Pikirkan diri Anda sebagai seorang remaja, antusias dengan dunia. Anda memiliki tujuan yang ambisius, yang akan membantu Anda mencapai impian Anda. Anda ingin menjadi guru, pengacara, dokter, atau mungkin insinyur. Anda melihat tubuh Anda sebagai bunga yang baru mekar, dan menikmati membenamkan diri dalam kisah cinta romantis. Namun, kehidupan terkadang membatalkan semua harapan. Anda diminta (atau lebih tepatnya “dipaksa”) untuk menikah untuk meningkatkan nasib keluarga. Anda dipaksa menikah untuk menghindari dosa. Anda dipaksa menikah dengan adat. Anda menjalani hidup Anda sebagai seorang ibu, meskipun Anda masih anak-anak. Anda menikah untuk mematuhi orang tua Anda, dan sekarang Anda harus menaati suami yang tidak Anda kenal. Impian Anda untuk menjadi pengacara, guru, atau dokter langsung goyah.
—
Judicial Review Putusan Mahkamah Konstitusi No. 30-74 / PUU-XII / 2014, yang gagal menaikkan usia pernikahan di Indonesia, mengkhawatirkan di tengah seruan dunia untuk mengakhiri pernikahan anak. Data yang dikeluarkan oleh Dewan Hubungan Luar Negeri, menyatakan bahwa Indonesia adalah salah satu dari sepuluh negara di dunia dengan jumlah anak terbanyak. Di kawasan ASEAN, Indonesia adalah yang kedua setelah Kamboja. Di Indonesia, Jawa Barat merupakan jumlah anak terbanyak. Tentu saja ini semakin terkait dengan tingginya tingkat perdagangan manusia di wilayah ini. Keadaan ekonomi global saat ini, akan mengarah pada kemiskinan yang mendorong orang untuk melakukan apa saja untuk bertahan hidup. Di kawasan ASEAN, pernikahan telah digunakan untuk menyamarkan masalah pelacuran dan perdagangan anak (Plambech, 2010; Lainez, 2010).
Hukum perkawinan di Indonesia masih bersifat diskriminatif, dan merupakan faktor yang berkontribusi terhadap tingginya tingkat kekerasan terhadap perempuan. Undang-undang khusus ini tidak diragukan lagi akan mengarah pada penghambatan akses anak perempuan ke hak-hak dasar mereka, seperti pendidikan dan kesehatan. Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974, pasal 7, paragraf 1, menyatakan bahwa pernikahan hanya diizinkan ketika pria mencapai usia 19 tahun, dan ketika wanita telah mencapai usia 16 tahun. Penolakan peninjauan yudisial atas batas usia pernikahan mengindikasikan bahwa negara mengabaikan perlindungan terhadap anak perempuan. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK), juga bertentangan dengan UU No.35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, khususnya pasal 26 ayat 1 (c), yang menyatakan bahwa orang tua bertanggung jawab untuk mencegah pernikahan anak-anak mereka jika mereka masih di bawah umur. Menurut Pasal 1 Undang-Undang Perlindungan Anak, ini mencakup semua anak di bawah usia 18 tahun.
Masalah yang berkaitan dengan pernikahan anak di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari masalah ekonomi, sosial, dan budaya yang mendasarinya. Selain kemiskinan dan pendidikan yang rendah, situasi budaya juga mempengaruhi tingkat pengantin anak. Di Nusa Tenggara Barat, pernikahan anak terjadi karena mekanisme budaya merariq di masyarakat Sasak. Sistem Merariq menunjukkan bahwa ketika seorang wanita pergi ke rumah dengan seorang pria di malam hari, maka itu adalah tanda bahwa mereka akan menikah. Karena itu, pendidikan hukum adat budaya merariq harus dibenahi agar pernikahan anak bisa dicegah (Fajriyah, 2016: 72-73).
Pernikahan anak di Indonesia mengkhawatirkan. Data pada tahun 2012 menunjukkan bahwa sekitar 11,13% anak perempuan menikah antara usia 10-15 tahun, dan sekitar 32,10% menikah antara usia 16-18 tahun. Praktik pernikahan anak harus dihentikan. Selain membatasi potensi anak, hal itu juga dapat mengakibatkan tingginya angka kematian ibu di Indonesia. Statistik menunjukkan bahwa kematian terjadi pada 359 / 100.000 kelahiran hidup, dan 48/1000 kelahiran di mana ibu berusia antara 15-19 tahun (SDKI, 2012 dalam Candraningrum, Journal of Women Vol .88, Februari 2016).
Penyebab perkawinan anak tidak dapat dipisahkan dari tiga hal: (1) kemiskinan dan akses pendidikan yang buruk; (2) munculnya fundamentalisme agama yang menjadikan diskusi tentang seksualitas dan perzinahan tabu; dan (3) akses yang buruk ke HKRS (hak kesehatan reproduksi seksual) (Grijns, et al, 2016). Berdasarkan studi ini, direkomendasikan untuk mengurangi tingkat perkawinan anak dengan memasukkan pendidikan seksual yang komprehensif ke dalam kurikulum sekolah, sehingga anak-anak dan remaja mengetahui hak kesehatan reproduksi seksual mereka.
Jalan lain untuk mencegah perkawinan anak adalah dengan membuat kebijakan melalui Peraturan Daerah (Perda). Ini telah terjadi di Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta, melalui Peraturan Bupati (Perbub) Gunung Kidul No.36 tahun 2015. Proses serupa telah terjadi di Provinsi Nusa Tenggara Barat, melalui Surat Edaran Gubernur No. 150 / 1138 / Kum tentang Kematangan Pernikahan (PUP), yang merekomendasikan usia pernikahan bagi pria dan wanita untuk menjadi setidaknya 21 tahun (www.ntbprov.go.id, 2015). Berbagai kebijakan yang dibuat oleh pemerintah daerah sebagai upaya untuk memberantas pernikahan anak, sangat menjanjikan pada saat pemerintah pusat tidak mengetahui masalah ini. Selain itu, keterlibatan masyarakat juga perlu, seperti yang terjadi di Gunung Kidul, Yogyakarta. Pembuat kebijakan, bersama dengan warga negara, bersama-sama mempromosikan jaringan integrasi berbasis MoU (perjanjian kolektif) untuk menghapuskan pernikahan anak (Sundari, 2016). Selama pernikahan anak, pihak-pihak terkait seperti Kepala RT, RW, Kepala Desa, petugas KUA, puskesmas, kelompok tani, polisi dan LSM mengunjungi dan mendidik keluarga, sehingga pernikahan dapat dicegah. Gerakan ini telah berhasil mengurangi perkawinan anak dari 9 kasus pada 2012, turun menjadi 8 kasus pada 2013, dan menjadi hanya 5 kasus pada 2014. (Sundari, 2010: 45-46).
Namun, dorongan untuk menghilangkan pernikahan anak tidak hanya diperlukan dalam hal pencegahan, tetapi juga harus didekati dengan memberikan bantuan paska nikah. Masa kanak-kanak harus menjadi saat yang menyenangkan, melibatkan bermain, belajar, dan mengembangkan potensi diri. Konseling ibu muda yang sudah menikah harus mencakup pendidikan tentang kesehatan reproduksi seksual, pengasuhan anak, pengajaran, dan penguatan kapasitas untuk menghilangkan kemungkinan trauma, termasuk konseling hukum ketika ada kecenderungan untuk bercerai, serta pelatihan untuk mendorong potensi mereka di bidang usaha kreatif. Bantuan semacam itu harus melibatkan berbagai kelompok sosial seperti pemerintah, masyarakat, kelompok ulama, dan terutama keluarga.
Pernikahan anak adalah masalah global yang dialami oleh banyak negara di dunia. ASEAN sendiri juga telah berkomitmen untuk menghapus kekerasan terhadap anak, termasuk pernikahan anak melalui Rencana Aksi Regional ASEAN tentang Penghapusan Kekerasan terhadap Anak (ASEAN RPA on EVAC). Komitmen ASEAN termasuk pencegahan, perlindungan dan peningkatan kesadaran untuk mencegah kekerasan terhadap anak-anak secara fisik, seksual atau psikologis. Aspirasi ASEAN harus mendorong pemerintah Indonesia untuk menanggapi keadaan darurat pernikahan anak yang saat ini sedang terjadi.
—
Artikel ini ditulis oleh Meike Lusye Karolus, peneliti di Pusat Studi Sosial Asia Tenggara (PSSAT).