Teknologi menjadi ciri khas manusia abad 21. Hampir setiap manusia pada masa ini pernah dan sedang memanfaatkan kehadiran teknologi. Penggunaan teknologi telah banyak mempengaruhi seluk-beluk kehidupan individu. Sehingga istilah dunia digital dan segala aktivitas di ruang maya membawa konsekuensi perubahan perilaku interaksi masyarakat. Manusia sebagai makhluk sosial membutuhkan informasi sebagai objek yang dipertukarkan manakala terjadi interaksi. Kebutuhan manusia akan informasi niscaya mengalami perubahan yang mengacu pada perkembangan peradaban manusia itu sendiri. Perubahan tersebut terjadi pada bentuk dan struktur informasi yang semula dikenal dalam bentuknya yang konvensional menjadi bentuk yang lebih fluid. Pada perkembangannya, kebutuhan informasi yang dinamis ini menjadi sebuah tuntutan seiring dengan berubahnya perilaku informasi masyarakat. Perubahan yang tengah terjadi pada masyarakat dunia hari ini tak bisa dilepaskan dari perkembangan teknologi yang mengubah tatanan sosial menjadi apa yang disebut sebagai masyarakat digital.
Perpustakaan sebagai lembaga informasi jelas menghadapi tantangan baru dalam menghadapi karakter masyarakat digital. Jika sebelumnya jenis koleksi yang dibutuhkan cukup dalam bentuk tercetak, kini para pengiat perpustakaan dihadapkan pada kebutuhan informasi dalam bentuk baru, yaitu dalam bentuk digital yang bersifat dinamis. Perubahan mencolok dari era ini adalah ketersediaan informasi yang dituntut dalam suatu alur yang gesit dengan tingkat aksesibilitas yang tinggi. Tuntutan ini juga hadir kepada pustakawan, mereka dituntut responsif terhadap segala informasi yang berkembang baik di dunia nyata maupun di dunia digital itu sendiri. Bagi masyarakat digital, segala perubahan sosial yang mungkin terjadi merupakan konsumsi informasi yang memiliki nilai tersendiri. Dalam diskursus studi perpustakaan, dampak langsung dari berkembangnya teknologi informasi dan masifnya jejaring internet adalah hadirnya konsep perpustakaan digital. Kehadiran perpustakaan digital memberikan alternatif bagi masyarakat yang membutuhkan informasi dalam bentuk non-fisik.
ICDL: Sebuah Ambisi Besar
Salah satu contoh perpustakaan digital yang sudah cukup mapan adalah International Children Digital Library (ICDL). Sebuah platform perpustakaan digital yang mengkhususkan diri pada literatur anak-anak. Sebagai sebuah perpustakaan digital, koleksi yang tersedia disana merupakan koleksi yang diperuntukkan bagi anak-anak berusia 3 sampai 13 tahun (International Children’s Digital Library, 2005). Perpustakaan ini diinsiasi oleh Internet Archive, sebuah organisasi nirlaba Amerika yang bergerak melakukan pengarsipan berbagai macam literatur di Internet, dan University of Maryland yang diwakili oleh College of Information Studies. Projek ini dimulai pada tahun 2002 dengan pembiayaan dari National Science Foundation dan Institute for Museum and Library Services (Hutchinson et al., 2005). ICDL dirancang untuk bisa meluaskan jangkauan penggunanya secara global, untuk itu dalam menyusun fondasi dasarnya para stakeholder melibatkan beberapa unsur masyarakat. Di dalam laporan timnya, Hutchinson menegaskan bahwa demi memastikan konten dan tampilan muka (interface) sesuai dan disukai anak-anak, proyek ini sengaja melibatkan anak-anak dengan rentang umur yang disesuaikan. Mereka ditugaskan untuk menganalisa beberapa detail seperti pengembangan desain tampilan untuk memaksimalkan proses pencarian informasi yang diinginkan (user experience). Kemudian anak-anak ini disandingkan dengan para pakar yang usianya sudah dewasa dan menguasai berbagai aspek. Para pakar yang turut dilibatkan berasal dari latar belakang bidang yang berbeda, yaitu; sains komputer, ilmu perpustakaan, pendidikan, dan seni visual. Para dewasa ini merupakan ilmuwan yang dipilih pada bidangnya untuk bisa menerjemahkan hasil pembacaan dari para anak-anak.
Pada awal pembentukannya, ICDL disusun dengan semangat untuk bisa menghadirkan 10.000 buku anak dalam 100 ragam bahasa. Beberapa bahasa dari kawasan Asia Tenggara pun juga turut disertakan ke dalam koleksi. Setidaknya itu bisa terlihat ketika memilih suatu buku yang oleh pihak ICDL disediakan pilihan terjemahan bahasa yang mereka miliki. Jika dilihat dari kolom pencarian, bisa terlihat bahwa Bahasa Indonesia, Vietnam, dan Thailand yang saat ini sudah disediakan terjemahannya. Ini dikarenakan ICDL tidak memiliki volunteer yang cukup banyak di kawasan Asia Tenggara sehingga upaya penyediaan terjemahan bahasa pun juga jadi terbatas. Koleksi ICDL berasal dari beberapa sumber, mulai dari perpustakaan nasional lintas negara, penerbit, penulis, komunitas, perpustakaan daerah, dan perpustakaan lokal. Seperti yang tertuang dalam sesi kebijakan pengembangan koleksi, ICDL mengajukan permohonan kepada perpustakaan yang memiliki koleksi buku yang dianggap cocok dan pantas untuk anak usia 3-13 tahun. Yang menjadi salah dua target capaian ICDL adalah mampu mengidentifikasi koleksi yang berasal dari berbagai negara, dan dengan demikian mereka menghadapi tantangan yaitu coverage terhadap identifikasi kebahasaan yang sangat luas. Capaian lainnya adalah memiliki koleksi buku anak yang merupakan peraih penghargaan yang diadakan di berbagai belahan dunia (Hutchinson et al., 2005). Kebijakan setiap institusi tentu berbeda-beda, namun secara umum proses akuisisi koleksi material ICDL berasal dari :
- Sumber public domain yang sudah bisa diakses secara bebas;
- Perpustakaan Nasional yang menyumbangkan koleksinya atau agensi perbukuan yang memiliki copyrights atas suatu bahan material;
- Diperoleh dari penerbit atau individu pembuat (creators) yang berhak secara sah atas properti intelektual berdasarkan persetujuan legal kontrak yang disepakati bersama;
- Diperoleh melalui kerjasama dengan pihak publik maupun swasta yang memiliki concern dengan material koleksi anak (International Children’s Digital Library, 2005, “Acquisitions Process”).
Melalui beragam bentuk proses akuisi tersebut, maka sangat wajar kemudian jangkauan bahan koleksi yang dimiliki ICDL mencapai taraf global. Ribuan koleksi yang berhasil disimpan pada database dengan mengakomodir ragam bahasa di seluruh dunia merupakan faktor yang menjadikan ICDL sebagai sustainable platform. Terdapat cukup banyak koleksi yang berasal dari abad 19 dan berhasil dialih wahanakan dengan hasil yang berkualitas. Beberapa bahan material juga ada yang berasal dari bahasa non-english. Bantuan dari para volunteer, translator, serta advisors membuat ICDL mampu menjadikan bahan material lintas bahasa sebagai koleksi perpustakaan. Para volunteer berperan untuk menentukan isi suatu bahan material apakah cocok dan sesuai untuk menjadi koleksi. Sementara penerjemah memainkan perannya agar suatu bahan material tetap bisa tersedia dalam beragam bahasa. ICDL sebagai platform dalam bidang studi literatur anak membuka ruang ragam budaya dalam medium yang berbeda. Ragam budaya atau lebih sering disebut multikulturalisme hanya bisa ditemukan pada ruang yang menghargai perbedaan corak kebiasaan atas suatu adat budaya.
Corak Multikulturalisme
Fondasi rancang bangun yang dibuat oleh ICDL berhasil membentuk sebuah platform lintas budaya dan bahasa. Ini menjadi preseden baik dalam pengembangan literatur anak. Manfaat penggunaan dari koleksi ICDL bisa diukur dari seberapa besar jumlah anak-anak yang mempelajari budaya yang diluar kesehariannya. ICDL sendiri telah menjadi objek penelitian dari para peneliti lintas negara. Tema penelitian yang dilakukan pun tidak tertutup selalu membahas tentang kajian literatur. Penelitian yang dilakukan oleh de Souza et al. (2008), misalnya, memaparkan tentang bagaimana simbol-simbol yang ditampilkan pada web mampu menciptakan suatu kemampuan berkomunikasi jika ditinjau dari unsur semiotika mesin. Penelitian ini melibatkan pengguna yang berbasis di Brazil dengan penggunaan aksara Spanyol sebagai komunikasi. Penelitian lain menunjukkan bagaimana pengguna (yang merupakan kategori anak-anak) melakukan interaksi dengan informasi yang berada di website ICDL (Bilal & Bachir, 2007). Kali ini penelitian melibatkan anak-anak yang memiliki bahasa Arab sebagai komunikasi utama. Anak-anak diuji sejauh mana mereka bisa mengenali dan memanfaatkan koleksi materil yang ada di website. Ketersediaan tampilan muka (interface) yang berbahasa arab atau bahasa non english lainnya merupakan nilai lebih bagi ICDL.
Dari beberapa penelitian tersebut, secara keseluruhan bisa terlihat kecenderungan nilai-nilai kulturalisme yang diakomodir oleh ICDL. Ini merupakan merupakan dampak langsung dari proses penciptaan ICDL diawalnya yang memang diperuntukkan bagi pengunjung di berbagai belahan dunia. Seperti yang dikemukakan oleh penelitian Hutchinson bahwa pada saat proses pembentukannya ICDL memang sengaja membentuk tim yang terdiri anak-anak dan orang dewasa yang masing-masing dari tim tersebut berasal dari latar belakang budaya dan negara yang berbeda (Hutchinson et al., 2005). Ini merupakan upaya agar daya jangkau dari koleksi materil bisa menyentuh sebanyak mungkin kultur budaya dan bahasa yang ada. Sehingga ketika melihat output yang dihasilkan pada hari ini pun, eksistensi ICDL bisa dijadikan tonggak kulturalisme pada perpustakaan digital.
Kebudayaan Dalam Ruang Digital
Seperti yang telah dikemukakan diawal bahwa di era kekinian pengaruh teknologi menjadi begitu determinan terhadap kelangsungan hidup manusia. Penggunaan teknologi tidak bisa dinafikan kemanfaatannya bagi kemudahan hidup manusia hari ini. Teknologi bisa menjadi seperangkat alat untuk membuat analisa terhadap banyak fenomena, termasuk untuk memotret kebudayaan. Dalam koridor akademis, dampak yang bisa dirasakan dari kehadiran teknologi adalah meluasnya sudut pandang dalam melihat sebuah peristiwa. Jika perluasan tema ini diterapkan pada rumpun ilmu humaniora, terdapat sebuah konsep kebudayaan yang bertaut langsung dengan teknologi, konsep tersebut adalah Digital Humanities. DH adalah sebuah konsep yang tidak bisa ditranslasikan secara letterlijk begitu saja. Ia merupakan sebuah titik yang mempertemukan dua konsep besar antara ilmu kebudayaan dengan bidang komputasi dalam ranah dunia digital. Nyhan dan Flinn memberikan penjelasan sederhana: “DH takes place at the intersection of computing and cultural heritage. It aims to transform how the artefacts (such as manuscripts) and the phenomena (such as attitudes) that the Humanities study can be encountered, transmitted, questioned, interpreted, problematized and imagined” (Nyhan & Flinn, 2016).
Sebelum akhirnya mencapai definisinya yang sekarang, DH telah melalui proses transformasi yang cukup panjang. Dahulu DH dikenal dengan konsep Humanities Computing, dan dalam era yang lebih lampau dikenal sebagai Apllied Computing in the Humanities. Menurut peneliti, perubahan ini terjadi lantaran konsep ini berdiri pada dua kutub besar yang sudah mapan secara keilmuan, yaitu Humaniora dan Teknologi. Pergeseran terminologi ini juga membawa perubahan pada segi materiil pembahasan di dalamnya. Jika pada sebelumnya Teknologi menjadi sebatas pelayan dan penyedia dari tema Humaniora, maka pada DH kedua tema ini melebur menjadi satu untuk saling menguatkan masing-masing disiplin dan menghasilkan suatu diskursus (Mahony, 2018). DH biasanya berdiri pada tema-tema yang berkaitan dengan bagaimana sebuah warisan budaya bisa tetap dimanfaatkan oleh masyarakat, pengembahan teknologi (komputasi), maupun diskursus baru yang sebelumnya dikategorikan sebagai ketidakmungkinan.
Dalam kaitannya dengan perpustakaan digital, DH berada pada tegangan antara titik temu kaidah preservasi koleksi, yang bernilai kebudayaan tinggi (biasanya dikategorikan sebagai warisan budaya, artefak, manuskrip, dlsb), dengan kemajuan teknologi yang menjadi platform di banyak tempat. Dalam diskurus perpustakaan digital, ada sebuah konsep yang dikemukakan oleh El Hadi bahwa yang menjadi aktivitas utama dari DH adalah proses digitasi dari representasi nilai sejarah dan kebudayaan itu sendiri. Objek koleksi yang sudah menjadi bentuk digital kemudian menjadi bahan utama dari perpustakaan digital dan DH dalam kapasitasnya mengembangkan dan menyampaikan koleksi materil yang dimiliki oleh perpustakaan digital (El Hadi, 2016). Dalam kasus ICDL, sebagai perpustakaan digital yang diperuntukkan bagi tersedianya variasi koleksi bagi anak-anak di seluruh dunia, maka tim pengembang melakukan ekspansi seluas-luasnya. Ekspansi ini juga melibatkan komunitas yang merupakan salah satu diskursus dalam DH (Nyhan & Flinn, 2016). Ragam koleksi dengan kebudayaan dari berbagai masyarakat lintas negara dan dengan penggunaan varian bahasa yang cukup banyak merupakan syarat dalam tema DH. Selain itu, jika kita telusur secara urutan tahun, ICDL memiliki koleksi yang berasal dari abad 19. Melihat fakta ini nilai kebudayaan yang ada pada ICDL merupakan representasi konsep DH. Upaya memberikan layanan dan diseminasi koleksi yang dilakukan via internet jika melihat konsep DH maka bisa dikategorikan sebagai sebuah warisan budaya.
Daftar Referensi
Bilal, D., & Bachir, I. (2007). Children’s Interaction with Cross-Cultural and Multilingual Digital Libraries: I. Understanding Interface Design Representations. Information Processing and Management, 43(1), 47–64.
de Souza, C. S., Laffon, R. F., & Leitão, C. F. (2008). Communicability in Multicultural Contexts: A study with the International Children’s Digital Library. IFIP International Federation for Information Processing, 272, 129–142.
El Hadi, W. (2016). Digital Libraries and Digital Humanities: Some Reflections on Their Synergy. Pakistan Journal of Information Management and Libraries, 17(SpecialIssue), 13–28.
Hutchinson, H. B., Rose, A., Bederson, B. B., Weeks, A. C., & Druin, A. (2005). The International Children’s Library: A Case Study in Designing for a Multilingual, Multicultural, Multigenerational Audience. Information Technology and Libraries, 24(1), 4–12.
Internationational Children’s Digital Library. (2005). Collection development policy. Retrieved April 28, 2020, from http://en.childrenslibrary.org/about/collection.shtml
Mahony, S. (2018). Cultural Diversity and the Digital Humanities. Fudan Journal of the Humanities and Social Sciences, 11(3), 371–388. Retrieved from https://doi.org/10.1007/s40647-018-0216-0
Nyhan, J., & Flinn, A. (2016). Review of “Computation and the Humanities: towards an Oral History of Digital Humanities.” In Reviews in History. Cham: SpringerNature.
Artikel ini ditulis oleh Muhammad Haikal, mahasiswa Universitas Gadjah Mada saat menjalani magang di Pusat Studi Sosial Asia Tenggara