Pada 17 Juli, Pusat Studi Sosial Asia Tenggara (PSSAT) UGM mengadakan CESASS Talk Series yang pertama dengan topik “Pembangunan Perkotaan Masa Depan di Asia Tenggara”. Acara dilaksanakan secara daring melalui Zoom dengan peserta lebih dari 40 orang. Acara tersebut menghadirkan empat pembicara, yaitu Kepala PSSAT UGM, Prof. Dr. Rini Rachmawati, S.Si., M.T.; peneliti PSSAT UGM, Dr. Arif Akhyat, M.A.; Sekretaris Asian Urban Research Association, Shippensburg University, Pennsylvania, Prof. George Pomeroy, Ph.D., AICP; dan dosen senior Vietnamese-German University dan tim penyelenggara 16th Asian Urban Conference, Dr. Le Thi Thu Huong. Acara ini dimoderatori oleh peneliti PSSAT UGM, Drs. Muhadi Sugiono, M.A.
Pembicara pertama, Prof. Dr. Rini Rachmawati, S.Si., M.T., mengangkat topik mengenai “Geografi Perkotaan dan Pembangunan Perkotaan di Asia Tenggara”. Pemaparan Prof. Rini berfokus pada empat aspek: gambaran pembangunan perkotaan, geografi regional Asia Tenggara, kota-kota di Asia Tenggara dan smart cities, serta perkembangan perkotaan masa depan di kawasan tersebut. Dari pemaparan tersebut, pembangunan perkotaan dapat digambarkan sebagai upaya untuk mencapai kondisi perkotaan yang lebih baik dan menyelesaikan permasalahan perkotaan melalui perencanaan kota melalui pembangunan perkotaan yang berkelanjutan sebagai tujuan akhirnya.
Prof. Rini mendalami upaya ASEAN dalam menciptakan kota-kota pintar (smart cities) dengan dibentuknya ASEAN Smart Cities Network (ASCN) pada tahun 2018 yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup warga ASEAN melalui pemanfaatan teknologi sebagai enabler. Berfokus pada masyarakat, upaya tersebut mengadopsi pendekatan inklusif untuk pengembangan smart city yang menghormati hak asasi manusia dan kebebasan fundamental. Jejaring Smart Cities di seluruh ASEAN juga berkontribusi untuk meningkatkan pertukaran lintas budaya.
Prof. Rini menyoroti empat faktor penting untuk pembangunan perkotaan di masa depan, yakni keterkaitan antar kota di Asia Tenggara, menciptakan kota di Asia Tenggara lebih layak huni, mewujudkan smart city di Asia Tenggara, dan tujuan akhir dari pembangunan smart city yang berkelanjutan di kawasan tersebut.
Pembicara kedua, Dr. Le Thi Thu Huong, membahas “Pembangunan Perkotaan Berkelanjutan di Asia Tenggara”. Dr. Huong membuka sesinya dengan menyoroti enam aspek penting dalam pembangunan perkotaan berkelanjutan: penggunaan lahan yang efisien melalui pengelolaan lahan yang efektif, perlindungan lingkungan, perumahan yang terjangkau dan bertanggung jawab secara sosial, manajemen mobilitas perkotaan yang berkelanjutan, pengembangan ekonomi dan partisipasi lokal, dan kerja sama regional. Dr. Huong juga menguraikan bahwa terlepas dari banyaknya teori permukiman perkotaan, pada intinya memiliki satu gagasan utama dan tujuan akhir: “mencapai pembangunan yang maksimum dengan konsumsi sumber daya dan dampak lingkungan yang minimum untuk memastikan kesejahteraan manusia dan Bumi.”
Dr. Huong kemudian berbicara mengenai kriteria untuk menciptakan kota yang berkelanjutan yang terdiri atas beberapa faktor, seperti menciptakan masyarakat yang berkelanjutan dengan mendorong “koherensi sosial dan solidaritas” dan “sistem ekosistem yang stabil” untuk keberlanjutan lingkungan perkotaan. Menurut Dr. Huong, masyarakat yang berkelanjutan sangat penting untuk mempertahankan pembangunan manusia yang mengutamakan kesetaraan, keselamatan, dan keamanan sosial. Di sisi lain, dia membantah stereotip bahwa ancaman paling signifikan terhadap ekosistem yang stabil adalah kemiskinan, dan berpendapat bahwa orang kaya sama-sama bertanggung jawab atas degradasi lingkungan, seperti yang terlihat melalui penggunaan sumber daya, kecenderungan konsumsi berlebihan, dan emisi yang dihasilkan.
Pembicara ketiga, Prof. George Pomeroy, menjelaskan topik mengenai “Perencanaan Perkotaan di di Asia Tenggara”. Selama sesinya, Prof. Pomeroy berfokus pada data saat ini dan yang diproyeksikan, serta prospek dan tantangan untuk pembangunan perkotaan masa depan di Asia Tenggara. Dia memulai dengan menggarisbawahi bahwa sifat kota dan urbanisasi di Asia Tenggara beragam, dan bahwa kawasan tersebut, seperti Asia pada umumnya, tidak dapat dengan mudah digeneralisasikan. Misalnya, pada tahun 2020, wilayah Singapura merupakan 100% perkotaan, sedangkan Kamboja hanya 24,2%, menurut Envisaging the Future of Cities: World Cities Report 2022, yang dirujuk oleh Prof. Pomeroy.
Selama presentasinya, Prof. Pomeroy menyoroti tantangan pembangunan perkotaan di Asia Tenggara di masa depan, dengan mengambil sumber dari James Tyner & Andre Ortega serta Arfanuzzuman & Dahiya. Kedua sumber mencatat potensi tantangan lingkungan yang mungkin dihadapi kawasan ini di masa depan. Selain itu, Tyner & Ortega mengidentifikasi tantangan lanjutan dengan adanya kemacetan lalu lintas dan perumahan, perubahan dangkal dari peningkatan inkorporasi dalam ekonomi global, dan perubahan struktural yang lebih mendalam akibat masuknya modal asing. Perubahan struktural ini telah menyebabkan munculnya kelas menengah yang digerakkan oleh konsumsi. Arfanuzzuman & Dahiya juga menyebutkan tantangan pertumbuhan ruang perkotaan, tekanan pada ruang hijau per kapita, dan penipisan air tanah.
Prof Pomeroy membahas tentang potensi pertumbuhan yang dinamis melalui munculnya ekonomi kreatif. Konsep ini, sebagaimana digariskan oleh Richard Florida dalam karyanya “The Creative Class”, berkisar pada “3T pembangunan ekonomi”: Talenta, Teknologi, dan Toleransi. 3T ini juga berkontribusi pada penciptaan Indeks Kreatif Global. Dalam kalimat penutupnya, Prof. Pomeroy menyoroti beberapa temuan dan pesan utama dari “Envisaging the Future of Cities: World Cities Report 2022,” yakni di antara “masalah utama yang harus ditangani dalam transisi menuju masa depan yang lebih berkelanjutan” adalah ketidaksetaraan & eksklusi sosial, dan keragaman budaya. Dia juga menyebutkan bahwa mengamankan masa depan perkotaan yang lebih hijau, termasuk aksi iklim, adalah sesuatu yang cenderung diabaikan dan perlu dipertimbangkan.
Pembicara terakhir, Dr. Arif Akhyat, M.A., mempresentasikan topik mengenai Sejarah Perkotaan di Asia Tenggara, utamanya berfokus pada paradoks yang ada di kota-kota kolonial Jawa. Presentasinya yang berjudul “Paradox in the City: Cities in Colonial Java” dimulai dengan diskusi tentang berbagai kepentingan kolonialis di kota-kota di Jawa kolonial – kepentingan politik dan sosial-ekonomi. Dr. Arif kemudian menyoroti munculnya kelompok sosial tak bertanah yang menyebabkan perubahan struktur sosial, yang berujung pada tumbuhnya kelompok pendatang yang berpindah ke kota untuk mencari pekerjaan yang mengakibatkan meningkatnya ketegangan sosial. Di sisi lain, muncul elite kota baru yang dipandang Dr. Arif sebagai paradoks zaman. Dia menggunakan Semarang di era kolonial sebagai contoh untuk menggambarkan segmentasi kelas sosial di kota saat itu.
Sebagai penutup, Dr. Arif menekankan bahwa kegagalan mengatasi perbedaan kelas sosial, seiring dengan tekanan modernisasi, membuat petani (penghuni kota) tidak mengalami mobilitas vertikal dalam status sosialnya. Akibatnya, mereka tetap terkurung dalam batas-batas tradisi agraria yang pernah mendefinisikan mereka, tidak mampu membuat kemajuan yang signifikan melampaui status sosial mereka saat ini. Dr. Arif menekankan bahwa komunitas yang terpinggirkan dan subsisten ini adalah produk dari proses kolektif yang tidak dapat dipisahkan dari kota, meskipun modernitas telah mengisolasi dan mengasingkan mereka.
Dapat disimpulkan CESSAS Talk Series #1 sukses besar, dengan masing-masing dari empat pembicara menyajikan topik menarik dan berwawasan yang membuat audiens merenungkan sejarah Asia Tenggara dan melihat ke depan untuk melihat prospek masa depan Asia Tenggara. Setelah presentasi, sesi tanya jawab memberikan kesempatan untuk diskusi dan debat lebih lanjut, menjadikan acara tersebut menjadi pengalaman yang tak terlupakan dan membangkitkan pemikiran bagi semua yang hadir.