Laut Cina Selatan (LCS) merupakan sebuah wilayah perairan yang memanjang dari Barat Daya ke arah Timur Laut, berbatasan di sebelah selatan dengan 3 derajat lintang selatan antara Pulau Sumatera dan Pulau Kalimantan (Selat Karimata) dan sebelah Utara dibatasai oleh Selat Taiwan dari ujung utara ke arah pantai Fukein, Cina. Luas perairan LCS sendiri diperkirakan mencapai 4 juta kilometer persegi dengan empat sub kepulauan besar yakni Paracel, Spratly, Pratas dan Macclesfield (Asnani Usman dan Rizal Sukma, 1997). LCS yang diduga memiliki potensi besar baik di bidang biota laut, pariwisata, perikanan, minyak, gas alam dan bahkan navigasi membuat banyak negara berusaha secara kuat untuk mendapatkan legalitas atas LCS.
Potensi yang sangat besar yang ada di LCS membuat negara-negara di sekitar LCS untuk mengklaim atas kepemilikan LCS. Dalam konteks ini, ada enam negara yang terdiri dari empat negara ASEAN dan dua negara di luar ASEAN. Empat negara ASEAN tersebut adalah Malaysia, Filipina, Vietnam dan Brunei Darussalam. Sementara dua negara di luar ASEAN adalah Cina dan Taiwan. Keenam negara ini menyatakan sebagai pemilik sah LCS dengan beragama alasan. Malaysia mengklaim atas kepemiikan terhadap LCS karena faktor kedekatan (proximity) dengan LCS, sementara Filipina mengklaim memiliki hak atas LCS karena faktor penemuan dan pendudukan (discovery and occupation). Selian itu, Filipina juga mendasarkan kepemilikan atas LCS juga karena faktor kedekatan wilayah. Vietnam merasa memiliki LCS karena berdasarkan pada fakta sejarah. Sementara Brunei merasa memiliki LCS karena didasarkan pada landas kontinen dan ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif).
Berpijak dari peta di atas bisa digambarkan bahwa Cina melalu kebijakannya telah secara sepihak mendeklarasikan nine-dash line yang dalam peta di atas ditandai dengan garis merah putus-putus berjumlah sembilan, sementara klaim Vietnam ditandai dengan garis berwarna biru, Malaysia ditandai dengan garis berwarna biru muda dan Filipina dengan warna coklat. Sementara Brunei dan Taiwan juga mengklaim bahwa dalam nine-dash line itu, kedua negara tersebut juga memiliki hak. Secara global, sebetulnya wilayah yang diklaim Cina sebetulnya juga merupakan wilayah yang juga diklaim oleh lima negara yang lain. Dalam konteks sovereignty disputes ini yang sangat agresif dalam menentang nine-dash line Cina adalah Filipina dan Vietnam. Konsep nine-dash line pertama kali diperkenalkan pada tahun 1914 dan dimanfaatkan pada tahun 1947 oleh pemerintah nasional Cina.
Untuk menyelesaikan persoalan LCS, sebetulnya pihak-pihak terkait sudah membuat kesepakatan dalam kerangkan Declaration on the Conduct of Parties in the South Cina Sea (DOC) pada tahun 2002 di Kamboja. Tujuan dari DOC ini ada tiga yakni to promote confidence-building measures, to foster cooperation in maritime affairs and to prepare a formal and binding code of conduct. Berpijak dari tiga tujuan DOC khususnya tujuan yang ketiga bahwa tujuan dari DOC salah satunya adalah untuk menyusun COC yang formal dan mengikat. Maka berangkat dari poin ini bisa dikatakan diharapkan COC bisa menjadi sebuah dokumen yang bisa memberikan skema implementasi, monitoring dan sanksi. Proses pembuatan dokumen COC bisa dikatakan mengalami banyak hambatan. Salah satu hambatan yang pernah dihadapi adalah terkait dengan penyusunan draft COC yang dikerjakan dilingkup negara-negara ASEAN tanpa melibatkan Cina. Sehingga hal ini membuat Cina tidak nyaman. Dalam konteks penyusunan COC yang jelas akan sangat mungkin terjadi negosisasi yang alot antar phak-pihak yang bertikai dan akan memakan waktu yang tidak singkat.( https://kyotoreview.org/bahasa-indonesia/mengelola-isu-keamanan-di-laut-cina-selatan-dari-doc-ke-coc/).
Mekanisme terkait dengan proses COC pernah disampaikan oleh menteri luar negeri Cina Wang Yi pada tahun 2013. Pada esensinya Wang Yi meminta bahwa tahapn proses COC harus menggunakan negosiasi dan penghormatan terhadap negara yang satu dengan yang lain menjadi hal yang utamas. Kemudian pada tahun yang sama, proses dalam tahapan COC dimulai di Suzhou, Cina. Tahapan proses COC yang jelas akan menguras energi dan waktu yang tidak singkat karena kompleksitas masalah LCS dan kepentingan beragam actor yang bermain dalam LCS. Di tengah proses kesepakatan COC, Indonesia sebagai negara yang tidak terlibat dalam konflik LCS, setidak-tidaknya bisa berperan aktif dalam menyelesaikan konflik LCS. Hal ini sejalan dengan kebijakan luar negeri Indonesia yang “bebas dan aktif”. Makna “bebas” berarti Indonesia harus bertindak secara independen dalam arena internasional, sementara “aktif” bermakna kebutuhan Indonesia untuk ikut serta dalam menciptakan perdamaian dunia.( https://www.thejakartapost.com/news/2010/04/19/free-and-active-foreign-policy-a-globalizing-world.html).
Sebagai implementasi dari kebijakan luar negeri tersebut, pemerintah Indonesia bisa menginisiasi tumbuhnya kerjasama yang lebih intens antara pihak-pihak yang bersengketa. Sebetulnya kerjasama antara negara-negara yang bertikai pernah dilaksanakan pasca penandatanganan DOC pada tahun 2002. Misalnya pada rentang 2005-2008, telah terjadi kerjasama dalam penelitian seismik antara Cina, Vietnam dan Filipina. Tetapi, secara umum kerjasama-kerjasama yang pernah digagas bisa dikatakan saat ini banyak yang tidak berjalan. Untuk itu, Indonesia bisa memfasilitasi sebuah pertemuan yang melibatkan pihak-pihak terkait. Dalam konteks kerjasama ini harus ada prinsip-prinsip yang harus ditaati oleh semua pihak yang bertikai agar kerjasama yang akan datang bisa berjalan dengan baik. Prinsipi-prinsip itu meliputi
- Samudera harus digunakan untuk tujuan damai dengan berpijak pada UNCLOS, UN Charter dan hukum internasional,
- Kerjasama harus mulai dari yang tidak sensitif mislanya tentang marine environmental protection,
- Keuntungan harus dibagai secara sama ke pihak yang terlibat di LCS,
- Eksploitasi dan eksplorasi living and non-living resources tidak dibebankan pada satu negara, tetapi merupakan tanggung jawab bersama.
Beberapa aspek kerjasama yang mungkin bisa dilakukan adalah sebagai berikut :
- Joint development for oil and gas
- Joint management and conservation of fisheries
- Cooperation in navigational safety and search and rescue at sea
- Cooperation in combating transnational maritime crime
- Cooperation in marine scientific research and
- Marine environmental protection (Wu Shicun, 2013).
Kerjasama di berbagai bidang tersesbut bisa dilakukan baik secara bilateral maupun multilateral. Untuk itu, Indonesia diharapkan bisa mendorong terwujudnya kerjasama tersebut untuk mengurangi ketegangan di LCS yang saat ini ada kecenderungan mengalami kenaikan secara signifikan.
—
Artikel ini ditulis oleh Fatkurrohman, peneliti di Pusat Studi Sosial Asia Tenggara (PSSAT).