Dalam pelatihan yang dilakukan PSSAT dengan fokus pada peningkatan wawasan Asia Tenggara mencoba melihat kemana kawasan ini akan bergerak. Prof. Muhtar Mas’ud menjadi pembicara yang hadir pada saat itu dengan memulai melihat kembali makna pada Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Menurtnya, bahwa masyarakat berbeda dengan komunitas yang dalam bahasa Inggris mayarakat diartikan society sedangkan komunitas diartikan community. Dalam padangan sosiologi jelas hal itu behubungan dengan makna hubungan dari kedua kata tersebut. Dalam society hubungan yang dibangun atas dasar kebutuhan dan bisa berubah. Sedangkan community memiliki hubungan yang lebih emosiaonal. Hubungan yang dibangun atas dasar kedekatan misalnya hubungan kekeluargaan, hubungan karena seklan, atau macam sebagainya. Dalam hubungan ini, keanggotaan tidak bisa berubah dan anggota tidak bisa dengan begitu saja menyatakan masuk apalagi keluar. Mas’ud kemudian menyangkan bahwa Indonesia kemudian menerjemahkan Economic Asean Community menjadi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) bukan menjadi Komunitas Masyarakat Ekonomi Asean (KEA). Jika berdasarkan komunitas maka bermakna bahwa anggota yang satu tidak akan mencelakakan anggota yang lain. Hal ini berarti tidak akan ada kecurigaan dan dengan sangat yakin mempercayai anggota yang lain. Namun kenyataanya, dalam urusan kepercayaan di antara negara-negara di kawasan Asia Tenggara masih sangat rendah antara satu dan lainnya.
Berbicara Asia Tenggara sebagai sebuah komunitas maka ada tiga syarat yang harus dipenuhi. Pertama, berbagi nilai dan harapan (share values and expectations). Sebagai sebuah komunitas maka ada nilai-nilai yang harus dibagi antara satu Negara dengan Negara lain. Nilai-nilai ini bisa sangat mirip atau malah sama sekali berbeda. Misalnya, di Mianmar memukul anak adalah hal yang biasa. Akan tetapi bagi Indonesia memukul anak akan mengarah kepada tindak kekerasan terhadap anak. Nilai-nilai ini yang seperti itu yang harus dipahami oleh setiap anggota sebuah komunitas. Kedua, keterampilan dan proses komunikasi (capability and communication process). Pada dasarnya komunitas bersifat komunal. Untuk mencapai masyarakat yang komunal maka harus ada komunikasi. Komunikasi antar Negara menjadi aspek yang harus selalu coba dibangun sehingga sebuah cita-cita akan masyarakat yang komunal bisa tercipta. Ketiga, kesepemahaman budaya (mutual predictability of behavior). Hal yang utama yang harus dilakukan dalam syarat ini ialah menghilangkan kecurigaan. Tidak akan terbentuk komunitas yang komunal jika masih ada kecurigaan diantara anggotanya. Indonesia curiga dengan Negara Singapura dan Malaysia soal penguasaan atas ekomoni di kawasan misalnya dan begitu pula sebaliknya. Jika hal ini terus dipertahankan maka impian akan sebuah komunitas yang kuat akan masih sangat jauh.
Hal yang tak kalah penting dari konsep komunitas ialah adanya interaksi secara langsung. Hal ini menjadi sebuah kegiatan yang dapat membangun hubungan emosial yang dimaksudkan di atas. Hubungan ini sendiri dapat berbentuk people to people, physical connectivity, institution connectivity, dan resource mobilization. Namun kemudian hubungan itu sendiri dapat dilihat dalam berbagai perspektif. Hubungan yang dapat bersifat pribadi yang lebih melihat bahwa komunitas ekonimi asean memiliki keuntungan apa terhadap diri pribadi. Kemudian berdasarkan perspektif kepentingan nasional. Orang merasa perlu berhubungan dengan orang lain dari kawasan Asia Tenggara karena pemerintah Indonesia telah menyepakati perjanjian bergabungannya dalam komuntas tersebut. Begitu pula dengan pemerintah Indonesia yang membuka seluas-luasnya untuk dapat terhubung dengan anggota komunitas Asean lainnya. Hubungan ini juga akan melihat kepada apa dan bagaimana komunitas ini dapat mempengaruhi Indonesia sebagai sebuah Negara. Kemudian terdapat pula hubungan yang tercipta karena adanya ikatan religious. Akan tetapi yang menjadi penekanan disini ialah perspektif kemanusiaan. Di mana hubungan ini bersifat cosmopolitanism – plus – communitarianism yang berarti keterikatan kepada “cosmo” dan sekaligus “local community”. Ikatan tersebut dilihat sebagai demensi moral regionalisasi yang dapat menghubungkan antara negara-negara di Asia Tenggara.
Asia Tenggara sebagai sebuah komunitas kemudian harus mampu menciptakan identitas yang menjadi atau mewakili para anggotanya. Identitas disini menjadi symbol yang diambil dari kehidupan masyarakat dan kemudian digunakan untuk mempersatuhkan setiap Negara. Ada tiga hal yang bisa digunakan dalam mencari identitas pada kawasan tersebut yaitu life, livelihood, dan style. Life dan livelihood akan sangat berkaitan dengan kehidupan masyarakat di kawasan tersebut. Misalnya, budaya makan nasi dapat menjadi identitas yang kuat karena Negara-negara di Asia Tenggara menjadikan nasi sebagai makanan pokok atau kemudian di Asia Tenggara dapat menggunakan Tari Ramayana sebagai identitas karena disetiap Negara memiliki kesenian yang terhubung dengan tari tersebut. Sementara itu, untuk style, hal ini dilihat pada kecenderungan apa yang timbul pada kawasan tersebut. Di hampir semua Negara Asean saat ini anak muda dan juga orang tua kecanduan gadget dan internet. Menurut Prof. Muhtar Mas’ud, hal tersebut dapat menjadi gaya hidup yang dapat dijadikan identitas bagi kawasan tersebut.
Lahirnya ide atas Asean Economic Community berdasarkan sebuah hubungan emosioal atas bangsa-bangsa yang masih terhubung dalam rumpun yang sama. Anggota Negara tersebut memiliki hubungan emosional yang kuat yang dapat dilihat dari kehidupan dan gaya hidup yang berkembang. Jika Indonesia ingin berperan dan ingin membangun Komunitas Ekonomi Asean, yang dilakukan ialah membangun hubungan kepercayaan yang kuat bahwa tidak akan ada yang mencelakakan antara satu dan lainnya. Hal ini tentu dapat dibangun berdasarkan prinsip mora kemanusiaan sehingga tercipta sebuah komunitas masyarakat yang kuat berdasarkan nilai-nilai lokal sebagai identitasnya.
—
Artikel ini ditulis oleh Ade Nuriadin, peneliti di Center for Southeast Asian Social Studies (CESASS).