Kasus sengketa yang terjadi di wilayah Laut Tiongkok Selatan adalah salah satu kasus sengketa wilayah yang paling pelik yang pernah terjadi di kawasan Asia Tenggara. Sengketa ini tidak hanya melibatkan beberapa pihak sekaligus, yaitu Brunei Darussalam, Filipina, Malaysia, Tiongkok, Taiwan, dan Vietnam tetapi juga mencakup beberapa isu terkait tumpang tindih klaim teritorial dan penarikan batas laut di wilayah tersebut. Meskipun saat ini sengketa di Laut Tiongkok Selatan relatif damai, fakta bahwa sengketa tersebut belum terselesaikan secara tuntas memungkinkan terjadinya friksi-friksi atau bahkan konfrontasi militer di masa depan. Bahkan jika dilihat tren yang terjadi selama lima tahun terakhir, ketegangan yang muncul antara pihak-pihak yang bersengketa menunjukkan level yang lebih tinggi dibandingkan pada dekade sebelumnya. Oleh karena itu sangat diperlukan sebuah kerangka kerja penyelesaian damai yang jelas untuk menghindari situasi memburuk di masa depan.
Meskipun demikian, pendekatan penyelesaian damai yang telah diupayakan selama ini belum mampu menyelesaikan sengketa yang telah ada sejak empat dekade silam tersebut. Pada first track diplomacy, pendekatan regional oleh ASEAN, meskipun telah berhasil menyetujui Deklarasi Tata Perilaku Pihak-Pihak di Laut Tiongkok Selatan (Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea) yang cukup berhasil dalam mengelola sengketa, pendekatan tersebut belum dapat mendukung penyelesaian sengketa secara berkelanjutan. Selain kesulitan dalam menengahi konflik mengingat beberapa anggota ASEAN juga merupakan pihak-pihak yang bersengketa, pendekatan regional di leel ASEAN terhambat beberapa faktor lain, seperti perpecahan negara-negara anggota yang menginginkan peran ASEAN dalam penyelesaian konflik tersebut dan negara-negara yang menginginkan penyelesaian secara bilateral seperti yang digagas oleh Tiongkok. Pada ekstrim lain di level first track diplomacy, pendekatan bilateralisme yang digagas oleh Tiongkok juga memiliki keterbatasan. Pertama dan yang terpenting, strategi yang cenderung mengarah pada ‘devide et impera‘ terhadap negara-negara di kawasan ini tidak akan menjadi kepentingan Tiongkok dalam jangka panjang. Kedua, semakin meningkatnya kebijakan yang asertif dari Tiongkok dalam sengketa ini akan menjadi kontraproduktif dengan pendekatan bilateralnya.
Berkaca pada keterbatasan-keterbatasan first track diplomacy yang dilakukan oleh ASEAN dan Tiongkok, pendekatan penyelesaian damai yang berkelanjutan, jika merujuk pada teori multi track dilomacy, akan lebih mungkin tercapai jika melibatkan dan memberdayakan potensi-potensi lain di semua level diplomasi yang ada. Dalam hal ini, second track diplomacy adalah salah satu potensi yang perlu digali untuk mendukung dan menutupi keterbatasan-keterbatasan yang ada pada first track diplomacy. Workshop “Managing Potential Conflicts in the South China Sea” yang digagas oleh Indonesia merupakan salah satu contoh second track diplomacy yang telah dilakukan selama ini dan berpotensi dalam mendukung penyelesaian sengketa yang berkelanjutan yang dilakukan pada first track diplomacy. Setidaknya terdapat dua hal penting yang menjadi alasan dilakukannya upaya second track diplomacy dalam penyelesaian konflik ini. Pertama, dari sisi diplomasi dan seperti yang selalu ditekankan dalam workshop ini bahwa second track diplomacy yang bersifat informal memberikan kesempatan bagi para pihak yang bersengketa untuk dapat hadir dalam kapasitas personal dan mengemukakan pendapatnya secara lebih terbuka tanpa adanya tekanan seperti yang terjadi pada first track diplomacy. Alasan kedua pentingnya workshop ini sebagai potensi pendukung penyelesaian sengketa damai yang berkelanjutan adalah berkaitan dengan Indonesia sendiri sebagai negara penyelenggara. Selain faktor bahwa Indonesia sejauh ini bukan bagian dari pihak yang bersengketa yang membuat posisinya sebagai mediator lebih dapat diterima oleh semua pihak, Indonesia juga dikenal sebagai pemimpin normatif di kawasan yang sering dipercaya untuk menengahi sengketa.
Berdasarkan fakta-fakta dan pertimbangan di atas, penelitian ini bertujuan untuk melihat mekanisme pengelolaan dan penyelesaian sengketa Laut Tiongkok Selatan yang telah dilakukan Indonesia pada second track diplomacy, utamanya melalui Workshop on Managing Potential Conflicts in the South China Sea (WMPC-SCS) yang telah dilaksanakan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kebijakan (BPPK) Kementrian Luar Negeri selama 24 tahun terakhir. Secara lebih spesifik, penelitian ini akan berusaha menjawab dua pertanyaan utama, yaitu bagaimana mekanisme second track diplomacy yang telah dilaksanakan Indonesia melalui WMP-SCS selama ini, dan bagimana efektivitas diplomasi tersebut.