Sejak tahun 1977, Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) memperingati tanggal 8 Maret sebagai Hari Perempuan Internasional untuk memperjuangkan hak perempuan dan mewujudkan perdamaian dunia. Dalam rangka memperingati Hari Perempuan Internasional, Pusat Studi Sosial Asia Tenggara (PSSAT) UGM menggelar diskusi “Kajian RUU Ketahanan Keluarga: Kemunduran Pergerakan Perempuan di Indonesia”. Diskusi mengenai pandangan terhadap perempuan di RUU Ketahanan Keluarga ini diisi oleh salah satu peneliti PSSAT UGM, Putu Yogi Paramitha, M.H. pada Selasa (10/03/2020) di Perpustakaan PSSAT UGM.
Diskusi ini memandang bagaimana suatu Rancangan Undang-Undang tidak hanya dikaji dalam pasal per pasal, sebagaimana kajian bidang hukum pada umumnya. Namun memandang secara keseluruhan dan melihat wacana besar yang tersembunyi dibaliknya. Dalam diskusi yang dihadiri peserta dari berbagai latar belakang ilmu, Yogi menyajikan hasil analisisnya melalui telaah dari Naskah Akademik RUU Ketahanan Keluarga.
Sebagai bagian dari Program Legislasi Nasional Prioritas (Prolegnas), RUU ini dinilai terlalu mencampuri ranah pribadi. Beberapa pasal dan isian yang dinilai mengundang kontroversi diantaranya pasal 25 & 26 tentang kewajiban suami istri, pasal 31 pelarangan penjualbelian sperma dan ovum, pasal 32 tentang pelarangan surogasi, pasal 33 (b) tempat tidur terpisah, pasal 45 (a) meminimalisir perceraian, pasal 55 pendidikan ketahanan keluarga, pasal 86 dan 87 tentang wajib lapor bagi penyintas penyimpangan sosial untuk mendapatkan rehabilitasi, dan pasal 138-140 tentang hukuman bagi pelanggar UU Ketahanan Keluarga.
Beberapa pasal dinilai tidak mendukung kesetaraan gender dan marjinalisasi perempuan. Perempuan, dalam RUU Ketahanan Keluarga, ditarik masuk kembali dalam ranah urusan domestik keluarga. Sedangkan laki-laki disiapkan untuk produktif dan diharapkan fokus dalam pemenuhan kebutuhan keluarga. Suami-istri diarahkan untuk berusaha menjaga ketahanan keluarga dengan mengesampingkan krisis yang sedang atau akan terjadi. “Untuk mendukung kesetaraan gender, maka salah satu pihak tidak boleh lebih dominan,” ujar Yogi dalam diskusinya.
Jika dilihat dari latar belakang kemunculannya, para pengusul RUU ini melihat bahwa globalisasi dan kondisi terkini dapat menggangu ketahanan keluarga. Keluarga yang ketahannya terganggu, kelak dapat memicu masalah yang lebih besar seperti masalah ekonomi, sosial, dan lain-lain. “Masalahnya, RUU ini justru fokus pada bagaimana menjaga ketahanan keluarga daripada melihat akar penyebabnya. Padahal jika akarnya diselesaikan dahulu, maka akan lebih mudah menjaga ketahanan”, ujar lulusan Universitas Udayana ini.
“Ini menunjukkan upaya untuk kembali mendomestifikasi perempuan. Nilai-nilai konservatif dari RUU ini berkelindan dengan upaya mereproduksi relasi sosial untuk produksi sehingga bapak sebagai kepala keluarga dapat dilayani dengan baik yang pada akhirnya dapat meningkatkan produktifitasnya di ranah produksi,” ujar Yogi menutup dengan kesimpulan.