Perubahan teknologi sangat berpengaruh dalam segala aspek di seluruh dunia tak terkecuali pada bidang ekonomi. Proses produksi, distribusi, dan konsumsi saat ini telah terintregasi dengan teknologi. Dalam proses konsumsi misalnya, ketika akan membeli suatu barang atau jasa, masyarakat tidak lagi melihat barang tersebut secara langsung namun melihat informasi lengkap tentang produk tersebut secara daring. Begitu juga dengan jasa, masyarakat dapat melihat berbagai informasi testimoni yang dikatakan oleh pelanggan sebelumnya secara daring. Karena konsumsi sudah merambah ke tahap tersebut, mau tidak mau perusahaan maupun produsen kecil harus menggunakan teknologi dalam mendistribusikan barang atau jasa yang akan diperjual belikan. Moda transportasi juga mendapatkan dampaknya dengan adanya teknologi. Saat ini, pelanggan dengan mudah dapat memesan layanan transportasi yang diinginkan secara daring untuk berbagai keperluan seperti pengantaran ke tempat lain, pesan antar makanan, hingga pengantaran barang.
Saat ini, Asia Tenggara sedang mengepakkan sayapnya dibidang ekonomi digital. Wilayah Asia yang beranggotakan Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Filipina, Kamboja, Laos, Myanmar dan Vietnam itu sedang gencar-gencarnya menciptakan iklim startup digital terutama dalam bidang ekonomi. Beberapa unicorn telah lahir di wilayah Asia Tenggara bahkan nilai valuasinya melonjak dari tahun ke tahun. Sebut saja Tokopedia, Gojek, Grab, serta Shopee sudah menguasai hampir seluruh pangsa pasar Asia Tenggara dan terus menanjak nilai valuasinya lebih dari 1 miliar US$.
Iklim startup digital ini secara langsung berdampak pada laju ekonomi di Asia Tenggara. Kebiasaan bertransaksi kini bergeser dari tunai menjadi non tunai. Hal ini tidak lepas dari iklim dan arus informasi yang digerakkan oleh internet, apalagi hampir sebagian besar masyarakat saat ini sudah akrab dengan internet dan smartphone untuk digunakan dalam aktivitas sehari-hari. Sebelum melangkah lebih jauh dalam pembahasan dan data-data ekonomi digital Asia Tenggara, kita perlu memahami apa arti dari eknomi digital itu sendiri.
Konsep mengenai ekonomi digital pertama kali diperkenalkan oleh Don Tapscott (1995) dalam Sugiarto (2019), bermakna keadaan sosiopolitik dan sistem ekonomi yang mempunyai karakteristik sebagai sebuah ruang intelijen, meliputi informasi, berbagai akses instrumen, kapasitas, dan pemesanan informasi. Menurut Mesenbourg (2000) ekonomi digital mempunyai tiga komponen utama dalam ekonomi digital yaitu infrastruktur pendukung, proses bisnis elektronik atau cara bisnis tersebut dijalankan dan transaksi perdagangan elektronik yang meliputi penjualan barang dan jasa secara online. Ketiga komponen tersebut juga dapat dijadikan patokan bagaimana mengukur tingkat kemajuan ekonomi digital dalam suatu negara.
Digitalisasi ekonomi membawa berbagai perubahan dan manfaat dalam meraih efisiensi, efektivitas, penurunan cost production, kolaborasi, dan menciptakan keadaan yang saling terkoneksinya satu pihak dengan pihak lain. Maka tidaklah mengherankan jika digitalisasi ekonomi dianggap sebagai masa depan pertumbuhan ekonomi baru (Sugiarto, 2019). Digitalisasi mengubah ekonomi secara global dalam beberapa cara. Perusahaan besar menurunkan biaya komunikasi dan transaksi lintas batas dengan meghubungkan bisnis dengan konsumen dan supplier di negara manapun. Digitalisasi ini juga memungkinkan bisnis kecil untuk ikut dalam berpartisipasi sehingga menciptakan persaingan yang lebih luas (McKinsey, 2016).
Laporan Google Inc. dan Temasek Holdings Pte, November 2018 memperkirakan bahwa ekonomi digital di Asia Tenggara akan mencapai 200 miliar dollar pada 2025. Namun laporan ini berubah pada tahun 2018 dengan melihat akselerasi pasar Asia Tenggara yang drastis sehingga perkiraan berubah akan meningkat hingga mencapai 240 milliar dollar pada 2025. Hal ini didukung oleh hadirnya pengguna internet aktif dan industri seperti e-commerce, media online, online travel, dan ride-hailing yang semakin pesat bertumbuh daripada tahun-tahun sebelumnya. Hasil riset yang dilakukan Google, Temasek dan Bain & Company, ekonomi digital (yang diukur dengan indicator Gross Merchandise Value/GMV) di enam negara di kawasan Asia Tenggara (ASEAN 6) hingga akhir 2019 diproyeksikan mencapai US$ 100 miliar. Nilai ekonomi digital ASEAN 6 baru baru berkontribusi sebesar 1,3% terhadap PDB pada 2015 dan tumbuh menjadi 2,8% terhadap PDB hingga akhir 2018. Kemudian, pada 2025 akan mencapai 8% terhadap PDB pada 2025 sehingga akan mengurangi kesenjangan dari ekonomi digital Amerika Serikat yang telah mencapai 6,5% pada 2016 (Kusnandar, 2019)
GMV ekonomi digital telah menyumbang sebesar 2,9% atas GDP di wilayah Indonesia. Di kawasan Asia Tenggara sendiri, Indonesia merupakan negara dengan pertumbuhan ekonomi digital terbesar dan tercepat hingga mencapai 27 miliar dollar di 2018 dan siap untuk semakin berkembang hingga 100 miliar dollar pada 2025. Posisi kedua dengan pertumbuhan ekonomi digital terpesat adalah Thailand. Ekonomi digital pada wilayah ini mencapai 12 miliar dollar pada 2018. Pertumbuhan ini didorong oleh e-commerce, periklanan dan game online serta pada perusahaan ride hailing. Menyusul Vietnam di angka 9 miliar dollar, Malaysia di angka 8 dollar, Singapura di angka 10 miliar dollar, dan Filipina di angka 5 miliar dollar pada tahun 2018.
Kawasan ASEAN sangat prospektif dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi digital yang pesat. Dengan jumlah penduduk yang sangat banyak dan akses internet yang semakin masif digunakan oleh masyarakat seluruh dunia, startup dibidang ekonomi digital juga makin digemari dan bahkan sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat modern. Studi terbaru yang dilakukan oleh Google dan Temasek mencatat pengakses internet melalui ponsel di Asia Tenggara jumlahnya terus bertambah setiap tahunnya. Hal ini ditunjang dengan harga ponsel yang semakin terjangkau dan layanan telekomunikasi yang semakin murah (Agung, 2018).
Lebih dari 90 persen pengakses internet tercatat merupakan pengguna ponsel. Dilaporkan Reuters, tercatat hingga 2018 ada 350 juta pengguna internet di enam negara Asia Tenggara yang masuk dalam riset yakni Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam. Tingginya penggunaan ponsel dan layanan internet sebagian besar mengarah pada belanja daring, media sosial, berlangganan musik dan video streaming hingga pemesanan makanan yang ditawarkan oleh perusahaan startup seperti Gojek dan Grab (Agung, 2018). Menurut laporan McKinsey Company pada Desember 2019 meskipun konsumen yang ada di Asia Tenggara termasuk lamban dalam mulai menggunakan belanja online namun mereka sangat aktif dalam lingkup digital. Sebagai contoh penetrasi smartphone berada pada angka 76% di Malaysia dan 80% di Vietnam. Sedangkan jumlah pengguna internet di Indonesia menurut survei dari Asosiasi Pengguna Jasa Internet Indonesia (APJII) pada 2018 mencapai 171, 17 juta atau 64,8% dari total penduduk Indonesia. Berdasarkan riset yang dilakukan oleh Google dan Tamasek pada 2018, diketahui bahawa terdapat lebih dari 350 juta pengguna internet di Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand dan Vietnam. Jumlah ini meningkat sebesar 90 juta pengguna dari tahun 2015.
Dalam membangun ekosistem ekonomi digital yang mumpuni, kerja sama yang ideal antara pemerintah, komunitas bisnis digital, dan organisasi multilateral sangat diperlukan agar dapat memastikan keuntungan dari ekonomi digital (Doherty, 2019). Namun menurut Mangkuto (2019) ada beberapa hambatan signifikan agar ekonomi digital tumbuh cepat di kawasan Asean, terutama risiko regulasi dan kurangnya tenaga kerja terampil. Industri ini juga masih berjuang untuk mengisi kesenjangan tenaga kerja, dengan permintaan akan pekerja teknologi terampil jauh melampaui pasokannya.
Selain pada tenaga kerja, hambatan kemajuan ekonomi digital di wilayah ASEAN adalah masalah regulasi. Walaupun teknologi pada dasarnya bersifat lintas negara, belum tentu kebijakan-kebijakan yang mengaturnya juga seperti itu. Menurut Doherty (2019) terdapat dua unsur penting terkait dengan menciptakan ekosistem yang mendukung di kawasan Asia Tenggara. Pertama, yaitu diperlukan adanya fleksibilitas dalam mengejar keseimbangan antara inovasi dan digital regulasi. Banyak perusahaan yang sudah aktif di sektor digital sudah terbiasa membangun platform yang dapat beradaptasi dengan teknologi baru yang tersedia. Negara-negara secara khusus pembuat kebijakan perlu mengaplikasikan pemikiran serupa terkait penerapan standardisasi. Kedua yaitu menyangkut perlunya pembangunan matang yang tidak hanya bersifat dari bawah ke atas (bottom up), melainkan juga perlunya solusi dari pemerintah yang bersifat turun dari atas ke bawah (top-down). Selain itu, kolaborasi antar negara juga dapat menjadi pembangun iklim ekonomi digital di kawasan ini.
Daftar Pustaka
Agung, B. (2018, 21 November). Pengguna Ponsel Dominasi Pengakses Internet Asia Tenggara. CNN Indonesia. Dikutip dari https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20181121001644-185-347954/pengguna-ponsel-dominasi-pengakses-internet-asia-tenggara
APJII. (2018). Penetrasi & Profil Perilaku Pengguna Internet di Indonesia 2018.
Doherty, J. (2019, 27 Oktober). Langkah Memajukan Ekonomi Digital di Kawasan Asia Tenggara. Investor Daily. Dikutip dari https://investor.id/opinion/langkah-memajukan-ekonomi-digital-di-kawasan-asia-tenggara
Google Temasek. (2018). e-Conomy SEA 2018: Southeast Asia’s internet economy hits an inflection point. Diakses 6 Maret 2020, dari https://www.thinkwithgoogle.com/_qs/documents/6870/Report_e-Conomy_SEA_2018_by_Google_Temasek_121418_cpsLjlQ.pdf
Kusnandar, VB. (2019, 10 Desember). Ekonomi Digital Asia Tenggara Berkontribusi 3,7% Terhadap PDB. Katadata.co.id. Dikutip dari https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/10/12/ekonomi-digital-asia-tenggara-berkontribusi-37-terhadap-pdb
Mangkuto, WS. (2019, 3 Oktober). Wah, Ekonomi Digital ASEAN Tembus Rp 4.251 T di 2025. CNBC Indonesia. Dikutip dari https://www.cnbcindonesia.com/tech/20191003173107-37-104276/wah-ekonomi-digital-asean-tembus-rp-4251-t-di-2025/2
McKinsey & Company. (2016). Digital Globalization: The New Era of Global Flows. Diakses 6 Maret 2020, dari https://www.mckinsey.com/~/media/McKinsey/Business%20Functions/McKinsey%20Digital/Our%20Insights/Digital%20globalization%20The%20new%20era%20of%20global%20flows/MGI-Digital-globalization-Full-report.ashx
McKinsey & Company. (2019). Defending Southeast Asian consumercompany value in a digital age. Diakses 6 Maret 2020, dari https://www.mckinsey.com/~/media/McKinsey/Industries/Consumer%20Packaged%20Goods/Our%20Insights/Defending%20Southeast%20Asian%20consumer%20company%20value%20in%20a%20digital%20age/Defending-Southeast-Asian-consumer-company-value-in-a-digital-age-vF.ashx
Mesenbourg, TL. (1999). Measuring the Digital Economy. Diakses dari United States Census Berau, Situs web https://www.census.gov/content/dam/Census/library/working-papers/2001/econ/umdigital.pdf
Sugiarto, EC. (2019, 29 Januari). Ekonomi Digital : The New Face of Indonesia’s Economy. Tulisan pada https://setneg.go.id/baca/index/ekonomi_digital_the_new_face_of_indonesias_economy
Artikel ini ditulis oleh Natasya Qorri A, mahasiswa dari Universitas Gadjah Mada saat menjalani magang di Pusat Studi Asia Tenggara.