• Tentang UGM
  • IT Center
  • Bahasa Indonesia
    • Bahasa Indonesia
    • English
Universitas Gadjah Mada Pusat Studi Sosial Asia Tenggara
Universitas Gajah Mada
  • Beranda
  • Tentang Kami
    • Selayang Pandang
    • Peneliti
    • Peneliti Mitra
    • Mitra
    • Perpustakaan
  • Penelitian
    • Penelitian
    • Kluster
  • Program
    • Konferensi Internasional
      • Konferensi Urbanisasi Asia Internasional ke-17
      • SEA MCA 2021
      • Symposium on Social Science 2020
      • Symposium on Social Science 2018
    • SUMMER COURSE
      • Summer Course 2021
      • Summer Course 2022
      • Summer Course 2023
      • PROGRAM SUMMER COURSE MMAT 2024 SOCIAL TRANSFORMATION IN CONTEMPORARY SOUTHEAST ASIA
    • CESASS Research Fellowship
    • Magang
      • MAGANG DOMESTIK
      • Aktivitas Magang
      • Essay Magang
    • CESASS TALK
    • CESASS Chat
    • Program Sebelumnya
      • SEA Talk
      • SEA Chat
      • SEA Movie
    • Pelatihan
      • Workshop Kominfo
  • Publikasi
    • Jurnal
    • Buku
    • Prosiding
  • Esai Akademik
    • Ekonomi & Kesejahteraan Sosial
    • Hukum dan Hak Asasi Manusia
    • Media dan Komunikasi
    • Pendidikan
    • Politik dan Hubungan Internasional
    • Sejarah dan Budaya
    • Panduan Artikel
  • Beranda
  • 2016
  • June
Arsip 2016:

June

Mencari Titik Temu Kebebasan Beragama dan Kebijakan Publik: Sebuah Pelajaran dari Asia Tenggara

Esai AkademikPolitik dan Hubungan Internasional Saturday, 25 June 2016

Salah satu konsekuensi dari keanekaragaman yang ada di Asia Tenggara adalah munculnya banyak pertanyaan dinamis dan tidak pernah kadaluarsa untuk didiskusikan. Salah satu pertanyaan membuat kita selalu berpikir adalah, bagaimana kawasan ini bertahan dengan ratusan kepercayaan lokal dan pada saat yang sama menerapkan kebijakan publik mengenai aturan beragama? Dr. Dicky Sofjan mendiskusikan jawaban dari pertanyaan ini dalam diskusi SEA Talks #8, pada Sore Kamis, 16 Juni 2016. Dalam pemaparannya, Dr. Dicky menjelaskan bahwa logika agama yang ada di masyarakat sering berbeda dengan kebijakan publik. Hal ini tidak lepas dari pengaruh sistem demokrasi yang dianut hampir semua negara di Asia Tenggara. Menurutnya, penerapan demokrasi menimbulkan adanya unintended consequences, seperti halnya fenomena penyalahgunaan undang-undang, desentralisasi yang menyebabkan ketimpangan, dan juga multi-intrepretasi terhadap keyakinan salah satu kelompok. Di sisi yang lain, negara juga memiliki otoritas yang besar melalui sistem yang berlaku. Seperti halnya Malaysia yang menerapkan Islam sebagai agama nasional dan tercantum dalam konstitusi. Aturan ini kemudian melegitimasi adanya pengusiran jamaah Ahmadiyah di salah satu masjid di Malaysia dan juga aturan-aturan yang mengarah pada diskriminasi minoritas.

Asia Tenggara sendiri dianggap sebagai ‘salad bowl’ atas keanekaragaman yang ada. Bayangkan saja, masyarakat yang ada di kawasan ini hampir semuanya berbeda, mulai dari bahasa, budaya, termasuk pemahaman tentang sesuatu, hingga hal yang terkecil seperti sampai selera makan. Tantangan ini yang dihadapi masing-masing negara dalam menentukan kebijakan publiknya. Isu agama mengalami nasib yang hampir sama di setiap negara di Asia Tenggara. Kalau di Singapura, negara membagi masyarakatnya di kelompok yang berbeda antara Chinese, Malay, dan India. Di Malaysia, Islam dijadikan sebagai agama nasional yang mendasari semua kebijakan. Kita lihat di Kamboja, masyarakatnya masih trauma dengan kekejaman Khmer Rouge yang melakukan ethnic cleansing Muslim di tahun 70an. Atau di Filipina, aborsi masih menjadi perdebatan di level pemerintahan karena ada pertentangan dengan pihak gereja Katolik. Tidak berbeda dengan di Myanmar yang memiliki dominasi Budha yang sangat kuat sehingga muncul radikalisme terhadap minoritas Muslim. Di Brunei, kewarganegaraan orang Chinese masih menjadi perdebatan hingga kini. Lalu kita merefleksikan di Indonesia, bahwa perdebatan antar agama atau bahkan di dalam agama itu sendiri masih terus terjadi dan berpotensi menyebab kan konflik.

Melalui inisiasi dari Pusat Studi Sosial Asia Tenggara (PSSAT), American Institute for Indonesian Studies (AIFIS), dan Indonesian Consortium for Religion Studies (ICRS) diskusi ini mengangkat tema “Religion, Public Policy, and Social Transformation in Southeast Asia”. Selain Dr. Dicky, hadir pula Mahaarum Kusuma Pertiwi, MA, M.Phil, yang menjadi pembahas, serta beberapa akademisi, dan mahasiswa yang tertarik terhadap kajian ini. Bagi keduanya, studi mengenai agama ini menjadi penting, karena 8 dari 10 orang di dunia memeluk agama dan/atau kepercayaan. Dr. Dicky bersama timnya di Indonesian Consortium for Religion Studies (ICRS) UGM berkolaborasi dengan peneliti dari sembilan negara melakukan riset selama tiga tahun dan akan menghasilkan buku dari hasil penelitian ini. Penelitian ini berusaha untuk melihat relasi antara kebijakan publik dan kebebasan beragama di Asia Tenggara dengan menggunakan metode perbandingan. Hasil yang diharapkan dari penelitian ini dalam setahun kedepan, akan terbangun teori baru (theory building) mengenai kajian tentang agama dan kebijakan publik. Selain studi komparatif seperti yang dilakukan Dr. Dicky, dkk,. Mahaarum juga menambahkan untuk tidak mengesampingkan pentingnya studi kontekstual terutama dalam rangka implementasi kebijakan publik.

[SEA Talk #8] Mencari Titik Temu Kebebasan Beragama dan Kebijakan Publik: Sebuah Pelajaran dari Asia Tenggara

AktivitasSEA Talk_ind Thursday, 23 June 2016

Salah satu konsekuensi dari keanekaragaman yang ada di Asia Tenggara adalah munculnya banyak pertanyaan dinamis dan tidak pernah kadaluarsa untuk didiskusikan. Salah satu pertanyaan membuat kita selalu berpikir adalah, bagaimana kawasan ini bertahan dengan ratusan kepercayaan lokal dan pada saat yang sama menerapkan kebijakan publik mengenai aturan beragama? Dr. Dicky Sofjan mendiskusikan jawaban dari pertanyaan ini dalam diskusi SEA Talks #8, pada Sore Kamis, 16 Juni 2016. Dalam pemaparannya, Dr. Dicky menjelaskan bahwa logika agama yang ada di masyarakat sering berbeda dengan kebijakan publik. Hal ini tidak lepas dari pengaruh sistem demokrasi yang dianut hampir semua negara di Asia Tenggara. Menurutnya, penerapan demokrasi menimbulkan adanya unintended consequences, seperti halnya fenomena penyalahgunaan undang-undang, desentralisasi yang menyebabkan ketimpangan, dan juga multi-intrepretasi terhadap keyakinan salah satu kelompok. Di sisi yang lain, negara juga memiliki otoritas yang besar melalui sistem yang berlaku. Seperti halnya Malaysia yang menerapkan Islam sebagai agama nasional dan tercantum dalam konstitusi. Aturan ini kemudian melegitimasi adanya pengusiran jamaah Ahmadiyah di salah satu masjid di Malaysia dan juga aturan-aturan yang mengarah pada diskriminasi minoritas.

Asia Tenggara sendiri dianggap sebagai ‘salad bowl’ atas keanekaragaman yang ada. Bayangkan saja, masyarakat yang ada di kawasan ini hampir semuanya berbeda, mulai dari bahasa, budaya, termasuk pemahaman tentang sesuatu, hingga hal yang terkecil seperti sampai selera makan. Tantangan ini yang dihadapi masing-masing negara dalam menentukan kebijakan publiknya. Isu agama mengalami nasib yang hampir sama di setiap negara di Asia Tenggara. Kalau di Singapura, negara membagi masyarakatnya di kelompok yang berbeda antara Chinese, Malay, dan India. Di Malaysia, Islam dijadikan sebagai agama nasional yang mendasari semua kebijakan. Kita lihat di Kamboja, masyarakatnya masih trauma dengan kekejaman Khmer Rouge yang melakukan ethnic cleansing Muslim di tahun 70an. Atau di Filipina, aborsi masih menjadi perdebatan di level pemerintahan karena ada pertentangan dengan pihak gereja Katolik. Tidak berbeda dengan di Myanmar yang memiliki dominasi Budha yang sangat kuat sehingga muncul radikalisme terhadap minoritas Muslim. Di Brunei, kewarganegaraan orang Chinese masih menjadi perdebatan hingga kini. Lalu kita merefleksikan di Indonesia, bahwa perdebatan antar agama atau bahkan di dalam agama itu sendiri masih terus terjadi dan berpotensi menyebab kan konflik.

Melalui inisiasi dari Pusat Studi Sosial Asia Tenggara (PSSAT), American Institute for Indonesian Studies (AIFIS), dan Indonesian Consortium for Religion Studies (ICRS) diskusi ini mengangkat tema “Religion, Public Policy, and Social Transformation in Southeast Asia”. Selain Dr. Dicky, hadir pula Mahaarum Kusuma Pertiwi, MA, M.Phil, yang menjadi pembahas, serta beberapa akademisi, dan mahasiswa yang tertarik terhadap kajian ini. Bagi keduanya, studi mengenai agama ini menjadi penting, karena 8 dari 10 orang di dunia memeluk agama dan/atau kepercayaan. Dr. Dicky bersama timnya di Indonesian Consortium for Religion Studies (ICRS) UGM berkolaborasi dengan peneliti dari sembilan negara melakukan riset selama tiga tahun dan akan menghasilkan buku dari hasil penelitian ini. Penelitian ini berusaha untuk melihat relasi antara kebijakan publik dan kebebasan beragama di Asia Tenggara dengan menggunakan metode perbandingan. Hasil yang diharapkan dari penelitian ini dalam setahun kedepan, akan terbangun teori baru (theory building) mengenai kajian tentang agama dan kebijakan publik. Selain studi komparatif seperti yang dilakukan Dr. Dicky, dkk,. Mahaarum juga menambahkan untuk tidak mengesampingkan pentingnya studi kontekstual terutama dalam rangka implementasi kebijakan publik.

[SEA Movie 2016] Pekan Film Malaysia “Mengintip Tetangga”

AktivitasSEA Movie_ind Friday, 10 June 2016

Seberapa jauh Anda mengenal tetangga Anda? Tetangga barangkali orang terdekat yang justru menyimpan enigma dan tak jarang prasangka. Tapi, sinema bisa membantu Anda menyingkap tabir tetangga terdekat kita: Malaysia. Ada lima film pilihan yang bisa menjadi jendela Anda untuk mengintip tetangga kita Malaysia. Sepet besutan Yasmin Ahmad menguak relasi antaretnis yang pelik di Malaysia. Sementara itu, Ho Yuhang lewat Rain Dog menapaki lorong gelap kondisi etnis Cina di Malaysia. Begitu pula, Songlap besutan duo Effendy Mazlan dan Fariza Azlina Isahak tanpa tedeng aling-aling menguak sisi lain dari gemerlap ibukota Kuala Lumpur. Sebaliknya, Dain Iskandar Said lewat Bunohan membawa Anda mengenali wajah pinggiran Malaysia yang tak kalah rumitnya. Dan, terakhir, Mamat Khalid mengajak Anda mencicipi cita rasa sinema Melayu klasik berbalut gaya ‘film noir’ dalam Kala Bulan Mengambang’ yang sarat dengan alegori politik kontemporer Malaysia. Maka, saksikan sinema Malaysia dan raihlah kesempatan mengenalinya. (Budi Irawanto)

 

Berita Terakhir

  • Inovasi dan Sistem Pengelolaan Sampah yang Smart untuk Mendukung Implementasi Smart City di Ibu Kota Nusantara
  • PSSAT UGM Menyelenggarakan Webinar Series GEO-PW #6 dan Focus Group Discussion Kelanjutan Pembangunan Ibu Kota Negara: Aspek Penguatan dan Pembatasan
  • CESASS UGM dan SEALC NCCU Adakan Pertemuan Strategis untuk Memperkuat Kemitraan Regional
  • Penandatanganan MoU Kolaborasi Jurnal antara COMICOS 2026 dan IKAT: The Indonesian Journal of Southeast Asian Studies
  • PSSAT UGM Menerima Kunjungan Director of Government Affairs & Strategic Collaborations, Grab Indonesia
Universitas Gadjah Mada

Pusat Studi Sosial Asia Tenggara
Universitas Gajah Mada

Gedung PAU, Jl. Teknika Utara
Daerah Istimewa Yogyakarta 55281
pssat@ugm.ac.id
+62 274 589658

Instagram | Twitter | FB Page | Linkedin |

© Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY