“Masakit na masarap”, Recuerdo says about life as an OFW. It’s pain that gratifies. (Almendral, 2018)
Begitulah ucapan Recuerdo Morco (33 tahun) saat menceritakan perasaannya sebagai pekerja migran luar negeri selama kurang lebih 11 tahun di sebuah kapal cargo yang berlayar dari Swedia hingga Australia. Mencari pekerjaan di luar negeri bagi sebagian besar masyarakat Filipina adalah suatu hal paling rasional untuk dapat bertahan, mencukupi kebutuhan, bahkan berinvestasi demi masa depan. Dorongan ekonomi yang banyak disebut sebagai pendorong utama masyarakat Filipina untuk melakukan migrasi turut mendapatkan sokongan besar dari pemerintah melalui glorifikasi status pekerja migran sebagai bagong bayani atau “pahlawan baru” di mana penggunaan istilah pahlawan merujuk pada kontribusi mereka bukan hanya pada ekonomi keliuarga, namun juga ekonomi nasional. Penggunnaan istilah yang awal disematkan pada masa kepemimpinan Corazon Aquino (Encias-Franco, 2013) hingga kini membentuk sebuah konsepsi baru mengenai cara bertahan hidup dan mempersiapkan kehidupan mendatang.
Berjalannya migrasi yang sudah menjadi hal lumrah dan banyak dilakukan oleh warga Filipina baik dalam skala global maupun lokal. Sematan bagong bayani yang diterima oleh pekerja migran melalui pengiriman remitan dalam bentuk valuta asing melalui media penyalur yang diatur oleh negara membantu penguatan ekonomi negara meskipun mereka bekerja sebagai buruh atau pekerja dengan upah minimum di negara tujuan. Pengiriman remitan sebagai bentuk keterwakilan para OFWs (Overseas Filipino Workers) dalam sumbangsih pembangunan negara ditampung melalui beberapa bentuk investasi seperti real estate, saham, dan tabungan khusus bagi pekerja migran yang nantinya akan kembali (Tiongson, 2019). Adanya dukungan pemerintah dalam menjamin kehidupan pascakerja dari luar negeri menjadikan status sebagai OFW dalam suatu keluarga menjadi penanda munculnya kelas menengah baru di Filipina. Kondisi yang cukup kontras dialami oleh para migran internal dimana perpindahannya menuju ke Manila atau Metro Manila sebagai daerah pusat ekonomi, pemerintahan, dan leisure tidak selalu menjamin untuk mendapatkan penghidupan lebih baik. Perpindahan pekerja dari kawasan rural diberbagai penjuru negeri ke Manila dianggap sebagai mengadu nasib dan keberuntungan meskipun mereka tahu ini bukanlah hal yang mudah.
Kehidupan ekonomi keluarga bagi sebagian besar penduduk Filipina kini bergantung pada pengiriman remitan dari dalam maupun luar negeri menjadi bagian utama dalam berjalannya kehidupan hampir disetiap sektor kehidupan masyarakat. Penggunaan remitan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, biaya pendidikan, atau kesehatan kini juga diikuti dengan kesadaran untuk melakukan investasi sebagai upaya untuk bertahan hidup setelah mereka (pekerja migran) kembali ke negaranya. Kembalinya tenaga kerja ke kampung halaman/negara asal yang dikenal dengan istilah balikbayan telah mendorong adanya pembangunan dan perubahan lanskap georafis maupun sosial dalam masyarakat. Dampak secara fisik dan sosial yang terjadi seiring dengan meningkatnya migrasi di Filipina tidak dapat dihindarkan terlebih dengan masuknya campur tangan pihak swasta dalam dinamika ekonomi dan pembangunan yang selama ini berlangsung di Filipina melalui menjamurnya kawasan-kawasan perumahan elit di kawasan sekitar Manila yang mendorong lahirnya daerah peri-urban fringe seiring dengan beralihnya lahan menjadi perumahan elit. Di mana sebagian besar pembangunan atau kepemilikan dari bangunan tersebut dimiliki oleh OFW sebagai investasi properti sebelum mereka kembali.
Pembangunan berbagai fasilitas modern penunjang kawasan perumahan elit dilakukan oleh pihak swasta yang sudah melakukan kerja sama dengan pemerintah untuk menciptakan secuil modernitas ala Barat. Maraknya pembangunan kawasan elit yang menghadirkan modernitas di tengah padatnya Manila sebagai bagian dari “Filipino Dream” menjadi sebuah realitas sosial dan hingga kini makin memperparah pemerataan kesejahteraan masyarakat. Manila sebagai kawasan megapolitan menjadi arena di mana kita dapat menyaksikan bagaimana kesenjangan terjadi. Kesenjangan ekonomi yang nampak melalui kepemilikan hunian, serta gaya hidup antara balikbayan, ekspatriat, dan migran internal sangat kontras terlihat melalui terbentuknya gated communities serta perkembangan properti yang merambah ke kota-kota disekitarnya dan menjadi pendorong adanya alih guna lahan pertanian menjadi bagian perumahan. Di mana dalam proses alih guna lahan pihak pengembang banyak menyasar daerah-daerah pegunungan yang masih dihuni oleh kelompok adat dan difungsikan sebagai lahan pertanian. Melihat kompleksitas mengenai perubahan yang terjadi diberbagai sektor kehidupan masyarakat Filipina khususnya dalam beberapa dekade terakhir menunjukkan perubahan pandangan dan aspirasi seseorang dalam menikmatinya hasil jerih payahnya selama bekerja di luar negeri. Akan tetapi bentuk investasi properti sebagai praktik paling umum untuk menyalurkan remitan berujung pada berkurangnya lahan produktif pertanian sekitar Manila.
Melihat koneksi antara migrasi dengan perubahan fisik, sosial, dan ekonomi di Filipina yang coba ditangkap dalam konsep “Filipino Dream” menjadi problematis mengingat berbagai macam investasi yang dikeluarkan justru tidak merata dampaknya dirasakan penduduk, padahal pemerintah yang merasa diuntungkan dari migrasi seakan hanya berfokus pada kelompok OFW tanpa memperbaiki kondisi dalam negerinya. Peran pemerintah yang digantikan oleh swasta dalam menangkap peluang ekonomi dari remitan yang dikirimkan dalam bentuk investasi menjadi titik awal pertanyaan mengapa investasi OFW banyak disalurkan dibidang non-agrikultur? Pertanyaan ini muncul mengingat terciptanya relasi baru antara pekerja migran, keluarga, dan lingkungan sosial semakin kompleks dengan meningkatnya taraf kesenjangan antar penduduk. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, paper ini akan menilik beberapa faktor yang mempengaruhi pilihan investasi pada kalangan OFW di mana persoalan seputar tenaga kerja, kepemilikan dan ketersediaan lahan pertanian kini sudah beralih pada sektor non-agrikultur menjadikan investasi dibidang pertanian menjadi tidak menarik di mata para OFW.
Manila: Tempat Mengadu Nasib
Seperti berbagai daerah di kawasan Asia Tenggara, proses perpindahan manusia banyak didominasi oleh hubungan desa-kota (kawasan rural pertanian ke kawasan industri) seiring berkembangnya sektor produksi di kota. Kawasan perkotaan sebagai pusat kegiatan ekonomi dan pemerintahan banyak menyematkan anggapan mengenai hidup yang dekat dengan taraf modernitas di Barat. Anggapan untuk memperoleh kehidupan lebih baik dan modern seperti yang ada di kasus migran rural Jawa (Koning, 2004) dan pekerja migran di Sarawak (Sim, 2002) juga menjadi hal yang ditemukan dibeberapa kawasan rural di Filipina. Motivasi pekerja rural untuk datang ke kota mencari pekerjaan disebut karena dorongan untuk mengubah kehidupan tidak sepenuhnya jadi faktor utama. Lahirnya sebuah kondisi kerentanan lingkungan seiring dengan makin berdampaknya efek perubahan iklim kini menjadi faktor pendorong migrasi dilakukan disamping faktor pemenuhan ekonomi. Di samping itu meningkatnya tingkat pendidikan yang diperoleh kalangan muda turut menjadi pendorong berkurangnya minat kaum muda untuk terlibat dalam sektor agraris.
Dorongan untuk melakukan migrasi disebabkan oleh perubahan lingkungan coba untuk disinggung oleh Ransan-Cooper yang menggunakan studi kasus di Provinsi Albay, Filipina. Penduduk Albay yang sebagian besar berprofesi sebagai petani mendapatkan tantangan seiring dengan perubahan iklim yang mempengaruhi skala dari angin topan musiman yang melanda Filipina. Hal ini mendorong adanya migrasi musiman dan permanen sebagai pilihan rasional menyesuaikan dengan kondisi alam sebagai penentu kegiatan sektor agraris. Bagi penduduk Albay yang didominasi oleh petani sebagai sumber penghasilan utama kondisi perubahan iklim dan lingkungan menjadi ancaman (Ransan-Cooper, 2015). Permasalahan dalam usaha pertanian di Albay semakin diperparah dengan meningkatnya tingkat keasaman tanah yang menghambat intensifikasi pertanian. Dalam pembahasannya Ransan-Cooper juga melihat akses lahan pertanian juga turut mendorong migrasi terjadi, utamanya pada kelompok buruh tani yang tidak memiliki akses lahan. Kondisi tersebut menjadikan pilihan untuk berpindah semakin jadi rasional untuk dilakukan oleh penduduk Albay khususnya pada kalangan pemuda dan lajang.
Pergerakan penduduk ke kota terdekat (tujuan utama tetap Manila atau Cavite, Laguna, Batangas, Rizal and Quezon disingkat CALARBARZON sebagai daerah pusat ekonomi) tidak serta merta dilakukan secara spontan. Proses perpindahan mereka menuju ke kawasan kota tidak lepas dari adanya agensi yang berfungsi sebagai tempat singgah dan mencari pekerjaan yang cocok. Terbentuknya sebuah agensi yang terjalin berasal dari keluarga atau kerabat yang dianggap dapat membantu mereka sebagai tempat bernaung selama mengadu nasib di rantau (Ransan-Cooper, 2016). Relasi utang na loob (utang budi) yang terjalin dari proses migrasi Albayanos (orang asal Albay) telah memupuk rasa solidaritas diantara kedua pihak di mana pihak agensi sendiri masih memiliki hubungan kerabat atau keluarga dengan migran. Keberadaan agensi dalam relasi ini juga menguntungkan bagi pekerja rural khususnya pada saat terjadi bencana dimana mereka menjadi tempat untuk bernaung sampai bencana yang terjadi berakhir. Di sisi lain berkembangnya aspirasi pemuda untuk berpindah ke Manila juga menjadi kesempatan untuk lepas dari tuntutan dan permintaan orang tua terhadap mereka. Hal tersebut didukung dengan meningkatnya posisi tawar mereka di dalam keluarga seiring dengan perbedaan jumlah pendapatan dibandingkan dengan bekerja di sektor pertanian serta meningkatnya tingkat pendidikan sebagai pendorong berubahnya aspirasi mereka saat ini. Kalangan pemuda yang nantinya akan menjadi penerus di masa depan melihat pertanian menjadi kurang relevan disertai dengan berkurangnya akses lahan jika ingin terjun ke sektor agraris.
Migrasi yang dilakukan oleh Albayanos ke kawasan pusat ekonomi seperti Manila atau kawasan sekitarnya CALARBARZON hampir dilakukan oleh daerah-daerah lain di Filipina. Manila sebagai pusat ekonomi, pemerintahan, dan entertainment di Filipina memiliki daya tarik yang cukup kuat untuk mendorong banyaknya pendatang untuk mencari peruntungan. Tren migrasi penduduk baik dalam lingkup interal maupun internasional yang didominasi oleh kelompok usia muda dan belum menikah mendapatkan pengaruh baru seiring meningkatnya tingkat pendidikan yang diperolehnya. Tingkat pendidikan pemuda Filipina yang saat ini minimal mengeyam pendidikan setara SMA menunjukkan perubahan dalam kesadaran akan pendidikan sebagai upaya untuk mendapatkan pekerjaan. Perbedaan tingkat pendidikan antara anak dan orangtuanya turut tercerminkan dalam bidang pekerjaan yang dikerjakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dalam tulisan Kelly di salah satu bab dalam buku Revisiting Rural Places (2012) menunjukkan bahwa perubahan aspirasi pemuda dalam mencari pekerjaan tidak dapat dilepaskan pengaruhnya dari status sosial ekonomi orang tuanya. Kondisi ekonomi atau status pekerjaan yang dilakukan di desa berimplikasi pada tingkat pendidikan yang dapat ditempuh oleh anaknya. Meningkatnya jumlah pemuda yang mengenyam pendidikan hingga di bangku kuliah didukung karena posisi ekonomi orang tua sebagai pemilik lahan pertanian atau menjadi aparatur desa. Akses terhadap lahan dan posisi penting di desa juga tercerminkan dari dienyamnya pendidikan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok seusianya. Sehingga jurang kelas antara keluarga pemilik lahan dengan buruh tani turut termanifestasikan hingga keturunan berikutnya. Kondisi ini turut terefleksikan pada tingkat pendidikan dan jenis pekerjaan yang dilakukan oleh anak-anak mereka saat ini. Pada anak yang lahir dari kelas pemilik lahan atau aparatur desa pendidikan perguruan tinggi banyak dipilih dengan harapan untuk mendapatkan pekerjaan formal dengan gaji tetap. Berbeda dengan keluarga buruh tani di mana pendidikan setingkat perguruan tinggi masih menjadi harapan untuk dapat dirasakan tetapi terkendala kemampuan ekonomi. Kondisi tersebut berimplikasi pada jenis pekerjaan sektor informal yang dilakoni oleh mereka baik di kota sebelah maupun menjadi migran.
Tanah milik siapa?
Permasalahan tenaga kerja diberbagai sektor baik formal maupun informal yang menjadi perhatian utama Filipina seakan diselesaikan dengan didorongnya penduduk untuk melakukan migrasi. Meski tidak dapat dipungkiri migrasi dan pengiriman remitan khususnya dari luar negeri menyumbang sebagian besar pendapatan negara, masih tidak dapat dirasakan secara merata oleh penduduk. Persoalan di sektor lain khususnya pertanian seiring dengan berkurangnya tenaga kerja yang beralih pada sektor non-pertanian menjadi sebuah permasalahan baru yang dihadapi oleh Filipina. Tenaga kerja usia muda dengan tingkat pendidikan tinggi cenderung memilih untuk melakukan pekerjaan formal yang tetap dengan harapan masa depannya akan terjamin menyisakan kalangan tua dan pekerja muda dengan tingkat pendidikan rendah bertahan di desa. Meski mereka bertahan hidup dengan bekerja di sektor pertanian mereka tetap berada dalam posisi marjinal terlebih dengan tidak milikinya akses terhadap lahan. Seperti yang sudah disinggung pada sub bahasan sebelumnya, akses terhadap lahan pertanian di Filipina dikuasai oleh kelas sosial tertentu memiliki kaitan dengan masa kolonial. Kepemilikan tanah atau lahan dibagi menjadi dua jenis kelompok penerima yang dikenal dengan C-Filipino (colonized) dan I-Filipino (indigenous). Kedua kelompok ini terbentuk kaitannya dengan relasi mereka dengan koloni Spanyol pada masa awal kedatangan di Filipina. C-Filipino adalah kelompok yang sangat terdampak dengan koloni Spanyol, mereka mengalami kristenisasi, dan dijadikan buruh bagi koloni Spanyol. Berbeda dengan I-Filipino dimana mereka memilih untuk tidak berhubungan dengan koloni Spanyol dengan bersembunyi di kawasan perbukitan dan hutan untuk menghindar serta terbebas dari pengaruh koloni Spanyol. Setelah dilepaskannya Filipina dari kekuasaan Spanyol tahun 1989 ke Amerika Serikat, posisi diantara dua kelompok menjadi terbalik. C-Filipino diberikan kekuasaan dan hak atas tanah serta pemerintahan lokal termasuk pada lahan-lahan perbukitan, hutan, air, dan pulau-pulau dalam gugusan Filipina di mana sebagian besar kawasan tersebut belum dapat ditembus oleh koloni Spanyol (Malayang III, 2001). Pembagian hak atas lahan yang tersebar di seluuh Filipina dibagi ke dalam beberapa keluarga yang pada konteks waktu saat ini berimplikasi pada terbentuknya dinasti pemilik modal dan pengaruh. Kawasan yang belum ditembus oleh koloni Spanyol ini banyak dihuni oleh kelompok I-Filipino menjadikan hak atas lahan bertentangan dengan hukum kolonial yang kemudian diadopsi menjadi hukum negara.
Pertentangan atas penggunaan lahan di Filipina diantara kedua kelompok hingga saat ini masih masih terus berlangsung. Posisi I-Filipino yang termarjinalkan dalam kependudukan menjadikan sebagian besar dari mereka bertahan pada sektor agraris sebagai bentuk hidup yang subsisten. Sistem tradisional dalam kepemilikan lahan dikalangan I-Filipino yang didasarkan atas orang pertama yang membuka lahan bertentangan dengan hukum negara di mana kepemilikan lahan harus dibuktikan dengan kepemilikan dokumen negara. Pada kasus beralihnya fungsi lahan perbukitan di sekitar Manila untuk dijadikan sebagai kawasan perumahan elit, permasalahan seputar legalitas hak milik lahan kembali mencuat diantara kedua kelompok. Sesuai dengan kasus alih fungsi lahan yang dilakukan oleh spekulan tanah dari perusahaan properti di Cabeza Tales menunjukkan bagaimana posisi tanah menjadi sentral bagi sebagian besar penduduk Filipina yang berkutat pada bidang pertanian. Ortega dalam salah satu bab dibukunya menunjukkan bagaimana posisi penghuni bukit kalah dalam mempertahankan tempat hidup mereka selama ini. Kekalahan mereka untuk mempertahankan lahan di perbukitan tidak dapat dilepaskan dari pengaruh adanya relasi antara perusahaan dengan kelompok elit atau pemilik sah tanah. Pihak pengembang berhasil untuk melakukan transaksi lahan untuk mencapai kesepakatan dengan tuan tanah.
Terdapat dua pemahaman berbeda atas kepemilikan lahan antara kedua kelompok menjadi suatu realita sosial yang ada di Filipina. Jika pada satu sisi kelompok I-Filipino sebagai pengelola lahan tidak memiliki kuasa untuk mempertahankan maupun mendapatkan akses ke lahan secara legal dan diakui oleh negara. Pembagian akses lahan yang dikuasai oleh kalangan C-Filipino memiliki kepentingan untuk menjaga kekayaan atau modal agar tetap bertahan pada kelompoknya saja. Hal ini menyebabkan alih fungsi lahan dapat dengan mudah terealisasikan dengan terjalinnya relasi antara perusahaan, kaum elit lokal, dan politik untuk memuluskan transaksi lahan dan menjadikan kalangan I-Filipino kehilangan sumber pendapatan utama mereka. Hilangnya akses terhadap lahan pertanian melahirkan tuntutan baru untuk penyediaan fasilitas pelatihan skill sesuai bursa lapangan kerja. Pilihan untuk melakukan migrasi tidak menjadi solusi bagi kalangan I-Filipino dengan kurangnya akses terhadap pendidikan dan stigma ‘kolot’ yang disematkan kepada mereka oleh orang-orang di daerah dataran rendah tempat pusat ekonomi berjalan.
Berangkat dari kasus alih fungsi lahan yang terjadi di kawasan peri-urban atau urban fringe menunjukkan bagaimana proses kesenjangan sosial dan ekonomi terbentuk dan bertahan di Filipina. Kelompok petani tanpa lahan yang terkena dampak secara langsung menjadi sangat rentan untuk memperjuangkan skill di bidang pertanian tanpa adanya akses terhadap lahan. Menurut laporan riset yang dilakukan oleh OECD (2017) menunjukkan bahwa sektor pertanian kini menyumbang sekitar 10 persen dari perekonomian nasional di mana angka ini terus berkurang sejak tahun 1980 yang mencapai angka 25 persen (Yean, 2018, p. 6). Sektor pertanian sebagai penyedia kebutuhan pangan berada di dalam posisi terombang-ambing di satu sisi mereka menjadi sektor penting tetapi di sisi lain posisi ini mulai coba digantikan melalui migrasi. Meskipun kedua sektor tersebut tidak memiliki benang merah yang cukup menguatkan ketergantungan satu sama lain, masih dalam laporan yang sama keduanya dihubungkan dengan pengiriman remitan sebagai penyokong aktivitas pertanian melalui penyediaan teknologi modern untuk mendukung intensifikasi produksi hasil pertanian. Dari laporan tersebut nampak bagaimana pengiriman remitan yang dikatakan juga disalurkan ke sektor pertanian menjadi bentuk kompensasi atas berkurangnya lahan produktif.
Kurang tegasnya pemerintah Filipina dalam menghentikan laju alih fungsi lahan bukan tanpa adanya perlawanan dari pihak petani, akan tetapi terdapat beberapa faktor yang menghambat pergerakan ini. Digunakannya kekuatan militer, persekusi petani yang menentang kebijakan pemerintah serta tuduhan afiliasi dengan kelompok separatis menjadi ancaman yang akan diterima oleh mereka (Törnquist, 2002). Sejarah panjang demokrasi Filipina yang lekat dengan politik dinasti dalam pembentukan kebijakan pembangunan nyatanya masih terus berlangsung (Anderson, 1998) memperkuat upaya petani untuk melawan dimulai dari tingkat lokal. Lahirnya perlawanan dengan munculnya sikap pulitika yang dipandang sebagai perspektif dalam memandang suatu politik dari pihak elit.
“Resil Mojares asserts that “pulitika is not politics…it is imaged in terms of elite
factional competition (inilungay sa katungdanan), manipulation (maneobra), spectacle, and
dissimulation” (1994, 338) and belongs to the “field of politics largely constructed and dominated by the elites”(339).” (Yean, 2018, p. 5)
Kontestasi antara pemerintah dengan petani semakin ramai dengan munculnya gerakan yang terhimpun pada kelompok New Democrat’s (ND) dan New People Army (NPA) sebagai organisasi yang menentang liberalisasi tanah oleh pemerintah. Kedua kelompok ini lekat dengan ideologi kiri dalam memandang masalah akses lahan pertanian menjadi basis ideologi bagi petani untuk menuntut akses terhadap lahan melalui reforma lahan agrarian. Tuntutan yang sudah digaungkan sejak rezim pemerintahan Marcos hingga saat ini masih terus mengalami kendala dengan kurang tegasnya peraturan yang mengatur reforma pertanian.
Menuju taraf hidup modern
Kawasan pusat ekonomi Filipina yang dikenal dengan Metro Manila menjadi arena peraduan nasib dan cita-cita penduduk disegala penjuru untuk mendapatkan penghidupan lebih baik. Segala bentuk aktivitas ekonomi dan entertainment yang kini turut berkembang dan menjadi sebuah entitas baru dalam dinamika penduduk. Semakin rapatnya pembangunan kawasan industri, dan pemukiman elit di Manila dan sekitarnya menyebabkan proses alih fungsi lahan semakin marak terjadi. Menilik kembali pada tahun 1980-1990an kawasan ini masih memiliki beberapa lahan pertanian seusai dengan fungsi awalnya sebagai kawasan mixed-used urban yang mengawinkan sektor industri dan agraris dalam satu wilayah yang sama (Murakami & Palijon, 2005). Pembangunan di Manila dan kawasan sekitarnya (selanjutnya akan disebut dengan kawasan peri-urban) makin masif dilakukan seiring dengan besarnya investasi ke pada pihak pengembang properti dalam memenuhi permintaan hunian baru dengan akses mudah, dan dekat dengan lokasi kerja dan pusat hiburan keluarga. Seperti studi kasus di Eastwood City (Kleibert & Kippers, 2015) dan beberapa gated communities’ yang tersebar di sekitar Metro Manila (Ortega, 2016) menunjukkan lahirnya enclave sesuai dengan perkembangan selera pasar yang merujuk pada modernitas ala Barat. Angan-angan mengenai suatu modernitas ala Barat yang diwujudkan melalui pembangunan pemukiman elit dengan fasilitas penunjang menjadi sangat kontras dengan realita kependudukan di kawasan luar gerbang.
Metro Manila sebagai pusat dari segala kegiatan ekonomi di Filipina menjadi arena di mana kesenjangan sosial dan ekonomi secara empiris dapat diamati dalam kehidupan sehari-hari. Kesenjangan ekonomi yang nampak jelas dari pembangunan kawasan perumahan elit dan properti yang meluas hingga ke kawasan di luar Manila semakin ramai tumbuh sebagai suatu bentuk perwujudan hasil kerja keras selama bekerja di luar negeri. Bisnis properti banyak dipilih oleh OFW sebagai bentuk investasi di negeri sendiri di mana pembayarannya diambilkan dari pengiriman remitan ke keluarga. Kondisi yang berbeda dialami oleh para migran dari kawasan rural yang bekerja di Manila, di mana mereka mendapatkan pendapatan lebih rendah dibandingkan dengan mereka yang bekerja di luar negeri untuk jenis pekerjaan yang kurang lebih sama. Pengiriman remitan yang dipromosikan oleh pemerintah sebagai upaya untuk melakukan pembangunan dan peningkatan fasilitas untuk mendukung perekonomian dalam negeri nyatanya hanya dinikmati oleh segelintir orang saja. Angka kemiskinan yang turun secara kuantitatif dengan adanya pengiriman remitan secara realita tidak terdistribusikan dengan merata sehingga kesenjangan masih menjadi persoalan utama (Adam Jr & Page, 2005).
Perwujudan remitan sebagai hasil kerja keras yang banyak diwujudkan dalam bentuk bangunan fisik seperti yang banyak dilakukan diberbagai negara di Asia memiliki pemaknaan berbeda pada konteks OFW. Pilihan untuk memiliki suatu unit perumahan dibandingkan dengan membangun rumah yang ada di kampung halaman. Posisi perumahan yang ditawarkan berada di dekat Metro Manila semakin memperkuat anggapan untuk mewujudkan kawasan modern melalui gated communities. Usaha properti turut tumbuh subur dengan ditawarkannya “Filipino Dreams” yakni hidup dalam suatu taraf modernitas yang berkiblat pada kota-kota di Eropa dan Amerika Serikat.
Kesimpulan
Terjadinya perubahan mode mata pencaharian penduduk di Filipina dari sektor agraris ke sektor non-agraris yang disalurkan melalui migrasi berimplikasi pada bagaimana proses pemaknaan terhadap lahan dan pekerjaan. Pekerjaan sebagai petani dalam konteks waktu sekarang dianggap sebagai pekerjaan kasar dengan pendapatan rendah dan tidak menentu menjadi kesan pertama yang muncul dalam benak pemuda. Semakin tingginya tingkat pendidikan yang diampu oleh pemuda dan tersedianya pasar untuk menampung skill mereka di dunia kerja menjadikan posisi pertanian semakin tergeser. Meskipun pemerintah berargumen bahwa remitan dari adanya migrasi menjadi sumber pembiayaan pembangunan belum dapat dirasakan secara merata pada setiap kalangan.
Terserapnya dana remitan yang dikirimkan oleh pekerja migran banyak tertampung pada kempemilikan properti dapat dipahami sebagai suatu langkah untuk menghindarkan diri dari kerumitan yang timbul jika memilih investasi lain. Investasi properti yang sudah dikerjakan dan diatur oleh perusahaan penyedia jasa menjadikan proses alih guna lahan semakin masif dilakukan. Hal ini menjadi cukup rasional jika dibandingkan dengan investasi pada bidang pertanian di mana kepemilikan lahan sarat akan konflik kepentingan di mana lahan dimaknai sebagai sebuah modal politik dalam kehidupan sehari-hari. Di mana kepemilikan tanah dan lahan akhirnya hanya dapat terealisasikan dalam suatu bentuk bangunan fisik yang terletak dalam suatu lokus tertentu dan dibatasi dengan gerbang untuk memisahkan dengan realitas sosial yang berbeda. Tidak dapat sepenuhnya dikatakan bahwa migrasi mendorong kesenjangan sosial makin melebar, tetapi terdapat faktor seperti kemudahan birokrasi dan keinginan hidup sesuai dengan gaya hidup selama di rantau muncul untuk memperkuat investasi properti sebagai satu-satunya jalur mewujudkan “Filipino Dream” memiliki hunian nyaman dan tinggal di dalam dunia yang modern.
Referensi
Adam Jr, R. H. & Page, J., 2005. Do International Migration and Remittances Reduce Poverty in Developing Countries. World Development, 33(10), pp. 1645-1669.
Almendral, A., 2018. National Geographic. [Online]
Available at: https://www.nationalgeographic.com/magazine/2018/12/filipino-workers-return-from-overseas-philippines-celebrates/
[Accessed 17 Mei 2020].
Anderson, B., 1998. The Spectre of Comparisions: Nationalism, Southeast Asia, and the World. London: Verso.
Djajic, S. & Vinodragova, A., 2015. Overshooting the Savings Target: Temporary Migration, Investment in Housing and Development. World Development, Volume 65, pp. 1110-1121.
Encias-Franco, J., 2013. The language of labor export in political discourse: “modern-day heroism” and constructions of overseas Filipino workers (OFWs). Philippine Political Science Journal, 34(1), pp. 97-112.
Kelly, P. F., 2012. Class Reproduction in a Transactional Agrarian Setting: Youth Trajectories in a Peri-urban Philippine Village . In: J. Rigg & P. Vandergeest, eds. Revisiting Rural Places: Pathway to Poverty and Prosperity in Southeast Asia. Singapore: NUS Press, pp. 229-249.
Kleibert, J. M. & Kippers, L., 2015. Living the good life? The rise of urban mixed-use enclaves in Metro Manila. Urban Geography, pp. 1-23.
Koning, J., 2004. Generations of Change Migration Family and Identity in a Javanese Village during the New Order. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Malayang III, B. S., 2001. Tenure Rights and Ancestral Domains in the Philippines: A Study of the Roots of Conflict. Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, 157(3), pp. 661-676.
Murakami, A. & Palijon, A. M., 2005. Urban Sprawl and Land Use Characteristics in the Urban Fringe of Metro Manila, Philippines. Journal of Asian Architecture and Building Engineering, 4(1), pp. 177-183.
OECD Development Pathways, 2017. Interrelations between Public Policies, Migration, and Development in the Philippines , Paris: OECD Publishing.
Ortega, A. A., 2016. Neoliberalizing Spaces in The Philippines: Suburbanization, Transnational Migration, and Dispossesion. London: Lexington Books.
Ransan-Cooper, H., 2015. Negotiating Risk and Uncertainty Internal Migration and Rural Villagers in Albay Province. Philippine Studies: Historical & Ethnographic Viewpoints, 63(4), pp. 507-539.
Ransan-Cooper, H., 2016. The role of human agency in environmental change and mobility: a case study of environmental migration in Southeast Philippines. Environmental Sociology, pp. 1-12.
Sim, H. C., 2002. Women Workers, Migration and Family in Sarawak. London: Routledge Curzon.
Tiongson, R., 2019. Inquirer.Net. [Online]
Available at: https://business.inquirer.net/264658/investments-for-ofws
[Accessed 17 Mei 2020].
Törnquist, O., 2002. Popular Development and Democracy: Case Studies with Rural Dimension in the Philippines, Indonesia, and Kerala. Oslo: Centre for Development and the Environment (SUM) University of Oslo.
Yean, S. C., 2018. Philippine agrarian change ad rural society: dislocation, distribution, and pulitika. Philippine Political Science Journal, pp. 1-25.
Artikel ini ditulis oleh Okky Chandra Baskoro, saat menjalani magang di Pusat Studi Asia Tenggara