Pada Selasa (28/03/2023), Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada bernama Shynna Nor M. Siawan mempresentasikan proyek advokasinya yang bertajuk “Ketentuan Larangan FGM (Sunat Perempuan) dari Indonesia ke Dunia Global”. Kegiatan Sharing Session merupakan bagian dari program magang di Pusat Studi Sosial Asia Tenggara Universitas Gadjah Mada. Ia membagikan topik ini karena ingin menyebarkan kesadaran bahwa FGM telah menjadi isu besar di dunia.
Di awal paparannya, Shynna mengatakan bahwa Female Genital Mutilation (FGM) atau Sunat Perempuan adalah tradisi kuno menghilangkan alat kelamin luar perempuan (dilakukan pada anak-anak) tanpa resep dokter. Biasanya ini terjadi di negara-negara mayoritas berpenduduk Islam seperti Indonesia, Brunei, Malaysia, Filipina, Afrika, dll. Mereka melakukan FGM untuk beberapa alasan seperti menjaga kesucian, kebersihan, dan pengendalian hasrat seksual dari wanita. Sayangnya, praktik ini telah diturunkan dari generasi ke generasi. Banyak perempuan muda akhirnya mempraktekkan FGM karena mereka telah diindoktrinasi bahwa itu adalah hal yang benar untuk dilakukan.
Di sisi lain, Shynna mengatakan bahwa FGM menyebabkan masalah jangka panjang bagi perempuan seperti masalah menstruasi, trauma psikologis, masalah persalinan, dan hilangnya hasrat seksual perempuan. Pada tahun 2016, Indonesia telah mencoba untuk melarang praktik FGM namun menghadapi protes dari beberapa organisasi keagamaan. Pada akhirnya, praktik FGM tersebut dilakukan dengan syarat menggunakan bantuan medis. Meskipun demikian, realitanya Indonesia belum memiliki regulasi yang jelas tentang FGM. Banyak praktik yang masih dilakukan di berbagai daerah.
Menurut data Shynna, 83,7% masyarakat Gorontalo masih melakukan FGM dan sekitar 60 juta perempuan telah mengalami FGM. Berdasarkan penelitiannya, ia memiliki 6 poin mengapa topik ini penting. Pertama Itu tidak benar-benar memiliki banyak eksposur global. Kedua, melanggar hak seksual dan reproduksi perempuan. Ketiga, hasil dari latihan ini agak berbahaya, mempengaruhi banyak aspek. Keempat, agama sebagai instrumen dalam menegakkan praktik hingga saat ini. Kelima, telah menjadi masalah interseksional yang normatif pada masyarakat tertentu. Terakhir, perlu dievaluasi kembali kebijakan yang ada terhadap FGM (Incremental policy).
Shynna dan tim menawarkan beberapa mekanisme atau ketentuan untuk melarang FGM. Mereka akan bekerja sama dengan berbagai pemangku kepentingan antara lain kementerian, organisasi Islam, organisasi internasional, dan akademisi kampus. Di akhir presentasi, audiens berdiskusi mengenai pro dan kontra FGM. Selain itu mereka juga membahas mengapa FGM tidak umum di beberapa daerah dan bagaimana mencegah penyebaran di daerah lain.
Oleh: David Safri Anggara