Di era digital, serbuan berita palsu (fake news) dan hoax yang sarat kepentingan politik semakin meresahkan bagi para pembelajar kajian jurnalisme. Pada titik ini, kajian jurnalisme investigasi menjadi layak untuk didiskusikan kembali sebagai tolak ukur dari daya kritis media dalam menghadapi fake news dan hoax yang banyak diberitakan oleh media. Keadaan ini menjadikan aktivitas jurnalistik semakin problematis apalagi di tengah era Post-truth saat ini. Era Post-truth adalah masa dimana bertaburnya berita yang seolah-olah benar, padahal tidak sama sekali. Pada tahun 2016, istilah post-truth dijadikan sebagai words of the year oleh kamus Oxford.
Terkait hal ini, Pusat Studi Sosial Asia Tenggara (PSSAT) Universitas Gadjah Mada mengadakan workshop bertajuk “How to Develop Investigative Journalism in the Post-truth Era” bersama Prof. Dr. David Robie dari Auckland University of Technology, Selandia Baru (9/11/2017). Prof. Robie adalah salah satu visiting professordalam program World Class Professor (WCP) Kemenristekdikti. Bertindak sebagai moderator adalah Dr. Budi Irawanto dari Departemen Ilmu Komunikasi, FISIPOL, Universitas Gadjah Mada. Workshop yang berlangsung selama kurang lebih dua jam ini dihadiri oleh kalangan akademisi, mahasiswa, dan jurnalis yang ada di kota Yogyakarta.
Dalam workshop ini, Prof. Robie yang memiliki keahlian dalam bidang komunikasi dan jurnalisme ini menjelaskan bahwa jurnalisme sejatinya menyediakan informasi yang menguatkan masyarakat, merepresentasikan orang biasa, serta mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang ingin ditanyakan orang biasa, meskipun di sisi lain media dapat menyalahgunakan kekuasaan sehingga hanya mengejar kepentingan bisnis semata. Keadaan ini diperparah dengan kompetisi politik yang melibatkan para pemimpin negara seperti pada kasus fake news yang diumbar Donald Trump atau perseteruan antara Uni Emirat Arab dan Qatar yang membuat masyarakat menjadi bingung dalam mendefinsikan apa dimaksud “fakta” dan “kebenaran”.
Selain itu, hal yang paling diwaspadai adalah hadirnya propaganda yang dapat mempengaruhi masyarakat terhadap agenda tertentu. Ia juga menyinggung bagaimana teknologi dapat menciptakan manipulasi yang dapat memperdaya masyarakat. Prof. Robie mengajak peserta untuk berefleksi terhadap peran jurnalisme investigasi dalam mengecek kekuasaan dan kepentingan dibelakang suatu berita yang disebarkan masif di media. Para jurnalis yang bekerja pada ranah investigasi juga perlu mencari media dan ruang alternatif agar berita investigasi dapat tersebar. Prof. Robie menceritakan bahwa penulisan berita investigasi seringkali sangat berbahaya dan memiliki musuh dari pihak-pihak yang berkuasa. Ia memberi contoh bahwa terbongkarnya The Panama Papers dilakukan oleh para jurnalis yang menyebarkannya di negara-negara yang mengaplikasikan bebas pajak.
Respon peserta workshop juga beragam terkait presentasi dari Prof. Robie, salah satunya adalah respon dari Bambang Muryanto dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta yang mempertanyakan tentang bagaimana jurnalis mendefinisikan fakta-fakta/kebenaran sehingga dapat dibagikan kepada orang lain di era Post-truth ini. Di akhir diskusi, Prof. Robie menambahkan bahwa media sosial berupaya mengurangi beredarnya fake newsdan hoax, namun masih sangat minim. Oleh sebab itu, dalam menghadapi keadaan ini, ia menyarankan perlunya melibatkan dan meningkatkan daya kritis masyarakat untuk memfilter informasi yang beredar baik di media mainstream maupun media sosial. (Meike).