Banyak orang keliru dalam mempresepsikan Asia Tenggara dan ASEAN. Sebagian diantaranya mengira bahwa Asia Tenggara merupakan ASEAN, atau sebaliknya. Lalu apa itu “Asia Tenggara” dan “ASEAN”?, dan Bagaimana asal mula munculnya “Asia Tenggara” sebagai “kajian” atau “area studies”?.
Menurut Dr. Agus Suwignyo, Asia Tenggara sebagai sebuah kawasan dirasa belum terlalu dikenal. Indikator yang juga menjadi perhatian beliau adalah saat masyarakat Eropa seringkali menyebut orang – orang Asia Tenggara yang berasal dari negara berbeda di identifikasikan sebagai satu kelompok yang sama. Dr. Agus Suwignyo menjelaskan bahwa sebenarnya status Asia Tenggara dapat dilihat dari tiga aspek yaitu sebagai “konsep” politik dan pertahanan, realitas historis dan area studi.
Asia Tenggara sebagai konsep politik dan pertahanan yang sengaja diciptakan oleh dan untuk kepentingan pihak yang secara historis bukan berasal dari wilayah “Asia Tenggara”. Konsep “Asia Tenggara” dimulai sejak adanya Southeast Asia Command (di bawah Admiral Lord Louis Mountbatten) yang diciptakan bersama oleh presiden Franklin D. Roosevelt dan perdana Menteri Inggris, Winston Churchill pada First Quebec Conference (Agustus 1943) telah melahirkan dimensi politik militer pada wilayah Asia Tenggara. Southeast Asia Command digunakan untuk melawan tentara Jepang yang menguasai Asia Tenggara untuk pertama kali dalam sejarah. Dilanjutkan kemudian dengan perang di Indocina dan adanya teori domino serta dekolonisasi dalam pengertian legal yang sempit, dan memegang peranan penting dalam diterimanya konsep kawasan Asia Tenggara[1]. Asia Tenggara juga digunakan sebagai geopolitik perang dingin yang melahirkan The Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) pada tahun 1967. Kelompok regional ini kemudian mempromosikan kerja sama ekonomi, politik, dan kerja keamanan sebagai bentuk wacana tandingan dari Konferensi Asia Afrika pada tahun 1955. Sampai saat ini ASEAN sudah (masih) memiliki sepuluh anggota yaitu Indonesia, Thailand, Malaysia, Singapura, Filipina, Brunei Darussalam, Vietnam, Laos, Myanmar dan Kamboja. Lalu seperti apa posisi negara lain seperti Timur Leste ?. Timur Leste tidak (belum) bergabung menjadi negara anggota ASEAN, tetapi masuk ke dalam kawasan Asia Tenggara.
Kedua, sebagai realitas historis, jauh sebelum adanya konsep kesatuan dan pemerintahan, masyarakat di kawasan Asia Tenggara sudah saling bersinggungan. Terlihat dari beberapa bahasa, sosial politik dan kultural yang mirip antar negara. Salah satu contoh adalah tradisi gotong royong yang tercemin baik itu level pedesaan hingga level yang lebih besar seperti institusi sosial dan kepemerintahan. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat irisan kesamaan dari sistem nilai, institusi sosial, dan pemerintahan, serta moda ekonomi. Hal tersebut juga dipengaruhi oleh sumber pengaruh “luar” yang relatif sama yaitu dari China, India, Arab dan Eropa. Hal tersebut dijelaskan lebih lanjut di dalam buku berjudul Sejarah Asia Tenggara Modern oleh Leonard Y. Andaya seorang Guru Besar Sejarah Asia Tenggara di University of Hawaii at Manoa dan Barbara Watson Andaya Sejarawan Australia.
Terakhir, status Asia Tenggara sebagai sebuah area studies nyatanya sudah dimulai sebelum Perang Dunia ke – II. Yaitu ketika kelompok ilmuwan yang terdiri dari orientalist dan epigrafer, botanis, zoolog, filolog, sejarawan dan arkeolog meneliti Asia Tenggara. Sedangkan pasca Perang Dunia ke II Ilmuwan Asia Tenggara menjamur selama Perang Dingin, namun fokus kajianya sebagian besar hanya pada satu area tertentu di Asia Tenggara. Fenomena ini menyebabkan berbagai tantangan epistimologis seperti keajegan konsep “ruang” dan “waktu” dalam batasan “Asia Tenggara”, kebijakan keilmuwan dan Perspektif difusionist dalam penulisan tentang Asia Tenggara. Sayangnya kajian Asia Tenggara lebih menarik bagi orang “luar” yang berarti bahwa saat ini cukup sedikit ahli, peneliti maupun orang-orang yang tertarik pada bidang Asia Tenggara yang merupakan penduduk asli “Asia Tenggara”.
REFERENSI:
[1] Nasir Tamara Mohamad. Studi Indonesia (dan Asia Tenggara) di Amerika Serikat serta pengaruh « American way of thinking ». In: Archipel, volume 33, 1987. pp. 17-56;
—
Artikel yang ditulis oleh Tania Nugraheni Ayuningtyas, mahasiswa Pariwisata, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, saat magang di Pusat Studi Sosial Asia Tenggara (PSSAT).