Sejak tahun 1970-an terhitung terdapat ratusan ribu muslim Rohingya yang kabur dari Myanmar, dengan sebagian besar menggunakan jalur laut untuk mencapai negara-negara tetangga seperti Indonesia, Malaysia, dan Thailand. Namun jumlah pengungsi yang terhitung besar tersebut juga tidak dapat disambut dengan mudah oleh negara-negara yang dituju, karena kekhawatiran atas tidak terkontrolnya arus pengungsi yang masuk. Indonesia merupakan salah satu dari sedikit negara yang dapat berkomunikasi langsung dengan Myanmar mengenai eskalasi konflik yang terjadi. Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno Marsudi mengatakan “Once again I conveyed Indonesia’s concerns to State Counsellor Daw Aung San Suu Kyi regarding the situation in Rakhine state,” setelah diundang oleh Suu Kyi dalam acara makan malam dirumahnya sekaligus membahas secara terbuka situasi yang terjadi di Rakhine.[1] Selain Indonesia, Perdana Menteri Malaysia, Najib Razak memimpin sebuah demonstrasi pada tanggal 4 Desember 2016 mengenai apa yang dia sebut sebagai sebuah “genosida” dari umat minoritas muslim Rohingya di Myanmar. Najib Razak juga mengajak negara-negara tetangga dan dunia internasional untuk maju dalam menekan kekerasan yang terjadi.[2]
Rohingya adalah satu kelompok etnis minoritas muslim yang sebagian besar tinggal di barat Myanmar, wilayah Rakhine. Diperkirakan etnis Rohingya ini berjumlah sekitar 1 juta jiwa dan menganut ajaran Islam Sunni. Hal ini menjadikan etnis Rohingta berbeda dengan kelompok dominan yang menganut agama Budha di Myanmar secara etika, lingualistik, dan agama. Asal-usul etnis Rohingya dapat dilacak dari abad kelima belas ketika ribuan umat islam datang ke kerajaan Arakan. Setelah itu terdapat banyak orang yang datang lagi pada abad kesembilan belas dan awal abad kedua puluh ketika Bengal dan Rakhine diperintah oleh pemerintahan kolonial sebagai bagian dari British India pada waktu itu. Setelah mendapatkan kemerdekaan pada tahun 1948, pemerintah Burma mengganti nama negaranya menjadi Myanmar pada tahun 1989, dan semenjak itu pula telah membantah klaim historis etnis Rohingya dan membantah pengakuan sebagai salah satu dari 135 kelompok etnis di Myanmar. Rohingya secara resmi diidentifikasi oleh pemerintah Myanmar sebagai imigran Bengali ilegal, meskipun fakta menyebutkan bahwa banyak etnis Rohingya yang telah tinggal di Myanmar selama berabad-abad.[3] Pemerintah Myanmar menolak untuk memberikan status kewarganegaraan kepada etnis Rohingya, dan sebagai hasilnya sebagian besar anggota kelompok tidak memiliki dokumentasi hukum, efektif membuat mereka tidak memiliki negara atau stateless. Walaupun pada tahun 1990an terdapat “kartu putih” sebagai kartu identitas sementara bagi masyarakat muslim di Myanmar (sebagian besar etnis Rohingya), namun pada tahun 2015 kartu identitas sementara ini dihapuskan Presiden Thein Sein atas desakan dari pihak Budha Nasionalis. Parlemen untuk Hak Asasi Manusia ASEAN menulis pada bulan April 2015 bahwa “penganiayaan lama terhadap Rohingya telah menyebabkan arus keluar tertinggi pencari suaka laut (di wilayah tersebut) sejak perang AS di Vietnam.”. Penganiayaan yang dimaksud ini adalah kebijakan pemerintah Myanmar, termasuk pembatasan perkawinan, keluarga berencana, pekerjaan, pendidikan, pilihan agama, dan kebebasan bergerak telah melembagakan diskriminasi sistemik terhadap kelompok etnis Rohingya.
Kebijakan pemerintahan Myanmar yang diskriminatif ini ditambah dengan kondisi negara bagian Rakhine sebagai negara bagian paling tidak berkembang di Myanmar. World Bank memperkirakan 78% rumah tangga di Rakhine hidup dibawah garis kemiskinan juga menjadi alasan tambahan mengapa kelompok etnis Rohingya ingin keluar dari Myanmar. kemiskinan yang meluas, infrastruktur yang lemah, dan kurangnya kesempatan kerja memperburuk perpecahan antara umat Buddha dan Muslim Rohingya. Ketegangan ini diperdalam oleh perbedaan agama yang telah beberapa kali ditunjukkan di banyak media massa.[4]
Ketika jumlah korban jiwa dan pengungsi semakin bertambah, menunjukkan bahwa krisis ini tidak akan selesai secepatnya, serta dengan akhir yang baik. Alasan pertama adalah ASEAN sebagai sebuah organisasi regional yang mencakup Myanmar mengedepankan prinsip non-interference. Prinsip ini merupakan fondasi inti dari terbentuknya kerjasama antara negara-negara anggota ASEAN. Prinsip ini pertama kali diperkenalkan pada Deklarasi Bangkok tahun 1967, berisikan mengenai negara-negara anggota ASEAN tidak menginginkan adanya pihak diluar negara untuk ikut campur dalam urusan domestik demi terciptanya stabilitas domestik maupun regional.[5] Dengan adanya prinsip ini maka negara-negara anggota ASEAN yang ingin membantu menyelesaikan krisis etnis Rohingya secara langsung ditahan, dan situasi ini diperparah dengan pemerintahan Myanmar yang tidak menunjukkan adanya keinginan untuk mengakhiri kekerasan yang terus terjadi.
Alasan Kedua adalah Indonesia, Malaysia, Myanmar dan Thailand (termasuk negara-negara ASEAN lainnya) sebagai beberapa tujuan utama pengungsi Rohingya belum meratifikasi Konvensi dan Protokol PBB mengenai Pengungsi. Konvensi Mengenai Status Pengungsi atau dikenal juga dengan Konvensi Pengungsi tahun 1951 merupakan perjanjian multilateral yang menjelaskan siapa itu pengungsi dan menyusun hak-hak apa saja yang dimiliki oleh seseorang pencari suaka serta tanggung jawab dari sebuah negara yang menerima pencari suaka tersebut.[6] Hal ini menjadi sangat krusial mengingat pemerintah domestik Myanmar tidak dapat mengatasi jumlah korban jiwa yang terus meningkat, namun pihak-pihak luar seperti negara-negara anggota ASEAN juga tidak dapat membantu para pengungsi dengan maksimal dikarenakan belum diratifikasinya Kovensi dan Protokol mengenai Pengungsi dan Pencari Suaka ini.
Alasan terakhir mengapa krisis ini masih jauh untuk menemui jalan keluarnya adalah kedekatan antara pemerintahan Myanmar atau National League for Democracy Party (partai yang sedang berkuasa di Myanmar) dengan Buddha nasionalis di Myanmar. National League for Democracy (NLD) dipimpin oleh Aung San Suu Kyi merupakan partai yang memenangkan pemilu pada tahun 2015, dan mayoritas pendukung partai ini berasal dari kelompok Buddha nasionalis yang menjadikan kondisi ini sangat dilematis mengingkat adanya permusuhan antara pihak Buddha nasionalis dengan etnis Rohingya dan masyarakat muslim lainnya di Myanmar. Bahkan kepala bagian Hak Asasi Manusia PBB Zeid Ra’ad Al-Hussein mengatakan pemerintahan Myanmar, yang dipimpin oleh pemenang Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi telah mengambil pendekatan yang “dangkal, kontraproduktif, bahkan tak berperasaan” terhadap krisis yang sedang berlangsung.[7] Beliau juga mengatakan bahwa laporan pembunuhan, pemerkosan, dan pembakaran rumah-rumah etnis Rohingya setiap harinya.
Krisis yang tidak dapat dikontrol oleh pemerintahan sudah cukup parah, namun pemerintahan Myanmar hingga saat ini belum memberikan izin akses kepada PBB untuk masuk ke wilayah konflik. Ravina Shamdasani sebagai salah satu juru bicara dari bagian Hak Asasi Manusia PBB menambahkan “Jika pemerintah (Myanmar) tidak menyembunyikan sesuatu, maka mengapa ada keengganan tersebut untuk memberikan kita akses? Mengingat kegagalan terus menerus untuk memberikan akses, kita hanya bisa untuk takut terhadap situasi yang terburuk.”[8]
REFERENSI:
[1] Tama Salim, ‘Indonesia raises Rohingya concerns with Suu Kyi: Retno’, The Jakarta Post (daring), 8 Desember 2016, <http://www.thejakartapost.com/news/2016/12/08/indonesia-raises-rohingya-concerns-with-suu-kyi-retno.html>, diakses 13 Desember 2016.
[2] The Guardian, Malaysia PM urges world to act against ‘genocide’ of Myanmar’s Rohingya (daring), 4 Desember 2016, <https://www.theguardian.com/world/2016/dec/04/malaysia-pm-urges-world-to-act-against-genocide-of-myanmars-rohingya>, diakses 13 Desember 2016.
[3] Eleanor Albert, ‘The Rohingya Migrant Crisis’, Council on Foreign Relations (daring), 9 Desember 2016, <http://www.cfr.org/burmamyanmar/rohingya-migrant-crisis/p36651>, diakses 13 Desember 2016.
[4] Ibid.
[5] Mieke Molthof, ‘ASEAN and the Principle of Non-Interference’, E-International Relations Students (daring), 8 Februari 2012, <http://www.e-ir.info/2012/02/08/asean-and-the-principle-of-non-interference/>, diakses 18 Desember 2016.
[6] United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR), Convention and Protocol Relating to the Status of Refugees (daring), <http://www.unhcr.org/protection/basic/3b66c2aa10/convention-protocol-relating-status-refugees.html>, diakses 18 Desember 2016.
[7] Samuel Osborne, ‘UN getting daily reports of rapes, killings and other abuses against Rohingya Muslims in Burma’, Independent (daring), 18 Desember 2016, <http://www.independent.co.uk/news/world/asia/burma-rohingya-muslims-rape-murder-accusations-un-aung-san-suu-kyi-a7482516.html>, diakses 19 Desember 2016.
[8] Ibid.
—
Artikel ini ditulis oleh Ilham Fauzi, peneliti di Pusat Studi Sosial Asia Tenggara (PSSAT).