Indonesia merupakan satu dari sekian banyak negara berkembang yang terletak di Asia Tenggara. Dengan tingkat kesehatan, pendidikan, dan pendapatan yang belum dapat dikatakan cukup baik, masyarakat Indonesia tidak tampak terpuruk menghadapi kehidupan sebagai warga negara berkembang dengan banyak polemik yang kerap kali muncul dari berbagai aspek kehidupan. Bahkan pada tahun 2014, indeks kebahagiaan Indonesia naik dengan selisih angka persentase yang cukup besar untuk kurun waktu satu tahun.
Dilansir dari situs Badan Pusat Statistik[1], peningkatan indeks kebahagiaan yang cukup signifikan tersebut adalah 3,17 persen, di mana pada tahun 2013 indeks kebahagiaan Indonesia adalah 65,11 dan pada tahun 2014 indeks kebahagiaan Indonesia naik menjadi 68,28. Berdasarkan situs surat kabar online Dream.co.id[2], tidak disebutkan berapa persen angka kenaikan indeks kebahagiaan negara lain, namun dengan adanya beberapa negara terutama negara maju yang bahkan turun peringkat, angka kenaikan yang dicetak Indonesia dapat dikatakan cukup tinggi.
Wijayanti dan Nurwianti (2010: 116) mengatakan bahwa kebahagiaan orang Indonesia lebih tinggi dibandingkan negara Eropa, seperti Spanyol, Italia, dan Jerman. Indonesia menempati urutan ke-40 dari 97 negara dalam tingkat kebahagiaan penduduknya. Selain itu, berdasarkan peta kebahagiaan dunia yang dikemukakan oleh seorang pakar psikologi dari Universitas Leicester Inggris, tingkat kebahagiaan Indonesia berada di urutan 64 dari 178 negara di dunia. Nation SWLS Score dari penelitian tersebut memperlihatkan peringkat Indonesia berada di atas negara-negara Asia lainnya, seperti Taiwan (68), Cina (82), dan Jepang (90) (Sutanto (2006) dalam Wijayanti dan Nurwianti (2010: 116)).
Indeks kebahagiaan menurut situs Badan Pusat Statistik dihitung berdasarkan 10 aspek kehidupan yang esensial, antara lain adalah 1) kesehatan, 2) pendidikan, 3) pekerjaan, 4) pendapatan rumah tangga, 5) keharmonisan keluarga, 6) ketersediaan waktu luang, 7) hubungan sosial, 8) kondisi rumah dan aset, 9) keadaan lingkungan, dan 10) kondisi keamanan. Salah satu faktor yang menjadi tolok ukur indeks kebahagiaan adalah kesehatan, terutama kesehatan jiwa. Indeks kebahagiaan yang tinggi menunjukkan bahwa masyarakat dalam suatu negara tidak banyak mengalami gangguan jiwa di mana salah satu penyebab gangguan jiwa adalah stres. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat stres yang dialami masyarakat Indonesia cukup rendah.
Stres merupakan suatu keadaan yang bersifat internal, yang dapat disebabkan oleh tuntutan fisik, lingkungan, dan situasi sosial yang berpotensi merusak dan tidak terkontrol (Sriati, 2007). Stres sendiri bisa berasal dari individu, lingkungan keluarga, lingkungan tempat tinggal dan dapat pula berasal dari tempat-tempat di mana individu banyak menghabiskan waktunya seperti kantor dan tempat pendidikan (Pedak, 2009).
Jika keadaan stres pada seseorang dibiarkan begitu saja, tanpa ada upaya penanganan atau upaya pengobatan maka sudah dipastikan akan banyak masyarakat di dunia ini yang akan mengalami gangguan kejiwaan (Tristiadi, 2007: 37). Bahkan di jaman global ini stres cenderung lebih banyak menyerang masyarakat dengan tingkat perekonomian tinggi daripada masyarakat dengan tingkat perekonomian rendah, meskipun demikian terdapat perbedaan daripada tingkatan-tingkatan stres yang dialami oleh masing-masing golongan masyarakat tersebut (Kisker, 1997).
Dong Yul Lee (1999: 352) berpendapat bahwa bukti empiris menunjukkan bahwa korelasi antara kesejahteraan dan kebahagiaan adalah budaya. Compton (2005) dalam Wijayanti dan Nurwianti (2010: 118) mengatakan bahwa individu memiliki cara yang berbeda-beda dalam mencari kebahagiaan sesuai dengan budayanya. Oishi dan Diener (2001) dalam Wijayanti dan Nurwianti (2010: 118) mengemukakan bahwa hal yang membuat kebahagiaan pada budaya individualis dan kolektivis sama sekali berbeda.
Orang-orang dengan budaya individualis akan bahagia hidupnya bila harga diri mereka meningkat dan memiliki kebebasan dalam melakukan sesuatu. Orang-orang pada budaya kolektivis lebih mementingkan hubungan yang harmonis dan dapat memenuhi keinginan orang lain. Salah satu hal yang membuat orang bahagia ialah ketika bisa menjalankan hidup sesuai dengan nilai dan norma budayanya (Wijayanti dan Nurwianti, 2010: 118).
Kekuatan karakter yang menyumbang terhadap kebahagiaan antar kelompok masyarakat yang satu dengan kelompok masyarakat yang lain berbeda-beda. Survei melalui internet yang dilakukan oleh Park, Peterson, dan Seligman (2004) terhadap 5,299 orang dewasa dari berbagai ras dan etnis membuktikan adanya asosiasi antara kebahagiaan dan kekuatan karakter harapan, semangat, berterima kasih, kasih, dan keingintahuan. Selain itu, di negara Swiss ditemukan bahwa kekuatan karakter yang paling menyumbang terhadap kebahagiaan ialah kelanggengan, sementara di Amerika adalah berterima kasih (Beerman (2007) dalam Wijayanti dan Nurwianti (2010: 120)).
Diener and Diener (1995) dalam Dong Yul Lee (1999: 352) memaparkan bahwa korelasi antara harga diri dan kepuasan hidup jauh lebih kuat pada budaya individualistik daripada budaya kolektif. Setiap budaya harus dipahami dari bingkai acuannya sendiri, termasuk konteks ekologi, sejarah, filosofi, dan agama yang ada (Kim et al, 2006). Budaya memiliki sumbangan tersendiri terhadap pembentukan konsep psikologis individu, seperti halnya konsep kebahagiaan (Anggoro dan Widhiarso, 2010: 178).
Uchida, dkk. (2004) dalam Anggoro dan Widhiarso (2010: 184) dalam penelitiannya mengenai konstruksi kultural kebahagiaan, menemukan bahwa terdapat perbedaan makna kebahagiaan dikonteks budaya Barat (individualistik) dan Timur (kolektivistik). Masalah hubungan sosial dan tuntutan lingkungan untuk meningkatkan pencapaian diri serta ketidaksanggupan pribadi dalam memenuhi tuntutan tersebut dapat menimbulkan stres dalam diri seseorang (Mastura, 2007).
Wijayanti dan Nurwianti (2010: 118) berpendapat bahwa prinsip hidup orang Jawa yang banyak pengaruhnya terhadap ketentraman hati ialah ikhlas (nrima). Dengan prinsip ini, orang Jawa merasa puas dengan nasibnya. Apapun yang sudah terpegang di tangannya dikerjakan dengan senang hati. Nrima berarti tidak menginginkan milik orang lain serta tidak iri hati terhadap kebahagiaan orang lain. Mereka percaya bahwa hidup manusia di dunia ini diatur oleh Yang Maha Kuasa sedemikian rupa, sehingga tidak perlu bekerja keras untuk mendapatkan sesuatu. (Herusatoto, 2008).
Terdapat hubungan antara kekuatan karakter dan kebahagiaan pada suku Jawa dan kekuatan karakter memberi sumbangan yang bermakna (signifikan) terhadap kebahagiaan suku Jawa. Tingkat kebahagiaan suku Jawa berada di atas rata-rata. Lima kekuatan karakter utama pada suku Jawa ialah berterima kasih, kebaikan, kependudukan, keadilan, dan integritas, dan kekuatan karakter yang memberikan sumbangan bermakna terhadap kebahagiaan pada suku Jawa adalah kegigihan, kreativitas, persfektif, keadilan, vitalitas, keingin-tahuan, dan pengampunan. (Wijayanti dan Nurwianti, 2010: 120)
Dengan demikian, meskipun Indonesia merupakan negara berkembang dengan berbagai aspek kehidupannya yang secara kuantitatif masih kurang, dengan berbagai nilai dan norma yang dianut dengan taat oleh seluruh masyarakatnya dan budaya timur yang masih dipegang teguh, masyarakat Indonesia mendapatkan pencerahan dan kedamaian tersendiri dalam menjalani hidupnya, tertutama dalam menghadapi stres yang berakhir pada gangguan jiwa seperti yang banyak terjadi di negara maju dengan ketatnya persaingan hidup dan tingkat individual masyaraktnya yang tinggi. Kebahagiaan sendiri tidak dapat dihitung hanya dengan tolok ukur tingkat ekonomi suatu negara melainkan dengan keadaan sosial budaya masyarakatnya.
DAFTAR PUSTAKA
Anggoro, Wahyu Jati dan Wahyu Widhiarso. (2010). “Konstruksi dan Identifikasi Properti Psikometris Instrumen Pengukuran Kebahagiaan Berbasis Pendekatan Indigenous Psychology: Studi Multitrait‐Multimethod”. Jurnal Psikologi, Volume 37, No. 2, Desember 2010: 176 – 188.
Dong Yul Lee, et. al. (1999). “What Makes You Happy?: A Comparison of Self-Reported Criteria of Happiness between Two Cultures”. Social Indicators Research, Vol. 50, No. 3 (Jun 2000), pp. 351-362.
Fordyce, Michael W. (Aug 1988). “A Review of Research on the Happiness Measures: A Sixty Second Index of Happiness and Mental Health”. Social Indicators Research, Vol. 20, No. 4, pp. 355-381.
Kisker, George W. 1997. The Disorganized Personality. New York City: McGraw Hill Book Company.
Pedak, Mustamir. 2009. Metode Supernol Menaklukkan Stres. Jakarta: Hikmah Publishing House.
Sriati, Aat. 2007. Tinjauan tentang Stres. Jatinangor: Fakultas Ilmu Keperawatan UNPAD.
Tristiadi, Ardi, dkk. 2007. Psikologi Klinis. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Wijayanti, Herlani dan Fivi Nurwianti. (Juni 2010). “Kekuatan Karakter dan Kebahagiaan Pada Suku Jawa”. Jurnal Psikologi, Volume 3, No. 2.
[1] http://www.bps.go.id/brs/view/id/1117 (diakses pada tanggal 20 Desember 2015)
[2] http://www.dream.co.id/dinar/indeks-kebahagiaan-indonesia-naik-paling-tinggi-di-dunia-151120q.html(diakses pada tanggal 20 Desember 2015)
—
Artikel ini ditulis oleh Nitya Swastika, alumnus Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, UGM.