• Tentang UGM
  • IT Center
  • Bahasa Indonesia
    • Bahasa Indonesia
    • English
Universitas Gadjah Mada Pusat Studi Sosial Asia Tenggara
Universitas Gajah Mada
  • Beranda
  • Tentang Kami
    • Selayang Pandang
    • Peneliti
    • Peneliti Mitra
    • Mitra
    • Perpustakaan
  • Penelitian
    • Penelitian
    • Kluster
  • Program
    • MMAT (SUMMER COURSE)
      • Summer Course 2021
      • Summer Course 2022
      • Summer Course 2023
      • PROGRAM SUMMER COURSE MMAT 2024 SOCIAL TRANSFORMATION IN CONTEMPORARY SOUTHEAST ASIA
    • ASEAN Day
    • Symposium on Social Science (SOSS)
      • Symposium on Social Science 2018
      • Symposium on Social Science 2020
    • SEA MCA
    • SEA Talk
    • CESASS TALK (Forum Diskusi)
    • SEA Chat
    • SEA Movie
    • Magang
      • MAGANG DOMESTIK
      • Aktivitas Magang
      • Essay Magang
    • Workshop Kominfo
  • Publikasi
    • Buku
    • Jurnal
    • Prosiding
  • Esai Akademik
    • Ekonomi & Kesejahteraan Sosial
    • Hukum dan Hak Asasi Manusia
    • Media dan Komunikasi
    • Pendidikan
    • Politik dan Hubungan Internasional
    • Sejarah dan Budaya
    • Panduan Artikel
  • Beranda
  • Aktivitas
  • SEA CHAT #22 : Sastra Asia Tenggara dan Amerika Latin

SEA CHAT #22 : Sastra Asia Tenggara dan Amerika Latin

  • Aktivitas, SEA Chat_ind
  • 2 Maret 2020, 12.11
  • Oleh: pssat
  • 0

Sebagai wilayah yang sedang bertumbuh pesat dari berbagai bidang, Asia Tenggara ternyata memiliki kesamaan dengan Amerika Latin. 2 wilayah ini berbagi kesamaan latar belakang sejarah dengan kolonialisme, pluralisme budaya, dan spiritualismenya. Pusat Studi Asia Tenggara (PSSAT) Universitas Gadjah Mada (UGM) menggelar SEA CHAT #22 “Regional Literature Between SEA and Latin America, What Makes the Differences?” oleh Gladhys Elliona Syahutari. Diskusi seputar perkembangan literatur antar 2 wilayah pada Jumat (28/02/2020) di Perpusatakaan PSSAT ini dihadiri oleh umum dan mahasiswa magang dari Singapura, Belgia, dan Filipina.

Faktanya, 4 dari 11 negara di Asia Tenggara ternyata bisa memahami bahasa satu sama lain. Sebut saja Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Brunei dengan rumpun akar bahasa Melayu atau Austronesia. Demikian juga Thailand dan Laos, walau tidak begitu bisa memahami satu sama lain, namun berasal dari rumpun bahasa yang sama (Kra-Dai). Sebaliknya, di wilayah Amerika Latin mayoritas antar negara dapat saling berkomunikasi menggunakan bahasa Spanyol, atau bahasa Portugis dan Brazil yang masih satu rumpun. Hal ini sedikit banyak menjelaskan mengapa sastra di Amerika Latin cukup kompak jika dibandingkan dengan Asia Tenggara.

Jika dilihat dari sisi penjajahan, mayoritas negara di Amerika Latin sudah merdeka lebih dulu daripada rata-rata Asia Tenggara yang baru merdeka pada abad-20. Penggunaan bahasa kolonial, membuat Amerika Latin mudah dipahami oleh Eropa yang merupakan pusat ilmu pengetahuan. Didukung dengan banyaknya akademisi Amerika Latin yang banyak belajar dan berkarya di Eropa, hingga pulang membawa kekayaan ilmu pengetahuan. Keuntungan geografis ini tentu tidak didapat Asia Tenggara yang terletak jauh dari Eropa atau Amerika.

Beberapa fakta ini tentunya menunjukkan keunikan atau tantangan sastra Asia Tenggara. “Berapa banyak sastrawan Asia Tenggara yang belajar bahasa Asia Tenggara lainnya?” tanya Gladhys, mahasiswa Pascasarjana Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa UGM. Pertanyaan ini memancing diskusi aktif antar peserta. Tentu jawabannya tidak banyak. Sastrawan Asia Tenggara cenderung menerjemahkan karyanya ke bahasa Inggris, baru kemudian diedarkan ke kawasan Asia Tenggara, yang permintaannya pun tidak banyak. Sebagai contoh, novel terkenal Laskar Pelangi yang diterjemahkan ke banyak bahasa, namun tidak satupun bahasa Asia Tenggara.

Ketertarikan Gladhys pada topik ini berawal ketika Ia menjadi asisten kurator sastra di komunitas seni. Baginya, sastra Asia Tenggara yang kaya ini memiliki berbagai tantangan yang harus segera diselesaikan. Salah satunya adalah kemampuan dan kemauan untuk saling belajar bahasa Asia Tenggara. “Saya juga penasaran membaca sastra Thailand. Tapi tentu susah didapatkan disini dan perbedaan bahasa,” ujarnya sebagai penutup.

Tags: sastra seachat

Leave A Comment Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*

Recent Posts

  • CESASS UGM menyambut perwakilan dari Asian School of Business-MIT Sloan School of Management, Malaysia
  • PSSAT UGM selenggarakan The 17th International Asian Urbanization Conference
  • Kepala Pusat Studi Sosial Asia Tenggara (PSSAT) UGM menjadi pembicara pada acara Global Immersion Guarantee (GIG) Program UGM, ACICIS, and Monash University
  • CESASS UGM Menyambut Kunjungan Pimpinan Harvard-Yenching Institute
  • Seminar dan Monitoring-Evaluasi Akhir RKI 2024 Proyek Riset “Creative, Innovative, and Smart Sustainable City Concept for Capital City.”
Universitas Gadjah Mada

Pusat Studi Sosial Asia Tenggara
Universitas Gajah Mada

Gedung PAU, Jl. Teknika Utara
Daerah Istimewa Yogyakarta 55281
pssat@ugm.ac.id
+62 274 589658

Instagram | Twitter | FB Page | Linkedin |

© Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju