Saya sedang berada di tempat duduk saya semasa SMA. Saat itu dua sesi jam pelajaran sedang ditiadakan karena guru kami harus menyelesaikan beberapa urusan lain yang tampak mendesak. Seorang teman berteriak kepada beberapa teman lainnya untuk segera bergabung ke mejanya. Mereka semua adalah murid-murid perempuan di kelas. Beberapa murid perempuan yang merasa nama mereka dipanggil segera merapat dan menyeret bangku mereka untuk mendekat ke arah murid perempuan yang tadi memanggil mereka. Murid perempuan tersebut membuka komputer jinjingnya dan seketika itu konsentrasi murid-murid perempuan yang tadi berkumpul tertuju pada layar persegi panjang yang barangkali ukurannya adalah 13-18 inci.
Di tengah kerumunan murid perempuan yang sedang menatap komputer jinjing tersebut salah satunya berteriak, “eotteoke!” sambil disusul teriakan murid lainnya. Mereka sedang menyaksikan serial TV Korea Selatan atau yang selanjutnya akan disebut drama Korea dalam tulisan ini. Momen seperti itu tetap berlangsung hingga bel istirahat sekolah kami berbunyi. Murid-murid akan menghabiskan waktu istirahat mereka dengan makan siang. Beberapa akan pergi ke kantin sekolah dan sebagian yang lainnya membentuk meja berkelompok di dalam kelas dan memakan bekal mananan yang dibawa dari rumah bersama-sama. Saya selalu bergagung dengan kelompok itu. Beberapa di antara kami mulai mengeluarkan kotak makan. Kami akan mulai memperlihatkan isinya, saling bertanya membawa bekal apa siang ini dan saling membaginya satu dengan yang lain.
Salah satu di antara kami—seorang murid perempuan yang tadi menonton drama Korea—membuka kotak makan tambahan dan meunjukkan kepada kami sebuah hidangan yang disebutnya sebagai tteokbokki. Hidangan itu berlumur saus berwarna merah dan terbuat dari tepug beras. Ia menyebutnya bahwa hidangan itu adalah kudapan yang berasal dari Korea Selatan. Mereka biasa menontonnya di serial televisi. Hampir di setiap waktu luang para aktor dan aktris di dalam drama Korea tersebut akan pergi ke sebuah kedai untuk memesan tteokbokki dan meminum bir di sana. Oleh karenanya, teman-teman saya mengaku penasaran dan ingin merasakan juga bagaimana rasa makanan tersebut. Mereka pun juga membawa sumpit dan memakannya menggunakan alat makan tersebut untuk semakin membuatnya tampak seperti di dalam drama Korea yang sering mereka saksikan bersama.
Saat itu adalah tahun 2014, mengikuti drama Korea tidak sesulit tahun-tahun sebelumnya saat anak-anak muda di Indonesia hanya dapat menjumpai idola mereka melalui tayangan harian di televisi dan DVD bajakan yang mereka dapatkan dari warung tenda di pinggir jalan. Tahun di mana saya telah menjadi murid sekolah menengah atas, menonton drama Korea cukup mengunduhnya dari internet. Begitulah caranya sehingga teman-teman perempuan saya di kelas semasa sekolah dapat dengan mudah dan bebas menonton drama Korea yang mereka inginkan sepanjang jam pelajaran sedang dikosongkan. Bermodal jaringan internat nirkabel di sekolah dan komputer jinjing yang mereka miliki secara pribadi.
Melihat Kelas Menengah dan Peleburan Batas Budaya
Perkembangan mengenai kemudahan mengakses dan menikmati drama Korea dari yang awalnya hanya dapat diikuti melalui siaran di TV lokal pun terus mengalami perkembangan hingga saat ini. Meskipun tren menikmati drama Korea di Indonesia tidak selalu menunjukkan angka antusiasmme penggemar yang tinggi, tetapi setidaknya beberapa orang mengaku konsisten menonton serial televisi dari negara di Asia Timur tersebut.
Ariel Heryanto (2015) dalam bukunya Identitas dan Kenikmatan, telah melakukan kajian mendalam mengenai hallyu, atau yang kerap disebut sebagai Korean Waves. Catatannya menyebutkan bahwa salah satu konteks yang lebih luas dari diskusi mengenai hallyu dan tergila-gilanya anak muda Indonesia untuk mereproduksi budaya Korea adalah kenyataan menguatnya kesadaran ‘Ke-Asia-an’ di antara mereka. Begitulah penjelasan pendek saat saya ingin menjelaskan bagaimana bisa teman-teman SMA saya begitu tergila-gila dengan drama Korea hingga mereplika kuliner dan menghadirkannya tepat di atas meja makan mereka. Namun, apakah cukup sampai di sini saja?
Saya berbincang dengan seorang teman di Yogyakarta, Asih namanya. Ia adalah seorang perempuan muda 22 tahun yang menceritakan kepada saya tentang pengalamannya ‘keranjingan’ drama Korea yang dimulainya sejak duduk di bangku SMP. Asih memulainya sejak orang tuanya memutuskan sekolah berasrama untuknya. Asrama itu hanya berisi murid-murid perempuan. Setiap libur akhir pekan murid-murid perempuan akan pergi ke warung internet terdekat. Mereka membawa flashdisk. Mereka akan menyewa komputer dan menghabiskan libur akhir pekan dengan mengunduh atau menyalin file drama Korea yang tersedia di sana. Saat itu hiburan murid-murid perempuan di sekolah asrama hanya televisi. Oleh sebab itu, mencari tontonan lain di luar apa yang tersedia di TV lokal terasa menjadi hiburan yang menyenangkan.
Lain dengan Asih, saya juga berbincang dengan seorang mahasiswa tingkat akhir di Yogyakarta. Namanya adalah Aprilia dan ia kini berusia 23 tahun. Aprilia menceritakan kepada saya bahwa sejak lahir Ia telah merasa dipertemukan dengan serial-serial televisi Asia. Ia mendapatkan akses itu dari bibi yang diceritakannya. Bibinya adalah penggemar berat serial Asia—khususnya Asia Timur pada saat itu. Tidak ada kemudahan mengunduh drama Korea melalui situs ilegal di internet pada waktu itu, mungkin sekitar tahun 2007-2009. Oleh sebab itu, sang bibi hanya dapat mengandalkan tukang DVD bajakan di pinggir jalan untuk memenuhi keinginannya mengikuti tayangan serial drama televisi yang hangat di Asia Timur—termasuk drama Korea.
Selain Asih dan Aprilia, saya juga berbincang dengan mahasiswa tingkat akhir lainnya, ia adalah Jeni. Kisaran usianya hampir sama dengan Asih dan Aprilia. Mereka adalah tiga perempuan sebaya. Jeni mulai mengikuti tontonan serial TV Korea ini sejak di bangku SMP. Ia mengaku bahwa saat itu hanya ikut-ikutan saja. “Apa yang sedang dibicarakan saat itu aku tonton dan ikuti. Pokoknya yang sedang ramai”, ujarnya kepada saya. Hal itu ia lakukan hingga SMA dengan membeli DVD bajakan seperti yang dilakukan oleh Aprilia dan bibinya. Hingga tren menonton dari DVD mulai perlahan menghilang dan digantikan oleh kemudahan mengunduh berbagai macam judul drama Korea melalui situs-situs ilegal.
Apa yang telah saya sebut sebagai menguatnya kesadaran ‘ke-Asia-an’ tadi dengan mengutip Ariel Heryanto (2015) adalah situasi yang tercipta seiring dengan kemudahan-kemudahan konsumen budaya populer Korea untuk mengakses apa yang mereka cari: drama dan musik Korea misalnya, atau bahkan informasi mengenai idola mereka. Baik kehadiran tteokbokki di meja makan anak-anak muda Indonesia dan kemudahan mereka mengoleksi belasan judul drama Korea di komputer jinjing mereka, adalah buah dari peleburan batas yang sebelumnya disalahpahami secara kaku bahwa batas kultural dan batas geografis memiliki garis penegas yang sama. Sebab keduanya tentu berbeda. Dalam banyak studi mobilitas tinggi manusia menjadi faktor utama yang mengaburkan keselarasan keduanya—yakni batas kultural dan batas geografis (Abdullah, 2015).
Mobilisasi dalam tingkat yang semakin tinggi serta kemudahan untuk melakukanya semakin mendorong meleburnya batas kultural antar kelompok di muka bumi. Di tempat baru mereka akan mereproduksi kebudayaan mereka dari tempat asal untuk menciptakan ulang bayangan mengenai ‘tempat asal’, menjaga ikatan emosional, dan menciptakan kelompok-kelompok baru yang membawa representasi budaya tempat asal mereka. Sejalan dengan itu, batas-batas wilayah tidak lagi penting saat lalu-lintas berpindahnya manusia dari satu tempat ke tempat yang lain menjadi semakin padat. Jika menilik gagasan Appadurai (1990) mengenai globalisasi, maka ia akan memperkenalkan kita untuk mengenal lima dimensi untuk mengklasifikasikannya. Salah satu di antara lima dimensi yang perlu kita ketahui tersebut adalah ethnoscape—di mana dimensi ini berkaitan dengan migrasi yang dilakukan oleh masyarakat untuk melintas batas wilayah maupun budaya untuk kemudian menampilkan bahwa dunia yang kita tinggali selama ini merupakan sebuah ruang dinamis yang segalanya bersifat cair.
Proses reproduksi kebudayaan yang dijelaskan melalui dimensi ethnoscape tersebut kemudian terus mengalami perkembangan hingga reproduksi kebudayaan tidak lagi hanya dapat dilakukan saat seseorang melakukan perpindahan secara fisik—melainkan interaksi budaya juga dapat dilakukan melalui perantara teknologi. Dimensi ini disebut oleh Appadurai (1990) dengan sebutan technoscape. Sampai di sini kita dapat mengamati bahwa perilaku meniru resep kudapan khas Korea yang dilakukan oleh teman-teman saya semasa SMA dan kemudahan menonton drama Korea yang didapat oleh tiga perempuan muda di yang membagi cerita mereka kepada saya tentu terwakili oleh dimensi technoscape ini—meskipun sebelum teknologi berkembang berkembang semakin canggih—migrasi merupakan satu-satunya pintu utama pertukaran kebudayaan itu.
Di sinilah kemudian muncul gagasan mengenai ‘asianisasi Asia’ sebagaimana yang ditulis oleh Ariel Heryanto (2015) berkaitan dengan penelitan yang ia lakukan mengenai hallyu di beberapa kota di Indonesia. Proses ini tergambar sebagai sebuah interaksi budaya tanpa batas waktu dan wilayah—yang tergambar pada upaya murid-murid yang pada tahun 2014 lalu saya temui di SMA. Mereka berhasil mereplika sebuah hidangan khas Korea dengan mencari tahu resep masaknya di mesin pencari yang mana mereka mendapatkan informasi mengenai nama makanan itu dari drama Korea yang hampir setiap hari mereka saksikan. Oleh karenanya, terjadi sebuah transmisi budaya tanpa harus melakukan kontak langsung dengan sang pemilik kebudayaan tersebut—di mana proses globalisasi kebudayaan ini melahirkan diferensiasi yang meluas—yang tampak dari proses pembentukan gaya hidup dan identitas (Abudullah, 1998: 176).
Meskipun globalisasi dan bahkan yang disebut sebagai ‘asianisasi Asia’ tadi dapat menerpa siapa saja, tetapi pada bagian ini saya ingin menekankan bahwa tinjauan mengenai kelas menengah muda patut mendapat perhatian secara terpisah. Saya memilih datang kepada Asih, April, dan Jeni dengan pertimbangan bahwa mereka adalah sebaya saya—di mana artinya dalam perjalanan mereka menjadi konsumen drama Korea—mereka berkemungkinan melalui perjalanan yang sama tentang pengalaman mereka mengonsumsi drama Korea melalui DVD bajakan, menunggunya tayang di TV, hingga mengunduh dari situs-situs ilegal di mesin pencari. Kini, mereka telah mendapatkan lebih dari yang mereka dapat bayangkan sebelumnya. Mereka tidak lagi memerlukan DVD bajakan, menunggu di TV, pergi ke warnet, atau mengunduhnya di internet—melainkan hanya perlu membayar tagihan internet dan menonton drama Korea melalui situs streaming baik legal maupun ilegal dari ponsel pintar atau komputer jinjing mereka masing-masing dengan nyaman.
Kemudahan yang mereka dapatkan tersebut—meskipun memang disebabkan oleh perkembangan teknologi yang luar biasa cepat—tidak dapat dilepaskan dari tersedianya teknologi tersebut untuk mereka akses. Situasi tersebut berarti bahwa tidak semua orang seusia mereka dapat memiliki kemudahan menonton drama Korea menggunakan fasilitas streaming melalui situs penyedia tayangan baik yang ilegal maupun legal. Adanya kemampuan untuk memenuhi kebutuhan hiburan mereka akan drama Korea inilah yang kemudian membuat saya menyoroti mereka sebagai ‘kelas menengah’. Jika melihat ciri-ciri yang dikemukakan oleh Ariel Heryanto (2015), maka setidaknya mereka memiliki beberapa hal berikut: pendidikan perguruan tinggi, daya beli menengah untuk hiburan, serta kiblat transnasional dalam konsumsi dan gaya hidup.
Asih menggunakan sambungan internet nirkabel sejak ia menyelesaikan pendidikannya di bangku SMA. Ia memiliki fasilitas tersebut di rumah dan dapat menonton drama Korea di waktu luangnya hanya dengan menyambungkan ponsel pintar atau komputer jinjingnya ke jaringan internet. Aprilia tidak tinggal di rumah bersama keluarga. Melainkan ia mampu membayar iuran internet nirkabel di kamar yang ia sewa untuk merantau di Yogyakarta. Tidak berbeda dengan Aprilia, Jeni melakukan hal yang sama. Ia adalah mahasiswa perantau, menyewa kamar untuk tinggal, dan membayar tagihan internet setiap bulannya. Kondisi ini membuat mereka tidak harus pergi mencari jaringan internet nirkabel gratis atau pergi ke warung internet lagi untuk menyalin belasan judul drama Korea di sana seperti usaha-usaha yang mereka lakukan sebelum berbagai kemudahan ini mereka dapatkan.
Reformasi dan Identitas Kosmopolitan
Indonesia telah mengalami gelombang keterbukaan informasi sejak pergantian rezim pemerintahan pada tahun 1998. Titik balik ini pun mendai lahirnya generasi baru di mana mereka adalah generasi pertama yang lahir pada era siaran televisi bukan lagi menjadi mesin propaganda milik negara. Pada saat inilah kemudian generasi yang sebaya dengan Asih, Aprilia, dan Jeni merupakan generasi pertama yang yang sepenuhnya tumbuh bersamaan dengan industri swasta dunia hiburan yang menarik bagi kelas menengah yang saat itu juga baru mulai bermunculan (Heryanto, 2015: 250). Bahkan tidak hanya budaya populer Asia Timur yang saat itu mulai menggempur Indonesia—melainkan juga budaya populer Islam yang sebelumnya terkubur (Nonaka, 2015).
Kembali pada demam drama Korea yang datang bersamaan dengan Korean wave atau hallyu—di titik inilah mereka para penggemar budaya populer Korea—selain memiliki kebebasan untuk mengakses informasi juga memiliki kebebasan untuk mendeklarasikan ide mengenai identitas kosmopolitan yang mereka punya. Mengapa kosmopolitan? Charlotte Setijadi (2005) melakukan studi mengenai hubungan antara cultural proximity dan preferensi orang Indonesia. Tesisnya mengatakan bahwa penonton televisi di Indonesia lebih memilih drama Korea—Asia Timur secara umum—lantarn menganggap memiliki banyak kesamaan budaya. Namun, hal tersebut tidak berarti gagasan mengenai cultural proximity ini menyebabkan preferensi menonton drama Korea semata-mata disebabkan oleh kedekatan budaya.
Perihal aspek kedekatan budaya, tidak ada satu di antara mereka yang saya temui mengaku bahwa preferensi memilih drama Korea yang mereka miliki didasarkan oleh identitas keregionalan—dalam hal ini adalah Asia. Setidaknya, jika tiga orang yang berbincang dengan saya terlalu sedikit dan tidak dapat disebut mewakili dalam konteks yang lebih luas, maka penelitian Ariel Heryanto (2015) juga menyatakan bahwa preferensi anak-anak muda yang ditemuinya adalah jenis musik yang dimainkan, penampilan mereka di panggung dan video klip, serta komunikasi yang bersahabat dengan pendengar. Oleh karenanya, gagasan mengenai ‘asianiasasi Asia’ yang disebut oleh Ariel Heryanto bukan merupakan kesadaran regionalisme yang puritan. Melainkan proses ‘asianisasi’ itu sendiri melambangkan adanya kegembiraan menjadi bagian dari Asia yang modern dan kosmopolitan.
Jeni mengatakan kepada saya bahwa ia menonton drama Korea dan berakhir menjadi tergila-gila disebabkan oleh ide cerita yang diangkat dan potongan kehidupan yang ditampilkan di sana. Ia mengatakan saat SMA ia mengikuti drama Korea berjudul Dream High dan ia gembira mengetahui sisi kehidupan di luar kultur hidupnya sehari-hari. Ia merasa disuguhkan oleh potongan cerita dari belahan bumi yang lain—yang selama ini tidak ia ketahui. Begitu juga dengan Aprilia yang saat SMA lebih memilih menonton secara maraton drama Korea yang mengangkat kisah kehidupan anak muda dan sekolah. Hal tersebut berarti Aprilia lebih memilih keterkaitan usia alih-alih hanya sekadar ‘Asia’. Jika harus menjelaskannya menggunakan dalih kedekatan budaya, maka kedekatan budaya yang tepat ialah budaya mereka sebagai anak sekolah yang seusia daripada kedekatan mereka secara budaya regional seperti yang disebutkan oleh Setijadi (2005). Mereka adalah anak-anak muda Indonesia yang ‘ter-asia-kan’ dan atau ‘meng-asia-kan’ diri melalui konsumsi mereka terhadap budaya populer Korea Selatan.
Di Indonesia sendiri, kebebasan menyatakan diri sebagai penggemar budaya populer Korea nomor wahid tidak akan terwujud sama sekali apabila dua dekade yang lalu Indonesia tidak pernah berganti rezim dan titik balik keterbukaan informasi tidak pernah terjadi. Dalam konteks tulisan ini, tiga orang yang saya temui ini sama sekali tidak mengaitkan keberadaan budaya Korea dengan batas negara yang memisahkan mereka. Justru kegemaran mereka terhadap budaya populer Korea berkembang hingga menikmati musik dan mulai mengidolakan kelompok musik yang seringkali disebut sebagai idol group. Asih dan Aprilia adalah contoh dari mereka yang mengaku memiliki keterikatan terhadap idol group tertentu. Berdasarkan pengalaman yang dimiliki oleh Asih, ia bahkan terhubung dengan komunitas yang transnasional yang lebih besar, saling berkomunikasi satu sama lain, dan meleburkan batas-batas wilayah dan dipersatukan oleh satu aspirasi yang sama: idola mereka.
Lebih dari Sekadar Opera Sabun ‘Biasa’
Pada akhirnya drama Korea bukan sekadar opera sabun biasa. Makna kata ‘biasa’ di sini adalah opera sabun yang biasa mereka tonton di saluran TV lokal di Indonesia. Baik Asih, Aprilia, dan Jeni bersepakat bahwa mereka tidak menyukai sajian cerita yang menampilkan perempuan sebagai sosok yang lemah dan tampak memasrahkan diri pada keadaan. Meskipun pada tahun 2000-an, Indonesia juga sempat digemparkan oleh kemunculan beberapa judul drama Korea yang berdasarkan penilaian Asih, Aprilia, dan Jeni mengandung cerita yang Cinderella complex—di mana sosok tokoh utama perempuan berasal dari keluarga miskin atau kelas pekerja yang bertemu dengan seorang laki-laki dari keluarga kaya atau powerful. Beberapa judul drama Korea yang sempat tayang dan memiliki kecenderungan seperti itu adalah Boys Before Flowers, Princess Hours, Secret Garden, dan The Heirs.
Jika dibandingkan dengan serial TV yang ada di Indonesia, mungkin kita akan menemukan titik kesamaan pada ide cerita yang cenderung Cinderella complex tersebut. Namun demikian, banyak drama Korea lain baik yang tayang dan tidak di saluran TV lokal Indonesia yang tidak meletakkan pemeran utama perempuan sebagai kelompok yang memiliki strata sosial lebih rendah daripada pemeran laki-laki. Meskipun beberapa cerita drama Korea pada saat itu juga mengandung ide yang Cinderella complex—setidaknya para penggemar setia mereka mengungkapkan bahwa kelebihan yang dimiliki oleh drama Korea adalah sinematografinya, cerita yang mendetail tetapi jumlah episodenya cukup, tidak bertele-tele dan selalu ada konflik utama yang akan diselesaikan. Hal serupa juga diungkapkan dalam penelitian yang dilakukan oleh Briandana dan Ibarhim (2015) melalui tulisan mereka yang berjudul Audience Interpretation on Korean TV Drama Series in Jakarta bahwa narasi yang menarik dan adanya elemen cerita seperti komedi, romansa, aksi, hingga misteri adalah beberapa hal yang tidak ditawarkan oleh sinetron di Indonesia.
Namun demikian, drama Korea pada kenyataannya tidak sebatas itu saja. Aprilia mengatakan bahwa koleksi drama Asia dan Korea pada khususnya yang biasa ia konsumsi sejak remaja tidak hanya berkutat pada persoalan ide cerita yang berlatar kehidupan rumah tangga. Banyak sebetulnya drama Korea dengan cerita lebih segar. Barangkali TV lokal di Indonesia memilih judul drama yang memiliki lebih banyak similaritas cerita dengan sinetron yang diproduksi oleh TV lokal sendiri. Karenanya, gagasan ‘kesamaan budaya’ mungkin akan berlaku sementara pada konteks ini. Pada akhirnya mereka yang terlanjur ‘keranjingan’ dan jatuh cinta pada drama Korea lah yang akan melakukan eksplorasi lebih untuk mencari judul-judul drama Korea yang lebih memuaskan aspirasi mereka mengenai serial TV.
Saat saya bertanya mengenai preferensi genre drama Korea yang akhir-akhir ini ia tekuni, Asih menjawab ia tidak memiliki preferensi khusus mengenai genre cerita. Syaratnya hanya satu: bukan horor. Aprilia memiliki jawaban yang berbeda. Hingga saat ini ia konsisten pada drama Korea yang tidak menampilkan sosok perempuan menjadi pihak yang lemah dan hal-hal semacam Cinderella complex seperti yang sebelumnya telah saya singgung. Ia akan memilh drama dengan mempertimbangkan siapa penulis skenarionya, pemainnya, hingga genre. Meskipun genre pada akhirnya bukan menjadi acuan utama jika ia sedang mempertimbangkan penulis skenario dan pemainnya. Ia juga mengaku mengalami pergeseran selera. Saat masih SMP-SMA ia menjadikan drama Korea dengan cerita kehidupan sekolah sebagai pilihannya, higga tiba saatnya ia merasa drama Korea dengan tokoh utama yang bukan lagi anak sekolahan menjadi pertimbangan utama yang ia pikirkan. Sedangkan Jeni, ia akan memilih drama Korea dengan nuansa slice of life yang memiliki narasi lebih mengalir dan terasa amat nyata.
Berbagai macam pertimbangan dari tiga orang di atas dalam memilih drama Korea mereka sebetulnya telah menunjukkan kita apa yang tidak dimilki oleh opera sabun di Insonesia. Jika saya meramunya dari perbincangan yang saya lakukan dengan mereka bertiga, aspek-aspek seperti cerita yang bertele-tele, hanya menekankan pada kehidupan rumah tangga, pilihan profesi yang monoton untuk peran para tokohnya, sinematografi yang kurang menggugah, hingga judul yang ‘lebay’ menjadi pertimbangan tiga orang muda ini untuk lebih memilih drama Korea daripada apa yang tersaji di saluran TV lokal negara mereka sendiri.
Keseluruhan gambar yang kita tangkap dari apa yang telah kita diskusikan di atas ialah penegasan bahwa budaya populer seperti drama Korea telah jauh mengalami transformasi, baik dari bagaimana cara mereka datang ke Indonesia maupun cara konsumen mereka berusaha untuk mendapatkan akses menonton. Oleh sebab itu, dalam diskusi lebih lanjut mengenai hallyu pada umumnya dan drama Korea khususnya, memperhatikan aspek kelas dan ide besar kosmopolitan adalah hal yang tidak dapat diabaikan. Pada akhirnya perbincangan mengenai drama Korea seringkali akan berakhir di dapur kajian-kajian tentang konsumsi dan gaya hidup. Namun, tidak menutup kemungkinan juga bahwa diskusi-diskusi mengenai diplomasi budaya juga akan menjadi poin yang amat menarik. Kita akan melihat bagaimana hallyu memang sengaja diciptakan untuk menjadi bagian dari soft power yang dimiliki oleh Korea Selatan dalam berdiplomasi (Oh, 2017).
Tulisan ini sesungguhnya hanya ingin menegaskan bahwa budaya populer Korea, drama pada khususnya, perkembangan yang terjadi terhadapnya tidak dapat terlepas dari aspek-aspek kelas, konstruksi identitas, dan reproduksi budaya. Dari cerita beberapa murid perempuan di SMA saya hingga tiga perempuan muda yang saya temui di Yogyakarta, secara keseluruhan mereka ingin membagikan aspirasi kepada kita bahwa menonton sinetron Indonesia itu menjemukan kecuali hanya jika tidak ada pilihan. Hal itu terbukti ketika mereka memiliki akses dan kebebasan lebih untuk mengakses sendiri media hiburan untuk mereka, maka secara sadar mereka akan melakukan proses seleksi. Proses seleksi itu kemudian dilakukan dimulai dari apa yang tidak mereka sukai dari sajian-sajian serial TV lokal.
Namun, satu hal yang penting untuk menjadi catatan yakni bahwa kemampuan untuk memiliki kebebasan tak terbatas menyeleksi serial mana yang akan mereka tonton sekali lagi tidak dapat dipisahkan dari aspek kelas sosial tempat mereka berasal. Lantas pada akhirnya kita juga akan melihat bahwa aspek digital divide menjadi penting untuk ikut diperhatikan dan tidak hanya meletakkan fokus kajian budaya populer semacam ini hanya berlatar di kota-kota besar.
Daftar pustaka
Abdullah, Irwan. 1998. “Kultur dan Subkultur Kaum Muda: Suatu Refleksi Pemahaman Antropologi” dalam Antropologi Indonesia. Vol. 21(54)
Abdullah, Irwan. 2015. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Appadurai, Arjun. 1990. “Disjunture and Difference in The Global Economy” dalam Theory, Culture, and Society. Vol. 7, Hal. 295-310.
Briandana, Rizki dan Indan Soliha Ibrahim. 2015. “Audience Interpretation on Korean TV Drama Series in Jakarta” dalam Jurnal Komunikasi Borneo. Vol. 4, Hal. 45-55.
Heryanto, Ariel. 2015. Identitas dan Kenikmatan: Politik Budaya Layar Indonesia. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Ingyu Oh. 2017. “Islamic and Local Cultre: The Peril of State Violence and Hallyu Fandom in Indonesia” dalam Kritika Kultura. Vol. 29, Hal. 232-257.
Nonaka Yo. 2015. “Islamic Novels: Popularizing Islamic Values” dalam Kurasawa Aiko & William Bradley Horton (ed). Consumig Indonesia: Consumption in Indonesia in the Early 21st Century. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Setijadi, Charlotte. 2005. “Questioning Proximity” dalam Media Asia. Vol. 32(4), Hal. 197-205.
Artikel ini ditulis oleh Rewina Ika Pratiwi, mahasiswa Universitas Gadjah Mada saat menjalani magang di Pusat Studi Asia Tenggara.