Tahun ini, Hari Raya Idul Fitri atau juga dikenal oleh masyarakat kampung saya dengan istilah riyaya dirayakan dengan berbeda. Di tengah pandemi COVID-19 atau Corona kita dianjurkan oleh pemerintah maupun petugas kesehatan untuk membatasi interaksi sosial secara langsung maupun melakukan perjalanan keluar daerah untuk menemui sanak saudara. Tradisi lebaran dalam keluarga saya termasuk sholat ied berjamaah di masjid kampung, mengunjungi makam nenek, dan berkunjung ke rumah tetangga serta saudara tidak dapat dilakukan. Keputusan ini diambil selain karena khawatir akan penularan COVID-19 juga ada himbauan dari Pak Dukuh di kampung untuk tidak melakukan ujung atau berkunjung ke rumah tetangga maupun saudara dalam sebuah selebaran yang dibagikan oleh perangkat kampung. Seperti argumen yang ditulis oleh Munjid (2020) dalam laman daring The Conversation ID berisi catatan reflektif terhadap posisi agama, ritual atau ibadah hari raya dan posisinya di tengah pandemi menjadi suatu bentuk komentar terhadap posisi institusi agama yang paradoks dengan kondisi saat ini. Kegiatan di riyaya tahun ini tentunya menjadi berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya di mana dilakukannya pembatasan sosial atau berkumpulnya banyak orang pada satu tempat seakan menghilangkan suasana suka cita hari raya. Sesudah berbuka puasa tepatnya menjelang adzan isya dan terdengar kumandang takbir saya baru mulai membaca secara teliti isi dari selebaran itu berkaitan dengan pelaksanaan riyaya tahun ini.
Melalui pembacaan selebaran yang kutemukan dari bawah pintu pagar rumah, jelas bahwa perangkat kampung memutuskan untuk memperbolehkan pelaksanaan sholat ied berjamaah dengan mengindahkan protokol kesehatan. Dari sekian poin yang disampaikan dalam selembar kertas folio salah satu poin yang cukup menarik perhatian saya adalah larangan menyalakan petasan atau mercon pada malam takbiran atau sesudah sholat jamaah. Saat membaca poin ini satu-satunya pertanyaan yang muncul dalam benakku adalah yakin poin ini akan sepenuhnya dipatuhi? Keraguanku atas larangan untuk menyalakan petasan atau mercon pada saat hari raya dan malam sebelumnya akan dipatuhi mengingat akan lekatnya petasan dalam tiap pelaksanaan beberapa perayaan hari besar keagamaan di masyarakat sekitar rumah yang didominasi oleh kalangan muslim. Meski bukan bagian dari ritual yang diatur dalam agama, menyiapkan dan menyalakan petasan atau mercon sudah jadi kegiatan dalam menyambut malam takbiran dan hari raya Idul Fitri.
Hari raya dan Petasan
Dentuman keras dari petasan atau mercon yang menyeruak ditengah kumandang suara takbir saat malam takbiran menjadi suatu kegiatan paling sering ditemukan tiap tahunnya. Kegiatan takbir keliling bagi sebagian masyarakat sudah menjadi adat atau ritual dalam menyambut hari raya Idul Fitri menjadi momen yang tepat untuk dinyalakannya petasan. Bunyi mercon yang keras dan kadang membuat kaget orang yang mendengarnya menjadi suatu sarana bagi peserta takbiran untuk menunjukkan perasaan gembira menyambut esok hari. Suara ledakan dari mercon yang dinyalakan dari berbagai penjuru menandakan takbiran keliling sedang berlangsung dan mereka sedang menikmati suasana malam itu. Suara-suara keras yang saling beradu di tengah kumandang takbir pada malam itu. Seperti yang sudah disebutkan di awal kalau menyalakan mercon bukanlah bagian dari ritual keagamaan, akan tetapi praktiknya tidak dapat dilepaskan dalam perayaannya. Penggunaan petasan, kembang api atau mercon dalam merayakan hari-hari besar bukanlah menjadi suatu praktik baru dalam masyarakat dunia. Berbagai kalangan yang berbeda ras, agama, etnis, maupun kewarganegaraan turut menjadi pengguna alat ledak tersebut dalam merayakan momen-momen tertentu.
Penggunaan kembang api, petasan, atau mercon dibanyak negara digunakan untuk memeriahkan perayaan acara keagamaan, pernikahan, hari bersejarah, atau tahun baru sudah menjadi suatu praktik umum. Daya tarik petasan mulai dari suara yang menggelegar, percikan cahaya hasil pembakaran, atau warna-warni yang muncul di langit malam jadi hal paling ditunggu oleh orang-orang yang menyaksikannya. Praktik penggunaan petasan sebagai alat untuk memeriahkan suatu acara bermula sejak abad 11-12 di Tiongkok di mana bubuk mesiu digunakan sebagai petasan atau kembang api (yen huo) dengan tujuan untuk menyambut kehadiran kaisar pada saat itu (Werrett, 2014). Penggunaan petasan atau lebih tepatnya bubuk mesiu kemudian menyebar hingga ke kawasan Eropa dan Amerika dengan penggunaan masing-masing. Di kawasan Eropa penggunaan kembang api atau petasan dimaknai sebagai bentuk perayaan atas kemenangan saat perang yang kemudian turut digunakan dalam pelaksanaan ritual agama maupun perayaan publik. Di Amerika Serikat khususnya, penggunaan kembang api yang digunakan dalam setiap perayaan 4th July sebagai perayaan hari kemerdekaan memiliki keterikatan historis dan dimaknai sebagai simbol kebebasan (American Pyrotechnics Safety and Education Foundation, 2019).
Penggunaan bahan peledak baik itu kembang api, petasan atau mercon tidak terlepas pada pemaknaan pada kelompok atau orang yang menggunakannnya. Dinyalakannya petasan sebagai salah satu media dalam merayakan suatu acara banyak cukup menarik perhatian orang khususnya anak-anak hingga remaja. Pada kelompok anak-anak dan pra-remaja kehadiran kembang api dalam pelaksanaan suatu perayaan dimaknai secara berbeda dikaitkan dengan latar belakang kegiatan yang sedang dirayakan. Cindy Clark dalam bukunya All Together Now (2019) menunjukkan bagaimana pemaknaan akan perayaan sepanjang tahun dimaknai oleh anak-anak dan orang dewasa di Amerika. Salah satu bagian dari buku ini mengisahkan bagaimana anak-anak memaknai penggunaan kembang api dalam perayaan 4th July dan Memorial Day. Terdapat perbedaan pemaknaan dalam melihat keberadaan kembang api yang berubah seiring dengan bertambahnya usia anak. Pada kelompok anak usia suara ledakan menjadi suatu hal yang menakutkan bagi mereka terlebih dentuman keras yang memekakkan telinga turut membuat hewan-hewan peliharaan seperti anjing dan kucing lari ketakutan. Rasa takut akan suara ledakan dari kembang api lambat laun semakin berkurang dan berubah menjadi rasa senang akan tampilannya yang berwarna-warni dilangit malam.
Kembali pada konteks perayaan Idul Fitri, penggunaan mercon dalam menyemarakkan hari kemenangan dapat dikaitkan dengan upaya untuk memeriahkan suasana sangat lekat dengan aspirasi anak-anak. Kelompok anak-anak dan remaja sebagai kalangan yang jadi pelaku utama dalam menyalakan beraneka peledak di malam takbiran melakukan hal ini tidak sekedar untuk bersenang-senang semata. Pada umumnya terdapat beberapa kelompok orang yang biasa diisi oleh beberapa anak-anak dan remaja mememilih untuk membuat sendiri mercon dengan dentuman sekeras-kerasnya dan bentuk yang besar. Upaya untuk membuat mercon ini dapat dengan mudah terealisasikan dengan mudah didapatkannya bahan baku di pasar dan digunakannya kertas bekas sebagai pembungkus dan isian di dalamnya. Setelah mercon jadi biasanya ada dua pilihan waktu untuk menyalakannya antara malam takbiran atau seusai sholat ied berjamaah.
Setelah selesai lalu apa?
Sebelum pandemi pada malam takbiran tepatnya setelah waktu sholat isya kumpulan orang mulai dari anak-anak hingga dewasa sudah berkumpul di masjid atau lapangan dan bersiap untuk melakukan takbir keliling. Perlengkapan seperti obor, pengeras suara, dan tentunya kembang api, petasan, dan mercon. Setiap dentuman suara dari mercon yang dinyalakan pada malam itu selain terlihat indah pada malam hari turut meninggalkan sampah kertas dan sisa pembakaran yang berserakan di sepanjang jalan yang dilewati. Sampah berserakan sisa ledakan mercon, petasan, dan kembang api nampak jelas di pagi hari menjadi pemandangan yang nampak menjelang waktu sholat ied berjamaah. Sampah kertas, polusi suara dan udara yang disebabkan dari pembakaran kembang api dan sejenisnya jadi kondisi yang tidak dapat dihindarkan. Disamping masalah sampah dan polusi bermunculannya protes dari sebagian masyarakat turut muncul terlebih jika dinyalakan pada waktu tidur atau diatas jam 12 malam. Berkaitan dengan polusi penggunaan kembang apai dalam menyemarakkan suatu perayaan juga menjadi problematis di beberapa kelompok. Pada suatu kasus perayaan Dilwali Festival salah satu ritual agama Hindu India penyalaan kembang api diberbagai penjuru India meningkatkan tingkat polusi udara (C.S.Devara, et al., 2015).
Dibalik perayaan Idul Fitri yang tidak lepas dari bunyi petasan sebagai sebuah representasi suka cita, permasalahan seputar sampah sisa pembakaran mercon juga turut muncul dan menjadi pemandangan umum di beberapa sudut pemukiman. Jika lebaran sudah berlalu, perlahan-lahan anak-anak dan remaja yang menyalakan petasan berangsur-angsur berkurang. Pemlihan waktu untuk menyalakan petasan khususnya saat Idul Fitri secara tidak langsung turut membentuk sebuah memori kita dalam menjalani suatu perayaan. Kegiatan yang terjadi selama hari perayaan tidak jarang menjadi kenangan pada suatu individu yang membentuk persepsi seseorang dalam memaknai kegiatan selama liburan di hari raya (Xygalatas, 2017). Ditengah kondisi pandemi COVID-19 yang menyarankan kita untuk mematuhi protokol kesehatan salah satunya berkumpul dalam jumlah besar memberikan suatu warna tersendiri dalam Lebaran tahun ini. Waktu menunjukkan pukul 12.30 malam di mana keadaan sudah sangat sepi, sepertinya orang-orang sudah tidur. Tiba-tiba suara ledakan mercon cukup keras terdengar tidak jauh dari kamar tidur, dan ya beginilah belum lebaran kalau belum dengan dentuman mercon sebelum pagi menjelang.
Referensi
American Pyrotechnics Safety and Education Foundation, 2019. American Pyrotechnics Safety and Education Foundation. [Online]
Available at: https://www.celebratesafely.org/history-of-fireworks
[Accessed 30 Mei 2020].
C.S.Devara, P. et al., 2015. Celebration-induced air quality over a tropical urban station, Pune, India. Atmospheric Pollution Research, 6(3), pp. 511-520.
Clark, C. D., 2019. All Together Now: American Holiday Symbolism Among Children and Adults. New Jersey: Rutgers University Press.
Munjid, A., 2020. TheConversation.ID. [Online]
Available at: https://theconversation.com/renungan-idul-fitri-memahami-wajah-paradoks-islam-di-tengah-pandemi-covid-19-136869
[Accessed 30 Mei 2020].
Werrett, S., 2014. The Conversation. [Online]
Available at: https://theconversation.com/a-history-of-fireworks-how-about-some-flaming-artichokes-to-blast-in-the-new-year-33751
[Accessed 30 Mei 2020].
Xygalatas, D., 2017. The Conversation. [Online]
Available at: https://theconversation.com/an-anthropologist-explains-why-we-love-holiday-rituals-and-traditions-88462
[Accessed 30 Mei 2020].