“Sebagai kawasan dengan teritori yang luas, relasi antar daerah pinggiran dan pusat kekuasaan di ASEAN sering diwarnai dengan berbagai stereotip negatif akibat adanya perbedayaan kebudayaan. Herannya di tengah stereotip negatif yang berkembang, daerah terluar atau sering disebut sebagai frontier masih terus menerus dibangun tanpa henti demi berbagai harapan di masa depan yang sayangnya kerap menimbulkan permasalahan sosial dan lingkungan”
Istilah frontier di jagad ilmu sosial awalnya digunakan oleh Jackson Turner untuk menjelaskan mentalitas Amerika. Istilah tersebut digunakan untuk menjelaskan kebiasaan masyarakat koloni Amerika Serikat dalam menjelajah dan membangun peradaban di wilayah terluar yang ditemukan di benua baru. Kebiasaan itu muncul disebabkan adanya pandangan bahwa wilayah terluar merupakan daerah yang penuh dengan sumber daya namun masih terbelakang. Oleh karenanya daerah tersebut perlu dieksploitasi secara berkelanjutan guna dimajukan sehingga bisa menghasilkan keuntungan bagi manusia.
Menariknya, perkembangan jaman membuat istilah frontier tidak lagi menjadi monopoli Amerika Serikat. Setidaknya sejauh pengetahuan saya sudah ada banyak antropolog yang menyatakan bahwa Asia Tenggara merupakan wilayah yang memiliki daerah frontier berlimpah. Nama-nama antropolog seperti Bernad Sellato, Tania Li, De Konick, serta tak lupa Pujo Semedi hanyalah sebagian dari banyaknya antropolog lain yang pernah meneliti wilayah frontier di Asia Tenggara.
Dalam konteks antropologi istilah frontier sering dimaknai sebagai relasi antara pusat dan daerah terluar. Dengan kata lain, istilah frontier merupakan upaya dari para akademisi untuk melihat relasi antara masyarakat di daerah pusat kekuasaan terhadap masyarakat di daerah terluar-dan juga sebaliknya. Sebagaimana kita tahu, negara-negara yang terdapat di wilayah Asia Tenggara memiliki teritori yang tidak kecil sehingga terdapat perbedaan kebudayaan yang cukup mencolok diantara wilayah pusat kekuasaan dan daerah terluar. Oleh karena itu, relasi antara wilayah pusat kekuasaan dan daerah terluar seringkali diwarnai dengan berbagai stereotip negatif. Perbedaan kebudayaan yang mencolok membuat masyarakat serta pemerintah yang bercokol di wilayah pusat kekuasaan kerap beranggapan bahwa kebudayaan yang mereka miliki lebih superior.
Dengan kekuasaan dan superioritas yang dimilikinya, masyarakat di wilayah pusat kekuasaan sering memandang daerah terluar sebagai ruang eksotis dengan sumber daya berlimpah namun masih tertinggal, alhasil mereka merasa perlu memajukan wilayah tersebut. Dengan pandangan macam itu, banyak daerah terluar di wilayah Asia Tenggara seperti wilayah pedalaman Kalimantan di Indonesia atau Pulau Mindanao di Filipina yang hasil alamnya dieksploitasi oleh pemerintah melalui perusahaan nasional ataupun multinasional demi ‘kemajuan masyarakat lokal’ (Li,2014; De Konick & Derry dalam Fold dan Hirsch,2007). Akan tetapi, dibalik motif memajukan masyarakat lokal tersembunyi motif yang lebih besar yakni akumulasi keuntungan ekonomi bagi negara. Motif mendapatakan keuntungan sebesar-besarnya membuat negara cenderung mengenalkan komoditas baru yang cocok dikembangkan di wilayah frontier dengan syarat komoditas tersebut memiliki permintaan yang tinggi di pasar global. Dengan demikian, perubahan demi perubahan di daerah frontier dapat dengan mudahnya kita temui seiring dinamisnya permintaan pasar. Lebih dari itu, demi mempercepat pertumbuhan ekonomi pemerintah merasa perlu mengirim tenaga kerja ahli bergaji rendah yang mudah didapat di daerah pusat kekuasaan. Oleh karenanya, tak mengherankan jika di daerah frontier terdapat banyak pemukiman transmigran yang dibangun oleh pemerintah[1].
Para transmigran dan aktor-aktor lain yang datang dari pusat ke daerah frontier tentu tak datang dengan kepala kosong. Kedatangan mereka juga diringi dengan imajinasi tentang kondisi lingkungan baru mereka di masa lampau sekaligus harapan akan masa depan. Dengan demikian daerah frontier merupakan ruang nostalgia sekaligus harapan akan masa depan. Dengan pandangan macam itu daerah frontier akan dieksplotasi secara terus menerus tanpa mengenal waktu. Hal tersebut disebabkan hadirnya imajinasi bahwa daerah frontiermerupakan wilayah yang dulunya eksotis namun terbelakang sehingga sumber daya yang dimilikinya harus dieksploitasi demi memiliki masa depan cemerlang. Term eksploitasi memang masih problematik, sebab sebelum kedatangan masyarakat luar, masyarakat setempat juga sudah memanfaatkan hasil alam untuk kepentingan mereka. Namun demikian, relasi kuasa antara daerah pusat kekuasaan dan wilayah frontiermembuat saya memaknai ekploitasi sebagai pengolahan sumber daya–terutama alam–dengan cara modern melalui pembangunan berorientasi ekonomi yang diiringi dengan terciptanya nilai kebudayaan dan keagamaan baru layaknya nilai-nilai di daerah pusat kekuasaan.
Imajinasi tersebut bukannya tidak bermasalah. Sebab, dengan bekal imajinasi tersebut pemerintah sering berpandangan bahwa satu-satunya cara untuk memajukan daerah frontier ialah dengan cara mengkomodifikasi potensi alamnya yang berlimpah. Oleh karena itu, tak mengherankan jika Anna Tsing (2003) berpendapat bahwa di daerah frontier alam berubah menjadi sumber daya alam. Masalahnya, eksploitasi terhadap alam kerap menghadirkan konflik antara negara dengan masyarakat lokal. Hal itu dikarenakan di daerah frontierbatas kepemilikan privat dan umum untuk hasil alam tidaklah jelas karena berlakunya dua jenis hukum yang dipercaya yaitu adat serta hukum positif. Oleh karena itu, kekacauan sosial bukanlah hal yang ganjil terjadi di tengah masyarakat frontier
Selain itu misi agama atau dakwah yang banyak hadir di daerah frontier demi ‘memperadabkan’ masyarakat lokal juga sering menciptakan pertentangan nilai. Tak jarang pertentangan nilai akibat datangnya nilai-nilai baru dari luar menciptakan konflik internal diantara masyarakat lokal yang menerima dan menolak nilai-nilai tersebut.
Permasalahan tak berhenti pada retaknya relasi antar manusia. Maraknya homogenisasi hutan tropis yang dilakukan oleh pemerintah di daerah frontier seperti Mindanao dan Kalimantan membuat banyak kaum enviromentalis melancarkan kritik dengan keras. Dalam pandangan mereka homogenisasi hutan tropis merupakan salah satu penyebab terjadinya pemanasan global. Saking seriusnya ancaman homogenisasi hutan tropis di daerah frontier bagi pemanasan global, Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam pertemuan tingkat tinggi di Bali pada tahun 2007 bersepakat bahwa negara-negara penghasil emisi tertinggi di dunia harus memberi insentif kepada negara-negara yang memiliki banyak hutan tropis (Fawdi, 2017). Harapannya dengan insentif yang diberikan negara-negara yang memiliki hutan tropis berlimpah dapat melakukan konservasi hutan tropis yang banyak ditemukan di daerah frontier. Dengan kata lain, pembangunan daerah frontier yang memiliki banyak hutan tropis diharapkan tak lagi bercorak antroposentris melalui homogenisasi produk alam melainkan dengan tetap merawat heterogenitas yang ada tanpa kehilangan potensi ekonomi di dalamnya.
Namun demikian, mentalitas frontier–atau disebut juga frontiersm–tak melulu berakibat buruk. Selain mampu meningkatkan Produk Domestik Bruto (PDB) negara, pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah ataupun korporasi di daerah frontier mampu membuat masyarakat lokal keluar dari stereotip terbelakang yang selama ini menghalangi mereka saat ingin mendapatkan akses di perkotaan.
DAFTAR PUSTAKA
Sudibyo, Dian Lintang. 2013. Konon Kita Saudara: Ketegangan Etnis di Perkebunan Kelapa Sawit Kalimanatan Barat.Yogyakarta: Skripsi Universitas Gadjah Mada
Fawdi, Ilhami Maulana. 2017. Melihat Proyek REDD+ dan Gerakan Tradisionalisme Masyarakat Adat, sebuah artikel dalam Jurnal Ranah: Fenomena Sosial Dalam Perspektif Antropologi. Yogyakarta: Keluarga Mahasiswa Antropologi UGM
Fold, Neils & Philip Hirsch. 2009. Re-ThinkingFrontier in Southeast Asia: Editorial di The Geographical Journal, Vol. 175, No. 2, Re-thinking Frontiers in Southeast Asia(Jun., 2009), pp. 95-97
Tsing, Anna Lowenhaupt. 2003. “Natural Resources and Capitalist Frontiers” in Economic and Political Weekly, vo. 38, No, 48 (Nov.29 – Dec 5, 2003), pp. 5100-5106.
Wensted, Frederick & Paul D Simkins. 1965. The Journal of Asian Studies, Vol. 25, No. 1 (Nov., 1965), pp. 83-103
catatan kaki:
[1] Sudibyo (2013); Wernstedt & Simkins (1965)
—
Artikel ini ditulis oleh Venda Pratama, alumni jurusan Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, UGM dan staff magang di Pusat Studi Sosial Asia Tenggara, UGM.