Tantangan kompetisi terbuka (open competition) karena globalisasi menjadi tantangan semua individu dan juga negara dalam menjalankan fungsinya sebagai intitusi yang meregulasi kehidupan berbangsa dan bernegara dalam mencapai kesejahteraan. Globalisasi dan konektifitas membuat bersin seseorang di belahan bumi Eropa menyebabkan flu bagi orang lain di Asia. Lebih khusus lagi, tantangannyata yang saat ini tengah dihadapi oleh negara-negara ASEAN adalah kompetisi terbuka yang menjadi konsekuensi dari ditekannya kontrak Asian Charter oleh pemimpin negara-negara ASEAN pada 15 Desember 2008. Perjanjian kerjasama yang menyerupai bersatunya negara-negara Eropa dalam Uni Eropa ini membuat pergerakan barang, manusia, dan uang menjadi tanpa hambatan batasan teritori dan politik (borderless) ini kemudian popular dengan sebutan Asian Community yang mulai efektif diterapkan pada tahun 2015.
ASEAN Single Community membawa negara-negara anggotanya kepada kompetisi terbuka yang sebenarnya. Negara-negara ASEAN yang sudah maju perekonomiannya seperti Malaysia dan Singapura bertumpu kepada inovasi dan pengetahuan (innovation and knowledge based economy), sementara negara-negara berkembang seperti Indonesia dan Viet Nam masih mengandalkan eksplorasi sumberdaya alam yang minim nilai tambah (value added).
Indonesia adalah salah satu negara yang tengah dilirik karena mempunyai banyak hal yang diperlukan untuk menjadi salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi yang paling menjanjikan di Asia karena pasar yang besar, posisi demograsi yang menjanjikan dengan komposisi usia produktif jauh lebih tinggi daripada usia non-produktif dan kekayaan bio-diversity yang melimpah. Menurut skenario yang dibuat oleh Asian Development Bank (ADB) dalam publikasi yang berjudul ASIA 2050: Realizing Asian Century, salah satu pilar untuk mempercepat Indonesia menjadi negara maju yang siap berkompetisi dan mengambil peran dalam ASEAN Charter adalah melalui pembangunan modal manusia karena modal pengetahuan untuk membangun perekonomian yang berbasis inovasi dan pengetahuan ada di dalam sumber daya manusia yang terdidik dan berkompeten dalam dunia kerja. Di sinilah pendidikan tinggi melalui Universitas, Institut, Sekolah tinggi dan akademi sebagai tempat untuk mendidik tenaga yang siap terjun ke dalam dunia kerja (ready manpower) mengambil peran yang sangat besar.
Ketika mata dunia fokus tertuju kepada kemunculan Asia sebagai kekuatan ekonomi global, pendidikan tinggi di negara-negara Asia menjadi lebih penting daripada sebelumnya (Coffait & Hill, 2012). Hal ini disebabkan karena tenaga kerja dengan keahlian dan pengetahuan tinggi yang dibutuhkan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi dan menghindarkan negara dari midle-income trap dihasilkan oleh institusi pendidikan tinggi. Oleh karena itu, lembaga pendidikan tinggi seperti Universitas, akademi, sekolah tinggi dan politeknik perlu untuk melihat hal ini sebagai sebuah tantangan yang seharusnya direspon dengan perubahan strategi penyelenggaraan pendidikan di institusi tersebut. Selain itu, dibutuhkan strategi kebijakan di tataran nasional untuk membuat pendidikan tinggi menghasilkan tenaga kerja dengan kompetensi tinggi yang sesuai dengan kebutuhan lingkungan dan dunia kerja dalam pembangunan nasional maupun yang siap menghadapi persaingan global.
Abad Asia 2050 dan ASEAN Single Community 2015 akan membawa pola hubungan negara di wilayah ASEAN ke dalam hubungan yang sama sekali baru. Bukan hanya negara-negara di wilayah ASEAN sebenarnya, tetapi juga wilayah di sekitar regional ini seperti Australia dan Selandia Baru. Pada tahun 2013, Australia bahkan sudah menerbitkan white paper yaitu sebuah naskah yang berisi strategi Australia dalam menyambut tantangan abad Asia 2050. Dalam dokukmen tersebut, Australia benar-benar menempatkan ASEAN sebagai partner kerjasama regional yang penting. Hal ini bisa dimaklumi. Walaupun secara geografis Australia berada di dalam kelompok negara-negara Melanesia, tetapi dalam percaturan ekonomi, Australia lebih dekat dengan negara-negara ASEAN. Menghadapi tantangan kebebasan mobilisasi barang, jasa, uang dan khususnya tenaga kerja mengharuskan perguruan tinggi mampu menurunkan tantangan tersebut ke dalam tataran kurikulum dan pendekatan pembelajaran sehingga keluaran perguruan tinggi siap menghadapi tantangan tersebut.
Pertanyaannya, ketika tenaga-tenaga kerja berpendidikan tinggi dengan nilai kompetitif lebih yang dihasilkan oleh negara-negar tetangga memasuki Indonesia dan bersaing dengan lulusan pendidikan tinggi negara kita, sadarkah saat ini mahasiswa-mahasiswa di fakultas kedokteran bahwa mereka akan bersaing dengan dokter dari Singapura yang bisa membuka praktek atau menjadi dokter di berbagai rumah sakit di Indonesia? Sadarkah mahasiswa tekhnik bahwa mereka akan bersaing dengan enginer-enginer dari Malaysia atau Thailand? Atau pertanyaan yang lebih besar adalah sadarkah perguruan-perguruan tinggi dan mahasiswanya di Indonesia timur atau di Kalimantan tentang apa yang tengah mereka hadapi dalam persaingan global yang dihasilkan oleh kesepakatan Asian community ataupun tantangan Abad Asia? Jelas ada disparitas informasi yang sangat tinggi di sini, bukan hanya antar wilayah geografis tapi juga antar kluster disiplin ilmu di dalam sebuah Universitas. Yang mungkin paling sadar dengan tantangan ini adalah mahasiswa yang belajar di fakultas Fisipol dan Fakultas Ekonomi dan Bisnis.
Setelah mereka sadar dengan tantangan tersebut, pertanyaan selanjutnya adalah siapkah mereka menghadapi tantangan tersebut? Hal yang paling simple namun merepotkan banyak mahasiswa Indonesia adalah masalah bahasa. Katakanlah secara keilmuan yang mereka tekuni mereka siap, namun dengan kendala bahasa yang mereka miliki bagaimana mereka bisa mengkomunikasikan kemampuan tersebut kepada dunia global. Sementara, tetangga kita Singapura dan Malaysia tidak mempunyai masalah dalam menggunakan bahasa Inggris. Dengan demikian, salah satu pekerjaan rumah yang harus secepatnya diselesaikan oleh perguruan tinggi-perguruan tinggi kita adalah bagaimana agar bahasa Inggris mudah dikuasai oleh mahasiswa. Mungkin harus ada perubahan dalam pendekatan pembelajaran bahasa Inggris di sekolah-sekolah dan Universitas kita. Tentunya ada yang salah jika Bahasa Inggris yang diajarkan sejak SMP sampai dengan kuliah tidak membuat pelajar dan mahasiswa kita mampu berkomunikasi aktif dengan bahasa tersebut.
REFERENSI:
Coffait, L & Hill, J. 2012. Blue Slies: New Thinking about the Future of Higher Education in the Asia-Pasific Region. Hongkong: Perason Asia Pasific.
—
Artikel ini ditulis oleh Erik Sofiatry Marangga, rekan peneliti di Center for Southeast Asian Social Studies (CESASS).