“Area studies programs were closed or merged into other units; on the eve of the September 11 attacks, half of the top political science departments in the United States did not have a Middle East studies program. ”
—
Kalimat diatas merupakan tulisan Francis Fukuyama yang dikutip oleh Dr. Budiawan sebagai pembuka diskusi SEA-Talks #5, selasa sore (29 Maret 2016) di ruangan Indonesia Pusat Studi Sosial Asia Tenggara. tulisan yang menggambarkan bagaimana nasib terkini secara kelembagaan dari kajian-kajian kawasan di amerika. Pandangan mengenai Krisis pada kajian kawasan oleh Francis Fukuyama tersebut didukung pula dengan tulisan dari Professor Robert Elson yang menyebutkan bahwa, 10 Tahun yang lalu, Asian Studies di Australia memiliki aktivitas yang kuat. Namun kondisinya sekarang telah menurun, dan diyakini hanya Australia National University yang masih bertahan dalam krisis ini.
Dr. Budiawan yang merupakan alumni dari program studi Southeast Asia Studies dari National University of Singapore ini menyebutkan bahwa krisis yang dialami kajian kawasan tidak mengecualikan kajian kawasan asia tenggara di dalamnya. Dirinya mengkritik penamaan Southeast Asia, yang dalam sejarahnya merupakan hasil pemberian orang-orang dari luar kawasan ini. Dalam beberapa literatur sejarah menyebutkan bahwa sampai pertengahan abad 19 nama Southeast Asia masih belum lahir. Barulah pada akhir abad 19 hingga awal abad 20, nama Southeast Asia hadir sebagai konotasi kultural, yaitu kawasan yang berada di selatan (south)–nya China dan timur (east)-nya India. Hingga pada 1930-an nama ini semakin populer dan banyak digunakan di beberapa negara.
Nama Southeast Asia kemudian bergeser dari yang semula kawasan yang berkonotasi kultural menjadi berkonotasi geo-politis atau geo-strategis setelah dikeluarkannya South-east asia command (SEAC) oleh Inggris pada perang pasifik. Kawasan SEAC terbentang dari Ceylon (Sri-Lanka) hingga perbatasan tiongkok- Indo China termasuk didalamnya kawasan Hainan, serta Indonesia bagian barat dan tengah. Sedangkan daerah Filipina dan Indonesia bagian timur tidak termasuk didalamnya karena dalam tanggungjawab Amerika.
Setelah perang dunia ke II selesai, proses pelembagaan kawasan Asia Tenggara sebagai bidang studi mulai berjalan. Hal ini ditandai dengan lahirnya program studi kawasan Asia Tenggara di University of London (1946), Yale University (1947), Cornell University (1950) dan seterusnya. Didirikannya kajian Asia Tenggara ini ditengarai oleh adanya hubungan antara pengetahuan dan kekuasaan, yang dimana kajian Asia Tenggara dimaknai sebagai kajian dalam “perspective of the outsiders”, yang kental dengan nuansa perfektif modernist atau developmentalist.
Menurut Dr. Budiawan hal di atas semakin menandai bahwa kajian-kajian kawasan dan orientalisme sebagai proyek modernisasi masyarakat pasca-kolonial. Kajian-kajian kawasan dan orientalisme semakin dirasa tenggelam dengan anggapan sebagai kajian yang sangat bernuansa euro-america centris. Munculnya poststrukturalisme yang kemudian mengilhami kelahiran postkolonialisme memberikan kritik keras terhadap pandangan orientalisme. Hal ini kemudian semakin meningkatkan tensi krisis pada kajian kawasan, karena dirasa semakin minim sisi epistemisnya.
Hal ini dirasa semakin parah dengan lambannya perkembangan kelembagaan kajian kawasan Asia Tenggara di Asia Tenggara sendiri. Meski telah dimulai pada tahun 1955 di Univeristy of Philippines, kemudian terbentuknya ISEAS (Instute of Southeast Asian Studies) pada tahun di 1968,lalu lahirlah Southeast Asia Studies di University of Malaya pada tahun 1976 meski sebelumnya proposalnya pernah digagalkan pada tahun 1961, namun perhatian terhadap kajian kawasan ini dirasa masih kurang.
Baru setelah 1990an, kajian Asia Tenggara di Asia Tenggaraa menunjukan kemajuan secara kelembagaan dengan didirikan program Southeast Asian Studies pada level sarjana dan pasca-sarjana di beberapa universitas di negara-negara Asia Tenggara, seperti; Universiti Sains Malaysia, National University of Singapore, Chulalongkorn University. Tren ini kemudian berlanjut pada tahun 2000-an, dimana Thammasat University, dan beberapa universitas lain di Vietnam dan Filipina mulai mendirikan program studi untuk kawasan Asia Tenggara. Lalu bagaimana kondisinya di Indonesia ?
Para ilmuan kemudian melihat ada beberapa tawaran yang dapat menjaga kajian ini tetap eksis sebagai sebuah bidang keilmuan. Ariel Heryanto dan K. Summit Mandal menyebutkan bahwa kajian kawasan Asia Tenggara harus lebih mengedepankan aspek pertautan dan perbandingan. Charnvit Kasetsiri menyebutkan bahwa kajian ini harus dilihat potensi utnuk menjadi “mirrors of one another”. Atau pandangan dari Goh Beng Lan yang secara kritis menyebutkan bahwa kajian ini seharusnya menjadi pabrik produksi pengetahuan yang decentre dan diversify, atau sebagai alternatif yang berbeda dan tidak terhubung dengan ide-ide barat. Pandangan terbaru dari Fadjar I. Thufail yang menyebutkan kajian ini harus mengedepankan sebagai strategi penelitian yang memiliki topik yang menghubungkan satu tempat dengan tempat lainnya dengan membayangkan bagaimana mereka terhubung untuk membentuk jaringan.