Center for Southeast Asian Social Studies Universitas Gadjah Mada mengadakan diskusi panel bertajuk SEA Talk #44 yang diselenggarakan pada tanggal 10 Maret 2022. Secara umum, CESASS UGM memiliki kepedulian terhadap sosial, ekonomi, politik, dan isu-isu budaya di kawasan Asia Tenggara sebagaimana disampaikan dalam diskusi panel. Dalam pembicaraan SEA Talk #44 ini, Prof. Dr. phil. Hermin Indah Wahyuni, S.IP, M.Si. selaku ketua CESASS UGM membuka dan menyambut peserta dan pembicara yang telah bergabung dan berpartisipasi dalam diskusi panel SEA Talk #44. Pembicara akan dibawakan oleh Drs. Moh. Arif Rokhman, M.Hum. Ph.D., yang merupakan Dosen Sastra Inggris Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada.
Pada sesi pertama SEA Talk #44, Muh. Arif Rokhman mengangkat topik yang berjudul “Hal lain dalam Sastra Islam Abad 21 di Indonesia” khususnya di awal abad 21. Muh. Arif Rokhman mengatakan bahwa penelitian ini merupakan karya sastra yang ditulis oleh para penulis dari Forum Lingkar Pena, sebuah asosiasi penulis Muslim di Indonesia. Teori yang diterapkan adalah postkolonial meliputi perjumpaan, mimikri, dan hibriditas. Presentasi berfokus pada analisis tekstual fokus pada pertemuan Muslim Indonesia dengan orang lain, termasuk orang barat, ikon dari budaya populer barat, Muslim asing, dan non-Muslim Indonesia. Muh. Arif Rokhman mengawali analisis dengan menelusuri asal usul sastra Islam yang berasal dari Sumatera dengan terbitnya novel ‘Kehilangan Mestika’ pada tahun 1935. Hal ini diikuti dengan munculnya sekelompok pengarang Muslim dari Sumatera antara lain Hamka, Rifa’I Ali, dan A Hasmy . Pembahasan Islam sebagai sebuah konsep dalam sastra muncul pada tahun 1930-an. Berawal ketika Hamka menjadi redaktur Pedoman Masjarakat. Pada tahun 1940, sastrawan Sumatera terus memainkan peran penting dalam diskusi sastra Islam. Pada tahun 1943 peran sastra sebagai sarana penunjang dakwah digagas oleh Dimyati. Pada pertengahan 1950-an, kelompok budaya Islam menetapkan keyakinan artistik mereka sebagai tanggapan terhadap Lekra yang berafiliasi dengan Komunis dan manifesto humanis universal yang disebut Mukadimah dan Surat Kepercayaan Gelanggang Pada 1960-an, Lesbumi sendiri didirikan untuk melawan aktivitas Lekra. Tahun 1970-an dan 1980-an dianggap sebagai periode sastra yang terkenal dengan ‘kembali ke akar tradisi’, masa di mana tradisi diprioritaskan sebagai sumber inspirasi utama karya sastra mereka. Pada tahun 1984, Hasjmy mengajukan rumusan yang menarik tentang esensi sastra Islam dalam bukunya yang berjudul “Apa Tugas Sastrawan Sebagai Khalifah Allah”. Kemudian Moh. Arif Rokhman melanjutkan diskusi mengenai pembentukan Forum Lingkar Pena yang dibentuk pada masa reformasi Indonesia tahun 1997 dari Fakultas Sastra Universitas Indonesia, dengan tujuan untuk mempromosikan Islam melalui sastra. Kegiatannya meliputi perekrutan calon penulis, dan pelatihan serta penerbitan tulisan mereka.
Hasil penelitiannya adalah, bahwa karakter Islami tetap kuat dalam keyakinan Islam mereka sementara orang Barat mengalami transformasi yang cukup besar mengenai kepekaan agama mereka. Kedua, ikon barat memberikan energi dan inspirasi yang cukup bagi karakter lokal untuk mengubah diri mereka sendiri untuk membawa perubahan di lingkungan terdekat mereka. Perjumpaan antara tokoh utama Muslim Indonesia dengan Muslim dari bangsa lain memberikan ruang untuk berargumentasi bahwa Muslim Indonesia memiliki “akhlaq” yang sempurna. Terakhir, Muh. Arif Rokhman menjelaskan bahwa menghadapi masyarakat Muslim Indonesia dan sesama masyarakat Indonesia menggambarkan pertemuan antara Muslim Indonesia yang saleh dan Indonesia Kristen dan juga Indonesia Jawa yang beragama Islam nominal, sehingga protagonis tetap kuat dengan keyakinannya dan menangani pelanggaran prinsip-prinsip Islam, kepercayaan tradisional, dan penginjilan.