Salah satu konsekuensi dari keanekaragaman yang ada di Asia Tenggara adalah munculnya banyak pertanyaan dinamis dan tidak pernah kadaluarsa untuk didiskusikan. Salah satu pertanyaan membuat kita selalu berpikir adalah, bagaimana kawasan ini bertahan dengan ratusan kepercayaan lokal dan pada saat yang sama menerapkan kebijakan publik mengenai aturan beragama? Dr. Dicky Sofjan mendiskusikan jawaban dari pertanyaan ini dalam diskusi SEA Talks #8, pada Sore Kamis, 16 Juni 2016. Dalam pemaparannya, Dr. Dicky menjelaskan bahwa logika agama yang ada di masyarakat sering berbeda dengan kebijakan publik. Hal ini tidak lepas dari pengaruh sistem demokrasi yang dianut hampir semua negara di Asia Tenggara. Menurutnya, penerapan demokrasi menimbulkan adanya unintended consequences, seperti halnya fenomena penyalahgunaan undang-undang, desentralisasi yang menyebabkan ketimpangan, dan juga multi-intrepretasi terhadap keyakinan salah satu kelompok. Di sisi yang lain, negara juga memiliki otoritas yang besar melalui sistem yang berlaku. Seperti halnya Malaysia yang menerapkan Islam sebagai agama nasional dan tercantum dalam konstitusi. Aturan ini kemudian melegitimasi adanya pengusiran jamaah Ahmadiyah di salah satu masjid di Malaysia dan juga aturan-aturan yang mengarah pada diskriminasi minoritas.
Asia Tenggara sendiri dianggap sebagai ‘salad bowl’ atas keanekaragaman yang ada. Bayangkan saja, masyarakat yang ada di kawasan ini hampir semuanya berbeda, mulai dari bahasa, budaya, termasuk pemahaman tentang sesuatu, hingga hal yang terkecil seperti sampai selera makan. Tantangan ini yang dihadapi masing-masing negara dalam menentukan kebijakan publiknya. Isu agama mengalami nasib yang hampir sama di setiap negara di Asia Tenggara. Kalau di Singapura, negara membagi masyarakatnya di kelompok yang berbeda antara Chinese, Malay, dan India. Di Malaysia, Islam dijadikan sebagai agama nasional yang mendasari semua kebijakan. Kita lihat di Kamboja, masyarakatnya masih trauma dengan kekejaman Khmer Rouge yang melakukan ethnic cleansing Muslim di tahun 70an. Atau di Filipina, aborsi masih menjadi perdebatan di level pemerintahan karena ada pertentangan dengan pihak gereja Katolik. Tidak berbeda dengan di Myanmar yang memiliki dominasi Budha yang sangat kuat sehingga muncul radikalisme terhadap minoritas Muslim. Di Brunei, kewarganegaraan orang Chinese masih menjadi perdebatan hingga kini. Lalu kita merefleksikan di Indonesia, bahwa perdebatan antar agama atau bahkan di dalam agama itu sendiri masih terus terjadi dan berpotensi menyebab kan konflik.
Melalui inisiasi dari Pusat Studi Sosial Asia Tenggara (PSSAT), American Institute for Indonesian Studies (AIFIS), dan Indonesian Consortium for Religion Studies (ICRS) diskusi ini mengangkat tema “Religion, Public Policy, and Social Transformation in Southeast Asia”. Selain Dr. Dicky, hadir pula Mahaarum Kusuma Pertiwi, MA, M.Phil, yang menjadi pembahas, serta beberapa akademisi, dan mahasiswa yang tertarik terhadap kajian ini. Bagi keduanya, studi mengenai agama ini menjadi penting, karena 8 dari 10 orang di dunia memeluk agama dan/atau kepercayaan. Dr. Dicky bersama timnya di Indonesian Consortium for Religion Studies (ICRS) UGM berkolaborasi dengan peneliti dari sembilan negara melakukan riset selama tiga tahun dan akan menghasilkan buku dari hasil penelitian ini. Penelitian ini berusaha untuk melihat relasi antara kebijakan publik dan kebebasan beragama di Asia Tenggara dengan menggunakan metode perbandingan. Hasil yang diharapkan dari penelitian ini dalam setahun kedepan, akan terbangun teori baru (theory building) mengenai kajian tentang agama dan kebijakan publik. Selain studi komparatif seperti yang dilakukan Dr. Dicky, dkk,. Mahaarum juga menambahkan untuk tidak mengesampingkan pentingnya studi kontekstual terutama dalam rangka implementasi kebijakan publik.