Sengketa laut tiongkok selatan sampai saat ini masih menyisakan berbagai permasalahan. Indonesia bukan negara yang terlibat dalam sengketa ini, namun latar belakang posisi indonesia sebagai sebagai negara yang sering dianggap mampu berdiri netral di tengah-tengah permasalahan seperti ini, menjadikan negara ini seakan-akan memiliki kewajiban untuk menempatkan diri dalam penyelesaikan sengketa tersebut. Beberapa alasan lain yang melatarbelakangi terlibatnya Indonesia dalam penyelesaian sengketa ini dikarenakan beberapa hal. Pertama, semakin berlarutnya permasalahan ini dikhawatirkan akan berdampak kepada kestabilan hubungan negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Tidak membaiknya kondisi sengketa ini berpotensi terhadap terhambatnya eksporasi sumber daya alam dan aktivitas ekonomi lain. Sisi lainya, Indonesia dapat menunjukkan citranya sebagai pemimpin kawasan yang bertanggung jawab dengan mengambil peran dalam penyelesaian sengketa ini. Tanpa adanya dorongan untuk dapat mencapai penyelesaiannya sengketa ini oleh pihak Indonesia, tentu akan menurunkan citra Indonesia sendiri.
Sengketa wilayah memang merupakan hal yang seringkali berlangsung lama dan alot karena berhubungan dengan inti dari kedaulatan suatu negara, namun bukan berarti tidak dapat diselesaikan. Pertama, meskipun teritori adalah inti dari kedaulatan suatu negara, berubahnya bagian teritori tersebut tidak serta mematikan kehidupan suatu negara. Terlebih, dalam sengketa ini, tidak ada yang “kehilangan”wilayah karena memang batasan-batasan wilayah tersebut belum disepakati sejak awal. Jika dalam prosesnya, suatu negara harus menyerahkan wilayah yang diklaim, bukan berarti negara tersebut kehilangan, namun itu adalah bagian dari proses penentuan batas. Kedua, telah ada banyak preseden bahwa sengketa teritori dapat diselesaikan secara damai. Kepercayaan atas fakta ini penting bagi pihak-pihak yang bersengketa dan juga pihak-pihak yang hendak berkontribusi seperti Indonesia karena jika pada dasarnya Indonesia tidak percaya atau pesimis, hal tersebut akan berdampak pada jalannya proses diplomasi yang diadakan.
Penyelesaian sengketa secara damai sendiri sering kali tidak hanya murni persoalan hukum. Stabilitas sengketa teritori juga dipengaruhi oleh nilai (salience) yang terkandung dalam teritori tersebut dan juga visibilitas sengketa di mata audiens dalam negeri. Secara pragmatis, banyak sengketa yang dapat terselesaikan secara damai ketika proses sengketa tersebut tidak disaksikan oleh masyarakat yang biasanya memiliki sentimen nasionalisme terhadap teritori seberapapun kecilnya. Begitu juga, posisi alot suatu negara sering bukan didasarkan pada kepentingan ekonomi dan keamanan negara tersebut, tetapi juga legitimasi rezim yang berkuasa di hadapan masyarakatnya. Hal ini juga merupakan faktor yang perlu dipertimbangkan Indonesia dalam melihat posisi negara-negara yang bersengketa dan dalam merancang bentuk diplomasinya.
Salah satu bentuk program penyelesaian sengketa di kawasan laut tiongkok selatan yang diprakarsai Indonesia adalah melalui WMPC SCS (Workshop on Managing Potential Conflict in the South China Sea). Program yang diinisiasi oleh Prof. DR. Hasyim Djalal (Mantan Duta Besar Republik Indonesia untuk PBB) dalam upaya meredam dan menyelesaikan sengketa tersebut. Upaya ini dapat dikategorikan sebagai bentuk diplomasi jalur kedua penyelesaian sengketa laut tiongkok selatan, dan merupakan jalur lain setelah penyelesaian melalui jalur bilateral antara negara-negara yang bersengketa, dalam hal ini Tiongkok, Vietnam, Malaysia, dan Filipina.
Hal ini melatarbelakangi riset yang diprakarsai melalui kerjasama antara BPPK kementrian luar negeri RI dan Pusat Studi Sosial Asia Tenggara dalam melihat peran, evaluasi serta langkah ke depan dalam pelaksanaan program WMPC SCS ini. Riset yang dikepalai oleh Drs. Muhadi Sugiono M.A (Periset senior PSSAT dan staff pengajar senior jurusan hubungan internasional FISIPOL UGM) setidaknya menghasilkan beberapa catatan demi kefektivitasan program ini, diantaranya yaitu;
Pertama, akan lebih baik jika masing-masing memiliki spesialisasinya sendiri-sendiri sehingga jika diakumulasi, upaya-upaya ini tidak tumpang tindih dan bahkan saling bersinergi satu sama lain. Efektifitas analisis konflik misalnya sering berkebalikan dengan efektifitas transfer solusi. Akan lebih baik jika WMPC-SCS memiliki satu tujuan yang meskipun spesifik namun dapat tercapai dengan baik. Namun jika Indonesia ingin tetap mempertahankan dua tujuan diplomasi jalur kedua tersebut, Indonesia perlu mempertimbangkan ulang cara memilih peserta yang sebelumnya diserahkan pada kementerian luar negeri masing-masing negara.
Kedua, ketika kemudian tercapai kesepakatan untuk melanjutkan program workshop ini perlu kiranya mempertimbangkan hal-hal terkait. Dalam hal ini tentunya adalah keberlanjutan program workshop itu sendiri. Selama ini terlaksananya workshop, informasi-informasi terkait workshop bersifat sangat personal karena banyak tergantung pada sosok Prof. Djalal. Sementara dalam Kemlu sendiri mekanisme penyelenggaraan workshop dirotasi dari satu bagian ke bagian lain. Dengan dua kondisi ini, keberlanjutan WMPC-SCS menjadi begitu rapuh untuk ke depannya. Untuk dapat berbicara tentang efektivitas workshop, perlu adanya institusionalisasi penyelenggaraan workshop baik itu dalam bentuk kesekretariatan terpisah atau model-model yang pada dasarnya dikhususkan untuk mengelola ‘institusi WMPC-SCS’ini secara berkelanjutan.