Salah satu tradisi khas ketika perayaan hari raya keagamaan di Indonesia adalah mudik. Mudik dapat diartikan sebagai pulang kampung, dalam bahasa Jawa ada yang menyebut mudik sebagai singkatan dari mulih disik atau dari kata udik yang dalam bahasa Betawi adalah kampung.
Banyak tafsiran mengenai makna kata mudik. Ada yang menyebut bahwa kata mudik berasal dari bahasa Arab “al-aud” yang bermakna kembali. Mudik adalah kembali ke asal yakni udik. Sementara menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, mudik memiliki arti pulang ke kampung halaman.
Pulang ke kampung halaman yang jauh dari keramaian, aktivitas kota. Mudik dilakukan secara berulang-ulang. Baik ketika lebaran, liburan sekolah, natal, dan tahun baru. Sehingga mudik menjadi semacam budaya atau tradisi di nusantara yang dilakukan hampir setiap tahunnya. Mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, jadi puncak mudik adalah ketika perayaan hari raya Idulfitri. Tradisi ini juga dapat diartikan sebagai suatu simbol akan munculnya kesadaran rohani akibat kehampaan spiritualitas akibat kesibukan aktivitas di kota.
Manusia merupakan makhluk yang tergolong sebagai homo festivus. Manusia menyukai festival. Banyak macam dan ragam mengenai festival, salah satunya adalah festival yang bernuansa kegamaan, seperti perayaan lebaran. Dalam festival, terkandung sebuah pola yang ajeg dan dilakukan berulang-ulang secara massif pada momen tertentu. Selain itu manusia juga dikatakan sebagai makluk yang menyukai ziarah atau wanderer or traveling being. Senang melakukan sebuah perjalanan, ketika ada waktu liburan akan digunakan untuk jalan-jalan atau berekreasi.
Mudik yang tergolong dalam perayaan lebaran tidak disusun secara sistematis oleh negara maupun lembaga tertentu. Secara serempak dan akumulatif, masyarakat secara bersama-sama merayakan hari raya. Menjelang lebaran, jalan-jalan akan ramai kendaraan dengan tingkat volume yang naik tajam dibanding hari biasanya. Mudik adalah peristiwa budaya yang dilakukan berulang-ulang, dan bukan ciptaan atau rekayasa negara.
Tidak ada mudik yang tidak diawali oleh proses migrasi dari desa ke kota. Kota selalu dipandang lebih menjanjikan secara ekonomi maupun pendidikan, dibandingkan dengan desa. Ditinjau dari teori migrasi (Everett Lee, 1984), ada dua sifat perpindahan penduduk, permanen dan non permanen. Dikatakan perpindahan permanen apabila seseorang pindah tanpa kembali lagi ke daerah tempat tinggal sebelumnya. Sementara apabila ia hanya pindah karena urusan tertentu dan masih kembali ke daerah asalnya, maka ia tidak pindah secara permanen. Sifat ini tidak dibatasi oleh ruang, waktu, sukarela atau tidak, dan di dalam maupun luar negeri.
Perpindahan penduduk merupakan kegiatan perpindahan yang melampaui batas suatu wilayah tertentu dan dalam tempo tertentu pula. Perpindahan penduduk dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti ekonomi, geografis, maupun psikologis. Faktor ekonomi lebih dominan daripada kedua faktor lainnya, karena sebagian besar masyarakat merantau ke kota untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik.
Faktor ekonomi banyak mempengaruhi seseorang berpindah ke kota. Penghidupan di desa yang dirasa kurang mencukupi, semakin sempitnya lahan pertanian, dan semakin sedikitnya pemuda yang ingin bertani membuat kota seperti daya tarik sendiri bagi penduduk di desa. Majunya komunikasi serta industri dan teknologi sehingga menyerap lebih banyak tenaga kerja. Tentunya kemajuan baik secara ekonomi, maupun lainnya manarik minat banyak orang untuk berbondong-bondong berurbanisasi ke kota.
Manusia kota cenderung lebih konsentrasi terhadap pekerjaan-pekerjaan mereka. Hal tersebut menimbulkan anonimitas. Logika industrialisasi menambah watak individualisme. Dua hal ini oleh sebagian kritikus menyebut kaum kota sebagai sosok yang kering kerontang. Kondisi ini juga diperparah dengan orientasi nilai yang mengarah ke profan dan material. Tidak mengherankan apabila gerakan radikalisme agama maupun komodifikasi agama tumbuh subur di perkotaan. Karena agama dan kekayaan spiritual adalah hal yang mereka cari.
Mudik menjadi semacam obat bagi kekeringan tersebut. Kembali kepada desa kembali kepada alam, akan meberikan siraman-siraman rohani untuk menyuburkan kegersangan tersebut. Mudik diyakini dapat memberikan banyak manfaat positif bagi yang melakukannya selain daripada untuk tujuan menyambung silaturrahmi atau merayakan lebaran.
Agus Maladi Irianto dalam jurnalnya “Mudik dan Keretakan Budaya” menjelaskan ada 3 dimensi dalam tradisi mudik. Pertama, mudik memiliki dimensi spiritual-kultural. Mudik adalah sebuah tradisi atau warisan dari para leluhur. Umar Kayam (2002) menyebut mudik sebagai tradisi yang terkait dengan kebiasaan petani Jawa mengunjungi kampung kelahiran untuk berziarah ke makam para pendahulunya.
Ikatan kehidupan duniawi tidak bisa dilepaskan dari kehidupan setelah di dunia. Oleh karena itu, orang-orang tetap menziarai kuburan-kuburan leluhur untuk mendoakan keselamatannya. Dalam waktu tertentu orang-orang akan menyempatkan untuk berkunjung ke makam walau terhalang oleh kondisi geografis maupun ekonomi. Hal ini yang kemudian melahirkan tradisi mudik.
Kedua, adalah dimensi psikologis. Mudik seperti yang dijelaskan di atas, memberikan manfaat positif untuk mengisi kegersangan dalam jiwa manusia kota. Kerasanya kehidupan di kota dan beban kerja serta tekanan kehidupan dapat mendorong timbulnya stress. Bertemu keluarga di desa, merasakan kenyamanan dan ketenangan, dan bernostalgia dengan pengalaman dapat mengobati stress bagi masyarakat urban.
Ketiga, adalah dimensi sosial. Pada dimensi ini masyarakat migran datang kembali ke desa dengan status yang berbeda. Keberhasilan ataupun kegagalan di kota akan mempengaruhi status sosial keluarganya di desa. Cerita-cerita tersebut dapat memberikan pengaruh bagi tetangga atau kerabat untuk mengikuti jejaknya.
Umar Kayam mencatat bahwa mudik merupakan tradisi yang sudah ada sejak zaman kerajaan Hindu-Buddha tetapi sempat hilang. Islam datang menghilangkan beberapa tradisi yang dianggap syirik, termasuk ziarah. Tetapi kemudian Islam dan tradisi di Jawa dapat berakulturasi sehingga masyarakat bisa menerima dengan harmoni. Perlahan ziarah kubur dapat diterima dengan disisipi ajaran agama.
Seiring perubahan zaman, mudik juga mengalami pergeseran nilai. Ia tidak hanya sebagai sarana mengobati kegersangan jiwa dan pikir tapi juga sebagai sarana rekreasi, hiburan, menghamburkan uang, dan menunjukkan eksitensi sebagai manusia kota dengan perilaku hedonis dan konsumtif.
Orientasi mudik lebih mengarah pada perputaran ekonomi yang terjadi selama mudik. mudik merupakan sarana penyaluran dana dari kota ke desa. Dengan mengalirnya dana ini, dapat menggambarkan kesenjangan antara desa dan kota selain daripada untuk meratakan pendapatan. Lebih-lebih orientasi ekonomi ini diikuti dengan dampak negatif berupa budaya hedonis dan konsumtif.
Mudik dilihat dari sisi ekonomi memang menghasilkan perputaran uang yang tidak sedikit. Tradisi mudik tidak hanya terjadi di Indonesia saja. Di Malaysia juga ada tradisi mudik saat lebaran, di Filipina para pekerja akan mudik ketika perayaan Natal datang.
Mudik merupakan tradisi yang sudah ada sejak zaman kerajaan Hindu-Buddha dan terjaga hingga saat ini. Mudik bagi Kuntowijoyo (2006:109) sebagai kesadaran balik. Mudik ke kampung kelahiran merupakan upaya untuk membebaskan diri dari kesibukan aktivitas kota yang cenderung individualistik. Dalam kata mudik atau udik terdapat kesamaan arti bahwa perilaku asli manusia seharusnya mencerminkan keaslian diri seperti kolektif, jujur, dan peduli terhadap sesama sebagai ciri khas warga tempat asal.
Dalam masa pandemi seperti ini, saat pemerintah melarang mudik, seharusnya kita dapat memaknai bahwa mudik tidak hanya secara jasad atau raga, tetapi juga secara hati dan batin. Walau jasa tetap di perantauan, tatapi hati seharusnya mudik. Mudik kembali kepada sifat asli warga tempat tinggal kita seperti yang disebutkan di atas.
Referensi
Hidayat, K. (2015). Indahnya Mudik Lebaran. Jakarta: Noura Books.
Iriyanto, A. M. (2012). Mudik dan Keretakan Budaya. Humanika: Jurnal Ilmiah Kajian Humaniora, 15(9).
Kuntowijoyo. (2006). Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.
Soedibyo, B. B. (2011). Mudik Lebaran (Studi Kualitatif). Jurnal Ekonomi Pembangunan, 6(2), 61-68.
Sulaiman, T. (2013). Tuhan yang Kesepian. Yogyakarta: Bentang Pustaka.
Artikel ini ditulis oleh Qorry Aina Fitroh, mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta saat menjalani magang di Pusat Studi Asia Tenggara