Bulan April 2019 kapal saya akan segera naik sauh dari Pelabuhan Pulau Baai menuju Pelabuhan Kahyapu. Penyeberangan dari Kota Bengkulu ke Pulau Enggano yang masuk ke dalam wilayah administrasi Kabupaten Bengkulu Utara tersebut harusnya memakan perjalanan sekitar 12 jam. Pukul 18.00 WIB semua tempat tidur yang disediakan pengelola feri Pulo Tello telah penuh oleh pemiliknya masing-masing sesuai dengan nomor yang tertera di tiket yang mereka bayar. Beberapa saat kemudian feri menjauh dari dermaga. Hanya butuh 2-3 tiga jam perjalanan laut untuk feri yang kami tumpangi keluar dari teluk. Namun, saat feri kami betul-betul baru keluar dari perairan teluk menuju laut lepas, seseorang dibalik pengeras suara memberikan pengumuman bahwa perjalanan ke Pulau Enggano harus ditunda. Feri Pulo Tello berputar arah kembali ke pelabuhan Pulau Baai dan perjalanan ditunda hingga waktu yang tidak bisa ditentukan. Biasanya kapten kapal akan memeriksa kembali cuaca esok hari dan memastikan mendapatkan izin berlayar dari syahbandar.
Pulau Enggano terletak sejauh 110 mil perjalanan laut mengarugi lautan lepas Samudera Hindia. Pulau ini terpisah sejauh 100 km di sebelah barat daya Pulau Sumatera dengan koordinat 05 ° 23 ′ 21 ″ Lintang Selatan, 102 ° 24 ′ 40 ″ Litang Timur. Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) tengan Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil, Pulau Enggano termasuk ke dalam kategori tersebut lantaran memiliki luas daratan sebesar 400,6 km2. Moda transportasi hanya ada dua jenis, kapal dan pesawat perintis. Ada dua jenis kapal untuk mengangkut penumpang dan logistik dari dan menuju Pulau Enggano. Pilihan pertama adalah feri Pulo Tello yang beroperasi seminggu dua kali. Kapal jenis ini dapat mengangkut kendaraan bermotor baik kecil maupun besar. Karenanya, orang Enggano akan mendapatkan pasokan logistik yang dibeli dari Kota Bengkulu dengan diangkut menggunakan feri. Sedangkan moda transportasi laut yang kedua adalah KM Sabuk Nusantara 52 yang beroperasi dari dan menuju Pulau Enggano hanya selama 10 hari berturut-turut dalam satu bulan. KM Sabut Nusantara 52 merupakan kapal perintis lebih besar dengan kapasitas muatan lebih banyak. Hanya saja kapal ini hanya mengangkut penumpang dan logistik secara curah tanpa bisa mengikutsertakan kendaraan. Moda transportasi terakhir adalah pesawat perintis yang hnya beroperasi sekali dalam sepekan dan hanya mengangkut 10-20 orang saja dengan batas barang bawaan 7 kg untuk setiap penumpang.
Situasi badai dan tidak adanya kapal yang berlayar adalah hal yang biasa bagi orang Enggano dan Bengkulu. Mereka telah terbiasa dengan penundaan perjalanan yang tidak dapat mereka perkirakan. Paling singkat perjalanan hanya akan ditunda pada hari berikutnya, di pagi hari saat cuaca kembali cerah dan badai menghilang. Namun, beberapa orang yang saya temui mengatakan bahwa perjalanan yang mereka alami pernah mengalami penundaan hingga tiga hari bahkan sepekan. Satu-satunya yang bisa dilakukan adalah kembali pulang dan menunggu hingga badai benar-benar berhenti dan Samudera Hindia aman untuk diarungi kembali. Namun, menunggu bukanlah persoalan besar jika berlayar dari Enggano ke Bengkulu dan sebaliknya hanyalah untuk kepentingan berlibur semata. Nyatanya, transportasi laut yang menghubungkan daratan utama Benkulu dengan Pulau Enggano adalah persoalan vital distribusi logistik dan pemenuhan bahan pangan. Hal ini bahkan telah terjadi sejak catatan Boewang (1854) diterbitkan, bahwa lebih dari satu abad telah berlalu satu-satunya jalur logistik dari dan ke Pulau Enggano hanyalah laut.
Kedatangan saya di Pelabuhan Kahyapu setelah harus tertunda 12 jam akibat badai adalah saat hari akan gelap dan matahari hilang direbut malam. Kapal kami bersandar di pelabuhan disambut oleh mobil-mobil bak terbuka dan truk yang mengangkut pisang. Pemandangan seperti itu akan selalu terjadi pada hari di mana ada jadwal kapal datang dan pergi di Pelabuhan Kahyapu. Situasi ini menandakan bahwa pertukaran ekonomi antara daratan utama Bengkulu dengan Enggano sedang terjadi. Mobil-moil yang turun dari feri membawa banyak pasokan bahan pangan dan keperluan kebutuhan sehari-hari lainnya, sedangkan mobil yang menyambut di pelabuhan bersiap untuk perjalann esok ke Bengkulu dan mengantarkan hasil bumi Pulau Enggano sampai ke pasar. Dengan demikian roda perekonomian di Pulau Enggano tetap berjalan.
Namun, bagaimana jika kapal tidak datang dalam waktu yang lama? Permasalahan yang kerap datang ialah timbul-tenggelamnya ‘pasar’ dalam maknanya sebagai roda perekonomian di Pulau Enggano. Tepat pada 4 Juni 2000, Pulau Enggano dilanda gempa bumi berkekuatan 7,3 SR. Gempa besar itu merusak seluruh dermaga yang ada di pulau itu. Imbasnya adalah kerusakan parah pada dermaga (Pratiwi et al, 2019). Peristiwa tersebut menjadi salah satu peristiwa kerusakan terbesar dalam dua dekade terakhir yang menghambat datang dan perginya kapal ke Pulau Enggano. Krisis bahan bakar dan pasokan makanan juga sempat dialami oleh Enggano pada tahun 2018 yang disebabkan oleh badai berkepanjangan melanda perairan pulau itu (Ibid).
Sepanjang tahun 2019 sendiri, dermaga Kahyapu mengalami kerusakan lagi yang disebabkan oleh sapuan badai. Gelombang tinggi menyebabkan rusaknya adermaga sehingga akses melalui feri ke Pulau Enggano untuk sementara tidak mungkin terjadi (Pratiwi et al: 2019). Tidak adanya akses melalui feri berarti tidak ada hasil bumi yang diantar ke Bengkulu. Pisang-pisang yang terlanjur dipanen akan membusuk di dermaga dan petani akan merugi karenanya. Tidak adanya kapal yang bersandar ke Pulau Enggano pun juga berarti tidak ada pasokan logistik lain seperti bahan bakar dan bahan pangan yang tidak dapat mereka hasilkan sendiri di Enggano seperti minyak goreng, gula, sebagian besar pasokan beras, hingga kebutuhan pokok non-pangan.
Badai dan tidak adanya kapal yang masuk ke perairan Enggano juga tidak hanya sebatas sulitnya mendapatkan pemenuhan pasokan pangan, melainkan juga perputaran uang. Tidak hanya berhentinya kapal-kapal masuk ke perairan Enggano tetapi juga hasil bumi yang pengirimannya ke Bengkulu harus sementara dihentikan membuat orang Enggano tidak mendapatkan pemasukan dari hasil menjual pisang, kopi, pisang, hingga ikan. Pasokan bahan bakar pun memegang peran yang vital di pulau ini. Mayoritas profesi penduduknya adalah petani dan nelayan. Jika feri tidak datang, maka tidak ada hasil kebun terjual dan tidak ada bahan bakar untuk melaut mencari ikan. Oleh sebab itu, tidak adanya kapal yang datang adalah paceklik bagi Enggano.
Situasi yang terjadi di Pulau Enggano dapat membawa kita pada diskusi reflektif mengenai studi-studi kesejahteraan sosial. Russel and Edgar (2005) menyebutkan bahwa perkara kesejahteraan sosial adalah perkara relasi yang harus dilihat antara siapa pemberi kesejahteraan itu dan siapa yang menjadi pihak penerima. Mengikiuti ilustrasi tersebut, maka sejauh ini Enggano adalah penerima dan Bengkulu adalah pemberi dalam konotasi sempit sebagai daratan terdekat dan sebagai lambang kehadiran negara dalam konotasi yang lebih luas. Dalam konteks Enggano, kita dapat menyebutnya sebagai social deprivation seperti yang telah dirumuskan oleh Chambers (1995). Meskipun Bankoff (2016: 16) menyebutkan bahwa ‘ancaman’ akan bahaya tidak pernah jauh-jauh dari berbagai komunitas berbeda yang tinggal di sepanjang pesisir Samudera Hindia, tetapi negara sebagai ‘pemberi’ kesejahteran tidak dapat menggunakan alasan bentang alam sebagai justifikasi tidak meratanya distribusi logistik dan pangan.
Thomas Hylland Eriksen (2010) menyebutkan dalam bukunya yang terkenal berjudul A World of Insecurity: Anthropological Perspective of Human Security bahwa tidak ada yang kebal di dunia ini. Setiap masyarakat, kelompok, individu di bumi memiliki jalan mereka masing-masing dalam berhadapan dengan pertanyaan tentang sebuah konsep “human security”. Kita semua mempertanyakan kepastian dan jaminan atas ketahanan pangan kita masing-masing bahkan seberapa rentan kelompok kecil kita menghadapi ancaman yang datang dari alam maupun kelompok lain. Hylland-Eriksen (2001) dalam bukunya yang lebih lama pun juga berujar bahwa memahami ilmu humaniora adalah memahami banyak hal yang kita lihat dimulai dari banyak hal kecil yang saling terkoneksi kepada hal lain yang mungkin lebih besar. Ia menyebutnya sebagai small places large issues. Bahwa cara kita memandang Pulau Enggano pun demikian, bahwa pulau ini bukanlah satu-satunya tempat di beranda Indonesia yang mengalami paceklik pangan akibat dari seasonal deprivation—melainkan Enggano memberikan saya sebuah catatan reflektif untuk melihat isu ketahanan pangan di Indonesia secara lebih luas lagi dalam kaitannya dengan permasahalan distribusi dan akses.
Daftar Pustaka
Bankoff, Greg. 2016. Bordering on Danger: An Introduction dalam Natural Haards and Peoplesin The Indian Ocean World: Bordering on Danger. New York: Palgrave Macmillan.
Chambers, Robert. 1995. “Poverty and livelihoods: whose reality counts?” dalam Environment and Urbanization, 7: 173.
Edgar, Lain R. and Andrew Russel. 2005. The Anthropology of Welfare. London and New York: Routledge Book.
Eriksen, Thomas Hylland. 2001. Small Places, Large Issues: An Introduction to Social and Cultural Anthropology (Second Edition). London: Pluto Press.
Eriksen, Thomas Hylland. 2010. A World of Insecurity: Anthropological Perspective on Human Security. London: Pluto Press.
Pratiwi, Rewina Ika et al. 2019. “The Absence of “Market” When The Storm Rages: A Study of Welfare among Coastal People in Enggano Island, Indonesia” dalam Jurnal AYC PPIM.
Artikel ini ditulis oleh Rewina Ika Pratiwi, mahasiswa Universitas Gadjah Mada saat menjalani magang di Pusat Studi Sosial Asia Tenggara