Tingkat bias gender yang tinggi serta banyaknya kasus-kasus diskriminasi gender yang terjadi baik di Indonesia maupun di berbagai belahan dunia bisa dikatakan cukup memprihatinkan. Isu bias gender berkaitan erat dengan munculnya stereotip gender yang seringkali menimbulkan adanya tindak diskriminasi yang didasarkan pada gender seseorang. Isu bias gender ini utamanya masih banyak menjadi sorotan bagi negara-negara di wilayah Asia Tenggara.
Mengapa isu bias gender ini penting :
- World Economic Forum menilai kesenjangan gender di 149 negara dan skor untuk negara-negara di Asia Tenggara terbilang buruk karena masih jauh dari skala 1 yang menunjukkan kesetaraan. Filipina yang menempati posisi teratas hanya memiliki skor 0,781 dengan Myanmar di posisi paling akhir memiliki skor 0,665.
- Global Gender Gap Reportmenemukan masih tingginya gap upah antar-gender di Indonesia. Tercatat pada 2017, estimasi penghasilan yang diperoleh laki-laki sebesar $15.536, sedangkan perempuan hanya $7.632.
- Sejak pemilu 1999 hingga 2014, jumlah perempuan anggota di DPR RI belum mencapai angka 30 persen, meskipun syarat keterwakilan perempuan itu sudah diatur dalam UU No.2 Tahun 2008.
- Survei Pusat Data dan Statistik Pendidikan (PDSP) Kemendikbud tahun 2013 menunjukkan, persentase pengajar perempuan di perguruan tinggi hanya sebesar 40,58%, sementara pengajar perguruan tinggi laki-laki sebesar 59,42%.
- Penurunan signifikan ada pada variabel wage equality for similar work. Skor terus turun dari 0,84 di 2007 menjadi 0,71 di 2017. Selaras dengan data BPS, skor menunjukkan bahwa upah antar-gender untuk pekerjaan serupa di Indonesia semakin tidak setara.
Bias gender sendiri muncul saat perempuan dan laki-laki mendapat penilaian berbeda terhadap sesuatu yang mana alasannya tidak dapat dijelaskan berdasarkan objektifitas mengenai kualitas dan seakan mengesampingkan usaha individu hanya karena gender mereka (Friederike Mengel, Jan Sauermann, Ulf Zolitz, 2017) perilaku bias gender inilah yang melahirkan adanya stereotip dan diskriminasi gender di masyarakat. Secara umum, perempuan distereotipkan bersifat komunal, yakni hanya memiliki peran pendukung, perawat dan pengasuh, sedangkan laki-laki di stereotipkan sebagai individu yang mandiri dan bisa memimpin (Williams J. 1990 dalam Sullivan, Racusin, Lopez, & williams, 2018). Kasus paling banyak yang ditemukan dalam fenomena bias dan diskriminasi gender muncul dalam bentuk dimana seorang perempuan memiliki peluang yang lebih kecil untuk dipromosikan dan naik jabatan, memegang peranan sebagai pemimpin seperti kepala departemen, kepala divisi, ataupun pengurus harian, serta mendapat bayaran yang lebih rendah dari rekan kerja laki-laki untuk posisi yang sama (Giovanni Abramo, Ciriaco Andrea D’Angelo, Francesso Rosati, 2016). Untuk menghindari ketidakadilan dan diskriminasi gender, sudah seharusnya kita melakukan sesuatu yang lebih baik dari hanya mengukur serta memetakkan presentase antara perempuan dan laki-laki dalam situasi tertentu (Bruce J. Hillman, 2018). Sayangnya, upaya yang seringkali dilakukan guna meminimalisir dampak diskriminasi dan ekspektasi gender ini seringkali mengalami hambatan dari budaya yang telah ada (Jessica Sullivan, Corinne Moss-Racusin, Michael Lopez, Katherine Williams, 2018).
Salah satu solusi yang dianggap dapat memberikan pengaruh signifikan dalam menekan angka diskriminasi gender adalah adanya pendidikan gender yang diajarkan sejak dini, hal ini karena secara umum norma gender secara langsung maupun tidak langsung seringkali dilanggengkan dalam sistem pendidikan. Hal ini terlihat dari berbagai kurikulum yang seringkali mengandung arahan terselubung dalam presentasi buku maupun cara mengajar yang memberikan sebuah pengecualian dalam memperlakukan individu utamanya terhadap gender atau jenis kelamin tertentu. Selain itu, salah satu alasan mengapa perempuan masih mendapat perlakuan berdasar stereotip gender terutaman di dunia pendidikan adalah karena dunia akademisi juga masih didominasi oleh profesi-profesi laki-laki (Curtis 2011 dalam Mitchell & Martin 2018).
Pendidikan terhadap kesadaran gender sudah bisa dikenalkan terhadap anak-anak sejak dini, hal ini karena ditahun-tahun pertama kehidupan, anak-anak mengembangkan pemahaman yang masih sangat kaku mengenai konsep perilaku, preferensi dan sifat-sifat yang terkait dengan gender (Slaby, Freyk 1975, Brown, Bigler 2004, dalam sullivan, Racusin, Lopez, & williams 2018). Salah satu hal yang diangap relevan terkait perkembangan stereotip gender yang kuat pada anak adalah struktur masyarakat dewasa yang seolah menormalisasi perilaku serupa (Ben S. 1981, Bussey K., Bandura A. 1999 dalam Sullivan, Racusin, Lopez, & williams 2018). Pola permainan dan interaksi termasuk percakapan orang tua, berpengaruh pada gender dan stereotip gender anak. Orang tua yang melanggar, menyetujui dan yang kurang memahami mengenai stereotip gender akan cenderung membuat seorang anak menirunya (Jessica Sullivan, Corinne Moss-Racusin, Michael Lopez, Katherine Williams, 2018)
Secara alami anak-anak seringkali memiliki rasa penasaran yang tinggi atas hal-hal yang ada di sekitarnya, memupuk rasa penasaran ini dapat meningkatkan dan mengembangkan kemampuan verbal serta linguistik yang dimiliki oleh anak (Kathy Cabe Trundle, Mandy Mc.Cormick Smith, 2017). Aktivitas belajar, transisi, perilaku menentang anak-anak dapat mempengaruhi setiap aspek di dalam kelas, berbagai aspek dalam lingkungan pembelajaran ini dapat dimanfaatkan guna membangun struktur tata perilaku anak karena lingkungan bermain anak memang memainkan peran utama dalam mendorong perilaku positif (Chrisine L. Hancock, Deborah R. Carter, 2016). Anak-anak akan membawa latar belakang pengetahuan mereka pada teman sebaya dalam aktivitas bermain bersama, sehingga dianggap paling cocok untuk menyisipkan pesan implisit dalam kondisi ini (Kathy Cabe Trundle, Mandy Mc.Cormick Smith, 2017). Di Swedia, dilakukan sebuah penelitian yang membandingkan anak-anak dalam jenjang pendidikan anak usia dini konfensional dan dikomparasikan dengan yang memiliki kurikukum pengajaran berbasis gender netral, ditemukanlah hasil bahwa dalam kegiatan bermain dengan anak-anak yang tidak familiar menciptakan kecenderungan mereka lebih rendah dalam memiliki dan membangun stereotip gender, hal ini karena pengajaran gender yang netral memberikan efek pada cara berfikir dan perasaan anak mengenai gender yang berbeda (Kristin Shutts, Ben Kenward, Helena Falk, Anna Iveran, Christine Fawcett, 2017).
Sayangnya, masyarakat utamanya di negara-negara kawasan Asia Tenggara seringkali masih menekan ekspresi dan memberikan ekspektasi yang kuat terhadap peran gender individu yang akan membentuk tata perilaku bahkan pada anak yang masih kecil (Jessica Sullivan, Corinne Moss-Racusin, Michael Lopez, Katherine Williams, 2018), dan hal ini masih seringkali diperkuat dengan latar belakang budaya maupun adat-istiadat setempat. Dalam kondisi masyarakat seperti ini seorang individu cenderung mendapat tekanan untuk terus berperilaku sesuai dengan jenis kelamin mereka masing-masing, hal ini tercermin salah satunya dalam pola perilaku bermain, anak laki-laki seringkali diarahkan pada berbagai mainan berupa pistol, pedang dan kendaraan sementara anak perempuan lebih kepada permainan domestik seperti bermain boneka dan set rumah-rumahan (Suttonsmith & Rosenberg 1971, O’Brien & Huston 1985, Servin, Bohlin & Berlin 1999, Pasterski 2005, Ruble, Martin & Berenbaum 2006, Alexander, Wilcox & Woods 2009 dalam Kung, Li, Golding, & Hines 2018). Sehubungan dengan permainan anak baik di rumah maupun sekolah, perlu diperhatikan bahwa secara umum dapat dilihat jarang sekali anak perempuan yang menyusun balok atau kotak yang sebenarnya sangat baik bagi peningkatan kemampuan spasial dan berperan terhadap kemampuan matematika seorang anak. Hal ini sangat disayangkan karena permainan tertentu yang dimainkan oleh seorang anak dapat meningkatkan perubahan perilaku seketika setelah sesi bermain selesai (Karson T.F. Kung, Gu Li, Jean Golding, Melissa Hines, 2018).
Penyelesaian isu bias gender sudah sepantasnya menjadi tanggung jawab bersama. Pendidikan merupakan salah satu kunci utama dalam menanamkan nilai-nilai dan karakter yang dinilai baik di masyarakat. Penanaman nilai-nilai dan karakter ini berpengaruh secara lebih signifikan dan efektif bila ditanamkan kepada anak sejak usia dini. Hal ini karena berdasarkan hasil dari berbagai penelitian sebelumnya, menyebutkan bahwa usia awal perkembangan seorang individu akan sangat menentukan perilaku individu tersebut dikemudian hari. Pola pembelajaran terhadap anak usia dini sudah seharusnya tidak didasarkan pada prinsip bias gender yang akan memunculkan stereotip dan tertanam pada karakter seorang anak untuk melakukan diskriminasi gender di masa depan. Pengenalan gender pada anak usia dini dianggap sangat efektif untuk membentuk karakter individu yang lebih toleran terhadap perbedaan gender. Rasa toleransi yang tinggi, individu tidak lantas percaya terhadap stereotip gender yang banyak ada di masyarakat, dan dengan hal ini pula individu memiliki kecenderungan yang jauh lebih kecil untuk melakukan diskriminasi berdasarkan gender seseorang. Pemilihan lembaga pendidikan untuk anak usia dini juga harus diperhatikan dengan baik, mulai dari kurikulum, materi, pengajar dan proses-proses transfer ilmu yang ada didalamnya, hal ini akan sangat berpengaruh terhadap informasi gender yang lebih lanjut didapatkan oleh seorang anak yang akan tertanam sebagai perilaku yang akan terus anak tiru serta lakukan hingga ia beranjak dewasa. Oleh sebab itu peran orang tua, pengasuh, guru serta pembuat kebijakan dan kurikulum pendidikan sangatlah penting dalam menyebarkan pola pendidikan yang ideal guna menanamkan pandangan dan perilaku anak terhadap gender yang benar dan tidak diskriminatif.
Referensi
Bruce J. Hillman, MD. “Gender Bias.” Adona Lane, Wake Forest: Elseiver Inc. on behalf of American College Radiology, 2018.
Chrisine L. Hancock, Deborah R. Carter. “Building Environments that Encourage Positive Behavior : the Preschool Behavior Support Self-Assesment.” JSTOR & National Assosiation for the Education at Young Childern (NAEYC), 2016: 66-73.
Friederike Mengel, Jan Sauermann, Ulf Zolitz. “Gender Bias in Teaching Evaluations.” Oxford Journals, 2017: 1-50.
Gerintya, Scholastika. tirto.id. 6 November 2018. https://tirto.id/tingkat-kesetaraan-gender-indonesia-kalah-jauh-oleh-filipina-c9ms (diakses Maret 29, 2019).
—. tirto.id. 1 Mei 2018. https://tirto.id/rerata-penghasilan-perempuan-masih-jauh-di-bawah-gaji-laki-laki-cJFB (diakses Maret 29, 2019).
Giovanni Abramo, Ciriaco Andrea D’Angelo, Francesso Rosati. “Gender Bias in Academic Recruitment.”
Jessica Sullivan, Corinne Moss-Racusin, Michael Lopez, Katherine Williams. “Backlash Against Gender Stereotype-Violating Preschol Children.” PLOS ONE, 2018: 1-24.
Karson T.F. Kung, Gu Li, Jean Golding, Melissa Hines. “Preschool Gender-Type Play Behavior at Age 3.5 Years Predicts Psycal Aggression at Age 13 Years.” Springer : Arch Sex Behav, 2018: 905-914.
Kathy Cabe Trundle, Mandy Mc.Cormick Smith. “A Hearts-on, Hands-on, Minds-on Model for Preschool Science Learning.” JSTOR & National Assosiation for the Education of Young Children (NAEYC), 2017: 80-86.
Kirnandita, Partesia. tirto.id. 18 Agustus 2017. https://tirto.id/kerikil-tajam-dunia-pendidikan-untuk-perempuan-cuHk (diakses Maret 29, 2019).
Kristin Shutts, Ben Kenward, Helena Falk, Anna Iveran, Christine Fawcett. “Early Preschool Environments and Gender : Effects of Gender Pendagogy in Sweeden.” Elseiver : Journal of Experimental Child Psichology, 2017: 1-17.
Kristina M.W. Mitchell, Jonathan Martin. “Gender Bias in Student Evaluations.” American Political Science Assosiation, 2018: 684-652.
UNESCO. “Achieving gender equality in education: don’t forget the boys.” Policy Paper 35. place de Fontenoy, Paris: UNESCO, April 2018.
Winarto, Joko. Kompasiana. 13 Februari 2011. https://www.kompasiana.com/jokowinarto/550080c7a333111e7351121b/teori-b-f-skinner?page=all (diakses Maret 30, 2019).
Artikel ini ditulis oleh Putri Berlyanti, mahasiswi Departemen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada, saat melaksanakan Program Magang di Pusat Studi Sosial Asia Tenggara.
Photo by Robert Collins on Unsplash