Dunia mengalami trauma hebat terkait persoalan perang. Sejarah modernitas dimulai sejak pasca abad pertengahan yang ditandai dengan kolonialisme dan imperialisme. Konsep perang pun termodernisasi yang nyata lewat perang dunia di awal abad 20, hingga perang dingin di tahun 1960-an. Kata “perang” menjadi momok yang menakutkan sekaligus keprihatinan agar hal ini tidak lagi terjadi. Sayangnya, kebangkitan negara-negara maju juga dibarengi dengan penciptaan senjata nuklir. Dengan tujuan menjaga keamanan dan kedaulatan negara, nuklir dianggap sebagai benteng pertahanan paling jitu untuk menggertak negara lawan. Hal yang kemudian menjadi persoalan besar adalah percobaan senjata nuklir sering dilakukan di negara-negara di luar negara pencipta nuklir sehingga membawa kerugian bagi masyarakat (negara) setempat.
Menyadari bahwa persoalan nuklir tak akan habis mengundang perdebatan, Pusat Studi Sosial Asia Tenggara (PSSAT) Universitas Gadjah Mada mengadakan seminar bertajuk “Aspiring for Nuclear-Weapon-Free-World: Global Activism in Comparative Perspective” di Ruang Seminar Lt.2 Gedung Perpustakaan Pusat UGM (3/11/2017). Seminar ini menghadirkan Prof.Dr.David Robie dari Auckland University of Technology, New Zaeland dan Muhadi Sugiono,M.A. dari Universitas Gadjah Mada. Kedua pembicara merupakan para pakar terkait isu ini. Prof. David merupakan akademisi, jurnalis, dan aktivis hak asasi manusia sementara Pak Muhadi merupakan koordinator International Campaign to Abolish Nuclear Weapon (ICAN) Indonesia. Bertindak sebagai moderator adalah Yunizar Adiputra dari Institute for International Studies, UGM. Acara yang dibuka oleh Direktur PSSAT UGM, Dr.phil. Hermin Indah Wahyuni ini berlangsung selama dua jam dan dihadiri oleh kurang lebih 150 peserta yang berasal dari kalangan akademisi dan mahasiswa. Seminar ini merupakan rangkaian kegiatan dari program World Class Professor (WCP) Kemeristekdikti.
Dalam seminar ini, para pembicara membahas perbandingan model kampanye anti nuklir dari dua perspektif yang berbeda. Sebagai saksi hidup, Prof. David membahas gerakan aktivisme anti nuklir dalam kasus Rainbow Warrior di tahun 1980-an. Rainbow Warrior merupakan kapal milik Greenpeace yang ditenggelamkan inteligen Perancis karena melakukan protes terhadap percobaan nuklir di Moruroa, Pasifik. Di sisi lain, Pak Muhadi berfokus pada gerakan ICAN di masa sekarang. Pada tahun 2017, ICAN mendapat hadiah nobel perdamaian untuk gerakan pelarangan senjata nuklir. Dalam gerakan anti nuklir, Prof. David menekankan peran aktif masyarakat sipil dan pemerintah dalam membuat strategi menyangkut persoalan ini. Pak Muhadi menambahkan bahwa perjanjian internasional dan saling keterikatan antar komunitas internasional dapat menjadi salah satu langkah praktis untuk mencegah persoalan percobaan senjata nuklir. Hal yang paling penting adalah peningkatan kesadaran publik bahwa persoalan nuklir adalah persoalan bersama yang menyangkut tidak hanya satu komunitas masyarakat saja, tetapi relasi antar negara-negara. Percobaan senjata nuklir tidak hanya merugikan manusia tetapi juga berdampak pada lingkungan hidup. (MLK)