Perubahan iklim merupakan bencana yang tak sepenuhnya datang dari alam. Manusia juga turut berkontribusi mempercepat keadaan ini dengan perilaku yang tak ramah dengan lingkungan, antara lain menebang pohon, pemborosan air, hingga penggunaan sampah plastik dalam jumlah besar. Indonesia menyumbang 9 juta ton/tahun sampah plastik yang dari jumlah tersebut, 3,6 juta ton sampah berakhir di laut. Keadaan ini membuat Indonesia menjadi negara yang menyumbang sampah plastik terbesar di Asia Tenggara.
Menyingkapi persoalan ekologi yang menanti manusia, Prof. Judith Schlehe (Freiburg University, Jerman) dan tim peneliti dari Pusat Studi Sosial Asia Tenggara (PSSAT) Universitas Gadjah Mada melakukan penelitian yang menyoroti sampah sebagai bencana lingkungan yang diciptakan manusia. Bersama Dr.phil.Vissia Ita Yulianto, salah satu peneliti PSSAT UGM, Prof. Judith Schlehe memaparkan hasil penelitian mereka di kota Yogyakarta, Bantul, Gunungkidul, dan sepanjang pantai di Laut Selatan Jawa. Penelitian ini menjadi bagian dari penelitian Komunikasi Ekologi dalam Penanggulangan Bencana Maritim di Asia Tenggara dalam program World Class Profesor (WCP).
Progres penelitian tersebut kemudian dipaparkan dalam seminar bertajuk Waste as an Enviromental Disaster: Socio-Religious Practices at the South Coast of Java (25/9) di Ruang Indonesia, PSSAT UGM. Penelitian ini berfokus pada koneksi antara kehidupan sehari-hari masyarakat dengan sikap mereka terhadap sampah dalam konteks sosial dan budaya. Ternyata masih banyak masyarakat yang tidak mengetahui pengelolaan sampah sehingga sampah dibuang di sungai atau dikubur di dalam tanah. Hal ini sangat berbahaya karena akan mencemari air dan tanah (lingkungan).
Tim peneliti PSSAT UGM dan Prof Judith Schlehe menginvestigasi perilaku masyarakat yang membuang sampah dengan sikap para pembuat kebijakan terhadap isu ini. Mengambil sudut pandang antropologi sosial budaya, para peneliti ini mengkaji bagaimana keterhubungan persepsi tentang alam, dinamika sosial, dan praktek-praktek peduli sampah saling berkaitan dalam upaya untuk menjaga alam dan normalisasi bencana di Laut Selatan Jawa. Penelitian ini memadukan pendekatan konseptual dengan aktivisme.
Hal yang menarik dari penelitian ini adalah ada upaya dari kelompok masyarakat untuk menjaga alam dengan menggunakan perspektif sosial-religius. Kepercayaan agama-agama tertentu yang sebelumnya memposisikan manusia sebagia penguasa alam kemudian dimaknai ulang agar manusia dapat berelasi dengan alam. Hasilnya, muncul gerakan-gerakan peduli lingkungan bernafaskan sosial-religius yang bertujuan meningkatkan kesadaran masyarakat akan lingkungan. Pendekatan sosial-religius ini dipandang cukup berhasil karena masyarakat masih memegang atau mempercayai dogma agama maupaun nilai-nilai sosial tertentu. Dalam hal ini, nilai-nilai religiusitas dan sosial tersebut mendorong masyarakat untuk hidup integral dengan alam. (Meike/Ilaria)