Pada minggu pertama dan kedua bulan September, Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) Kota Pekanbaru Riau bertahan pada status “sangat tidak sehat” dan “berbahaya”. Plt Gubernur Riaupun harus mengumumkan kondisi Darurat Pencemaran Udara. Pasca penetapan status tersebut, tidak juga memberikan arti yang signifikan bagi penanggulangan bencana asap ini. Hingga saat ini jerebu tebal secara fluktuatif masih menyelimuti Kota Pekanbaru, dan kota-kota lainnya di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Sebaliknya, desakan kepada Plt Gubernur semakin kuat untuk mengevakuasi 6,7 Juta warga Riau, bahkan memunculkan kembali keinginan merdeka bagi sekelompok masyarakat yang kehilangan trust kepada Pemerintah Pusat. Bersamaan dengan bencana jerebu ini juga, desakan tuntutan semakin menjadi-jadi kepada perusahaan HTI dan Perkebunan kelapa sawit, untuk bertanggung jawab, dicabut izinnya dan hengkang dari bumi Riau. Akhirnya, hanya hujan lebat yang dapat meredakan amarah masyarakat yang semakin menggebu akibat jerebu ini
Bagaimana sebenarnya kita harus melihat persoalan ini, apakah tidak ada cara-cara atau solusi yang memberikan kebaikan bagi para pihak, yang salah tetap bertanggungjawab dan yang dirugikan dapat mendapatkan kompensasi bermartabat. Sebelumnya, mari secara jernih kita lihat apa yang menjadi akar masalah, masalah, dampak, dan apa saja upaya yang dapat dilakukan agar bencana ini tidak mencapai ulang tahun yang ke-19 pada tahun depan. Bagaimanapun, sudah tampak jelas dampak kerugian yang ditimbulkan, sungguh sangat luar biasa, ratusan ribu orang terkena ISPA, ratusan penerbangan dibatalkan, berminggu-berminggu sekolah diliburkan, disinyalir kerugian ekonomi yang ditimbulkan mencapai 20 trilyun Rupiah pada tahun 2014 dan 22 Trilyun rupiah pada tahun 2015, menyedihkan.
Penyebab dari bencana asap adalah kebakaran gambut secara masif baik yang berada dilahan maupun dihutan. Dalam salah satu acara di TV swasta nasional juga masih memberikan judul “kebakaran hutan”, tidak salah memang, jika kebakaran hutan tersebut berada dilahan gambut, namun kenyataannya, kebakaran ini 70% persen lebih berada di kawasan non hutan. Artinya kebakaran ini lebih tepat dikatakan kebakaran lahan gambut. Kenapa gambut mudah terbakar? jawabannya adalah karena dikeringkan. Kenapa dikeringkan? sebab jika tidak dikeringkan tidak dapat digunakan untuk budidaya tanaman, terutama tanaman kelapa sawit dan tanaman industri seperti akasia yang saat ini sangat mendominasi tutupan lahan di Propinsi Riau.
Jika kita perhatikan secara jeli, kejadian kebakaran lahan ini erat kaitannya dengan keberadaan perusahaan Perkebunan kelapa sawit dan HTI yang hadir pada tahun 1980-an dan mencapai puncaknya pada tahun 1997, dimana terjadi kebakaran lahan hebat dan bencana asap yang sangat hebat. Pada saat itu juga, pertama kalinya pendidikan di Propinsi Riau mengenal libur asap. Hingga saat ini ekpansi perkebunan kelapa sawit dan HTI masih berlangsung, hingga masuk ke gambut kepulauan. Justifikasi penggunaan teknologi yang disebut dengan ekohidro, yakni dengan mengontrol permukaan air (water table) sesuai dengan kebutuhan, jika banjir dilepaskan dan jika musim kemarau di tahan sebagai cadangan air, ternyata terbukti tidak mampu menahan laju kebakaran lahan gambut. Sebab itu pada saat musim kemarau ditambah lagi dengan fenomena El-Nino, gambut kering menjadi “bahan bakar” yang siap membara dengan sedikit percikan api dan tidak mengenal kawasan yang dikuasai oleh perusahaan maupun oleh masyarakat.
Gambut merupakan kesatuan ekosistem yang tidak dapat dipisah-pisahkan pengelolaannya. Manajemen perusahaan yang beroperasi dilahan gambut pada umumnya memiliki kemampuan untuk mempertahankan water table pada musim kemarau. Berbeda dengan lahan masyarakat, yang pada umumnya berada di sekitar lahan HTI maupun perkebunan kelapa sawit. Sebagai contoh, perusahaan kelapa sawit yang bekerjasama dengan masyarakat dalam memenuhi kapasitas produksinya, terdapat banyak lahan masyarakat yang tidak memiliki manajemen lahan yang baik. Secara umum dapat dikatakan, terutama petani swadaya, sangat lemah dalam tata kelola lahan gambut, tidak memiliki kelembagaan yang kuat dan aktivitas ekonomi masyarakat yang monoton dan cendrung ikut-ikutan. Sejauh ini, pemerintah belum mampu melawan hukum ekonomi, masyarakat termotivasi untuk berkebun kelapa sawit sebab permintaan TBS kelapa sawit masih sangat tinggi. Meskipun saat ini harga tidak menguntungkan, tetapi diyakini akan kembali membaik, seperti trend-trend pada tahun sebelumnya.
Nah, disinilah peluang perusahaan, baik HTI maupun kelapa sawit dapat membantu penguatan kapasitas masyarakat dalam pengelolaaan lahan sehingga terjadi simbiosis mutualisme antara perusahaan dan masyarakat, salah satunya melalui CSR yang serius dan bertanggung jawab. Bagaimanapun, motif ekonomi akan mendorong cepat atapun lambat masyarakat untuk membuka lahan. Memunculkan peluang terjadinya kejadian kebakaran lahan untuk terulang kembali. Disamping isu-isu lain, seperti konflik lahan masyarakat lokal, masyarakat lokal dengan masyarakat pendatang, maupun masyarakat dengan perusahaan pada kawasan cadangan, okupasi, dan lain-lain. Perusahaan tidak lagi hanya menunggu pemerintah yang membuat program kepada masyarakat, sebab tidak akan menyelesaikan masalah, dan sebaiknya dapat bekerjasama dengan pemerintah bersama-sama menyelesaikan persoalan masyarakat terutama pencegahan kebakaran lahan yang sinergis dengan program pembangunan yang ada. Sebab harus diakui, pemerintah daerah masih memiliki keterbatasan dalam urusan sumber daya manusia dan dana untuk melakukan program pencegahan kebakaran lahan.
Penguatan tata kelola lahan masyarakat dapat dilakukan bersama-sama dengan pemerintah desa dan masyarakat untuk melakukan pemetaan secara partisipatif seluruh wilayah dan sumberdaya yang dimiliki, sehingga masyarakat lebih mengenali lahan yang dimiliki, lahan sempadan, karakteristik lahan, dan potensi pemanfaatannya. Begitu juga dengan sistem tata kelola lahan, dan juga terutama untuk sistem tata air sehingga kondisi gambut dijaga dalam keadaan basah dan tidak rawan terbakar. Perusahaan juga dapat mengenal lahan masyarakat dan jika dimungkinkan menjadi kesatuan manajemen dengan lahan yang dimiliki perusahaan, dapat mengontrol bersama-bersama permukaan air. Termasuk juga dalam pembuatan sekat kanal oleh masyarakat yang lebih bersifat masif, dimana kanal tersebut memang berada dan dibuat oleh perusahaan. Sehingga tanggung jawab sekat kanal,ataupun pintu air menjadi tanggung jawab perusahaan dan masyarakat, hal ini sangat menguntungkan bagi kedua pihak. Biasanya, perusahaan berdalih tidak mungkin membakar lahan yang sudah ditanami, apalagi mendekati umur siap depanen. Secara rasional, jika memang tidak ada motif yang lain, bisa saja benar, tetapi ketika kebakaran dimulai dari lahan disekitarnya, atau dari lahan masyarakat, maka dapat dipastikan kebakaran juga dapat merembet kelahan perusahaan, dan kedua pihak mengalami kerugian dan dapat dipersangkakan melakukan atau lalai terhadap kejadian kebakaran lahan. Oleh sebab itu kerjasama perusahaan dengan pemilik lahan sekitar konsesi sangat dibutuhkan.
Tidak kalah pentingnya adalah penguatan kelembagaan masyarakat.Secara strategis, masyarakat yang memiliki lahan hamparan disekitar perusahaan dapat membentuk kelompok, seperti kelompok tani, yang selain berfungsi sebagai media belajar, produksi dan ekonomi, dapat juga menjadi Masyarakat Peduli Api (MPA), sebab hakikatnya MPA bukanlah masyarakat yang memadamkan api ketika terjadi kebakaran, kenyataannya mereka memang tidak mampu melakukan itu, terkecualai untuk api yang masih sangat kecil.Akan tetapi, MPA adalah orang-orang yang harus peduli dengan kejadian kebakaran dengan tidak melakukan aktifitas yang menyebabkan terjadinya kebakaran lahan, dan saling peduli untuk mengingatkan masyarakat yang lain untuk tidak melakukan aktifitas pembakaran lahan, dengan alasan apapun. Masyarakat yang memiliki lahan disekitar lahan perusahaan, pasti mereka yang sangat peduli dengan lahan mereka miliki, secara emosinal mereka memiliki ikatan yang kuat dengan lahan gambut yang mereka kuasai. Dengan membina kelompok, melalui kapasitas mereka dalam pemanfaatan lahan dan membentuk aturan kelompok yang mengikat sesama mereka untuk tidak melakukan aktifitas pembakaran lahan, akan sangat membantu sebagai kontrol sosial kejadian kebakaran lahan.
Secara simultan, penganekaragaman aktifitas ekonomi masyarakat juga dapat dilakukan. Jika masyarakat memang masih ingin membuka lahan sawit, maka tidak dapat terelakkan, sebab sawit masih menjajikan, tetapi tetap diperhatikan dengan tidak melakukan pembakaran lahan, namun bisa dibantu oleh perusahaan untuk penggunaan alat berat. Jika dimungkinkan adanya tanaman yang memang bersahabat dengan ekosistem gambut seperti kelapa ataupun nanas, atau malah memang tanaman yang memang endemik lahan basah seperti sagu, ataupun tanaman kayu seperti meranti bakau dan jelutung. Masyarakat akan dapat memilih dengan bebas sesuai kebutuhan ekonomi yang dimiliki atau berdaulat atas jenis tanaman yang akan dibudidayakan pada lahan yang dimiliki. Disini peran perusahaan untuk bisa membantu kepastian pemasaran produksi pertanian yang di produksi oleh masyarakat.
Ketiga pendekatan tersebut disusun secara terencana, sistematis, dan partisipatif melaluibimbigan dari tenaga pendamping yang terlatih dan memiliki kemampuan menjadi fasilitator. Dana yang dikeluarkan oleh perusahaan dalam pencegahan kebakaran melalui pendamingan masyrakat, akan jauh lebih kecil dari kerugian yang diakibatkan kebakaran lahan, dihitung dari jumlah tanaman yang terbakar dan energi yang dihabiskan untuk menghadapi kasus hukum pembakaran lahan, baik sengaja maupun tidak disengaja. Dengan demikian, terjadi win-win solution yang bertanggung jawab dan bermartabat bagi perusahaan dan masyarakat. Hal ini sudah diujicobakan oleh penulis dengan salah satu perusahaan kelapa sawit di Indragiri Hilir, dan terbukti, terjadi penurunan drastis hotspot secara signifikan, dimana pada tahun 2013 dan 2014 sebagai salah satu penyumbang hotspot terbesar di Inhil, pada tahun 2015 ini, hampir dikatakan zerro hotspot pada desa yang dilakukan kegiatan pendampingan pencegahan kebakaran lahan berbasis desa.
—
Artikel ini ditulis oleh Arifudin, mahasiswa Penyuluhan dan Komunikasi Pembangunan, Sekolah Pascasarjana, UGM dan diterbitkan di harian Riau Pos pada 29 September 2015.