SEA Chat (Southeast Asian Chat) merupakan agenda bulanan PSSAT (Pusat Studi Sosial Asia Tenggara) yang mengajak mahasiswa untuk berdiskusi tentang negara-negara di wilayah Asia Tenggara. Hal ini diharapkan mampu memberikan gambaran yang nyata tentang keadaan negara bersangkutan, berbagi informasi, dan menjadi jalan untuk memahami satu sama lain. Pada pada hari Senin (24/07/2017) pukul 15:00 di Perpusatakaan PSSAT, SEA Chat kembali diadakan untuk yang kelima kalinya. Dengan tema “Unstereotyping Southeast Asia”, kali ini SEA Chat mengundang Gibson Haynes, seorang pengkaji Asia Tenggara asal Amerika Serikat dari John Hopkins University.
SEA Chat memang selalu dikemas dalam bincang-bincang santai tentang negara-negara di Asia Tenggara, demikian pula dengan SEA Chat #5 kali ini. Haynes sebagai seorang Amerika membuka obrolan dengan menceritakan tentang stereotipe-stereotipe orang luar, khususnya orang Amerika tentang Asia Tenggara. Sebagai wilayah yang cukup jauh, orang Amerika terkadang tidak bisa membedakan batas wilayah di Asia Tenggara dan bahkan terkadang Asia Timur. Mereka menganggap penduduk benua Asia sebagai satu etnisitas yang sama, yang biasanya identik dengan orang Cina. Hal ini pun dibenarkan oleh salah satu peserta yang kebetulan pernah ke Amerika Serikat dan ia merasakan bagaimana sebagai orang Indonesia, terkadang orang menganggapnya orang Indonesia termasuk dirinya sebagai orang yang sama dengan orang Cina.
Memang, sebagai negara yang multikultur, banyak imigran datang ke Amerika Serikat, termasuk imigran dari Asia Tenggara. Fenomena ini cukup memberi pemahaman bagi orang Amerika perihal seluk beluk orang Asia Tenggara. Haynes menceritakan bahwa cukup banyak komunitas Filipina dan Kamboja di Amerika Serikat. Selain itu, Haynes menceritakan bahwa latar belakang histori turut berpengaruh. Vietnam, sebagai salah satu negara yang pernah berperan penting dalam sejarah perang di Amerika Serikat, menjadi salah satu negara di Asia Tenggara yang paling terkenal di kalangan orang Amerika. Sedangkan negara-negara lain yang tidak pernah berperan dalam histori Amerika Serikat tampaknya tidak terlalu membekas di hati orang Amerika.
Dengan demikian, Haynes berpendapat bahwa salah satu cara paling ampuh untuk men-destereotype-kan Asia Tenggara adalah dengan program pertukaran dalam bidang pendidikan yang di masa kini sudah cukup sering diadakan, baik orang Amerika ke Asia Tenggara, maupun orang Asia Tenggara ke Amerika Serikat. Ia mengaku tidak sedikit siswa dan mahasiswa asal Asia Tenggara bersekolah di kampus-kampus di Amerika Serikat, begitupun dengan guru dan dosen asal Asia Tenggara yang berkarir di perguruang tinggi di Amerika Serikat.
Diskusi pada SEA Chat #5 cukup hidup karena para peserta yang merupakan mahasiswa penggiat Asia Tenggara juga tampak sangat tertarik dengan tema yang dibawakan dan hampir semua berdikusi, mengajukan pertanyaan, menjawab, dan saling menimpali, serta tentunya berbagi pengalaman perihal stereotipe Asia Tenggara ini dari kaca mata lokal. (Nitya)