• Tentang UGM
  • IT Center
  • Bahasa Indonesia
    • Bahasa Indonesia
    • English
Universitas Gadjah Mada Pusat Studi Sosial Asia Tenggara
Universitas Gajah Mada
  • Beranda
  • Tentang Kami
    • Selayang Pandang
    • Peneliti
    • Peneliti Mitra
    • Mitra
    • Perpustakaan
  • Penelitian
    • Penelitian
    • Kluster
  • Program
    • Konferensi Internasional
      • Konferensi Urbanisasi Asia Internasional ke-17
      • SEA MCA 2021
      • Symposium on Social Science 2020
      • Symposium on Social Science 2018
    • SUMMER COURSE
      • Summer Course 2021
      • Summer Course 2022
      • Summer Course 2023
      • PROGRAM SUMMER COURSE MMAT 2024 SOCIAL TRANSFORMATION IN CONTEMPORARY SOUTHEAST ASIA
    • CESASS Research Fellowship
    • Magang
      • MAGANG DOMESTIK
      • Aktivitas Magang
      • Essay Magang
    • CESASS TALK
    • CESASS Chat
    • Program Sebelumnya
      • SEA Talk
      • SEA Chat
      • SEA Movie
    • Pelatihan
      • Workshop Kominfo
  • Publikasi
    • Jurnal
    • Buku
    • Prosiding
  • Esai Akademik
    • Ekonomi & Kesejahteraan Sosial
    • Hukum dan Hak Asasi Manusia
    • Media dan Komunikasi
    • Pendidikan
    • Politik dan Hubungan Internasional
    • Sejarah dan Budaya
    • Panduan Artikel
  • Beranda
  • 2016
  • December
Arsip 2016:

December

Mengenal Asia Tenggara

Esai AkademikSejarah dan Budaya Friday, 23 December 2016

Banyak orang keliru dalam mempresepsikan Asia Tenggara dan ASEAN. Sebagian diantaranya mengira bahwa Asia Tenggara merupakan ASEAN, atau sebaliknya. Lalu apa itu “Asia Tenggara” dan “ASEAN”?, dan Bagaimana asal mula munculnya “Asia Tenggara” sebagai “kajian” atau “area studies”?.

Menurut Dr. Agus Suwignyo, Asia Tenggara sebagai sebuah kawasan dirasa belum terlalu dikenal. Indikator yang juga menjadi perhatian beliau adalah saat masyarakat Eropa seringkali menyebut orang – orang Asia Tenggara yang berasal dari negara berbeda di identifikasikan sebagai satu kelompok yang sama. Dr. Agus Suwignyo menjelaskan bahwa sebenarnya status Asia Tenggara dapat dilihat dari tiga aspek yaitu sebagai “konsep” politik dan pertahanan, realitas historis dan area studi.

Asia Tenggara sebagai konsep politik dan pertahanan yang sengaja diciptakan oleh dan untuk kepentingan pihak yang secara historis bukan berasal dari wilayah “Asia Tenggara”. Konsep “Asia Tenggara” dimulai sejak adanya Southeast Asia Command (di bawah Admiral Lord Louis Mountbatten) yang diciptakan bersama oleh presiden Franklin D. Roosevelt dan perdana Menteri Inggris, Winston Churchill pada First Quebec Conference (Agustus 1943) telah melahirkan dimensi politik militer pada wilayah Asia Tenggara. Southeast Asia Command digunakan untuk melawan tentara Jepang yang menguasai Asia Tenggara untuk pertama kali dalam sejarah. Dilanjutkan kemudian dengan perang di Indocina dan adanya teori domino serta dekolonisasi dalam pengertian legal yang sempit, dan memegang peranan penting dalam diterimanya konsep kawasan Asia Tenggara[1]. Asia Tenggara juga digunakan sebagai geopolitik perang dingin yang melahirkan The Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) pada tahun 1967. Kelompok regional ini kemudian mempromosikan kerja sama ekonomi, politik, dan kerja keamanan sebagai bentuk wacana tandingan dari Konferensi Asia Afrika pada tahun 1955. Sampai saat ini ASEAN sudah (masih) memiliki sepuluh anggota yaitu Indonesia, Thailand, Malaysia, Singapura, Filipina, Brunei Darussalam, Vietnam, Laos, Myanmar dan Kamboja. Lalu seperti apa posisi negara lain seperti Timur Leste ?. Timur Leste tidak (belum) bergabung menjadi negara anggota ASEAN, tetapi masuk ke dalam kawasan Asia Tenggara.

Kedua, sebagai realitas historis, jauh sebelum adanya konsep kesatuan dan pemerintahan, masyarakat di kawasan Asia Tenggara sudah saling bersinggungan. Terlihat dari beberapa bahasa, sosial politik dan kultural yang mirip antar negara. Salah satu contoh adalah tradisi gotong royong yang tercemin baik itu level pedesaan hingga level yang lebih besar seperti institusi sosial dan kepemerintahan. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat irisan kesamaan dari sistem nilai, institusi sosial, dan pemerintahan, serta moda ekonomi. Hal tersebut juga dipengaruhi oleh sumber pengaruh “luar” yang relatif sama yaitu dari China, India, Arab dan Eropa. Hal tersebut dijelaskan lebih lanjut di dalam buku berjudul Sejarah Asia Tenggara Modern oleh Leonard Y. Andaya seorang Guru Besar Sejarah Asia Tenggara di University of Hawaii at Manoa dan Barbara Watson Andaya Sejarawan Australia.

Terakhir, status Asia Tenggara sebagai sebuah area studies nyatanya sudah dimulai sebelum Perang Dunia ke – II. Yaitu ketika kelompok ilmuwan yang terdiri dari orientalist dan epigrafer, botanis, zoolog, filolog, sejarawan dan arkeolog meneliti Asia Tenggara. Sedangkan pasca Perang Dunia ke  II Ilmuwan Asia Tenggara menjamur selama Perang Dingin, namun fokus kajianya sebagian besar hanya pada satu area tertentu di Asia Tenggara. Fenomena ini menyebabkan berbagai tantangan epistimologis seperti keajegan konsep “ruang” dan “waktu” dalam batasan “Asia Tenggara”, kebijakan keilmuwan dan Perspektif difusionist dalam penulisan tentang Asia Tenggara. Sayangnya kajian Asia Tenggara lebih menarik bagi orang “luar” yang berarti bahwa saat ini cukup sedikit ahli, peneliti maupun orang-orang yang tertarik pada bidang Asia Tenggara yang merupakan penduduk asli “Asia Tenggara”.

REFERENSI:

[1] Nasir Tamara Mohamad. Studi Indonesia (dan Asia Tenggara) di Amerika Serikat serta pengaruh « American way of thinking ». In: Archipel, volume 33, 1987. pp. 17-56;

 

—

 

Artikel yang ditulis oleh Tania Nugraheni Ayuningtyas, mahasiswa Pariwisata, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, saat magang di Pusat Studi Sosial Asia Tenggara (PSSAT).

 

Interkonektivitas Pariwisata di Asia Tenggara

Esai AkademikSejarah dan Budaya Friday, 23 December 2016

Sebagai sebuah kawasan yang menjadi bagian dari benua Asia, negara-negara di Asia Tenggara memiliki ciri iklim tropis dengan gugusan kepulauan yang mempesona dan sinar matahari sepanjang tahun. Bentang alam mulai dari pegunungan, laut hingga pantai dengan pasir putih dan air berwarna hijau tosca hampir dapat dijumpai diseluruh kawasan ini. Tak sampai disitu saja, kawasan asia tenggara memiliki kekayaan budaya yang secara tangible maupun intangible. Hal ini ditandai dengan adanya 17 warisan budaya yang telah tercatat dalam Daftar Warisan Dunia UNESCO. Setidaknya ini dapat menjadi daya tarik bagi wisatawan di seluruh dunia. Hal tersebut dibuktikan dengan jumlah kedatangan internasional yang cukup signifikan. Data yang dihimpun oleh Pasific Asia Travel Association (PATA) pada tahun 2015 tercatat lebih dari 115 juta kedatangan internasional pada tahun 2015  yang diperkirakan akan mencapai angka 173 juta pada tahun 2018 dengan total pertumbuhan 2% setiap tahunnya. Thailand  masuk dalam peringkat kedua dalam kategori Top Five Fastest Growth Destinations 2014 – 2018 dengan jumlah kedatangan internasional tertinggi yaitu  36 juta, di susul Malaysia 27,7 juta,  Singapura 16,7 juta, sedangkan Indonesia, Kamboja, Filipina, Laos, Myanmar, Brunei Darussalam dan Vietnam masih berada pada angka dibawah 10 juta kedatangan pada tahun 2015.

Dalam rangka untuk terus mengembangkan sektor pariwisata, ASEAN membentuk interkonektivitas di bidang pariwisata melalui ASEAN Tourism Ministers yang menghasilkan strategi pariwisata terpadu yang dituangkan dalam ASEAN Tourism Strategic Plan (ATSP) 2016 – 2025. ATSP 2016 – 2025  berfokus pada dua visi utama. Pertama, meningkatkan daya saing ASEAN dengan menjadi destinasi wisata terintegrasi. Kedua, memastikan bahwa pariwisata di ASEAN memperhatikan aspek inklusif dan keberlanjutan. Hal ini sejalan dengan implementasi dari ASEAN Tourism Strategic Plan 2016-2025 yang kemudian dijabarkan dalam 10 strategi program pengembangan sektor pariwisata yaitu promosi dan pemasaran, pengembangan produk, pengembangan sumber daya manusia, investasi pariwisata, kualitas pelayanan, pariwisata berkelanjutan, fasilitas transportasi pariwisata, keamanan dan keselamatan wisatawan, konektivitas dan infrastruktur, dan isu perubahan iklim.

Salah satu dari sepuluh strategi program pengembangan pariwisata dalam ATSP 2016-2025 yaitu pada strategi promosi dan pemasaran pariwisata di ASEAN. Melalui website www.aseantourism.travel, wisatawan dapat mengakses segala informasi terkait pariwisata seperti event atau festival yang sedang berlangsung, foto dan video kegiatan wisata, memesan tiket pesawat atau hotel, hingga rujukan wisata yang akan membantu mereka dalam menentukan itinerary perjalanan wisata. Langkah promosi juga ditempuh dengan slogan “Southeast Asia feel the warmth” yang menyuguhkan kehormanisan, kebersamaan, kekompakaan negara-negara yang tergabung dalam wilayah ini. Slogan “Southeast Asia feel the warmth” mengkampanyekan kepada setiap negara untuk mengembangkan produk dan daya tarik wisata dengan keunggulan hospitality dengan kearifan lokal khas masyarakat Asia Tenggara. Dengan strategi promosi dan pemasaran pariwisata yang terintegrasi tersebut, diharapkan dapat mendukung terwujudnya ASEAN sebagai “single destination” seperti yang diamanahkan oleh ASEAN Tourism Strategic Plan 2016-2025.

ASEAN meyakini bahwa hasil akhir dari seluruh strategi ATSP 2016 – 2025 akan mampu mengoptimalkan sektor pariwisata sehingga akan memberikan kontribusi terhadap Gross Domestic Product (GDP). Sektor pariwisata di asia tenggara pada tahun 2014 telah menyumbang 4,8% dari total GDP atau menghasilkan sekitar 117,9 Milyar USD, dan diperkirakan akan terus meningkat hingga 4,9% atau 209,4 Milyar USD pada tahun 2025. Hal ini juga akan berdampak kepada semakin terbuka lebar lapangan kerja di Asia Tenggara sejalan dengan investasi yang terus berkembang.

Harapan terakhir dari interkonektivitas pariwisata di Asia Tenggara, bahwa kawasan ini akan menjadi daerah tujuan pariwisata berkualitas yang menyajikan keunikan, keberagaman yang harmonis, dan berkomitmen untuk bertanggung jawab pada pengembangan pariwisata yang seimbang, berkelanjutan dan inklusif, sehingga dapat memberikan kontribusi yang signifikan terhadap kondisi sosial – ekonomi untuk kesejahteraan masyarakat di Asia Tenggara seperti visi yang tercantum dalam ASEAN Tourism Strategic Plan 2016 – 2025.

 

REFERENSI:

https://www.pata.org/tag/statistics/ diakses pada 15 Desember 2016, 14.12 WIB http://64.78.36.53/link/Asia%20Pacific%20Visitor%20Forecasts%202014-2018%20Highlights%20(28Jan14)%20.pdf diakses pada 15 Desember 2016, 14.15 WIB

https://www.wttc.org/-/media/files/reports/economic%20impact%20research/regional%202015/southeastasia2015.pdf diakses pada 15 Desember 2016, 15.03 WIB

http://www.asean.org/storage/2012/05/ATSP-2016-2025.pdf diakses pada 15 Desember 2016, 15.25 WIB

 

—

 

Artikel yang ditulis oleh Tania Nugraheni Ayuningtyas, mahasiswa Pariwisata, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, saat magang di Pusat Studi Sosial Asia Tenggara (PSSAT).

Muslim Rohingya dan Krisis yang Tak Berujung

Esai AkademikPolitik dan Hubungan Internasional Wednesday, 21 December 2016

Sejak tahun 1970-an terhitung terdapat ratusan ribu muslim Rohingya yang kabur dari Myanmar, dengan sebagian besar menggunakan jalur laut untuk mencapai negara-negara tetangga seperti Indonesia, Malaysia, dan Thailand. Namun jumlah pengungsi yang terhitung besar tersebut juga tidak dapat disambut dengan mudah oleh negara-negara yang dituju, karena kekhawatiran atas tidak terkontrolnya arus pengungsi yang masuk. Indonesia merupakan salah satu dari sedikit negara yang dapat berkomunikasi langsung dengan Myanmar mengenai eskalasi konflik yang terjadi. Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno Marsudi mengatakan “Once again I conveyed Indonesia’s concerns to State Counsellor Daw Aung San Suu Kyi regarding the situation in Rakhine state,” setelah diundang oleh Suu Kyi dalam acara makan malam dirumahnya sekaligus membahas secara terbuka situasi yang terjadi di Rakhine.[1] Selain Indonesia, Perdana Menteri Malaysia, Najib Razak memimpin sebuah demonstrasi pada tanggal 4 Desember 2016 mengenai apa yang dia sebut sebagai sebuah “genosida” dari umat minoritas muslim Rohingya di Myanmar. Najib Razak juga mengajak negara-negara tetangga dan dunia internasional untuk maju dalam menekan kekerasan yang terjadi.[2]

Rohingya adalah satu kelompok etnis minoritas muslim yang sebagian besar tinggal di barat Myanmar, wilayah Rakhine. Diperkirakan etnis Rohingya ini berjumlah sekitar 1 juta jiwa dan menganut ajaran Islam Sunni. Hal ini menjadikan etnis Rohingta berbeda dengan kelompok dominan yang menganut agama Budha di Myanmar secara etika, lingualistik, dan agama. Asal-usul etnis Rohingya dapat dilacak dari abad kelima belas ketika ribuan umat islam datang ke kerajaan Arakan. Setelah itu terdapat banyak orang yang datang lagi pada abad kesembilan belas dan awal abad kedua puluh ketika Bengal dan Rakhine diperintah oleh pemerintahan kolonial sebagai bagian dari British India pada waktu itu. Setelah mendapatkan kemerdekaan pada tahun 1948, pemerintah Burma mengganti nama negaranya menjadi Myanmar pada tahun 1989, dan semenjak itu pula telah membantah klaim historis etnis Rohingya dan membantah pengakuan sebagai salah satu dari 135 kelompok etnis di Myanmar. Rohingya secara resmi diidentifikasi oleh pemerintah Myanmar sebagai imigran Bengali ilegal, meskipun fakta menyebutkan bahwa banyak etnis Rohingya yang telah tinggal di Myanmar selama berabad-abad.[3] Pemerintah Myanmar menolak untuk memberikan status kewarganegaraan kepada etnis Rohingya, dan sebagai hasilnya sebagian besar anggota kelompok tidak memiliki dokumentasi hukum, efektif membuat mereka tidak memiliki negara atau stateless. Walaupun pada tahun 1990an terdapat “kartu putih” sebagai kartu identitas sementara bagi masyarakat muslim di Myanmar (sebagian besar etnis Rohingya), namun pada tahun 2015 kartu identitas sementara ini dihapuskan Presiden Thein Sein atas desakan dari pihak Budha Nasionalis. Parlemen untuk Hak Asasi Manusia ASEAN menulis pada bulan April 2015 bahwa “penganiayaan lama terhadap Rohingya telah menyebabkan arus keluar tertinggi pencari suaka laut (di wilayah tersebut) sejak perang AS di Vietnam.”. Penganiayaan yang dimaksud ini adalah kebijakan pemerintah Myanmar, termasuk pembatasan perkawinan, keluarga berencana, pekerjaan, pendidikan, pilihan agama, dan kebebasan bergerak telah melembagakan diskriminasi sistemik terhadap kelompok etnis Rohingya.

Kebijakan pemerintahan Myanmar yang diskriminatif ini ditambah dengan kondisi negara bagian Rakhine sebagai negara bagian paling tidak berkembang di Myanmar. World Bank memperkirakan 78% rumah tangga di Rakhine hidup dibawah garis kemiskinan juga menjadi alasan tambahan mengapa kelompok etnis Rohingya ingin keluar dari Myanmar. kemiskinan yang meluas, infrastruktur yang lemah, dan kurangnya kesempatan kerja memperburuk perpecahan antara umat Buddha dan Muslim Rohingya. Ketegangan ini diperdalam oleh perbedaan agama yang telah beberapa kali ditunjukkan di banyak media massa.[4]

Ketika jumlah korban jiwa dan pengungsi semakin bertambah, menunjukkan bahwa krisis ini tidak akan selesai secepatnya, serta dengan akhir yang baik. Alasan pertama adalah ASEAN sebagai sebuah organisasi regional yang mencakup Myanmar mengedepankan prinsip non-interference. Prinsip ini merupakan fondasi inti dari terbentuknya kerjasama antara negara-negara anggota ASEAN. Prinsip ini pertama kali diperkenalkan pada Deklarasi Bangkok tahun 1967, berisikan mengenai negara-negara anggota ASEAN tidak menginginkan adanya pihak diluar negara untuk ikut campur dalam urusan domestik demi terciptanya stabilitas domestik maupun regional.[5] Dengan adanya prinsip ini maka negara-negara anggota ASEAN yang ingin membantu menyelesaikan krisis etnis Rohingya secara langsung ditahan, dan situasi ini diperparah dengan pemerintahan Myanmar yang tidak menunjukkan adanya keinginan untuk mengakhiri kekerasan yang terus terjadi.

Alasan Kedua adalah Indonesia, Malaysia, Myanmar dan Thailand (termasuk negara-negara ASEAN lainnya) sebagai beberapa tujuan utama pengungsi Rohingya belum meratifikasi Konvensi dan Protokol PBB mengenai Pengungsi. Konvensi Mengenai Status Pengungsi atau dikenal juga dengan Konvensi Pengungsi tahun 1951 merupakan perjanjian multilateral yang menjelaskan siapa itu pengungsi dan menyusun hak-hak apa saja yang dimiliki oleh seseorang pencari suaka serta tanggung jawab dari sebuah negara yang menerima pencari suaka tersebut.[6] Hal ini menjadi sangat krusial mengingat pemerintah domestik Myanmar tidak dapat mengatasi jumlah korban jiwa yang terus meningkat, namun pihak-pihak luar seperti negara-negara anggota ASEAN juga tidak dapat membantu para pengungsi dengan maksimal dikarenakan belum diratifikasinya Kovensi dan Protokol mengenai Pengungsi dan Pencari Suaka ini.

Alasan terakhir mengapa krisis ini masih jauh untuk menemui jalan keluarnya adalah kedekatan antara pemerintahan Myanmar atau National League for Democracy Party (partai yang sedang berkuasa di Myanmar) dengan Buddha nasionalis di Myanmar. National League for Democracy (NLD) dipimpin oleh Aung San Suu Kyi merupakan partai yang memenangkan pemilu pada tahun 2015, dan mayoritas pendukung partai ini berasal dari kelompok Buddha nasionalis yang menjadikan kondisi ini sangat dilematis mengingkat adanya permusuhan antara pihak Buddha nasionalis dengan etnis Rohingya dan masyarakat muslim lainnya di Myanmar. Bahkan kepala bagian Hak Asasi Manusia PBB Zeid Ra’ad Al-Hussein mengatakan pemerintahan Myanmar, yang dipimpin oleh pemenang Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi telah mengambil pendekatan yang “dangkal, kontraproduktif, bahkan tak berperasaan” terhadap krisis yang sedang berlangsung.[7] Beliau juga mengatakan bahwa laporan pembunuhan, pemerkosan, dan pembakaran rumah-rumah etnis Rohingya setiap harinya.

Krisis yang tidak dapat dikontrol oleh pemerintahan sudah cukup parah, namun pemerintahan Myanmar hingga saat ini belum memberikan izin akses kepada PBB untuk masuk ke wilayah konflik. Ravina Shamdasani sebagai salah satu juru bicara dari bagian Hak Asasi Manusia PBB menambahkan “Jika pemerintah (Myanmar) tidak menyembunyikan sesuatu, maka mengapa ada keengganan tersebut untuk memberikan kita akses? Mengingat kegagalan terus menerus untuk memberikan akses, kita hanya bisa untuk takut terhadap situasi yang  terburuk.”[8]

 

REFERENSI:

[1] Tama Salim, ‘Indonesia raises Rohingya concerns with Suu Kyi: Retno’, The Jakarta Post (daring), 8 Desember 2016, <http://www.thejakartapost.com/news/2016/12/08/indonesia-raises-rohingya-concerns-with-suu-kyi-retno.html>, diakses 13 Desember 2016.

[2] The Guardian, Malaysia PM urges world to act against ‘genocide’ of Myanmar’s Rohingya (daring), 4 Desember 2016, <https://www.theguardian.com/world/2016/dec/04/malaysia-pm-urges-world-to-act-against-genocide-of-myanmars-rohingya>, diakses 13 Desember 2016.

[3] Eleanor Albert, ‘The Rohingya Migrant Crisis’, Council on Foreign Relations (daring), 9 Desember 2016, <http://www.cfr.org/burmamyanmar/rohingya-migrant-crisis/p36651>, diakses 13 Desember 2016.

[4] Ibid.

[5] Mieke Molthof, ‘ASEAN and the Principle of Non-Interference’, E-International Relations Students (daring), 8 Februari 2012, <http://www.e-ir.info/2012/02/08/asean-and-the-principle-of-non-interference/>, diakses 18 Desember 2016.

[6] United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR), Convention and Protocol Relating to the Status of Refugees (daring), <http://www.unhcr.org/protection/basic/3b66c2aa10/convention-protocol-relating-status-refugees.html>, diakses 18 Desember 2016.

[7] Samuel Osborne, ‘UN getting daily reports of rapes, killings and other abuses against Rohingya Muslims in Burma’, Independent (daring), 18 Desember 2016, <http://www.independent.co.uk/news/world/asia/burma-rohingya-muslims-rape-murder-accusations-un-aung-san-suu-kyi-a7482516.html>, diakses 19 Desember 2016.

[8] Ibid.

 

—

 

Artikel ini ditulis oleh Ilham Fauzi, peneliti di Pusat Studi Sosial Asia Tenggara (PSSAT).

Berita Terakhir

  • Inovasi dan Sistem Pengelolaan Sampah yang Smart untuk Mendukung Implementasi Smart City di Ibu Kota Nusantara
  • PSSAT UGM Menyelenggarakan Webinar Series GEO-PW #6 dan Focus Group Discussion Kelanjutan Pembangunan Ibu Kota Negara: Aspek Penguatan dan Pembatasan
  • CESASS UGM dan SEALC NCCU Adakan Pertemuan Strategis untuk Memperkuat Kemitraan Regional
  • Penandatanganan MoU Kolaborasi Jurnal antara COMICOS 2026 dan IKAT: The Indonesian Journal of Southeast Asian Studies
  • PSSAT UGM Menerima Kunjungan Director of Government Affairs & Strategic Collaborations, Grab Indonesia
Universitas Gadjah Mada

Pusat Studi Sosial Asia Tenggara
Universitas Gajah Mada

Gedung PAU, Jl. Teknika Utara
Daerah Istimewa Yogyakarta 55281
pssat@ugm.ac.id
+62 274 589658

Instagram | Twitter | FB Page | Linkedin |

© Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY