Sebagai wilayah yang sedang bertumbuh pesat dari berbagai bidang, Asia Tenggara ternyata memiliki kesamaan dengan Amerika Latin. 2 wilayah ini berbagi kesamaan latar belakang sejarah dengan kolonialisme, pluralisme budaya, dan spiritualismenya. Pusat Studi Asia Tenggara (PSSAT) Universitas Gadjah Mada (UGM) menggelar SEA CHAT #22 “Regional Literature Between SEA and Latin America, What Makes the Differences?” oleh Gladhys Elliona Syahutari. Diskusi seputar perkembangan literatur antar 2 wilayah pada Jumat (28/02/2020) di Perpusatakaan PSSAT ini dihadiri oleh umum dan mahasiswa magang dari Singapura, Belgia, dan Filipina.
Faktanya, 4 dari 11 negara di Asia Tenggara ternyata bisa memahami bahasa satu sama lain. Sebut saja Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Brunei dengan rumpun akar bahasa Melayu atau Austronesia. Demikian juga Thailand dan Laos, walau tidak begitu bisa memahami satu sama lain, namun berasal dari rumpun bahasa yang sama (Kra-Dai). Sebaliknya, di wilayah Amerika Latin mayoritas antar negara dapat saling berkomunikasi menggunakan bahasa Spanyol, atau bahasa Portugis dan Brazil yang masih satu rumpun. Hal ini sedikit banyak menjelaskan mengapa sastra di Amerika Latin cukup kompak jika dibandingkan dengan Asia Tenggara.
Jika dilihat dari sisi penjajahan, mayoritas negara di Amerika Latin sudah merdeka lebih dulu daripada rata-rata Asia Tenggara yang baru merdeka pada abad-20. Penggunaan bahasa kolonial, membuat Amerika Latin mudah dipahami oleh Eropa yang merupakan pusat ilmu pengetahuan. Didukung dengan banyaknya akademisi Amerika Latin yang banyak belajar dan berkarya di Eropa, hingga pulang membawa kekayaan ilmu pengetahuan. Keuntungan geografis ini tentu tidak didapat Asia Tenggara yang terletak jauh dari Eropa atau Amerika.
Beberapa fakta ini tentunya menunjukkan keunikan atau tantangan sastra Asia Tenggara. “Berapa banyak sastrawan Asia Tenggara yang belajar bahasa Asia Tenggara lainnya?” tanya Gladhys, mahasiswa Pascasarjana Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa UGM. Pertanyaan ini memancing diskusi aktif antar peserta. Tentu jawabannya tidak banyak. Sastrawan Asia Tenggara cenderung menerjemahkan karyanya ke bahasa Inggris, baru kemudian diedarkan ke kawasan Asia Tenggara, yang permintaannya pun tidak banyak. Sebagai contoh, novel terkenal Laskar Pelangi yang diterjemahkan ke banyak bahasa, namun tidak satupun bahasa Asia Tenggara.
Ketertarikan Gladhys pada topik ini berawal ketika Ia menjadi asisten kurator sastra di komunitas seni. Baginya, sastra Asia Tenggara yang kaya ini memiliki berbagai tantangan yang harus segera diselesaikan. Salah satunya adalah kemampuan dan kemauan untuk saling belajar bahasa Asia Tenggara. “Saya juga penasaran membaca sastra Thailand. Tapi tentu susah didapatkan disini dan perbedaan bahasa,” ujarnya sebagai penutup.