Dewasa ini, penggunaan tentara anak dalam konflik bersenjata kian merebak. Ribuan anak melayani sebagai tentara dalam konflik bersenjata diseluruh belahan dunia, seperti Suria, Irak, Myanmar, dan Sudan Selatan. Anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan, bertugas di pasukan angkatan bersenjata pemerintah dan kelompok oposisi bersenjata. Mereka mungkin bertarung di garis depan, berpartisipasi dalam misi bunuh diri, dan bertindak sebagai mata-mata. Anak-anak perempuan mungkin dipaksa menjadi budak seksual. Banyak dari mereka yang diculik atau direkrut secara paksa, sementara yang lain bergabung karena putus asa dan berbekal atas kepercayaan bahwa kelompok-kelompok bersenjata menawarkan kesempatan terbaik mereka untuk tetap bertahan hidup.
Myanmar telah dipengaruhi oleh beberapa konflik bersenjata internal yang berjalan paling lama di dunia. Setelah kemerdekaan dari Inggris pada tahun 1948, kegagalan untuk menyetujui penyelesaian politik yang komperehensif tentang pembagian kekuasaan menyebabkan konflik antara sejumlah kelompok etnis minoritas. Setelah angkatan bersenjata Tentara Nasional Myanmar (Tatmadaw) merebut kekuasaan pada tahun 1962, Myanmar bekerja dibawah kediktatoran militer yang represif selama hampir setengah abad. Tatmadaw dan hampir semua kelompok etnis Burma secara sistematis merekrut tentara anak-anak. Disamping angkatan bersenjata nasional milik pemerintah, kelompok bersenjata etnis, seperti Karen National Liberation Army, Kachin Independence Army (KIA), the Shan State Army (SSA), and the Ta’ang National Liberation Army di negara bagian Kachin, Kayin, dan Shan adalah perekrut utama tentara anak-anak. Baik Tatmadaw dan kelompok bersenjata etnis mempunyai kebijakan tersendiri yang melarang perekrutan anak, namun mereka konflik bersenjata internal masih berlanjut, anak-anak umumnya masih direkrut dan digunakan oleh pihak-pihak yang bertikai. Transisi ke pemerintahan sipil dimulai pada 2011.
Konflik bersenjata internal Myanmar telah ditandai oleh pelanggaran HAM berat, serangan terhadap warga sipil, dan pemindahan massal, dengan anak-anak banyak digunakan oleh angkatan bersenjata negara dan kelompok-kelompok bersenjata. Meskipun usia pendaftaran minimum 18 tahun, sejumlah besar anak laki-laki direkrut, seringkali secara paksa, ke dalam tentara nasional, dengan beberapa dikirim ke garis depan jauh dari rumah dan dipaksa untuk bertempur dalam kondisi yang melelahkan dan berbahaya. Selama bertahun-tahun, para peneliti telah menetapkan bahwa penyebab utama peningkatan dalam perekrutan dan penggunaan tentara anak dapat dikaitkan dengan adanya konflik sipil / perang, ketidakstabilan politik, dan indoktrinasi yang kuat oleh tentara dan kelompok pemberontak. Dalam kasus Myanmar, dua penyebab utama tentara anak adalah konflik etnis yang sedang berlangsung dan ketidakstabilan politik. Faktor-faktor ini menciptakan lingkungan di mana bisnis dan sekolah tidak dapat berfungsi menyebabkan faktor-faktor lain seperti kemiskinan, buta huruf, pengangguran, pengaruh ideologis, dan budaya menjadi penyebab sekunder tentara anak.
Paris Principles on the Involvement of Children in Armed Conflict 2007, mendefinisikan seorang tentara anak sebagai “setiap orang dibawah usia 18 tahun yang, atau telah, direkrut atau digunakan oleh angkatan bersenjata atau kelompok bersenjata dalam kapasitas apa pun, termasuk tetapi tidak terbatas pada anak-anak, anak laki-laki dan perempuan, digunakan sebagai pejuang, koki, kuli angkut, mata-mata, atau untuk tujuan seksual”. Pemerintah Myanmar pada Februari 2017 telah menandatangani Paris Principles on the Involvement of Children in Armed Conflict 2007 ini sebagai suatu kerangka kerja internasional yang penting untuk reintegrasi anak-anak ke dalam kehidupan sipil.
Pada dasarnya, Hukum Humaniter Internasional pun melarang perekrutan dan penggunaan anak-anak dalam konflik bersenjata. Larangan ini juga berlaku untuk konflik bersenjata internasional dan non internasional. Menurut Pasal 3 common articles Konvensi Jenewa 1949, kasus Myanmar dikategorikan sebagai konflik bersenjata non internasional (konflik internal), karena berlangsung dalam batas-batas wilayah suatu negara. Pasal tersebut berlaku pada konflik antara pasukan Pemerintah dan pasukan pemberontak atau antara dua pasukan pemberontak atau pada konflik lain yang mempunyai seluruh karakteristik perang tetapi berlangsung di dalam batas-batas wilayah sebuah negara.
Pada konflik bersenjata non internasional, anak-anak dilindungi oleh jaminan mendasar bagi orang-orang yang tidak ikut serta secara langsung dalam permusuhan, sebagaimana yang dituangkan dalam Pasal 3 ayat 1 Konvensi Jenewa 1949 dan Pasal 4 Protokol Tambahan II. Bunyi Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 adalah sebagai berikut:
“Dalam hal sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional yang berlangsung dalam wilayah salah satu dari Pihak Peserta Agung; tiap Pihak dalam sengketa itu akan diwajibkan untuk melaksanakan sekurang-kurangnya ketentuan-ketentuan berikut:
- Orang-orang yang tidak turut serta aktif dalam sengketa itu, termasuk anggota angkatan perang yang telah meletakkan senjata-senjata mereka serta mereka yang tidak lagi turut serta (hors de combat) karena sakit, luka-luka, penahanan atau sebab lain apapun, dalam keadaan bagaimanapun harus diperlakukan dengan kemanusiaan, tanpa perbedaa merugikan apapun juga yang didasarkan atas suku, warna kulit, agama atau kepercayaan, kelamin, keturunan atau kekayaan, atau setiap kriteria lainnya serupa itu. Untuk maksud ini, maka tindakan-tindakan berikut dilarang dan tetap akan dilarang untuk dilakukan terhadap orang-orang tersebut diatas pada waktu dan ditempat apapun juga:
(a) tindakan kekerasan atas jiwa dan raga, terutama setiap macam pembunuhan, pengudungan, perlakuan kejam dan penganiayaan;
(b) penyanderaan;
(c) perkosaan atas kehormatan pribadi, terutama perlakuan yang menghina dan merendahkan martabat;
(d) menghukum dan menjalankan hukuman mati tanpa didahului keputusan yang dijatuhkan oleh suatu pengadilan yang dibentuk secara teratur, yang memberikan segenap jaminan peradilan yang diakui sebagai keharusan oleh bangsa-bangsa beradab.”
Pasal 4 Protokol Tambahan II menjelaskan adanya jaminan-jaminan dasar dan mengharuskan adanya perhatian perawatan dan bantuan khusus untuk anak, sebagaimana tercantum pada ayat 3 huruf c, yaitu adanya larangan bagi anak-anak yang belum mencapai usia lima belas tahun untuk direkrut dalam angkatan perang ataupun kelompok-kelompok tertentu, dan turut serta dalam permusuhan. Bunyi Pasal 4 ayat 3 Protokol Tambahan II adalah sebagai berikut:
“3. Anak-anak harus mendapatkan perhatian perawatan dan bantuan yang mereka butuhkan terutama:
(a) dalam bidang pendidikan, termasuk pendidikan agama dan keusilan, sesuai dengan keinginan orang tua mereka, atau dalam keadaan tidak ada orang tua, keinginan dari mereka yang bertanggung jawab atas perawatan anak-anak itu;
(b) Harus diambil langkah yang patut untuk mempemudah bersatunya kembali keluarga yang terpisah sementara;
(c) Adanya larangan bagi anak-anak yang belum mencapai usia lima belas tahun untuk direkrut dalam angkatan perang ataupun kelompok-kelompok tertentu, dan turut serta dalam permusuhan;
(d) Memberikan perlindungan istimewa sebagaimana ditetapkan dalam Pasal ini bagi anak-anak yang belum mencapai umur lima belas tahun, akan tetap berlaku bagi mereka, seandainya mereka ikut serta secara langsung dalam permusuhan, walaupun telah diatur dalam sub ayat c diatas, dan mereka ditawan;
(e) Mengambil tindakan-tindakan bila diperlukan, bila mungkin dengan seijin orang tua mereka atau undang-undang yang berdasarkan undang-undang atau adat kebiasaan bertanggung jawab atas perawatan mereka, untuk memindahkan anak-anak untuk sementara waktu dari daerah dimana permusuhan sedang berlangsung ke daerah yang lebih aman di dalam negeri, dan menjamin bahwa mereka disertai atas keamanan dan kesejahteraan mereka itu.”
Selanjutnya, mengingat Myanmar juga merupakan negara yang meratifikasi Convention on the Rights of the Child 1989 pada 1991, maka Myanmar tunduk pula kepada ketentuan dalam Article 38 Convention on the Rights of the Child 1989 yang menyatakan bahwa Pemerintah harus melakukan apa saja untuk melindungi dan merawat anak-anak yang terkena dampak perang. Anak-anak dibawah 15 tahun tidak boleh dipaksa atau direkrut untuk mengambil bagian dalam perang atau bergabung dengan angkatan bersenjata.
“1. State Parties undertake to respect and to ensure respect for rules of international humanitarian law applicable to them in armed conflicts which are relevant to the child.
- State Parties shall take all feasible measures to ensure that persons who have not attained the age of fifteen years do not take a direct part in hostilities
- State Parties shall refrain from recruiting any person who has not attained the age of fifteen years into their armed forces. In recruiting among those persons who have attained the age of fifteen years but who have not attained the age of eighteen years, States Parties shall endeavour to give priority to those who are oldest.
- In accordance with their obligations under international humanitarian law to protect the civilian population in armed conflicts, State Parties shall take all feasible measures to ensure protection and care of children who are affected by an armed conflict.”
Pada 27 Juni 2012 silam, antara Tatmadaw dan United Nations Country Task Force on Monitoring and Reporting (CTFMR) telah bersama-sama menandatangani Joint Action Plan between the United Nations Country Task Force on Monitoring and Reporing on Grave Violations against Children and untuk mengakhiri dan mencegah perekrutan dan penggunaan anak-anak oleh Tatmadaw. Berdasarkan Action Plan, pemerintah harus melepaskan anak-anak yang kini menjadi tentara dan melakukan rehabilitasi serta reintegrasi untuk mereka ke dalam kehidupan sipil. Sesuai dengan rencana implementasi, semua tentara anak dibawah umur seharusnya dibebaskan selama 18 bulan dan CTFMR memastikan bahwa tidak akan ada lagi perekrutan tentara anak. Selain itu, pemerintah dan CTFMR telah merencanakan untuk membangun mekanisme pemantauan untuk memungkinkan akses ke pangkalan, personel, dan verifikasi dokumentasi.
Pada September 2014, Pemerintah mengadopsi rencana kerja guna kepatuhan dan mempercepat implementasi Action Plan ini. Pada 2017 silam, Tatmadaw membebaskan 67 anak-anak dan remaja dari jabatannya, dan sejak penandatanganan Joint Action Plan tersebut, total sebanyak 849 anak-anak dan remaja telah dibebaskan oleh Tatmadaw. Pemerintah pun mulai meluncurkan kembali kampanye nasional untuk meningkatkan kesadaran di kalangan masyarakat tentang komitmennya untuk mengakhiri penggunaan dan rekrutmen anak-anak oleh Tatmadaw. Kedepannya, CTFMR meminta kepada Pemerintah untuk mempercepat pembentukan Child Rights Bill, yang mencakup bab tentang anak-anak dan konflik bersenjata, meratifikasi Optional Protocol to the Convention on the Rights of the Child (OPAC), dan melepaskan tersangka anak dibawah umur ketika ada keraguan tentang usia mereka.
Optional Protocol to the Convention on the Rights of the Child (OPAC), yang mulai berlaku pada 12 Februari 2002, turut mengembangkan hak ini, sebagaimana yang tercantum dalam Article 1 sampai dengan Article 4. Pada dasarnya, Optional Protocol to the Convention on the Rights of the Child menaikkan usia minimum untuk perekrutan sukarela anak kedalam angkatan bersenjata, dari 15 tahun pada Article 38 Convention on the Rights of the Child, menjadi usia 18 tahun. Selain itu, Negara Pihak harus mengambil langkah-langkah yang mungkin untuk memastikan bahwa anggota angkatan bersenjata mereka yang berusia dibawah 18 tahun tidak mengambil bagian dalam perang dan bahkan seseorang yang berusia dibawah 18 tahun tidak diwajibkan untuk direkrut kedalam angkatan bersenjata mereka.
Article 1
“States Parties shall take all feasible measures to ensure that members of their armed forces who have not attained the age of 18 years do not take a direct part in hostilities.”
Article 2
“State Parties shall ensure that persons who have not attained the age of 18 years are not compulsorily recruited into their armed forces.”
Article 3
“1. State Parties shall raise the minimum age for the voluntary recruitment of persons into their national armed forces from that set out in article 38, paragraph 3, of the Convention on the Rights of the Child, taking account of the principles contained in that article and recognizing that under the Convention persons under the age of 18 years are entitled to special protection.
- Each State Party shall deposit a binding declaration upon ratification of or accession to the present Protocol that sets forth the minimum age at which it will permit voluntary recruitment into its national armed forces and a description of the safeguards it has adopted to ensure that such recruitment is not forced or coerced.
- States Parties that permit voluntary recruitment into their national armed forces under the age of 18 years shall maintain safeguards to ensure, as a minimum, that:
(a) Such recruitment is genuinely voluntary;
(b) Such recruitment is carried out with the informed consent of the person’s parents or legal guardians;
(c) Such persons are fully informed of the duties involved in such military service;
(d) Such persons provide reliable proof of age prior to acceptance into national military service.
- Each State Party may strengthen its declaration at any time by notification to that effect addressed to the Secretary-General of the United Nations, who shall inform all States Parties. Such notification shall take effect on the date on which it is received by the Secretary-General.
- The requirement to raise the age in paragraph 1 of the present article does not apply to schools operated by or under the control of the armed forces of the States Parties, in keeping with articles 28 and 29 of the Convention on the Rights of the Child.”
Article 4
“1. Armed groups that are distinct from the armed forces of a State should not, under any circumstances, recruit or use in hostilities persons under the age of 18 years.
- States Parties shall take all feasible measures to prevent such recruitment and use, including the adoption of legal measures necessary to prohibit and criminalize such practices.
- The application of the present article shall not affect the legal status of any party to an armed conflict.”
Pada 2015, Myanmar menyambut baik OPAC dan turut menandatanganinya. OPAC adalah sebuah langkah signifikan menuju penghapusan perekrutan dan penggunaan ana-anak dalam konflik bersenjata. Namun, karena Myanmar belum meratifikasi OPAC, belum membuat OPAC sepenuhnya mengikat secara hukum. Dengan meratifikasi OPAC akan menujukkan kemauan politik Myanmar untuk terus menangani masalah ini, sejalan dengan sekitar 85% negara yang telah melakukannya, termasuk setiap anggota ASEAN lainnya. Lebih jauh lagi, dengan meratifikas OPAC akan memberikan jalan untuk memperkuat dialog dengan kelompok-kelompok bersenjata tentang perlindungan anak di bidang-bidang yang mereka kendalikan, dan menyediakan kerangka kerja bagi pemerintah dan organisasi masyarakat sipil untuk menyoroti upaya nasional untuk mengakhiri penggunaan tentara anak.
Selain Tatmadaw, ada tujuh kelompok bersenjata non-negara yang terdaftar oleh Sekretaris Jenderal PBB sebagai “pelaku gigih” dalam perekrutan dan penggunaan anak-anak di Myanmar. Mereka adalah Democratic Karen Benevolent Army (DKBA), Kachin Independence Army (KIA), Karen National Liberation Army (KNLA), Karen National Liberation Army Peace Council, Karenni Army (KA), Shan State Army South (SSA-S), dan United Wa State Army (UWSA).
Di masa yang akan datang, diharapkan akan ada hukuman yang memberikan efek jera bagi perekrut tentara anak serta bagi mereka yang melakukan pelanggaran berat terhadap anak-anak. Terhadap tindakan perekrutan dan penggunaan anak dibawah umur juga perlu dianggap sebagai perbuatan pidana, yang harus diatur lebih lanjut dalam undang-undang nasional Myanmar. Pemerintah pun harus memastikan bahwa anak-anak akan dibebaskan dan diperlakukan dengan baik setelahnya, serta mendapatkan rehabilitasi dan reintegrasi sebelum masuk ke kehidupan sipil. Bagi Tatmadaw dan kelompok bersenjata etnis lainnya, harus memiliki pedoman usia yang diperbolehkan untuk mengikuti perekrutan dan setiap proses rekrutmen nya kelak harus mengacu kepada pedoman usia tersebut.
References
Journal
Kevin. Heppner. (2002). My Gun was Tall as me. Human Rights Watch. Retrieved June 5, 2019, from http://pantheon.hrw.org/reports/2002/burma/
Prajkta. Gupte. (2018). Child Soldiers in Myanmar: Role of Myanmar Government and Limitations of International Law. Penn State Journal of Law and International Affairs,6(1). Retrieved June 6, 2019, from http://elibrary.law.psu.edu/jlia/vol6/iss1/15/
Website
Human Rights Watch. Child Soldiers. Retrieved June 6, 2019, from https://www.hrw.org/topic/childrens-rights/child-soldiers
Office of the Special Representative of the Secretary-General for Children and Armed Conflict. (2017). Myanmar: 849 children and young people released from Tatmadaw since 2012. United Nations. Retrieved from https://childrenandarmedconflict.un.org/myanmar-849-children-and-young-people-released-from-tatmadaw-since-2012/
Legal Basis
Convention on the Rights of the Child
Optional Protocol to the Convention on the Rights of the Child
Paris Principles on the Involvement of Children in Armed Conflict 2007
The Geneva Conventions of 1949 and their Additional Protocols 1977
—
Artikel ini ditulis oleh Rahma Safira S., mahasiswa Sarjana Hukum di Universitas Gadjah Mada, ketika magang di Pusat Studi Sosial Asia Tenggara (PSSAT).
—
Photo by israel palacio on Unsplash