerintah (G2G). Hal ini dikarenakan hampir semua negara dalam penanganan bencananya tidak mau diintervensi. Sedangkan apabila pendekatannya kepada masyarakat maka bantuan dari AHA Centre dapat menmbus birokrasi.
Peran Indonesia
Indonesia sendiri turut berperan serius dalam penanggulangan bencana di ASEAN lewat beberapa langkah diluar AHA Centre. Pada tahun 2008 Indonesia membentuk Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Dalam perannya, BNPB merupakan komponen organisasi yang bekerja sama dengan AHA Centre, namun dalam pembentukannya sudah lebih dulu didirikan di Indonesia sehingga dapat dikatakan Indonesia lebih maju selangkah dalam penanganan bencana secara serius tanpa menunggu ‘pemantik’ dari organisasi regional. Menurut Wibowo (2014), Keseriusan pemerintah Indonesia dalam penanggulangan bencana juga ditunjukkan dalam anggaran. Pada tahun 2008 anggaran nasional dalam penanggulangan bencana sebesar Rp. 147.652.346.000. Pada tahun 2001 anggaran melonjak mencapai Rp. 5.206.880.402.000.
ASEAN Regional Program on Disaster Management (ARPDM) yang merupakan kerangka kerjasama penanggulangan bencana di ASEAN juga tak dapat dilepaskan dari peran strategis Indonesia. Program tersebut merupakan tindaklanjut ASEAN Agreement on Disaster Management and Emergency Response (AADMER) yang ditandatangani pada 26 Juli 2007 (Wibowo, 2014). Peran aktif Indonesia ini bahkan sebelum terbentuknya AHA Centre sebagai organisasi utama yang memfasilitasi koordinasi manajemen bencana di ASEAN. Indonesia juga menjadi salah satu ketua (co-chair) dalam APEC Task Force on Emergency Preparedness (TFEP) untuk meningkatkan kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana alam yang juga mempengaruhi kerangka kerjasama ASEAN dalam penanggulangan bencana.
Daftar Pustaka
Ariesta, M. (2018, 23 Januari). AHA Centre, Garda Depan Penanganan Bencana ASEAN. Medcom.id. Diakses dari https://www.medcom.id/internasional/asia/MkMMLpwk-aha-centre-garda-depan-penanganan-bencana-asean
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. (2011). AHA Centre: Tanggap Bencana ASEAN. Diakses 11 Juli 2020, dari https://www.bppt.go.id/index.php/profil/organisasi/931-aha-center-tanggap-bencana-asean
BBC. (2017, 5 Desember). Sejauh apa peran badan mitigasi bencana ASEAN, AHA Centre?. BBC. Diakses dari https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-42237888
Feybe, M. (2016). BNPB: Negara ASEAN Berisiko Bencana yang Sangat Tinggi. Berita Satu. Diakses dari https://www.beritasatu.com/nasional/392135-bnpb-negara-asean-berisiko-bencana-yang-sangat-tinggi
Syaban, M. (2014). Kepemerintahan Bencana (Disaster Governance) Asia Tenggara. Andalas Journal of International Studies. 3. 51-73. DOI: https://doi.org/10.25077/ajis.3.1.51-73.2014
Wibowo, AS. (2014). Program Penanggulangan Bencana ASEAN: Analisis Kepentingan dan Kemampuan Indonesia Menuju Komunitas ASEAN 2015. Jurnal Diplomasi. 6. 47-64. Diakses dari www.pusdiklatkemlu.com
Zakiah, S. (2016). Peran Asean Coordinating Centre For Humanitarian Assistance On Disaster Management (AHA Centre) Dalam Menanggulangi Bencana Alam Di Filipina. Tersedia dari Repository Universitas Jenderal Achmad Yani (010816111600007)
Artikel ini ditulis oleh Natasya Qorri A, mahasiswa Universitas Gadjah Mada yang sedang menjalankan magang di Pusat Studi Asia Tenggara.
ASEAN as The New Kingdom of Digital Economy : Pertumbuhan Pesat Ekonomi Digital Asia Tenggara
Perubahan teknologi sangat berpengaruh dalam segala aspek di seluruh dunia tak terkecuali pada bidang ekonomi. Proses produksi, distribusi, dan konsumsi saat ini telah terintregasi dengan teknologi. Dalam proses konsumsi misalnya, ketika akan membeli suatu barang atau jasa, masyarakat tidak lagi melihat barang tersebut secara langsung namun melihat informasi lengkap tentang produk tersebut secara daring. Begitu juga dengan jasa, masyarakat dapat melihat berbagai informasi testimoni yang dikatakan oleh pelanggan sebelumnya secara daring. Karena konsumsi sudah merambah ke tahap tersebut, mau tidak mau perusahaan maupun produsen kecil harus menggunakan teknologi dalam mendistribusikan barang atau jasa yang akan diperjual belikan. Moda transportasi juga mendapatkan dampaknya dengan adanya teknologi. Saat ini, pelanggan dengan mudah dapat memesan layanan transportasi yang diinginkan secara daring untuk berbagai keperluan seperti pengantaran ke tempat lain, pesan antar makanan, hingga pengantaran barang.
Saat ini, Asia Tenggara sedang mengepakkan sayapnya dibidang ekonomi digital. Wilayah Asia yang beranggotakan Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Filipina, Kamboja, Laos, Myanmar dan Vietnam itu sedang gencar-gencarnya menciptakan iklim startup digital terutama dalam bidang ekonomi. Beberapa unicorn telah lahir di wilayah Asia Tenggara bahkan nilai valuasinya melonjak dari tahun ke tahun. Sebut saja Tokopedia, Gojek, Grab, serta Shopee sudah menguasai hampir seluruh pangsa pasar Asia Tenggara dan terus menanjak nilai valuasinya lebih dari 1 miliar US$.
Iklim startup digital ini secara langsung berdampak pada laju ekonomi di Asia Tenggara. Kebiasaan bertransaksi kini bergeser dari tunai menjadi non tunai. Hal ini tidak lepas dari iklim dan arus informasi yang digerakkan oleh internet, apalagi hampir sebagian besar masyarakat saat ini sudah akrab dengan internet dan smartphone untuk digunakan dalam aktivitas sehari-hari. Sebelum melangkah lebih jauh dalam pembahasan dan data-data ekonomi digital Asia Tenggara, kita perlu memahami apa arti dari eknomi digital itu sendiri.
Konsep mengenai ekonomi digital pertama kali diperkenalkan oleh Don Tapscott (1995) dalam Sugiarto (2019), bermakna keadaan sosiopolitik dan sistem ekonomi yang mempunyai karakteristik sebagai sebuah ruang intelijen, meliputi informasi, berbagai akses instrumen, kapasitas, dan pemesanan informasi. Menurut Mesenbourg (2000) ekonomi digital mempunyai tiga komponen utama dalam ekonomi digital yaitu infrastruktur pendukung, proses bisnis elektronik atau cara bisnis tersebut dijalankan dan transaksi perdagangan elektronik yang meliputi penjualan barang dan jasa secara online. Ketiga komponen tersebut juga dapat dijadikan patokan bagaimana mengukur tingkat kemajuan ekonomi digital dalam suatu negara.
Digitalisasi ekonomi membawa berbagai perubahan dan manfaat dalam meraih efisiensi, efektivitas, penurunan cost production, kolaborasi, dan menciptakan keadaan yang saling terkoneksinya satu pihak dengan pihak lain. Maka tidaklah mengherankan jika digitalisasi ekonomi dianggap sebagai masa depan pertumbuhan ekonomi baru (Sugiarto, 2019). Digitalisasi mengubah ekonomi secara global dalam beberapa cara. Perusahaan besar menurunkan biaya komunikasi dan transaksi lintas batas dengan meghubungkan bisnis dengan konsumen dan supplier di negara manapun. Digitalisasi ini juga memungkinkan bisnis kecil untuk ikut dalam berpartisipasi sehingga menciptakan persaingan yang lebih luas (McKinsey, 2016).
Laporan Google Inc. dan Temasek Holdings Pte, November 2018 memperkirakan bahwa ekonomi digital di Asia Tenggara akan mencapai 200 miliar dollar pada 2025. Namun laporan ini berubah pada tahun 2018 dengan melihat akselerasi pasar Asia Tenggara yang drastis sehingga perkiraan berubah akan meningkat hingga mencapai 240 milliar dollar pada 2025. Hal ini didukung oleh hadirnya pengguna internet aktif dan industri seperti e-commerce, media online, online travel, dan ride-hailing yang semakin pesat bertumbuh daripada tahun-tahun sebelumnya. Hasil riset yang dilakukan Google, Temasek dan Bain & Company, ekonomi digital (yang diukur dengan indicator Gross Merchandise Value/GMV) di enam negara di kawasan Asia Tenggara (ASEAN 6) hingga akhir 2019 diproyeksikan mencapai US$ 100 miliar. Nilai ekonomi digital ASEAN 6 baru baru berkontribusi sebesar 1,3% terhadap PDB pada 2015 dan tumbuh menjadi 2,8% terhadap PDB hingga akhir 2018. Kemudian, pada 2025 akan mencapai 8% terhadap PDB pada 2025 sehingga akan mengurangi kesenjangan dari ekonomi digital Amerika Serikat yang telah mencapai 6,5% pada 2016 (Kusnandar, 2019)
GMV ekonomi digital telah menyumbang sebesar 2,9% atas GDP di wilayah Indonesia. Di kawasan Asia Tenggara sendiri, Indonesia merupakan negara dengan pertumbuhan ekonomi digital terbesar dan tercepat hingga mencapai 27 miliar dollar di 2018 dan siap untuk semakin berkembang hingga 100 miliar dollar pada 2025. Posisi kedua dengan pertumbuhan ekonomi digital terpesat adalah Thailand. Ekonomi digital pada wilayah ini mencapai 12 miliar dollar pada 2018. Pertumbuhan ini didorong oleh e-commerce, periklanan dan game online serta pada perusahaan ride hailing. Menyusul Vietnam di angka 9 miliar dollar, Malaysia di angka 8 dollar, Singapura di angka 10 miliar dollar, dan Filipina di angka 5 miliar dollar pada tahun 2018.
Kawasan ASEAN sangat prospektif dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi digital yang pesat. Dengan jumlah penduduk yang sangat banyak dan akses internet yang semakin masif digunakan oleh masyarakat seluruh dunia, startup dibidang ekonomi digital juga makin digemari dan bahkan sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat modern. Studi terbaru yang dilakukan oleh Google dan Temasek mencatat pengakses internet melalui ponsel di Asia Tenggara jumlahnya terus bertambah setiap tahunnya. Hal ini ditunjang dengan harga ponsel yang semakin terjangkau dan layanan telekomunikasi yang semakin murah (Agung, 2018).
Lebih dari 90 persen pengakses internet tercatat merupakan pengguna ponsel. Dilaporkan Reuters, tercatat hingga 2018 ada 350 juta pengguna internet di enam negara Asia Tenggara yang masuk dalam riset yakni Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam. Tingginya penggunaan ponsel dan layanan internet sebagian besar mengarah pada belanja daring, media sosial, berlangganan musik dan video streaming hingga pemesanan makanan yang ditawarkan oleh perusahaan startup seperti Gojek dan Grab (Agung, 2018). Menurut laporan McKinsey Company pada Desember 2019 meskipun konsumen yang ada di Asia Tenggara termasuk lamban dalam mulai menggunakan belanja online namun mereka sangat aktif dalam lingkup digital. Sebagai contoh penetrasi smartphone berada pada angka 76% di Malaysia dan 80% di Vietnam. Sedangkan jumlah pengguna internet di Indonesia menurut survei dari Asosiasi Pengguna Jasa Internet Indonesia (APJII) pada 2018 mencapai 171, 17 juta atau 64,8% dari total penduduk Indonesia. Berdasarkan riset yang dilakukan oleh Google dan Tamasek pada 2018, diketahui bahawa terdapat lebih dari 350 juta pengguna internet di Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand dan Vietnam. Jumlah ini meningkat sebesar 90 juta pengguna dari tahun 2015.
Dalam membangun ekosistem ekonomi digital yang mumpuni, kerja sama yang ideal antara pemerintah, komunitas bisnis digital, dan organisasi multilateral sangat diperlukan agar dapat memastikan keuntungan dari ekonomi digital (Doherty, 2019). Namun menurut Mangkuto (2019) ada beberapa hambatan signifikan agar ekonomi digital tumbuh cepat di kawasan Asean, terutama risiko regulasi dan kurangnya tenaga kerja terampil. Industri ini juga masih berjuang untuk mengisi kesenjangan tenaga kerja, dengan permintaan akan pekerja teknologi terampil jauh melampaui pasokannya.
Selain pada tenaga kerja, hambatan kemajuan ekonomi digital di wilayah ASEAN adalah masalah regulasi. Walaupun teknologi pada dasarnya bersifat lintas negara, belum tentu kebijakan-kebijakan yang mengaturnya juga seperti itu. Menurut Doherty (2019) terdapat dua unsur penting terkait dengan menciptakan ekosistem yang mendukung di kawasan Asia Tenggara. Pertama, yaitu diperlukan adanya fleksibilitas dalam mengejar keseimbangan antara inovasi dan digital regulasi. Banyak perusahaan yang sudah aktif di sektor digital sudah terbiasa membangun platform yang dapat beradaptasi dengan teknologi baru yang tersedia. Negara-negara secara khusus pembuat kebijakan perlu mengaplikasikan pemikiran serupa terkait penerapan standardisasi. Kedua yaitu menyangkut perlunya pembangunan matang yang tidak hanya bersifat dari bawah ke atas (bottom up), melainkan juga perlunya solusi dari pemerintah yang bersifat turun dari atas ke bawah (top-down). Selain itu, kolaborasi antar negara juga dapat menjadi pembangun iklim ekonomi digital di kawasan ini.
Daftar Pustaka
Agung, B. (2018, 21 November). Pengguna Ponsel Dominasi Pengakses Internet Asia Tenggara. CNN Indonesia. Dikutip dari https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20181121001644-185-347954/pengguna-ponsel-dominasi-pengakses-internet-asia-tenggara
APJII. (2018). Penetrasi & Profil Perilaku Pengguna Internet di Indonesia 2018.
Doherty, J. (2019, 27 Oktober). Langkah Memajukan Ekonomi Digital di Kawasan Asia Tenggara. Investor Daily. Dikutip dari https://investor.id/opinion/langkah-memajukan-ekonomi-digital-di-kawasan-asia-tenggara
Google Temasek. (2018). e-Conomy SEA 2018: Southeast Asia’s internet economy hits an inflection point. Diakses 6 Maret 2020, dari https://www.thinkwithgoogle.com/_qs/documents/6870/Report_e-Conomy_SEA_2018_by_Google_Temasek_121418_cpsLjlQ.pdf
Kusnandar, VB. (2019, 10 Desember). Ekonomi Digital Asia Tenggara Berkontribusi 3,7% Terhadap PDB. Katadata.co.id. Dikutip dari https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/10/12/ekonomi-digital-asia-tenggara-berkontribusi-37-terhadap-pdb
Mangkuto, WS. (2019, 3 Oktober). Wah, Ekonomi Digital ASEAN Tembus Rp 4.251 T di 2025. CNBC Indonesia. Dikutip dari https://www.cnbcindonesia.com/tech/20191003173107-37-104276/wah-ekonomi-digital-asean-tembus-rp-4251-t-di-2025/2
McKinsey & Company. (2016). Digital Globalization: The New Era of Global Flows. Diakses 6 Maret 2020, dari https://www.mckinsey.com/~/media/McKinsey/Business%20Functions/McKinsey%20Digital/Our%20Insights/Digital%20globalization%20The%20new%20era%20of%20global%20flows/MGI-Digital-globalization-Full-report.ashx
McKinsey & Company. (2019). Defending Southeast Asian consumercompany value in a digital age. Diakses 6 Maret 2020, dari https://www.mckinsey.com/~/media/McKinsey/Industries/Consumer%20Packaged%20Goods/Our%20Insights/Defending%20Southeast%20Asian%20consumer%20company%20value%20in%20a%20digital%20age/Defending-Southeast-Asian-consumer-company-value-in-a-digital-age-vF.ashx
Mesenbourg, TL. (1999). Measuring the Digital Economy. Diakses dari United States Census Berau, Situs web https://www.census.gov/content/dam/Census/library/working-papers/2001/econ/umdigital.pdf
Sugiarto, EC. (2019, 29 Januari). Ekonomi Digital : The New Face of Indonesia’s Economy. Tulisan pada https://setneg.go.id/baca/index/ekonomi_digital_the_new_face_of_indonesias_economy
Artikel ini ditulis oleh Natasya Qorri A, mahasiswa dari Universitas Gadjah Mada saat menjalani magang di Pusat Studi Asia Tenggara.
Balikbayan as Bagong Bayani: “Pahlawan Baru” Sang Pendorong Kesenjangan dari Jauh
“Masakit na masarap”, Recuerdo says about life as an OFW. It’s pain that gratifies. (Almendral, 2018)
Begitulah ucapan Recuerdo Morco (33 tahun) saat menceritakan perasaannya sebagai pekerja migran luar negeri selama kurang lebih 11 tahun di sebuah kapal cargo yang berlayar dari Swedia hingga Australia. Mencari pekerjaan di luar negeri bagi sebagian besar masyarakat Filipina adalah suatu hal paling rasional untuk dapat bertahan, mencukupi kebutuhan, bahkan berinvestasi demi masa depan. Dorongan ekonomi yang banyak disebut sebagai pendorong utama masyarakat Filipina untuk melakukan migrasi turut mendapatkan sokongan besar dari pemerintah melalui glorifikasi status pekerja migran sebagai bagong bayani atau “pahlawan baru” di mana penggunaan istilah pahlawan merujuk pada kontribusi mereka bukan hanya pada ekonomi keliuarga, namun juga ekonomi nasional. Penggunnaan istilah yang awal disematkan pada masa kepemimpinan Corazon Aquino (Encias-Franco, 2013) hingga kini membentuk sebuah konsepsi baru mengenai cara bertahan hidup dan mempersiapkan kehidupan mendatang.
Berjalannya migrasi yang sudah menjadi hal lumrah dan banyak dilakukan oleh warga Filipina baik dalam skala global maupun lokal. Sematan bagong bayani yang diterima oleh pekerja migran melalui pengiriman remitan dalam bentuk valuta asing melalui media penyalur yang diatur oleh negara membantu penguatan ekonomi negara meskipun mereka bekerja sebagai buruh atau pekerja dengan upah minimum di negara tujuan. Pengiriman remitan sebagai bentuk keterwakilan para OFWs (Overseas Filipino Workers) dalam sumbangsih pembangunan negara ditampung melalui beberapa bentuk investasi seperti real estate, saham, dan tabungan khusus bagi pekerja migran yang nantinya akan kembali (Tiongson, 2019). Adanya dukungan pemerintah dalam menjamin kehidupan pascakerja dari luar negeri menjadikan status sebagai OFW dalam suatu keluarga menjadi penanda munculnya kelas menengah baru di Filipina. Kondisi yang cukup kontras dialami oleh para migran internal dimana perpindahannya menuju ke Manila atau Metro Manila sebagai daerah pusat ekonomi, pemerintahan, dan leisure tidak selalu menjamin untuk mendapatkan penghidupan lebih baik. Perpindahan pekerja dari kawasan rural diberbagai penjuru negeri ke Manila dianggap sebagai mengadu nasib dan keberuntungan meskipun mereka tahu ini bukanlah hal yang mudah.
Kehidupan ekonomi keluarga bagi sebagian besar penduduk Filipina kini bergantung pada pengiriman remitan dari dalam maupun luar negeri menjadi bagian utama dalam berjalannya kehidupan hampir disetiap sektor kehidupan masyarakat. Penggunaan remitan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, biaya pendidikan, atau kesehatan kini juga diikuti dengan kesadaran untuk melakukan investasi sebagai upaya untuk bertahan hidup setelah mereka (pekerja migran) kembali ke negaranya. Kembalinya tenaga kerja ke kampung halaman/negara asal yang dikenal dengan istilah balikbayan telah mendorong adanya pembangunan dan perubahan lanskap georafis maupun sosial dalam masyarakat. Dampak secara fisik dan sosial yang terjadi seiring dengan meningkatnya migrasi di Filipina tidak dapat dihindarkan terlebih dengan masuknya campur tangan pihak swasta dalam dinamika ekonomi dan pembangunan yang selama ini berlangsung di Filipina melalui menjamurnya kawasan-kawasan perumahan elit di kawasan sekitar Manila yang mendorong lahirnya daerah peri-urban fringe seiring dengan beralihnya lahan menjadi perumahan elit. Di mana sebagian besar pembangunan atau kepemilikan dari bangunan tersebut dimiliki oleh OFW sebagai investasi properti sebelum mereka kembali.
Pembangunan berbagai fasilitas modern penunjang kawasan perumahan elit dilakukan oleh pihak swasta yang sudah melakukan kerja sama dengan pemerintah untuk menciptakan secuil modernitas ala Barat. Maraknya pembangunan kawasan elit yang menghadirkan modernitas di tengah padatnya Manila sebagai bagian dari “Filipino Dream” menjadi sebuah realitas sosial dan hingga kini makin memperparah pemerataan kesejahteraan masyarakat. Manila sebagai kawasan megapolitan menjadi arena di mana kita dapat menyaksikan bagaimana kesenjangan terjadi. Kesenjangan ekonomi yang nampak melalui kepemilikan hunian, serta gaya hidup antara balikbayan, ekspatriat, dan migran internal sangat kontras terlihat melalui terbentuknya gated communities serta perkembangan properti yang merambah ke kota-kota disekitarnya dan menjadi pendorong adanya alih guna lahan pertanian menjadi bagian perumahan. Di mana dalam proses alih guna lahan pihak pengembang banyak menyasar daerah-daerah pegunungan yang masih dihuni oleh kelompok adat dan difungsikan sebagai lahan pertanian. Melihat kompleksitas mengenai perubahan yang terjadi diberbagai sektor kehidupan masyarakat Filipina khususnya dalam beberapa dekade terakhir menunjukkan perubahan pandangan dan aspirasi seseorang dalam menikmatinya hasil jerih payahnya selama bekerja di luar negeri. Akan tetapi bentuk investasi properti sebagai praktik paling umum untuk menyalurkan remitan berujung pada berkurangnya lahan produktif pertanian sekitar Manila.
Melihat koneksi antara migrasi dengan perubahan fisik, sosial, dan ekonomi di Filipina yang coba ditangkap dalam konsep “Filipino Dream” menjadi problematis mengingat berbagai macam investasi yang dikeluarkan justru tidak merata dampaknya dirasakan penduduk, padahal pemerintah yang merasa diuntungkan dari migrasi seakan hanya berfokus pada kelompok OFW tanpa memperbaiki kondisi dalam negerinya. Peran pemerintah yang digantikan oleh swasta dalam menangkap peluang ekonomi dari remitan yang dikirimkan dalam bentuk investasi menjadi titik awal pertanyaan mengapa investasi OFW banyak disalurkan dibidang non-agrikultur? Pertanyaan ini muncul mengingat terciptanya relasi baru antara pekerja migran, keluarga, dan lingkungan sosial semakin kompleks dengan meningkatnya taraf kesenjangan antar penduduk. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, paper ini akan menilik beberapa faktor yang mempengaruhi pilihan investasi pada kalangan OFW di mana persoalan seputar tenaga kerja, kepemilikan dan ketersediaan lahan pertanian kini sudah beralih pada sektor non-agrikultur menjadikan investasi dibidang pertanian menjadi tidak menarik di mata para OFW.
Manila: Tempat Mengadu Nasib
Seperti berbagai daerah di kawasan Asia Tenggara, proses perpindahan manusia banyak didominasi oleh hubungan desa-kota (kawasan rural pertanian ke kawasan industri) seiring berkembangnya sektor produksi di kota. Kawasan perkotaan sebagai pusat kegiatan ekonomi dan pemerintahan banyak menyematkan anggapan mengenai hidup yang dekat dengan taraf modernitas di Barat. Anggapan untuk memperoleh kehidupan lebih baik dan modern seperti yang ada di kasus migran rural Jawa (Koning, 2004) dan pekerja migran di Sarawak (Sim, 2002) juga menjadi hal yang ditemukan dibeberapa kawasan rural di Filipina. Motivasi pekerja rural untuk datang ke kota mencari pekerjaan disebut karena dorongan untuk mengubah kehidupan tidak sepenuhnya jadi faktor utama. Lahirnya sebuah kondisi kerentanan lingkungan seiring dengan makin berdampaknya efek perubahan iklim kini menjadi faktor pendorong migrasi dilakukan disamping faktor pemenuhan ekonomi. Di samping itu meningkatnya tingkat pendidikan yang diperoleh kalangan muda turut menjadi pendorong berkurangnya minat kaum muda untuk terlibat dalam sektor agraris.
Dorongan untuk melakukan migrasi disebabkan oleh perubahan lingkungan coba untuk disinggung oleh Ransan-Cooper yang menggunakan studi kasus di Provinsi Albay, Filipina. Penduduk Albay yang sebagian besar berprofesi sebagai petani mendapatkan tantangan seiring dengan perubahan iklim yang mempengaruhi skala dari angin topan musiman yang melanda Filipina. Hal ini mendorong adanya migrasi musiman dan permanen sebagai pilihan rasional menyesuaikan dengan kondisi alam sebagai penentu kegiatan sektor agraris. Bagi penduduk Albay yang didominasi oleh petani sebagai sumber penghasilan utama kondisi perubahan iklim dan lingkungan menjadi ancaman (Ransan-Cooper, 2015). Permasalahan dalam usaha pertanian di Albay semakin diperparah dengan meningkatnya tingkat keasaman tanah yang menghambat intensifikasi pertanian. Dalam pembahasannya Ransan-Cooper juga melihat akses lahan pertanian juga turut mendorong migrasi terjadi, utamanya pada kelompok buruh tani yang tidak memiliki akses lahan. Kondisi tersebut menjadikan pilihan untuk berpindah semakin jadi rasional untuk dilakukan oleh penduduk Albay khususnya pada kalangan pemuda dan lajang.
Pergerakan penduduk ke kota terdekat (tujuan utama tetap Manila atau Cavite, Laguna, Batangas, Rizal and Quezon disingkat CALARBARZON sebagai daerah pusat ekonomi) tidak serta merta dilakukan secara spontan. Proses perpindahan mereka menuju ke kawasan kota tidak lepas dari adanya agensi yang berfungsi sebagai tempat singgah dan mencari pekerjaan yang cocok. Terbentuknya sebuah agensi yang terjalin berasal dari keluarga atau kerabat yang dianggap dapat membantu mereka sebagai tempat bernaung selama mengadu nasib di rantau (Ransan-Cooper, 2016). Relasi utang na loob (utang budi) yang terjalin dari proses migrasi Albayanos (orang asal Albay) telah memupuk rasa solidaritas diantara kedua pihak di mana pihak agensi sendiri masih memiliki hubungan kerabat atau keluarga dengan migran. Keberadaan agensi dalam relasi ini juga menguntungkan bagi pekerja rural khususnya pada saat terjadi bencana dimana mereka menjadi tempat untuk bernaung sampai bencana yang terjadi berakhir. Di sisi lain berkembangnya aspirasi pemuda untuk berpindah ke Manila juga menjadi kesempatan untuk lepas dari tuntutan dan permintaan orang tua terhadap mereka. Hal tersebut didukung dengan meningkatnya posisi tawar mereka di dalam keluarga seiring dengan perbedaan jumlah pendapatan dibandingkan dengan bekerja di sektor pertanian serta meningkatnya tingkat pendidikan sebagai pendorong berubahnya aspirasi mereka saat ini. Kalangan pemuda yang nantinya akan menjadi penerus di masa depan melihat pertanian menjadi kurang relevan disertai dengan berkurangnya akses lahan jika ingin terjun ke sektor agraris.
Migrasi yang dilakukan oleh Albayanos ke kawasan pusat ekonomi seperti Manila atau kawasan sekitarnya CALARBARZON hampir dilakukan oleh daerah-daerah lain di Filipina. Manila sebagai pusat ekonomi, pemerintahan, dan entertainment di Filipina memiliki daya tarik yang cukup kuat untuk mendorong banyaknya pendatang untuk mencari peruntungan. Tren migrasi penduduk baik dalam lingkup interal maupun internasional yang didominasi oleh kelompok usia muda dan belum menikah mendapatkan pengaruh baru seiring meningkatnya tingkat pendidikan yang diperolehnya. Tingkat pendidikan pemuda Filipina yang saat ini minimal mengeyam pendidikan setara SMA menunjukkan perubahan dalam kesadaran akan pendidikan sebagai upaya untuk mendapatkan pekerjaan. Perbedaan tingkat pendidikan antara anak dan orangtuanya turut tercerminkan dalam bidang pekerjaan yang dikerjakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dalam tulisan Kelly di salah satu bab dalam buku Revisiting Rural Places (2012) menunjukkan bahwa perubahan aspirasi pemuda dalam mencari pekerjaan tidak dapat dilepaskan pengaruhnya dari status sosial ekonomi orang tuanya. Kondisi ekonomi atau status pekerjaan yang dilakukan di desa berimplikasi pada tingkat pendidikan yang dapat ditempuh oleh anaknya. Meningkatnya jumlah pemuda yang mengenyam pendidikan hingga di bangku kuliah didukung karena posisi ekonomi orang tua sebagai pemilik lahan pertanian atau menjadi aparatur desa. Akses terhadap lahan dan posisi penting di desa juga tercerminkan dari dienyamnya pendidikan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok seusianya. Sehingga jurang kelas antara keluarga pemilik lahan dengan buruh tani turut termanifestasikan hingga keturunan berikutnya. Kondisi ini turut terefleksikan pada tingkat pendidikan dan jenis pekerjaan yang dilakukan oleh anak-anak mereka saat ini. Pada anak yang lahir dari kelas pemilik lahan atau aparatur desa pendidikan perguruan tinggi banyak dipilih dengan harapan untuk mendapatkan pekerjaan formal dengan gaji tetap. Berbeda dengan keluarga buruh tani di mana pendidikan setingkat perguruan tinggi masih menjadi harapan untuk dapat dirasakan tetapi terkendala kemampuan ekonomi. Kondisi tersebut berimplikasi pada jenis pekerjaan sektor informal yang dilakoni oleh mereka baik di kota sebelah maupun menjadi migran.
Tanah milik siapa?
Permasalahan tenaga kerja diberbagai sektor baik formal maupun informal yang menjadi perhatian utama Filipina seakan diselesaikan dengan didorongnya penduduk untuk melakukan migrasi. Meski tidak dapat dipungkiri migrasi dan pengiriman remitan khususnya dari luar negeri menyumbang sebagian besar pendapatan negara, masih tidak dapat dirasakan secara merata oleh penduduk. Persoalan di sektor lain khususnya pertanian seiring dengan berkurangnya tenaga kerja yang beralih pada sektor non-pertanian menjadi sebuah permasalahan baru yang dihadapi oleh Filipina. Tenaga kerja usia muda dengan tingkat pendidikan tinggi cenderung memilih untuk melakukan pekerjaan formal yang tetap dengan harapan masa depannya akan terjamin menyisakan kalangan tua dan pekerja muda dengan tingkat pendidikan rendah bertahan di desa. Meski mereka bertahan hidup dengan bekerja di sektor pertanian mereka tetap berada dalam posisi marjinal terlebih dengan tidak milikinya akses terhadap lahan. Seperti yang sudah disinggung pada sub bahasan sebelumnya, akses terhadap lahan pertanian di Filipina dikuasai oleh kelas sosial tertentu memiliki kaitan dengan masa kolonial. Kepemilikan tanah atau lahan dibagi menjadi dua jenis kelompok penerima yang dikenal dengan C-Filipino (colonized) dan I-Filipino (indigenous). Kedua kelompok ini terbentuk kaitannya dengan relasi mereka dengan koloni Spanyol pada masa awal kedatangan di Filipina. C-Filipino adalah kelompok yang sangat terdampak dengan koloni Spanyol, mereka mengalami kristenisasi, dan dijadikan buruh bagi koloni Spanyol. Berbeda dengan I-Filipino dimana mereka memilih untuk tidak berhubungan dengan koloni Spanyol dengan bersembunyi di kawasan perbukitan dan hutan untuk menghindar serta terbebas dari pengaruh koloni Spanyol. Setelah dilepaskannya Filipina dari kekuasaan Spanyol tahun 1989 ke Amerika Serikat, posisi diantara dua kelompok menjadi terbalik. C-Filipino diberikan kekuasaan dan hak atas tanah serta pemerintahan lokal termasuk pada lahan-lahan perbukitan, hutan, air, dan pulau-pulau dalam gugusan Filipina di mana sebagian besar kawasan tersebut belum dapat ditembus oleh koloni Spanyol (Malayang III, 2001). Pembagian hak atas lahan yang tersebar di seluuh Filipina dibagi ke dalam beberapa keluarga yang pada konteks waktu saat ini berimplikasi pada terbentuknya dinasti pemilik modal dan pengaruh. Kawasan yang belum ditembus oleh koloni Spanyol ini banyak dihuni oleh kelompok I-Filipino menjadikan hak atas lahan bertentangan dengan hukum kolonial yang kemudian diadopsi menjadi hukum negara.
Pertentangan atas penggunaan lahan di Filipina diantara kedua kelompok hingga saat ini masih masih terus berlangsung. Posisi I-Filipino yang termarjinalkan dalam kependudukan menjadikan sebagian besar dari mereka bertahan pada sektor agraris sebagai bentuk hidup yang subsisten. Sistem tradisional dalam kepemilikan lahan dikalangan I-Filipino yang didasarkan atas orang pertama yang membuka lahan bertentangan dengan hukum negara di mana kepemilikan lahan harus dibuktikan dengan kepemilikan dokumen negara. Pada kasus beralihnya fungsi lahan perbukitan di sekitar Manila untuk dijadikan sebagai kawasan perumahan elit, permasalahan seputar legalitas hak milik lahan kembali mencuat diantara kedua kelompok. Sesuai dengan kasus alih fungsi lahan yang dilakukan oleh spekulan tanah dari perusahaan properti di Cabeza Tales menunjukkan bagaimana posisi tanah menjadi sentral bagi sebagian besar penduduk Filipina yang berkutat pada bidang pertanian. Ortega dalam salah satu bab dibukunya menunjukkan bagaimana posisi penghuni bukit kalah dalam mempertahankan tempat hidup mereka selama ini. Kekalahan mereka untuk mempertahankan lahan di perbukitan tidak dapat dilepaskan dari pengaruh adanya relasi antara perusahaan dengan kelompok elit atau pemilik sah tanah. Pihak pengembang berhasil untuk melakukan transaksi lahan untuk mencapai kesepakatan dengan tuan tanah.
Terdapat dua pemahaman berbeda atas kepemilikan lahan antara kedua kelompok menjadi suatu realita sosial yang ada di Filipina. Jika pada satu sisi kelompok I-Filipino sebagai pengelola lahan tidak memiliki kuasa untuk mempertahankan maupun mendapatkan akses ke lahan secara legal dan diakui oleh negara. Pembagian akses lahan yang dikuasai oleh kalangan C-Filipino memiliki kepentingan untuk menjaga kekayaan atau modal agar tetap bertahan pada kelompoknya saja. Hal ini menyebabkan alih fungsi lahan dapat dengan mudah terealisasikan dengan terjalinnya relasi antara perusahaan, kaum elit lokal, dan politik untuk memuluskan transaksi lahan dan menjadikan kalangan I-Filipino kehilangan sumber pendapatan utama mereka. Hilangnya akses terhadap lahan pertanian melahirkan tuntutan baru untuk penyediaan fasilitas pelatihan skill sesuai bursa lapangan kerja. Pilihan untuk melakukan migrasi tidak menjadi solusi bagi kalangan I-Filipino dengan kurangnya akses terhadap pendidikan dan stigma ‘kolot’ yang disematkan kepada mereka oleh orang-orang di daerah dataran rendah tempat pusat ekonomi berjalan.
Berangkat dari kasus alih fungsi lahan yang terjadi di kawasan peri-urban atau urban fringe menunjukkan bagaimana proses kesenjangan sosial dan ekonomi terbentuk dan bertahan di Filipina. Kelompok petani tanpa lahan yang terkena dampak secara langsung menjadi sangat rentan untuk memperjuangkan skill di bidang pertanian tanpa adanya akses terhadap lahan. Menurut laporan riset yang dilakukan oleh OECD (2017) menunjukkan bahwa sektor pertanian kini menyumbang sekitar 10 persen dari perekonomian nasional di mana angka ini terus berkurang sejak tahun 1980 yang mencapai angka 25 persen (Yean, 2018, p. 6). Sektor pertanian sebagai penyedia kebutuhan pangan berada di dalam posisi terombang-ambing di satu sisi mereka menjadi sektor penting tetapi di sisi lain posisi ini mulai coba digantikan melalui migrasi. Meskipun kedua sektor tersebut tidak memiliki benang merah yang cukup menguatkan ketergantungan satu sama lain, masih dalam laporan yang sama keduanya dihubungkan dengan pengiriman remitan sebagai penyokong aktivitas pertanian melalui penyediaan teknologi modern untuk mendukung intensifikasi produksi hasil pertanian. Dari laporan tersebut nampak bagaimana pengiriman remitan yang dikatakan juga disalurkan ke sektor pertanian menjadi bentuk kompensasi atas berkurangnya lahan produktif.
Kurang tegasnya pemerintah Filipina dalam menghentikan laju alih fungsi lahan bukan tanpa adanya perlawanan dari pihak petani, akan tetapi terdapat beberapa faktor yang menghambat pergerakan ini. Digunakannya kekuatan militer, persekusi petani yang menentang kebijakan pemerintah serta tuduhan afiliasi dengan kelompok separatis menjadi ancaman yang akan diterima oleh mereka (Törnquist, 2002). Sejarah panjang demokrasi Filipina yang lekat dengan politik dinasti dalam pembentukan kebijakan pembangunan nyatanya masih terus berlangsung (Anderson, 1998) memperkuat upaya petani untuk melawan dimulai dari tingkat lokal. Lahirnya perlawanan dengan munculnya sikap pulitika yang dipandang sebagai perspektif dalam memandang suatu politik dari pihak elit.
“Resil Mojares asserts that “pulitika is not politics…it is imaged in terms of elite
factional competition (inilungay sa katungdanan), manipulation (maneobra), spectacle, and
dissimulation” (1994, 338) and belongs to the “field of politics largely constructed and dominated by the elites”(339).” (Yean, 2018, p. 5)
Kontestasi antara pemerintah dengan petani semakin ramai dengan munculnya gerakan yang terhimpun pada kelompok New Democrat’s (ND) dan New People Army (NPA) sebagai organisasi yang menentang liberalisasi tanah oleh pemerintah. Kedua kelompok ini lekat dengan ideologi kiri dalam memandang masalah akses lahan pertanian menjadi basis ideologi bagi petani untuk menuntut akses terhadap lahan melalui reforma lahan agrarian. Tuntutan yang sudah digaungkan sejak rezim pemerintahan Marcos hingga saat ini masih terus mengalami kendala dengan kurang tegasnya peraturan yang mengatur reforma pertanian.
Menuju taraf hidup modern
Kawasan pusat ekonomi Filipina yang dikenal dengan Metro Manila menjadi arena peraduan nasib dan cita-cita penduduk disegala penjuru untuk mendapatkan penghidupan lebih baik. Segala bentuk aktivitas ekonomi dan entertainment yang kini turut berkembang dan menjadi sebuah entitas baru dalam dinamika penduduk. Semakin rapatnya pembangunan kawasan industri, dan pemukiman elit di Manila dan sekitarnya menyebabkan proses alih fungsi lahan semakin marak terjadi. Menilik kembali pada tahun 1980-1990an kawasan ini masih memiliki beberapa lahan pertanian seusai dengan fungsi awalnya sebagai kawasan mixed-used urban yang mengawinkan sektor industri dan agraris dalam satu wilayah yang sama (Murakami & Palijon, 2005). Pembangunan di Manila dan kawasan sekitarnya (selanjutnya akan disebut dengan kawasan peri-urban) makin masif dilakukan seiring dengan besarnya investasi ke pada pihak pengembang properti dalam memenuhi permintaan hunian baru dengan akses mudah, dan dekat dengan lokasi kerja dan pusat hiburan keluarga. Seperti studi kasus di Eastwood City (Kleibert & Kippers, 2015) dan beberapa gated communities’ yang tersebar di sekitar Metro Manila (Ortega, 2016) menunjukkan lahirnya enclave sesuai dengan perkembangan selera pasar yang merujuk pada modernitas ala Barat. Angan-angan mengenai suatu modernitas ala Barat yang diwujudkan melalui pembangunan pemukiman elit dengan fasilitas penunjang menjadi sangat kontras dengan realita kependudukan di kawasan luar gerbang.
Metro Manila sebagai pusat dari segala kegiatan ekonomi di Filipina menjadi arena di mana kesenjangan sosial dan ekonomi secara empiris dapat diamati dalam kehidupan sehari-hari. Kesenjangan ekonomi yang nampak jelas dari pembangunan kawasan perumahan elit dan properti yang meluas hingga ke kawasan di luar Manila semakin ramai tumbuh sebagai suatu bentuk perwujudan hasil kerja keras selama bekerja di luar negeri. Bisnis properti banyak dipilih oleh OFW sebagai bentuk investasi di negeri sendiri di mana pembayarannya diambilkan dari pengiriman remitan ke keluarga. Kondisi yang berbeda dialami oleh para migran dari kawasan rural yang bekerja di Manila, di mana mereka mendapatkan pendapatan lebih rendah dibandingkan dengan mereka yang bekerja di luar negeri untuk jenis pekerjaan yang kurang lebih sama. Pengiriman remitan yang dipromosikan oleh pemerintah sebagai upaya untuk melakukan pembangunan dan peningkatan fasilitas untuk mendukung perekonomian dalam negeri nyatanya hanya dinikmati oleh segelintir orang saja. Angka kemiskinan yang turun secara kuantitatif dengan adanya pengiriman remitan secara realita tidak terdistribusikan dengan merata sehingga kesenjangan masih menjadi persoalan utama (Adam Jr & Page, 2005).
Perwujudan remitan sebagai hasil kerja keras yang banyak diwujudkan dalam bentuk bangunan fisik seperti yang banyak dilakukan diberbagai negara di Asia memiliki pemaknaan berbeda pada konteks OFW. Pilihan untuk memiliki suatu unit perumahan dibandingkan dengan membangun rumah yang ada di kampung halaman. Posisi perumahan yang ditawarkan berada di dekat Metro Manila semakin memperkuat anggapan untuk mewujudkan kawasan modern melalui gated communities. Usaha properti turut tumbuh subur dengan ditawarkannya “Filipino Dreams” yakni hidup dalam suatu taraf modernitas yang berkiblat pada kota-kota di Eropa dan Amerika Serikat.
Kesimpulan
Terjadinya perubahan mode mata pencaharian penduduk di Filipina dari sektor agraris ke sektor non-agraris yang disalurkan melalui migrasi berimplikasi pada bagaimana proses pemaknaan terhadap lahan dan pekerjaan. Pekerjaan sebagai petani dalam konteks waktu sekarang dianggap sebagai pekerjaan kasar dengan pendapatan rendah dan tidak menentu menjadi kesan pertama yang muncul dalam benak pemuda. Semakin tingginya tingkat pendidikan yang diampu oleh pemuda dan tersedianya pasar untuk menampung skill mereka di dunia kerja menjadikan posisi pertanian semakin tergeser. Meskipun pemerintah berargumen bahwa remitan dari adanya migrasi menjadi sumber pembiayaan pembangunan belum dapat dirasakan secara merata pada setiap kalangan.
Terserapnya dana remitan yang dikirimkan oleh pekerja migran banyak tertampung pada kempemilikan properti dapat dipahami sebagai suatu langkah untuk menghindarkan diri dari kerumitan yang timbul jika memilih investasi lain. Investasi properti yang sudah dikerjakan dan diatur oleh perusahaan penyedia jasa menjadikan proses alih guna lahan semakin masif dilakukan. Hal ini menjadi cukup rasional jika dibandingkan dengan investasi pada bidang pertanian di mana kepemilikan lahan sarat akan konflik kepentingan di mana lahan dimaknai sebagai sebuah modal politik dalam kehidupan sehari-hari. Di mana kepemilikan tanah dan lahan akhirnya hanya dapat terealisasikan dalam suatu bentuk bangunan fisik yang terletak dalam suatu lokus tertentu dan dibatasi dengan gerbang untuk memisahkan dengan realitas sosial yang berbeda. Tidak dapat sepenuhnya dikatakan bahwa migrasi mendorong kesenjangan sosial makin melebar, tetapi terdapat faktor seperti kemudahan birokrasi dan keinginan hidup sesuai dengan gaya hidup selama di rantau muncul untuk memperkuat investasi properti sebagai satu-satunya jalur mewujudkan “Filipino Dream” memiliki hunian nyaman dan tinggal di dalam dunia yang modern.
Referensi
Adam Jr, R. H. & Page, J., 2005. Do International Migration and Remittances Reduce Poverty in Developing Countries. World Development, 33(10), pp. 1645-1669.
Almendral, A., 2018. National Geographic. [Online]
Available at: https://www.nationalgeographic.com/magazine/2018/12/filipino-workers-return-from-overseas-philippines-celebrates/
[Accessed 17 Mei 2020].
Anderson, B., 1998. The Spectre of Comparisions: Nationalism, Southeast Asia, and the World. London: Verso.
Djajic, S. & Vinodragova, A., 2015. Overshooting the Savings Target: Temporary Migration, Investment in Housing and Development. World Development, Volume 65, pp. 1110-1121.
Encias-Franco, J., 2013. The language of labor export in political discourse: “modern-day heroism” and constructions of overseas Filipino workers (OFWs). Philippine Political Science Journal, 34(1), pp. 97-112.
Kelly, P. F., 2012. Class Reproduction in a Transactional Agrarian Setting: Youth Trajectories in a Peri-urban Philippine Village . In: J. Rigg & P. Vandergeest, eds. Revisiting Rural Places: Pathway to Poverty and Prosperity in Southeast Asia. Singapore: NUS Press, pp. 229-249.
Kleibert, J. M. & Kippers, L., 2015. Living the good life? The rise of urban mixed-use enclaves in Metro Manila. Urban Geography, pp. 1-23.
Koning, J., 2004. Generations of Change Migration Family and Identity in a Javanese Village during the New Order. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Malayang III, B. S., 2001. Tenure Rights and Ancestral Domains in the Philippines: A Study of the Roots of Conflict. Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, 157(3), pp. 661-676.
Murakami, A. & Palijon, A. M., 2005. Urban Sprawl and Land Use Characteristics in the Urban Fringe of Metro Manila, Philippines. Journal of Asian Architecture and Building Engineering, 4(1), pp. 177-183.
OECD Development Pathways, 2017. Interrelations between Public Policies, Migration, and Development in the Philippines , Paris: OECD Publishing.
Ortega, A. A., 2016. Neoliberalizing Spaces in The Philippines: Suburbanization, Transnational Migration, and Dispossesion. London: Lexington Books.
Ransan-Cooper, H., 2015. Negotiating Risk and Uncertainty Internal Migration and Rural Villagers in Albay Province. Philippine Studies: Historical & Ethnographic Viewpoints, 63(4), pp. 507-539.
Ransan-Cooper, H., 2016. The role of human agency in environmental change and mobility: a case study of environmental migration in Southeast Philippines. Environmental Sociology, pp. 1-12.
Sim, H. C., 2002. Women Workers, Migration and Family in Sarawak. London: Routledge Curzon.
Tiongson, R., 2019. Inquirer.Net. [Online]
Available at: https://business.inquirer.net/264658/investments-for-ofws
[Accessed 17 Mei 2020].
Törnquist, O., 2002. Popular Development and Democracy: Case Studies with Rural Dimension in the Philippines, Indonesia, and Kerala. Oslo: Centre for Development and the Environment (SUM) University of Oslo.
Yean, S. C., 2018. Philippine agrarian change ad rural society: dislocation, distribution, and pulitika. Philippine Political Science Journal, pp. 1-25.
Artikel ini ditulis oleh Okky Chandra Baskoro, saat menjalani magang di Pusat Studi Asia Tenggara