Dilema Kebebasan Pers di Era Digital: Langkah Awal Asia Tenggara Menangkal Hoax

Menurut data dari laporan tahunan Reporters Without Borders[1] tentang peringkat kebebasan pers di dunia, untuk kawasan Asia Tenggara, Indonesia menempati peringkat teratas, yaitu ke-124, diikuti oleh Filipina di posisi ke-127. Peringkat berikutnya ditempati oleh Myanmar yang sebelumnya diperintah kalangan militer namun sekarang dipimpin oleh bekas partai oposisi, berada di peringkat 131. Selanjutnya adalah Kamboja, yang dikuasai oleh Perdana Menteri Hun Sen, masuk di urutan 132. Thailand berada di peringkat 142, diikuti Malaysia pada urutan ke-144, Singapura pada posisi ke-151, dan Brunei di posisi ke-156. Dua negara Asia Tenggara di posisi terbawah adalah Laos (170) dan Vietnam (175) diklasifikasikan sebagai titik hitam media.

Kebebasan pers di Asia Tenggara menjadi sorotan yang menarik. Sebab, sebagian negara di Asia Tenggara pernah memiliki pengalaman dipimpin oleh pemerintahan yang otoriter di mana kebebasan pers menjadi salah satu unsur demokrasi yang langka. Misalnya pada era pemerintahan Orde Baru di Indonesia, pers tidak bisa bergerak bebas untuk menjalankan fungsinya sebagai watch dog. Kala itu pemerintah melalui Kementerian Penerangan kerap kali melakukan pemberedelan surat kabar atau majalah yang kritis terhadap kebijakan pemerintah. Pers di bawah pemerintahan Presiden Soeharto berusaha untuk menghilangkan organ-organ partai dan surat kabar-surat kabar yang kritis, menjinakkan pers pembuat kegaduhan, dan memastikan bahwa para pekerja dan pihak manajemen pers bertanggung jawab secara mutlak pada pemerintah.[2] Saat ini kondisi mulai berbeda, pers lebih leluasa untuk melontarkan kritik. Namun, situs-situs berita daring yang belum tentu bisa dipercaya kredibilitasnya juga turut mengisi ruang-ruang informasi publik di Indonesia.

Kasus represi terhadap pers juga terjadi di Myanmar. Tahun 2016, jurnalis perempuan surat kabar Myanmar Times, Fiona MacGregor, dipecat setelah membuat laporan tentang kasus pemerkosaan massal oleh pasukan keamanan di wilayah Rakhine. Pemberitaan itu mendapat kecaman dari Kantor Presiden dan Kementerian Informasi Myanmar. Rakhine merupakan wilayah tempat jutaan warga muslim Rohingya mendapat tekanan dari pemerintah dan golongan Buddha Myanmar. Militer Myanmar mengunci wilayah Rakhine sejak 9 Oktober 2016.[3] Semenjak pemberitaan tersebut jurnalis dilarang pergi dan meliput di wilayah yang memiliki predikat ‘meresahkan’.[4]

Meskipun negara-negara Asia Tenggara masih menempati posisi titik merah dan hitam dalam peringkat kebebasan pers menurut Reporters Without Borders, arus informasi di era digital merupakan hal yang tak sepenuhnya bisa dibendung. Kehadiran media sosial perlahan menggeser cara pengguna media dalam mengakses informasi. Penggunaan internet, khususnya media sosial memunculkan budaya ‘klik-share’. Apapun informasi yang dibaca oleh pengguna, dapat dengan mudah dibagikan ke berbagai platform digital lainnya. Filterisasi informasi di era digital menjadi semakin longgar. Apalagi dengan muncul situs-situs yang memuat informasi tidak kredibel atau palsu (hoax).

Dalam kasus tertentu hoax berkaitan dengan cyberhate atau penyebaran kebencian yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang untuk menyerang seseorang atau kelompok orang lainnya melalui ruang cyber, salah satunya media sosial. Cyberhate bagaikan dua mata pisau dari kebebasan berpendapat di era internet. Kondisi yang menyebabkan munculnya cyberhate adalah kesamaan kepentingan antar pengguna internet terhadap suatu isu. Selain itu penyebaran informasi di ruang maya tidak terbatas dan cepat.

Berita hoax dari sebuah situs seringkali dibagikan para pembacanya ke media sosial, seperti Facebook atau Twitter. Aspek teknologi dalam konteks ini, secara spesifik platform media sosial, menjadi penting karena media sosial memiliki beberapa karakteristik yang mendukung proses radikalisasi.[5] Riset empiris menunjukkan bahwa tingkat mobilisasi di Facebook lebih tinggi dibandingkan menggunakan surat elektronik.[6] Facebook menjadi platform yang efektif untuk menyebarkan ideologi, di mana aksi politik dan kapabilitas suatu organisasi menjadi lebih mudah diterapkan melalui kelompok-kelompok kecil di media sosial. Media sosial memberikan ruang untuk membentuk identitas kolektif, berbagi opini yang sama dan solidaritas terhadap cara pandang tertentu terhadap dunia.[7]

Pada akhir tahun 2016, iklim politik di DKI Jakarta, Indonesia sempat memanas. Basuki Tjahja Purnama (Ahok) Gubernur DKI Jakarta saat itu dianggap beberapa golongan melakukan penodaan agama Islam setelah Buni Yani mengunggah video berisi potongan pidato Ahok saat kunjungan kerja di Kepulauan Seribu, DKI Jakarta, Indonesia. Kasus itu terus bergulir sampai ranah hukum sampai akhirnya Ahok diputuskan bersalah oleh hakim dan mendapat hukuman penjara selama dua tahun pada tahun 2017.

Selama proses hukum terhadap kasus itu berlangsung, media massa di Indonesia begitu gencar memberitakan. Namun, yang menjadi masalah adalah tidak hanya media massa yang turut andil dalam memberitakan kasus tersebut, tapi juga media massa lain yang kredibilitasnya patut dipertanyakan. Ahok sebagai tokoh sentral dalam kasus tersebut menjadi sorotan media. Latar belakang yang melekat pada dirinya juga tak luput dari perhatian publik, seperti ras dan agamanya. Sentimen terhadap warga keturunan Tionghoa dan penyebutan kafir bagi orang beragama tertentu bergulir di media sosial. Di samping itu juga tersebar berita-berita palsu (hoax) seputar kasus penodaan agama tersebut di media sosial.[8]

Fenomena hoax dan cyberhate juga pernah terjadi di Singapura. Pada tahun 2016, pasangan suami istri bernama Yang Kaiheng dan Ai Takagi, pemilik situs populer The Real Singapore (TRS), dipidanakan oleh pihak berwajib Singapura, karena mereka mempublikasikan artikel-artikel hoax yang menyudutkan warga negara asing di Singapura dan berpotensi memicu xenophobia.

Di Indonesia hoax dan cyberhate diatasi dengan memberlakukan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Misalnya dalam pasal 28 ayat 1 disebutkan, bahwa setiap orang yang dengan sengaja dan atau tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan, ancamannya bisa terkena pidana maksimal enam tahun dan denda maksimal Rp 1 miliar. Pelaku penyebar kebencian melalui ruang cyber bisa diproses secara hukum dengan menggunakan pasal 28 ayat 2 yang berbunyi setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Malaysia memberikan penekanan pada penyebaran hoax melalui aplikasi pesan pendek, seperti WhatsApp. Pemerintah Malaysia mengimbau para administrator grup WhatsApp dan sejenisnya agar bertanggung jawab terhadap kredibilitas informasi yang disebarkan di dalam grupnya. Hal itu kemudian memicu wacana bahwa administrator grup media sosial yang membiarkan penyebaran hoax bisa mendapat hukuman. Aturan untuk menangkal hoax juga telah direncanakan oleh Singapura. Menteri Home Affairs Singapura mengemukakan, bahwa Singapura berencana mengeluarkan aturan untuk menangkal hoax pada tahun 2018.

Media sosial membuka ruang yang luas bagi para penggunanya untuk menyebarkan informasi, membuat konten, dan mengemukakan opini. Media sosial juga perlahan menggeser cara kerja jurnalistik. Saat ini hampir setiap media massa cetak memiliki situs daring dan akun media sosial. Secara kontinyu mereka membagikan berita-berita itu ke media sosial. Media sosial memberikan kesempatan bagi perusahaan media massa yang bersangkutan mendapatkan banyak pembaca sekaligus keuntungan melalui jumlah klik pada link artikel berita. Seringkali judul-judul berita media massa daring dibuat sensasional agar mengundang minat pembaca untuk klik dan share. Hal itu juga dimanfaatkan oleh situs-situs pembuat hoax. Judul sensasional dan provokatif menjadi salah satu kunci situs berita hoax untuk mendapatkan pembaca sekaligus keuntungan.

Di sisi lain, kebebasan pers saat ini juga dihadapkan pada post-truth. Oxford Dictionary mendefinisikan post-truth sebagai berikut: relating to or denoting circumstances in which objective facts are less influential in shaping public opinion than appeals to emotion and personal belief. Jumlah informasi banyak dan sebagai pembaca kita bisa mencari informasi di mana saja. Masalahnya adalah bagaimana kita bisa menemukan informasi yang kredibel dan benar-benar objektif. Dalam kasus pemberitaan tentang pemerkosaan massal di Myanmar yang telah dibahas pada paragraf awal, bisa kita lihat bahwa pemberitaan itu mendapat kecaman oleh pemerintah Myanmar. Namun, apakah itu berarti yang diberitakan MacGregor adalah hoax? Definisi hoax pun menjadi longgar. Sebab, kebenaran atas sesuatu tidak lagi bersifat tetap. Saat inipun tak jarang media massa ditunggangi oleh kepentingan politik. Informasi bisa menjadi bias. Pada akhirnya, semua kembali ke pembaca sebagai pihak yang harus melakukan filter terhadap informasi yang ia baca, tonton, dan dengar sendiri.

 

REFERENSI:

[1] Reporters Without Borders, 2017, 2017 World Press Freedom Index.

[2] Hill, David T., 2011, Pers di Masa Orde Baru, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

[3] MacGregor, Fiona, 2016, Dozens of Rapes Reported in Northern Rakhine State, Myanmar Times <http://www.mmtimes.com/index.php/national-news/23326-dozens-of-rapes-reported-in-northern-rakhine-state.html>.

[4] Murdoch, Lindsay, 2016, Media Freedom on Back Foot in Myanmar, Malaysia, Philippines, Sydney Morning Herald, <http://www.smh.com.au/world/free-media-on-back-foot-in-myanmar-thailand-malaysia-philippines-20161105-gsiq0q.html>.

[5] Hanzelka, Jan dan Ina Schmidt, 2017, Color Dynamics of Cyber Hate in Social Media: A Comparative Analysis of Anti-Muslim Movements in the Czech Republic and Germany, International Journal of Cyber Criminology (internet), Vol. 11(1), hal.143-160, <http://cybercrimejournal.com>

[6] Hanzelka, Jan dan Ina Schmidt, 2017, Color Dynamics of Cyber Hate in Social Media: A Comparative Analysis of Anti-Muslim Movements in the Czech Republic and Germany, International Journal of Cyber Criminology (internet), Vol. 11(1), hal.143-160, <http://cybercrimejournal.com>

[7] Hanzelka, Jan dan Ina Schmidt, 2017, Color Dynamics of Cyber Hate in Social Media: A Comparative Analysis of Anti-Muslim Movements in the Czech Republic and Germany, International Journal of Cyber Criminology (internet), Vol. 11(1), hal.143-160, <http://cybercrimejournal.com>.

[8] BBC Indonesia, 2016, ‘Hoax’ Seputar Kasus Ahok, FPI, 4 November, BBC Indonesia <http://www.bbc.com/indonesia/trensosial-37843842>.

 

 

Artikel ini ditulis oleh Gisela Ayu, mahasiswi Kajian Budaya & Media, Sekolah Pascasarjana, UGM, saat magang di Center for Southeast Asian Social Studies (CESASS).

Mempersempit Kesenjangan Pengembangan TIK Untuk Mendorong Integrasi ASEAN

Pentingnya TIK telah meningkat dari waktu ke waktu. Melihat perkembangan TIK sepanjang waktu telah mempengaruhi perkembangan sektor lain secara positif. Selain itu, pengembangan TIK memungkinkan kerjasama dan integrasi sektor-sektor lain yang lebih mudah dan cepat di dalam dan di antara negara-negara bagian. Berkenaan dengan ASEAN, TIK memainkan peran utama integrasi yang lebih baik di dalam dan di antara negara-negara anggotanya sejak didirikan pada tahun 1967. Saya dapat menjamin bahwa tanpa pembangunan TIK di ASEAN, Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN akan diberlakukan paling lambat 1992; pembentukan Komunitas ASEAN akan berlaku mungkin dalam 10 tahun mendatang. Selain itu, sebagian besar kerjasama dan integrasi di ASEAN saat ini adalah berbasis TIK, sehingga perjanjian yang lebih mudah dan cepat akan dimungkinkan. Meskipun demikian, masih ada hambatan bagi integrasi ASEAN bersama dengan jurang pengembangan TIK di dalam dan di antara negara-negara anggota ASEAN. Dalam artikel ini, saya akan secara khusus memperhatikan tindakan yang telah diambil dari elemen / aktor tertentu untuk mempersempit kesenjangan pengembangan TIK serta parameternya. Akhirnya, saya akan merekomendasikan solusi yang mungkin dapat diambil untuk menutup kesenjangan serta untuk mendorong integrasi ASEAN.

Secara umum, ASEAN sendiri untuk mendorong integrasi telah memulai kerangka hukum bagi negara-negara anggota ASEAN dalam pengembangan TIK yang disebut Perjanjian Kerangka Kerja e-ASEAN tahun 2000 (ASEAN, 2012). Tujuan dari kerangka ini adalah untuk mengintegrasikan kebijakan nasional dari semua negara anggota untuk mengatasi masalah sektor TIK secara kolektif. Perjanjian Kerangka Kerja e-ASEAN berfokus pada pengembangan TIK yang bertujuan untuk mempercepat integrasi ekonomi secara internal, dan untuk meningkatkan daya saing global ASEAN secara eksternal (Dai, 2008). Namun demikian, pencapaian implementasi pada kerangka ini belum optimal terbukti dengan masih tingginya kesenjangan digital di antara negara-negara anggota ASEAN; itu bisa dilihat dari angka 1 perbandingan Indeks Pembangunan TIK (IDI) antara negara-negara ASEAN 6 dan CLMV. Oleh karena itu, pengembangan TIK di setiap negara anggota ASEAN sangat diperlukan untuk mempertahankan integrasi ASEAN.

International Telecommunication Union (ITU) telah menerapkan TIK Development Index (IDI) sebagai pengukuran yang paling diakui untuk pengembangan TIK secara global (International Telecommunication Union, 2016). Menurut ITU, ada 11 indikator yang mencakup 3 wilayah untuk mengukur IDI yaitu akses TIK, penggunaan TIK dan ketrampilan TIK (International Telecommunication Union, 2016). Menurut Laporan Pengukuran Masyarakat Informasi 2016, kesenjangan pengembangan TIK antara negara-negara ASEAN 6 dan CLMV dapat dilihat dari angka ini.

Ada kesenjangan pengembangan TIK antara dan di dalam negara-negara ASEAN 6 dan CLMV. Singapura adalah negara yang memiliki nilai IDI tertinggi di antara negara-negara anggota ASEAN diikuti oleh negara-negara ASEAN 6 lainnya; Malaysia, Brunei, Thailand, Filipina dan Indonesia sebagai negara terendah. Namun, Vietnam memiliki nilai IDI tertinggi di antara negara-negara CLMV bahkan melebihi Filipina dan Indonesia. Mengulangi fakta dari gambar di atas, ada hubungan yang kuat antara ekonomi dan pengembangan TIK negara. Semakin banyak negara berkembang di sektor TIK, semakin baik ekonomi negara itu.

Selain dari fakta yang ditunjukkan pada gambar 1 tentang kesenjangan tingkat IDI antara negara-negara anggota ASEAN, Perjanjian Kerangka Kerja e-ASEAN masih merupakan kerangka hukum yang dapat diterapkan dan komprehensif bagi ASEAN untuk meningkatkan pengembangan TIK. Ini menjadi kerangka koheren karena mencakup tiga lingkup utama pengembangan TIK; e-Commerce, e-Government dan e-Society yang akan memungkinkan warga negara ASEAN yang inklusif, terutama untuk meningkatkan integrasi ekonomi. Hingga taraf tertentu, kebijakan nasional TIK linear dan infrastruktur di negara-negara anggota ASEAN telah berkembang mengikuti pembentukan kerangka kerja. Semua negara anggota memiliki kebijakan TIK dan pembangunan infrastruktur hampir serupa. Selanjutnya, negara-negara maju di ASEAN harus membantu pengembangan negara-negara lain khususnya negara-negara CLMV di sektor TIK. Yang terpenting, tata pemerintahan yang baik akan sangat membantu untuk meningkatkan indeks pengembangan TIK. Oleh karena itu, kerangka kerja ini bukan tentang sesuatu yang idealistik untuk mengintegrasikan ASEAN, tetapi merupakan pintu gerbang konkrit bagi ASEAN untuk bergerak maju ke tahap integrasi lebih lanjut. Di sisi lain, aktor-aktor non-negara dihitung untuk berkontribusi terhadap pencapaian kesenjangan nol perkembangan TIK di dalam dan di antara negara-negara anggota ASEAN untuk mendorong integrasi ASEAN, misalnya LSM seperti Computer Society serta MNC seperti Singtel, Axiata dan banyak lainnya yang telah secara besar-besaran melakukan sosialisasi dan memberikan kesempatan bagi masyarakat menuju akses, penggunaan, dan keterampilan TIK dengan membangun infrastruktur TIK (International Telecommunication Union, 2016). Dengan demikian, sesuai dengan pengukuran IDI, akan memungkinkan integrasi ASEAN yang lebih baik.

Secara pribadi, tindakan-tindakan tersebut mungkin bermanfaat untuk mendorong integrasi ASEAN ke tahap integrasi lebih lanjut. Namun, hal itu dapat memakan waktu lebih lama kecuali kita dapat menutup kesenjangan pengembangan TIK di dalam dan di antara negara-negara anggota ASEAN. Hal penting yang harus diatasi adalah bagaimana kita bisa melampaui masyarakat dan membangun gagasan pentingnya TIK bukan hanya untuk integrasi ASEAN, tetapi juga untuk meningkatkan kualitas hidup kita. Dengan demikian, hal itu akan mengarusutamakan gagasan bahwa TIK adalah salah satu kebutuhan utama kita; maka setiap individu tidak hanya orang dewasa atau remaja tetapi juga orang tua akan mencoba untuk mendapatkan akses TIK guna memiliki fasilitas TIK dan memiliki keterampilan TIK.

Lantas siapa yang bisa mengarusutamakan gagasan ini? Saya dapat dengan lugas mengatakan bahwa kita semua bertanggung jawab untuk ini. Pemerintah baik nasional maupun regional ASEAN mungkin berkontribusi paling besar untuk mengarusutamakan gagasan ini melalui agenda promosi dan sosialisasinya. Meskipun demikian, aktor-aktor non-negara seperti MNC dan LSM sangat membantu dalam membangun infrastruktur serta mengadvokasi kebijakan pemerintah yang terkait dengan pengembangan TIK. Tindakan tersebut akan jauh lebih mudah ketika media, baik media massa maupun media social, menjadi peran kunci dalam membentuk kembali pola pikir dan perilaku masyarakat terutama pada pengembangan TIK melalui informasinya. Pastinya, kurangnya peran media terhadap masalah ini melambatkan integrasi ASEAN. ASEAN dengan selalu mempertahankan dan meningkatkan upayanya untuk mempersempit kesenjangan pengembangan TIK akan menyertai integrasi ASEAN yang lebih baik.

 

REFERENSI:

ASEAN. (2012). e-ASEAN Framework Agreement.

Dai, X. (2008). e-ASEAN and Regional Integration in South East Asia. In A.-V. Anttiroiko, Electronic Government: Concepts, Methodologies, Tools, and Applications (p. 8). New York: Information Science Reference.

International Telecommunication Union. (2016). Measuring the Information Society Report. New York: International Telecommunication Union.

International Telecommunication Union. (2016). The ICT Development Index (IDI): conceptual framework and methodology. Retrieved June 13, 2017, from International Telecommunication Union: http://www.itu.int/en/ITU-D/Statistics/Pages/publications/mis2016/methodology.aspx

 

 

Artikel ini ditulis oleh Muhammad Ammar Hidayahtulloh (dalam Bahasa Inggris), seorang mahasiswa sarjana di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, ketika magang di Pusat Studi Sosial Asia Tenggara (CESASS).