• Tentang UGM
  • IT Center
  • Bahasa Indonesia
    • Bahasa Indonesia
    • English
Universitas Gadjah Mada Pusat Studi Sosial Asia Tenggara
Universitas Gajah Mada
  • Beranda
  • Tentang Kami
    • Selayang Pandang
    • Peneliti
    • Peneliti Mitra
    • Mitra
    • Perpustakaan
  • Penelitian
    • Penelitian
    • Kluster
  • Program
    • Konferensi Internasional
      • Konferensi Urbanisasi Asia Internasional ke-17
      • SEA MCA 2021
      • Symposium on Social Science 2020
      • Symposium on Social Science 2018
    • SUMMER COURSE
      • Summer Course 2021
      • Summer Course 2022
      • Summer Course 2023
      • PROGRAM SUMMER COURSE MMAT 2024 SOCIAL TRANSFORMATION IN CONTEMPORARY SOUTHEAST ASIA
    • CESASS Research Fellowship
    • Magang
      • MAGANG DOMESTIK
      • Aktivitas Magang
      • Essay Magang
    • CESASS TALK
    • CESASS Chat
    • Program Sebelumnya
      • SEA Talk
      • SEA Chat
      • SEA Movie
    • Pelatihan
      • Workshop Kominfo
  • Publikasi
    • Jurnal
    • Buku
    • Prosiding
  • Esai Akademik
    • Ekonomi & Kesejahteraan Sosial
    • Hukum dan Hak Asasi Manusia
    • Media dan Komunikasi
    • Pendidikan
    • Politik dan Hubungan Internasional
    • Sejarah dan Budaya
    • Panduan Artikel
  • Beranda
  • Aktivitas
  • SEA Talk_ind
Arsip:

SEA Talk_ind

SEA Talk #46: Dividing The Electorates: Will Indonesian Politicians Exploit Identity in 2024 Election by Made Supriatma

AktivitasSEA Talk_ind Friday, 23 December 2022

Pada tanggal 20 Desember 2022 pukul 10.00 WIB, PSSAT (Pusat Studi Sosial Asia Tenggara) Universitas Gadjah Mada menyelenggarakan seminar dalam jaringan (online) dengan tajuk kegiatan South East Asia Talk (SEA Talk) edisi ke-46. SEA Talk #46 menghadirkan Bapak Made Supriatma, salah satu visiting fellow di ISEAS – Yusof Ishak Institute, Singapura, dengan bahasan berjudul “Dividing The Electorates: Will Indonesian Politicians Exploit Identity in 2024 Election”. 

Kegiatan membahas seputar peran identitas yang melekat pada tiap individu dan potensinya dalam menggiring & menentukan pilihan individu tersebut dalam praktik penunaian tanggung jawab demokrasi, spesifiknya dalam pemilihan umum (pemilu). Indonesia yang lanskap sosial budayanya plural pun tidak luput dari penggunaan narasi identitas selama kampanye kegiatan pemilu.

Merunut historisnya pada penyelenggaran pemilu pertama kali Indonesia pada tahun 1955 dimana tendensi pemilihan representasi legislatif terlihat dari pilihan partainya. Pada masa orde baru terdapat usaha “penyeragaman” identitas sehingga polarisasi identitas tidak begitu kontras. Keanekaragaman identitas kembali termanifestasi dalam politik praktik secara bebas setelah kejadian reformasi tahun 1998 hingga memunculkan sebuah fenomena “minority-majority”. Setelah kejadian itu, kelompok berdasarkan agama & adat kesukuan muncul sebagai suatu hal publik dalam norma perpolitikan di Indonesia, terlebih dalam pemilu berskala nasional.

Penggunaan identitas dalam ranah percaturan politik ini berpotensi kembali terulang pada pemilu 2024. Hal ini karena penggunaan identitas merupakan salah satu cara yang berpotensi untuk meraih suara mayoritas.

 

Ditulis oleh: Mohammad Izam Dwi Sukma

[SEA-TALK #45] Menegosiasikan Strategi Mediasi Orang Tua Penggunaan Media Digital Remaja di Keluarga Muslim Jawa Perkotaan dan Pedesaan

AktivitasSEA Talk_ind Tuesday, 17 May 2022

“Di era ini, dimana penggunaan digital telah menjadi masif, akses yang mudah ke internet menjadi hal penting bagi semua orang termasuk anak-anak. Oleh karena itu, penting bagi orang tua untuk melindungi anak-anak mereka dari pedang bermata dua internet, yang meskipun begitu banyak manfaat yang ditawarkan, juga membuat mereka terpapar pada beberapa hal yang merugikan”, kata Nobertus R. Santoso, dosen ilmu komunikasi di Universitas Atma Jaya Yogyakarta pada rangkaian webinar South East Asia Talk (SEA TALK) ke-45, yang diselenggarakan oleh Center for Southeast Asian Social Studies (CESASS), Universitas Gadjah Mada

Topik tentang “Menegosiasikan Strategi Mediasi Orang Tua dalam Penggunaan Media Digital oleh Remaja di Keluarga Muslim Jawa Perkotaan dan Pedesaan” merupakan temuan awal dari proyek PhD-nya di perguruan tinggi Komunikasi Massa, Universitas Filipina, Nobertus.

Berputar di sekitar budaya keluarga Muslim Jawa, Ia menyelidiki bagaimana orang tua menyesuaikan diri dengan normal baru penggunaan digital, mengadopsi strategi mediasi dengan prinsip memaksimalkan manfaat, dan meminimalkan risiko online. Nobertus, secara khusus memperhatikan strategi mediasi orang tua dengan mengintegrasikan tiga tingkat analisis, yaitu tingkat budaya, tingkat orang tua, dan tingkat remaja.

Dilihat dari tataran budaya, nilai-nilai Jawa dan Islam mempengaruhi sifat pengasuhan, seperti tata krama (kata bahasa Jawa untuk kesantunan) dan peran tradisional orang tua. Ia menemukan bahwa peran ayah Jawa adalah pencari nafkah keluarga yang harus melindungi remaja mereka dari bahaya penggunaan digital dan untuk memberikan pendidikan serta kebutuhan keuangan, sementara ibu Jawa, sebagai pengasuh, memiliki tanggung jawab besar untuk membantu mereka. anak-anak mengembangkan karakter mereka sambil juga melindungi nilai-nilai Islam di rumah mereka. Menariknya, banyak orang tidak menyadari bahwa peran pembatasan ini didasarkan pada konsep “status perempuan” dalam keluarga muslim Indonesia, yang oleh Julia Suryakusuma disebut sebagai “ibuisme negara/keibu”—an ideologi yang mendefinisikan perempuan sebagai embel-embel dan pendamping bagi suaminya, sebagai penerus bangsa, mengukuhkan perannya sebagai ibu dan pendidik anak, sebagai pembantu rumah tangga, dan sebagai anggota masyarakat Indonesia dalam urutan yang tepat.[1]

Pada studi tingkat kedua, tingkat orang tua, ditunjukkan bagaimana orang tua Jawa menggunakan berbagai gaya pengasuhan yang mempengaruhi pertumbuhan remaja seperti permisif, otoriter, otoritatif, dan lalai atau tidak terlibat. Penting juga untuk diketahui bahwa pola asuh dalam keluarga Muslim Jawa mengutamakan kepatuhan, keyakinan agama, kesopanan, dan oleh karena itu adalah tugas orang tua untuk mengajari anak-anak mereka bagaimana memanfaatkan platform digital secara bertanggung jawab sekaligus mengurangi dampak negatif yang menyertainya mereka.

Terakhir, melalui tingkat remaja, Nobertus mengamati bagaimana para remaja digital savvy yang kini tampak menjalani kehidupan online cenderung menyembunyikan aktivitas internet mereka dari orang tua mereka. Selain itu, platform media digital mendorong remaja untuk menghasilkan rasa harapan sosial: kebebasan, kepercayaan, otonomi, dan tanggung jawab untuk penggunaan media digital. Namun, penting juga untuk dicatat bahwa latar belakang demografis menentukan sejauh mana remaja terpapar penggunaan media digital, karena remaja perkotaan jelas memiliki lebih banyak paparan penggunaan digital dibandingkan dengan remaja yang tinggal di daerah pedesaan. Dengan demikian, karakteristik ini harus dipertimbangkan dalam meneliti strategi mediasi orang tua.

Kajian Nobertus mengisi celah di mana studi-studi sebelumnya berfokus pada peran ibu Muslim dengan sama-sama memperhatikan untuk memasukkan peran ayah Muslim dalam mengelola penggunaan internet remaja di bawah persimpangan pengaturan budaya, agama, dan geografis. Studi lapangannya dilakukan pada bulan Maret. 2021 di Yogyakarta, Indonesia. 

[1] Suryakusuma, Julia I. (1996). “Negara dan Seksualitas di Indonesia Orde Baru.” Dalam Laurie Sears (ed.), Fantasi Feminin di Indonesia. Durham: Duke University Press, hal. 101.

[SEA-TALK #44] The Other: Reading Islamic Literature in the 21st Century Southeast Asia

AktivitasSEA Talk_ind Thursday, 17 March 2022

Center for Southeast Asian Social Studies Universitas Gadjah Mada mengadakan diskusi panel bertajuk SEA Talk #44 yang diselenggarakan pada tanggal 10 Maret 2022. Secara umum, CESASS UGM memiliki kepedulian terhadap sosial, ekonomi, politik, dan isu-isu budaya di kawasan Asia Tenggara sebagaimana disampaikan dalam diskusi panel. Dalam pembicaraan SEA Talk #44 ini, Prof. Dr. phil. Hermin Indah Wahyuni, S.IP, M.Si. selaku ketua CESASS UGM membuka dan menyambut peserta dan pembicara yang telah bergabung dan berpartisipasi dalam diskusi panel SEA Talk #44. Pembicara akan dibawakan oleh Drs. Moh. Arif Rokhman, M.Hum. Ph.D., yang merupakan Dosen Sastra Inggris Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada.

Pada sesi pertama SEA Talk #44, Muh. Arif Rokhman mengangkat topik yang berjudul “Hal lain dalam Sastra Islam Abad 21 di Indonesia” khususnya di awal abad 21. Muh. Arif Rokhman mengatakan bahwa penelitian ini merupakan karya sastra yang ditulis oleh para penulis dari Forum Lingkar Pena, sebuah asosiasi penulis Muslim di Indonesia. Teori yang diterapkan adalah postkolonial meliputi perjumpaan, mimikri, dan hibriditas. Presentasi berfokus pada analisis tekstual fokus pada pertemuan Muslim Indonesia dengan orang lain, termasuk orang barat, ikon dari budaya populer barat, Muslim asing, dan non-Muslim Indonesia. Muh. Arif Rokhman mengawali analisis dengan menelusuri asal usul sastra Islam yang berasal dari Sumatera dengan terbitnya novel ‘Kehilangan Mestika’ pada tahun 1935. Hal ini diikuti dengan munculnya sekelompok pengarang Muslim dari Sumatera antara lain Hamka, Rifa’I Ali, dan A Hasmy . Pembahasan Islam sebagai sebuah konsep dalam sastra muncul pada tahun 1930-an. Berawal ketika Hamka menjadi redaktur Pedoman Masjarakat. Pada tahun 1940, sastrawan Sumatera terus memainkan peran penting dalam diskusi sastra Islam. Pada tahun 1943 peran sastra sebagai sarana penunjang dakwah digagas oleh Dimyati. Pada pertengahan 1950-an, kelompok budaya Islam menetapkan keyakinan artistik mereka sebagai tanggapan terhadap Lekra yang berafiliasi dengan Komunis dan manifesto humanis universal yang disebut Mukadimah dan Surat Kepercayaan Gelanggang Pada 1960-an, Lesbumi sendiri didirikan untuk melawan aktivitas Lekra. Tahun 1970-an dan 1980-an dianggap sebagai periode sastra yang terkenal dengan ‘kembali ke akar tradisi’, masa di mana tradisi diprioritaskan sebagai sumber inspirasi utama karya sastra mereka. Pada tahun 1984, Hasjmy mengajukan rumusan yang menarik tentang esensi sastra Islam dalam bukunya yang berjudul “Apa Tugas Sastrawan Sebagai Khalifah Allah”. Kemudian Moh. Arif Rokhman melanjutkan diskusi mengenai pembentukan Forum Lingkar Pena yang dibentuk pada masa reformasi Indonesia tahun 1997 dari Fakultas Sastra Universitas Indonesia, dengan tujuan untuk mempromosikan Islam melalui sastra. Kegiatannya meliputi perekrutan calon penulis, dan pelatihan serta penerbitan tulisan mereka.

Hasil penelitiannya adalah, bahwa karakter Islami tetap kuat dalam keyakinan Islam mereka sementara orang Barat mengalami transformasi yang cukup besar mengenai kepekaan agama mereka. Kedua, ikon barat memberikan energi dan inspirasi yang cukup bagi karakter lokal untuk mengubah diri mereka sendiri untuk membawa perubahan di lingkungan terdekat mereka. Perjumpaan antara tokoh utama Muslim Indonesia dengan Muslim dari bangsa lain memberikan ruang untuk berargumentasi bahwa Muslim Indonesia memiliki “akhlaq” yang sempurna. Terakhir, Muh. Arif Rokhman menjelaskan bahwa menghadapi masyarakat Muslim Indonesia dan sesama masyarakat Indonesia menggambarkan pertemuan antara Muslim Indonesia yang saleh dan Indonesia Kristen dan juga Indonesia Jawa yang beragama Islam nominal, sehingga protagonis tetap kuat dengan keyakinannya dan menangani pelanggaran prinsip-prinsip Islam, kepercayaan tradisional, dan penginjilan.

[SEA-TALK #43] Emancipating The Shackled Mind “The Role of Critical Education”

AktivitasSEA Talk_ind Wednesday, 16 February 2022

Pendidikan berfungsi sebagai instrumen yang dapat digunakan untuk memfasilitasi proses integrasi generasi yang lebih muda ke dalam sistem logika dan pengetahuan saat ini. Pendidikan juga berperan dalam membawa konformitas dan praktik kebebasan dimana individu dihadapkan pada realitas kritis dan kreatif dalam menemukan cara untuk berparitispasi dalam transformasi dunia mereka. Hal tersebut Prof. Alberto Gomes sampaikan dengan merujuk pada ide dan gagasan Virilio mengenai pedagogis kritis. Penyampaian ini merupakan salah satu penggalan dari Prof. Alberto pada seri SEA TALK ke #43 tentang bagaimana pentingnya pendidikan kritis. Prof. Alberto merupakan direktur pendiri dialogue, emphatic, engagement, and peacebuilding atau yang dikenal dengan DEEP Network dan juga selaku sebagai professor di Universitas Emiritus La Trobe, Melbourne, Australia. Dalam diskusi SEA Talk kali ini Prof. Alberto membawakan diskusi mengenai usaha emansipasi pembebasan pikiran yang terbelenggu melalui proses pendidikan kritis.    

Diskusi serial ini membawa bagaimana pentingnya pendidikan kritis di dalam konteks praktik di perguruan tinggi. Prof. Alberto menemukan bahwa terdapat delapan nilai utama dari proses pendidikan kritis. Pertama, pendidikan kritis berperan untuk meregenerasi institusi intelektual lokal tradisional. Kedua, pendidikan kritis beperan membuka hambatan kognitif. Ketiga, pendidikan kritis harus melihat adanya bentuk lain atau alternatif pengetahuan, diikuti pada nilai yang keempat bahwa pendidikan kritis dilakukan untuk menciptakan ruang kritis baru, pada nilai kelima pendidikan kritis menegaskan adanya proses antara teori dan praktek dalam proses berpengatahuan, dan pada nilai keenam, ketujuh dan kedelapan bahwa pendidikan kritis mempromosikan pedagogi lokal yang bersumber pada pengetahuan lokal peradaban sebelumnya yang berfokus pada pengetahuan ekologi dan pendidikan empatik. 

Merujuk pada kutipan Bell, Prof. Alberto mengatakan bahwa ruang akademik bukanlah surga melainkan ruang akademik merupakan ruang tempat belajar dimana surga, tatanan ideal dan utopia itu dapat diciptakan. Ruang kelas dengan segala keterbatasannya menjadi lokasi dari proses pencarian kemungkinan-kemungkinan baru yang lebih baik untuk peradaban. Pada kemungkinan-kemungkinan tersebut kita memiliki kesempatan untuk bekerja demi kebebasan serta usaha untuk menuntut diri kita sendiri, rekan dan teman-teman kita dengan membuka pikiran dan hati yang memungkinkan kita menghadapi kenyaatan bahwa ketika kita bersama-sama kita dapat bergerak melampui batasan kita sebagai individu. 

Pendidikan kemudian harus dilihat sbeagai praktik pembebasan, dengan merujuk pada kutipan Pramoedya bahwa individu yang terpelajar harus belajar untuk beradil, pertama-tama berlaku adil dengan pikirannya kemudian berlaku adil dalam perbuatannya. Demikianlah apa yang dimasukan dengan terpelajar adalah individu yang  belajar untuk berbicara, mendengarkan, mengkritik dan berdialog dan yang terpenting bahwa tindakan tersebut didasarkan pada pengetahuan dan pemahaman untuk menjadikan dunia bergerak kearah yang lebih baik dimana masing-masing manusia hidup dalam damai antara satu sama lain serta selaras dengan alam.

Wacana serta dinamika pengatahuan kemudian membawa pada refleksi tentang peran kita sebagai pendidik terutama dalam konteks kritis adalah untuk melihat kembali intelektual serta guru yang berasal dari institusi pengetahuan lokal dan sejarah tempat kita hidup dan kemudian menjadikannya sebagai  sumber utama pengetahuan kritis kita. Dengan hal tersebut, kita perlu memperhatikan dan memberikan pengakuan terhadap siapa yang telah mempengaruhi wacana intelektual publik kita sepanjang garis waktu sejarah. 

Melalui hal tersebut maka kita harus mempertanyakan dimana saat ini intelektual kita berada, baik di ruang publik, universitas dan dunia yang telah terneoliberalisasikan ini. Sayangnya realitas tersebut masih sangat jauh dari kenyataan dunia pendidikan kita sekarang atas hal tersebut Prof. Alberto mengatakan bahwa penting untuk meningkatkan semangat untuk  mendekolonisasi dan berpikir kritis terhadap cara kita berpikir dan cara kita berpengatahuan.

[SEA-TALK #42] Diskusi Buku Seri #6 tentang “Ilmu Sosial di Era Transformasi dan Disrupsi: Relevansi, Peran, dan Tantangannya”

AktivitasSEA Talk_ind Monday, 31 May 2021

Bertujuan untuk parlemen abad ke-21

Ada kebutuhan akan sistem parlemen di Indonesia , Malaysia, dan Singapura untuk menjadi “parlemen yang berjalan”, dan demi mengatasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan/SDG, mulai dari Sidang Pleno, sebagai wajah publik, Dr. Ratih D. Adiputri, dari Universitas Jyväskylä, Finlandia berkata di Southeast Asia Talk forum (25/05/2021). Ia mempresentasikan tentang sebuah bab yang berjudul Social Science Research in Southeast Asia: The Challenges of Study Parliamentary Institutions dalam diskusi seri buku “Social Science in the Age of Transformation and Disruption: Its Relevance, Role, and Challenge” (2020), diedit oleh Prof. Dr. phil. Hermin Indah Wahyuni ​​dan Dr. phil. Visia Ita Yulianto dari CESASS, Pusat Studi Sosial Asia Tenggara, Universitas Gadjah Mada (UGM).

Lebih lanjut Dr. Ratih menjelaskan bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia berpendapat bahwa parlemen Indonesia, DPR, memiliki kedudukan konstitusional dan hukum yang jauh lebih kuat dibandingkan dengan pada era Suharto. ”Meskipun demokratisasi, parlemen Indonesia masih menggunakan prosedur yang sudah ketinggalan zaman. Ini berarti bahwa sidang paripurna hanya terdiri dari acara seremonial mendengarkan pidato panjang, dan tidak berdebat atau anggota parlemen mungkin memiliki kesempatan untuk mengatakan sesuatu untuk menunjukkan kepada konstituen (terlepas dari interupsi yang tidak relevan). Sistem balkanisasi komisi/komite dengan anggota 10% terus berlanjut, dan seorang anggota parlemen dari satu komite tidak boleh bergabung dalam diskusi di komite lain bahkan jika itu relevan dengan masalah konstituennya. Ini adalah hak istimewa keanggotaan saja. Selain itu, anggota parlemen Indonesia lebih banyak berfokus pada afiliasi partai politik dan komitenya daripada relevansi konstituennya”.

Dengan demikian, sudah biasa di DPR melihat Menteri Kesehatan hanya masuk ke Komisi IX, atau Menteri Pendidikan masuk ke Komisi X saja, padahal isu pandemi COVID-19 dan nasib pendidikan anak akibat penutupan sekolah berdampak pada seluruh warga. Pertemuan para menteri ini layak untuk dilihat dalam Sidang Paripurna, sebagaimana prosedurnya. Hanya anggota komisi terkait, yang hanya 10% dari seluruh anggota DPR, yang boleh berdiskusi atau berdialog dengan Menteri, bahkan jika Anda anggota parlemen dan konstituennya memiliki kasus yang signifikan dan relevan, tidak dapat bergabung. “Sistem balkanisasi” komisi/komite seperti itu terus berlanjut hingga saat ini.

Tidak jauh berbeda sidang paripurna juga terus menampilkan acara seremonial dengan mendengarkan pidato-pidato panjang. Tidak ada perdebatan yang ada, atau anggota parlemen mungkin memiliki kesempatan untuk mengatakan sesuatu untuk ditunjukkan kepada konstituen (terlepas dari interupsi yang tidak relevan). Wartawan kemudian cenderung melaporkan “anggota DPR yang sedang tidur” yang tertangkap basah saat Sidang Paripurna, padahal memang situasi yang membosankan mendengar semua fraksi (pengelompokan parpol di DPR) menyampaikan pidatonya di podium. Akan menarik dan semarak jika masing-masing fraksi dapat menunjukkan poin-poin masalah legislasi (maksimal 2 halaman, disampaikan dalam waktu maksimal 10 menit) dan anggota lain yang hadir dalam pleno akan memberikan pernyataan singkat tentang masalah tersebut. Ini akan menjadi pertunjukan publik bagi konstituen (ketika anggota perwakilan mereka mengatakan sesuatu); bagi warga negara untuk mempelajari bagaimana undang-undang itu diberlakukan; bagi anggota parlemen untuk berbicara fasih untuk konstituen di depan umum; dan terutama untuk menunjukkan bahwa parlemen adalah lembaga modern, menyikapi demokrasi dan tantangan SDG yang belum ditunjukkan oleh parlemen.

Pembicara acara webinar, Idzuafi Hadi Kamilan – Direktur Eksekutif, Institute for Political Reform and Democracy (REFORM), Malaysia – juga memperbarui informasi tentang parlemen Malaysia. Pada Mei 2018, pemilihan bersejarah jatuhnya Barisan Nasional mengambil Dr. Mahathir Muhamad sebagai perdana menteri/PM, bukan dari UMNO tetapi dari Pakatan Harapan. Namun, momen bersejarah ini berubah setelah Dr. Mahathir mundur sebagai PM pada Februari 2020 dan ada “Sheraton Move” di mana beberapa anggota parlemen melompat ke oposisi dan ini mengubah dinamika lagi di parlemen. Pada awal tahun 2021, terjadi penarikan dukungan terhadap Perikatan Nasional yang dilakukan oleh Ahmad Jazlan Yaakub, sehingga menarik dukungan kepada pemerintah PN.

Memang, prosedur parlementer yang berbeda terlihat di parlemen Indonesia, sistem presidensial, hingga sistem Westminster parlemen Malaysia dan Singapura. Di Malaysia dan Singapura, setiap anggota parlemen berbicara sendiri berdasarkan afiliasi konstituen, dan pleno adalah tempat untuk berdebat (dengan pendaftaran dan waktu terbatas untuk berbicara). Paripurna bertindak sebagai wajah parlemen bagi warga dan konstituen untuk melihat perwakilan mereka berkontribusi pada diskusi, bukan sekadar interupsi.

Mengadopsi gaya parlemen Westminster tentu saja merupakan masalah yang kompleks, namun afiliasi konstituen harus selalu dinyatakan oleh anggota parlemen, seperti parlemen Amerika Serikat, misalnya tidak cukup hanya menyebutkan nama parpol anggota atau nama komisi/panitia saja.

Sebagai penutup acara, Dr. Adiputri dan Bapak Kamilan menekankan perlunya “setiap parlemen perlu menjadi parlemen yang bekerja” dan menyikapi parlemen abad ke-21 yang “representatif, transparan, dapat diakses, akuntabel, dan efektif” (IPU, 2005).

Tentang Pembicara:

Dr. Ratih D. Adiputri adalah peneliti Indonesia juga peneliti Postdoctoral dan dosen universitas di University of Jyvaskyla, Finlandia. Topik penelitiannya adalah Parliamentary Institutions, Asia Tenggara, dan Sustainable Development Goals (SDGs). Secara umum memiliki minat penelitian dan pengajarannya dalam studi parlemen/legislatif, budaya politik, pemikiran politik, dan proses demokratisasi atau perubahan politik, terutama pada prosedur parlementer, tradisi demokrasi, dan politik Indonesia-Asia Tenggara.

 

Idzuafi Hadi Kamilan adalah seorang Kepala Hukum dan Perjanjian Internasional, Komisi Hak Asasi Manusia Malaysia (SUHAKAM). Sebelumnya, Beliau adalah petugas Riset Parlemen dari 2012 dan diperbantukan di Kantor Ketua DPR dari 2015-2018. Dia memiliki kemampuan yang signifikan dalam bidang penelitian seperti Hukum Konstitusi, Praktek Parlemen, dan Prosedur di Malaysia. Dia memiliki kemampuan yang signifikan dalam bidang penelitian seperti Hukum Tata Negara, Praktik Parlemen dan Prosedur di Malaysia. Ia mengikuti beberapa pelatihan parlemen internasional termasuk Fulbright Visiting Scholar di University at Albany (2019-2020).

[SEA-TALK #41] Seri Diskusi Buku #5 tentang “Ilmu Sosial di Era Transformasi dan Disrupsi: Relevansi, Peran, dan Tantangannya”

AktivitasSEA Talk_ind Saturday, 29 May 2021

“Penelitian Ilmu Sosial hampir tidak objektif dalam mempelajari subjek yang diketahui dan selalu subjektif dalam beberapa hal”, kata Melanie V. Nerzt dan Vissia Ita Yulianto, penulis bab buku “Shifting Positionalities: The Shades of being inside and outside in social Science Research” (2020).

Dengan memanfaatkan sebagian besar pengalaman dalam melakukan kerja samaran antropologis sebagai peneliti Indonesia dan Jerman di pulau Sulawesi dan Jawa, Indonesia, pada tahun 2010 dan 2011, Melanie dan Ita menjabarkan peran yang mereka ambil dan dianggap dalam berbagai konteks lapangan dan mengeksplorasi implikasi menjadi orang dalam dan peneliti luar.

Mereka berpendapat bahwa yang pertama, posisionalitas penelitian tergantung pada latar belakang disiplin, sosial-budaya dan profesional peneliti, kepribadian dan minat pribadi serta pada atribut yang melekat pada jenis kelamin, ras, kelas sosial, kebangsaan, etnis, usia, agama, ideologi dan penderitaan politik. Kedua, positionalitas penelitian mempengaruhi pengumpulan dan interpretasi data, sehingga menghasilkan pengetahuan. Menurut kedua pembicara, merefleksikan posisi sangat penting untuk mendeteksi bias pada bagian dari peneliti serta untuk memahami dinamika peneliti/peserta.

Sebagai seorang antropolog Jerman yang berbasis di University Hebrew, Mirjam Lücking, memiliki pengalaman yang kaya dalam melakukan kerja lapangan dan menulis tentang Indonesia. Mirjam menambahkan bahwa kepribadiannya selalu berada dalam interseksionalitas. Dalam presentasinya, ia memicu pertanyaan lebih lanjut apakah posisionalitas juga penting di meja ketika para peneliti menganalisis data mereka dari kerja lapangan.

Diskusi berlangsung meriah dan membuahkan hasil, secara resmi dikemukakan oleh direktur PSSAT (Pusat Studi Sosial Asia Tenggara), Prof. Dr. Hermin Indah Wahyuni, dan dimoderatori oleh Dr. Muhammad Rum, ilmuwan IR dari Universitas Gadjah Mada.

Untuk diperhatikan kedua presenter dan pembahas di atas adalah lulusan dari Universitas Freiburg, Jerman yang menggunakan desain penelitian tandem yang dikembangkan oleh Judith Schlehe yang melihat bahwa perbedaan budaya dapat digunakan dengan cara yang produktif dan bersinergi karena orang dapat belajar dari satu sama lain dan lebih banyak perspektif selalu melengkapi gambaran (2008: 19).

 

Tentang presenter:

Melanie V Nerzt adalah kandidat PhD di Departemen Antropologi sosial-budaya, Universitas Freiburg. Meraih gelar Magister Antropologi Sosial dan Budaya dan Studi Islam.  Publikasi meliputi: Nertz, Melanie V. (2014): ‘Modernitas Muslim’ di Makassar dan Yogyakarta: menegosiasikan ‘Barat’ sebagai kerangka acuan. In: Volker Gottowik (ed.): Dynamics of religion in Southeast Asia: magic and modernity/ Amsterdam: Amsterdam Univ. Press, pp. 155-174, dan Schlehe, Judith/Melanie V. Nertz/Vissia Ita Yulianto (2013): Membayangkan kembali ‘Barat’ dan menampilkan ‘modernitas Indonesia”: Muslim, Kristen, dan praktisi paranormal. Dalam: Zeitschrift fur Ethnologie, Vol. 138, No. 1, pp. 3-21.

Vissia Ita Yulianto adalah seorang antropolog sosial budaya Indonesia. Ia adalah penulis buku “Reframing Modernities in Contemporary Indonesia: An Ethnographic Study of Ideas of Center and Periphery on Sulawesi and Java”, Regiopectra, Berlin (2015). Bidang keahliannya adalah pascakolonialitas, studi budaya, studi memori, dan Studi Asia Tenggara. Ia adalah peneliti di Pusat Studi Sosial Asia Tenggara dan dosen di program magister Studi Seni Pertunjukan dan Visual Universitas Gadjah Mada. Publikasi terbaru meliputi: Schlehe, J., & Yulianto, V. I. (2020). Antropologi sampah: Moralitas dan mobilisasi sosial di Jawa. Indonesia dan Dunia Melayu, 48(140), 40-59, Deng, J. B., Wahyuni, H. I., & Yulianto, V. I. (2020). Migrasi tenaga kerja dari Asia Tenggara ke Taiwan: masalah, tanggapan publik, dan pembangunan di masa depan. Studi Pendidikan dan Pembangunan Asia, dan Parahita, G. D., & Yulianto, V. I. (2020). Pengkhianatan di YouTube: Politik Memori di Media Baru di Indonesia. Keuskupan Agung. Études interdisciplinaires sur le monde insulindien, (99), pp. 47-73.

Google Scholar

https://scholar.google.co.id/citations?user=VJub5-cAAAAJ&hl=en

 

Mirjam Lücking adalah rekan pascadoktoral di Universitas Ibrani Yerusalem, pertama dalam afiliasi dengan Departemen Studi Asia dan Pusat I-CORE untuk Studi Konversi dan Pertemuan Antar-agama di Ben-Gurion University of the Negev (2017–2019) dan saat ini sebagai anggota Martin Buber Society of Fellows di Humaniora dan Ilmu Sosial. Sebelumnya ia bekerja sebagai peneliti dan dosen di Departemen Antropologi Sosial dan Budaya di Universitas Freiburg, Jerman, di mana ia menyelesaikan PhD-nya. Dia belajar dan melakukan penelitian antropologis di Freiburg, Jerman; Damaskus, Suriah; Fès, Maroko; dan Madura, Samarinda, Jakarta, dan Yogyakarta, Indonesia.

Karyanya tentang migrasi tenaga kerja, ziarah dan pariwisata, identitas keagamaan di Indonesia dan hubungan transregional antara Indonesia dan Dunia Arab telah diterbitkan dalam jurnal peer-review internasional seperti European Journal of East Asian Studies, Social Sciences, and Bijdragen, dan dalam bukunya, Indonesians and Their Arab World: Guided Mobility among Labor Migrants and Mecca Pilgrims (Cornell University Press).

Google Scholar

https://scholar.google.co.id/citations?user=ugKUCKMAAAAJ&hl=id

[SEA TALK #31] Memahami Literasi Digital Siswa Indonesia

SEA Talk_ind Monday, 10 February 2020

Pusat Studi Sosial Asia Tenggara (PSSAT) UGM menggelar agenda rutin SEA TALK #31 “Digital Literacies of Indonesian Secondary Students: What Have We Learned” bersama Jayne C. Lammers, Ph.D (University of Rochester USA) dan Puji Astuti, Ph.D (UNNES). Presentasi penelitian pada jumat (07/02/2020) ini disambut antusias oleh para peserta dalam diskusi interaktif.

Pada diskusi bulanan ini, Lammers dan Puji memaparkan hasil penelitian terbaru mereka mengenai digital literasi dalam pembelajaran siswa SMP dan SMA. Penelitian dibawah program FULLBRIGHT dari pemerintah Amerika Serikat ini dimulai sejak bulan September 2019. Data didapat dari 618 responden, yaitu para siswa di 3 SMP dan 4 SMA kota dan kabupaten Semarang. Fokusnya yaitu pada pengajaran Teknologi Informasi Komunikasi (TIK) dalam kelas. Dalam presentasinya, kedua peneliti tersebut menjelaskan bahwa penelitian diadakan dengan studi kasus kolektif penjelasan menggunakan metode campuran.

Lammers dan Puji memaparkan bahwa ada banyak temuan mengejutkan selama 5 bulan penelitian berjalan. “Kami terkejut mengetahui bahwa yang diajarkan di sekolah berbeda dengan yang diharapkan para siswa. Contohnya, siswa diajarkan mengenai hardware dan Microsoft offices, padahal yang mereka harapkan lebih besar. Seperti belajar coding, membuat aplikasi, games, hingga editing video,” ujar Lammers, pengajar dan peneliti dari Amerika Serikat.

Pada akhir presentasi, kedua peneliti berharap bahwa temuan-temuan mereka, beserta topik penelitian lanjutan yang diajukan, dapat disambut baik menjadi penelitian baru oleh para peserta dan peneliti Indonesia. “Tentunya kami berharap agar hasil penelitian ini bisa menjadi rekomendasi kebijakan untuk pendidikan Indonesia yang lebih baik,” tambah Puji.

SEA Talk merupakan forum diskusi bulanan yang membahas masalah sejarah, sosial, politik, ekonomi, budaya, teknologi dan hak asasi manusia di Asia Tenggara. PSSAT UGM rutin mengajak peneliti dan akademisi untuk berbagi ilmu dan terbuka untuk dihadiri oleh publik. Dengan forum yang memiliki berbagai topik dan perspektif ilmiah, PSSAT berharap masyarakat umum dapat lebih siap menghadapi kompleksitas kehidupan di masa depan, terutama yang terkait dengan keberadaan Indonesia sebagai komunitas di Asia Tenggara.

[SEA Talk #26] Indonesia-Austria Bilateral Relation

AktivitasSEA Talk_indUncategorized Thursday, 18 July 2019

SEA Talk #26 “Indonesia-Austria Bilateral Relation” with Simon Gorski (University of Vienna) at CESASS UGM Library (18/09/19). Thank you for your participation and see you at our next event!

[SEA Talk #25] Futures Studies and Social Sciences: The Future We Want

AktivitasSEA Talk_indUncategorized Tuesday, 2 July 2019

SEA Talk #25 “Futures Studies and Social Sciences: The Future We Want” with Prof. Dr. Jian-bang Deng, a Professor of Sociology at the Graduate Institute of Futures Studies (GIFS) of Tamkang University at CESASS UGM Library (02/07/19).Thank you for your participation and see you at our next event!

[SEA Talk #24] Apa yang Dapat Dipelajari dari Jathilan? Perspektif Orang Luar tentang Tarian Rakyat Populer

AktivitasSEA Talk_ind Wednesday, 10 October 2018

Pada hari Selasa (9/10/18), Eva Rapoport dari College of Religious Studies of Mahidol University hadir di Perpustakaan PSSAT UGM untuk memberikan materi tentang What Can Be Learned from Jathilan? An Outsider’s Perspective on A Popular Folk Dance dalam SEA Talk #24.

123

Berita Terakhir

  • Inovasi dan Sistem Pengelolaan Sampah yang Smart untuk Mendukung Implementasi Smart City di Ibu Kota Nusantara
  • PSSAT UGM Menyelenggarakan Webinar Series GEO-PW #6 dan Focus Group Discussion Kelanjutan Pembangunan Ibu Kota Negara: Aspek Penguatan dan Pembatasan
  • CESASS UGM dan SEALC NCCU Adakan Pertemuan Strategis untuk Memperkuat Kemitraan Regional
  • Penandatanganan MoU Kolaborasi Jurnal antara COMICOS 2026 dan IKAT: The Indonesian Journal of Southeast Asian Studies
  • PSSAT UGM Menerima Kunjungan Director of Government Affairs & Strategic Collaborations, Grab Indonesia
Universitas Gadjah Mada

Pusat Studi Sosial Asia Tenggara
Universitas Gajah Mada

Gedung PAU, Jl. Teknika Utara
Daerah Istimewa Yogyakarta 55281
pssat@ugm.ac.id
+62 274 589658

Instagram | Twitter | FB Page | Linkedin |

© Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY